Happy Reading*****"Jadi, Eyang sama Ibu merestui hubungan kami?" Hati-hati Wandra bertanya pada dua perempuan yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.Puspa menatap sang mertua, dia belum berani menjawab. Ada ganjalan di hati terkait masa lalu. "Kenapa lihat Bunda gitu, Pus? Kamu yang lebih berhak memutuskan dari pada Bunda." Seakan mengerti tatapan sang menantu, Laksmi berkata demikian."Puspa setuju saja, Bun. Gimana dengan Bunda sendiri?" Puspa malah melempar pertanyaan."Jawabannya nanti aja, deh." Laksmi menatap Wandra. "Eyang capek pengen istirahat sama makan siang dulu."Sepertinya, kalimat yang dilontarkan Laksmi adalah sebuah sindiran. Dia melirik Jelita, lalu terkikis melihat bibir sang cucu maju lima senti."Maafkan Puspa, Bun. Sampai lupa nawari minum apalagi makan. Sebentar," pamit orang tua tunggal yang selama ini sudah membesarkan dan merawat Jelita. Dia terlihat berjalan ke arah dapur."Kalau gitu, saya permisi pulang, Eyang," pamit Wandra."Lakok pulang, Ndra. Nggak
Happy Reading*****Sesuai saran bundanya, Ajeng mendatangi kediaman Laksmi. Namun, sesampainya di depan gerbang, satpam sudah memintanya untuk kembali."Saya mau ketemu Nyonya Laksmi.""Sudah saya katakan, Nyonya tidak bisa menerima tamu sampai Minggu depan.""Saya sudah ada janji dengan beliau," tambah Ajeng. Dia mulai geram dengan sikap satpam yang seolah dialah pemilik hunian itu, saat ini."Benarkah? Lalu, mengapa Nyonya tidak mengatakan apa pun saat pergi?" Si satpam menatap curiga. Gerak-gerik Ajeng memang mencurigakan. Menyapu pandangan ke segala arah seperti mencari-cari sesuatu. "Ke mana Nyoya pergi?""Apa harus, saya menjawab pertanyaan Anda?""Kamu!" geram Ajeng, "baru jadi satpam saja belagu.""Saya cuma menjalankan tugas. Menjaga keamanan rumah orang yang sudah menggaji. Kalau sampai lalai dan ada masalah, saya juga yang kena semprot dan pastinya akan dipecat." Suara satpam itu merendah.Ajeng menghentakkan kaki. Bicara dengan lelaki rendahan seperti satpam itu, tentu
Happy Reading*****Wandra menatap adiknya. Seolah bertanya apa yang dikatakan mamanya. Rista menjawab dengan gelengan kepala. Hari ini, Rista bisa mengungkapkan semua isi hati serta kekekalannya pada Ajeng. Walau sedikit ragu bahwa perempuan yang melahirkannya akan segera sadar dengan semua perkataan yang diucapkan tadi."Hei, kenapa malah bengong? Ayo kita jalan-jalan lagi. Masih banyak binatang yang belum dilihat." Jelita menggandeng tangan Rista agar segera mengikuti langkahnya ke arah Riyan."Apa ada masalah, Ris?" tanya Riyan.Rista, hanya bisa menggeleng. Bagaimana mungkin dia akan menceritakan bahwa kebencian mamanya masih menguasai pada Jelita dan Puspa, sedangkan di perempuan itu begitu baik."Cuma keinget Papa di rumah. Kita lagi seneng-seneng, tapi beliau di rumah lagi sakit dan mikir masalah yang belum kelar-kelar." Rista mengembuskan napas panjang. Dari arah belakang, Wandra merangkul pundak Rista. "Papa baik-baik saja, Dik. Beliau malah yang meminta kita untuk jalan-j
Happy Reading*****Masih dengan sisa kesombongan yang dimiliki, Arsyana menjawab pertanyaan Laksmi. "Jelita nggak ada kaitan dengan Cakra, lalu kenapa saya mesti takut.""Arsya, jaga bicaramu!" peringat Pambudi, "Jelita adalah putri tunggal dari Abimana Cakraningrat. Pasti kamu mengenal nama itu, kan?"Kaki Arsyana mundur hingga menabrak pintu masuk, kediaman Pambudi. "Benarkah? Lalu, kenapa?""Mulai saat ini, belajarlah untuk menghormati orang lain. Jangan asal njeplak! Sebuah pepatah mengatakan bahwa mulutmu harimaumu," sahut Mahesa.Semua orang memandang Arsyana tak terkecuali Laksmi. Dia terlanjur marah mendengar cucunya dihina dan direndahkan seperti itu. "Siapa kamu sebenarnya. Berani-beraninya kamu menghina cucuku." Laksmi kembali bersuara."Sudahlah, Bun. Memang benar yang dikatakan gadis ini. Puspa hanyalah seorang buruh cuci," sahut Puspa."Semua kamu lakukan karena kesalahanku. Jika bukan hasutan seseorang, Bunda nggak bakalan mengusir kalian." Air mata Laksmi mulai melel
