Mudah mengucapkan, sulit melakukan. Itu dilema setiap manusia. Indira mencoba menepati ikrarnya untuk tidak menangis, namun setiap mengunjungi makam kakeknya, dia meratap.
Langit kembali cerah hari ini. Indira mengayuh sepedanya kembali ke rumah. Dia berhenti sebentar di depan toko buku dan berniat membeli novel. Pengunjung tidak begitu ramai. Indira menuju ke kumpulan buku novel yang mungkin menarik minatnya. Sejenak dia tenggelam dalam pencarian.
“Indi.”
Gadis itu menoleh dan melihat Keenan berdiri dengan keranjang berisi buku. Dari sekilas Indira melihat, Keenan membeli buku yang berkaitan tentang kopi dan juga kemasan produk.
“Keen,” sapa Indira kembali. Rasa canggung menguasai keduanya.
“Kamu suka baca novel?” tanya Keenan. Indira mengangguk dan menunjukkan buku yang dia pilih.
“Aku suka novel fantasi, ada rekomendasi?” tanya Indira basa basi. Keenan tidak menjawab namun berjalan ke jajaran rak buku dan men
Indira merapikan lembar gambar desain baju yang sudah selesai. Wajahnya tampak puas dan hatinya lega. Kini dengan langkah ringan, dia bisa menikmati jam isitrahat makan siang dengan tenang.Food court itu sudah ramai para pekerja kantoran yang mengejar makan siang. Indira melangkah menuju salah satu counter dan memesan makanan.Dia memilih meja kosong dan duduk sendiri. Tangannya sibuk memeriksa tab dan melihat koleksi baju yang bisa menjadi inspirasi."Boleh ditemani?"Indira menoleh. Alden berdiri dengan gagahnya. Indira tersenyum dan memberi isyarat untuk duduk."Kamu udah pesan makanan?" tanya Alden."Udah, kamu?" jawab Indira balik bertanya. Alden mengiyakan."Ada meeting dengan semua staff untuk menyampaikan perubahan rencana kita untuk ke depannya. Kamu kalo ada ide, sampaikan nanti," ucap Alden."Konsep kalian pasti sudah bagus. Nggak sabar pengen tahu nih ...," sambut Indira. Ked
Shana mematutkan diri di cermin sekali lagi sebelum melangkah keluar. Pesta ulang tahunnya malam ini menang dirayakan sedikit meriah.Selain merindukan kehidupan glamornya dulu di Jakarta, Shana juga merindukan teman-teman lainnya hanya untuk sekedar mengisi kekosongan hati.Gaun selutut berwarna hijau tua yang membalut tubuhnya tampak pas melekat. Tubuhnya terlihat menawan. Dengan punggung terbuka dan bentuk gaun yang ketat tampak memperlihatkan liuk sempurnanya. Shana merasa percaya diri.Kulitnya yang putih bagaikan pualam terlihat makin kontras dengan warna bajunya.Rambut lebatnya yang sedikit mengombak dan panjang, dia biarkan tergerai. Shana tampil laksana bidadari. Riasan natural justru menampilkan kecantikannya hingga maksimal. Mungkinkah malam ini Alden akan menoleh padanya?Akhirnya dengan cepat dia memutuskan untuk segera ke luar. Sepatu hak tinggi berwarna kulit, membalut kaki seksinya dan kini nilai sepuluh
Shana baru selesai mandi dan merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa segar menyingkirkan perasaan penuh emosinya. Berkat Siwi kini perlahan menyusut."Udah mendingan?" tanya Siwi yang muncul di pintu kamar yang tidak terkunci."Seger dan tenang," jawab Shana sembari menepuk kasurnya mengajak Siwi bergabung."Tadi serem juga loe ngamuk," canda Siwi sembari melemparkan diri ke kasur."Norak nggak sih?""Enggak juga. Itu cewek yang namanya Dania emang belagu banget.""Gue muak banget, Wi. Kayak udah mentok semua simpati gue buat mereka