Happy Reading*****Keluar, Wandra mengetuk pintu kamar Rista. "Dik, kamu ngapain di dalam? Bisa nggak bantuin Mas?"Beberapa detik masih belum ada balasan dari dalam. Wandra kembali mengetuk dan sedikit berteriak. Memutar kenop, akan langsung masuk ternyata dikunci dari dalam. "Dik, kamu ngapain di dalam, sih?" Tangannya masih tetap mengetuk. Berulang kali memanggil nama saudaranya.Hampir lima menit menunggu, barulah Rista bersuara. "Sebentar, Mas." Pintu pun terbuka menampilkan wajah Rista. "Ada apa? Kenapa teriak-teriak seperti itu. Aku lagi pup, ih.""Bantuin, Mas, dong," pinta Wandra. Tangannya sudah menyatu di depan dada. "Pliss!"Rista mengerutkan kening. "Bantuin apa? Kalau mohon-mohon gini pasti ada kaitannya sama Jelita.""Bukan Jelita, tapi Arsyana.""Kenapa lagi sama dia?" "Dia bilang sakit, tapi mas takut ini cuma jebakan.""Terus ngapain minta bantuan aku?" Rista masih betah berdiri, tidak mempersilakan saudaranya itu masuk."Ya, Mas takut. Jika dia beneran sakit giman
Happy Reading*****Malam ini, walau rencana Arsyana tidak berhasil, tetapi dia memiliki harapan baru. Siapa yang tak kenal Ajeng. Segala keinginannya harus tercapai sekalipun menghancurkan hidup seseorang.Bukankah dulu, Wandra dan Jelita sudah pernah merasakan akibat dari rencana Ajeng untuk memisahkan. Jika sekarang mereka bertemu dan menjalin hubungan kembali, maka semua tak lepas dari takdir yang telah dituliskan oleh Sang Maha Pencipta.Di lain tempat, Wandra masih setia menunggu adiknya. Dia tak tenang jika gadis itu belum pulang. Berkali-kali menghubungi ponsel Rista, tetapi belum ada jawaban."Belum tidur, Ndra?" tanya Pambudi. Dia baru saja dari dapur untuk mengambil air. Melihat ruang keluarga yang lampunya masih menyala, lelaki itu menghampiri putranya.Wandra menoleh. "Belum, Papa sendiri kenapa belum tidur?""Papa kebangun terus ambil air. Sudah malam, tidak baik begadang. Tidurlah," perintah sang kepala keluarga."Papa duluan saja. Wandra masih nunggu Rista. Tadi tak su
Happy Reading*****Semua orang menatap ke sumber suara dan menghentikan tawa mereka. Susah payah Jelita menelan salivanya. Apa yang terjadi selanjutnya pasti meruntuhkan semua harga diri sebagai perempuan."Kenapa mesti malu, Ma? Jelita gadis yang berpendidikan dari keluarga terpandang juga. Yang lebih penting dari semua itu adalah akhlaknya bagus. Lalu, apalagi yang membuat kami malu duduk dan sarapan bersama gadis seperti itu?" Pambudi melirik Jelita dan tersenyum. Tahu pasti jika calon menantunya itu tengah dilanda ketakutan. "Mama kapan datang? Kenapa nggak ngabarin kalau mau pulang?" tanya Wandra demi mengalihkan perhatian perempuan yang telah melahirkannya."Nggak usah sok perhatian, Mas," ketus Ajeng.Rista membanting sendok di atas piring dengan keras. Entah mengapa mendengar nada ketus dari mamanya, dia sama sekali tidak suka. "Mama bisa nggak bersikap selayaknya orang tua. Nggak perlu menunjukkan kediktatoran di rumah ini. Kalau niat Mama pulang cuma mau marah-marah mendi
Happy Reading*****"Maafkan perkataan Mama, Lit," pinta Rista saat mereka di perjalanan menuju kantor. Menoleh dengan senyum menghiasi wajah, Jelita berkata, "Sudah aku maafkan sejak lama, Ris. Perkataan Bu Ajeng semuanya benar. Aku cuma anak seorang buruh cuci dan ayahku cuma seorang kuli bangunan. Kami memang orang miskin, sama sekali nggak selevel dengan keluarga kalian.""Dih, merendah," cibir Rista, "sengaja nih, ngejek keluargaku?""Ngejek gimana? Emang kenyataan begitu kok." Rista menarik tubuh Jelita agar berhadapan dengannya. "Bahkan keluarga kami nggak ada apa-apanya dibanding keluargamu. Kamu itu pemilik saham terbesar di Cakra Grup."Jelita mencebik. "Semua itu punya Eyang sama Mas Riyan. Beliau-beliu itu yang sudah bekerja keras untuk membangun dan mengembangkan serta membesarkan Cakra Grup. Kalau aku, ya, gini aja. Cuma seorang penari yang sekarang jarang naik panggung. Kayaknya udah nggak laku. Kasihan diriku ini."Tanpa sadar Rista memukul lengan calon kakak iparnya
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka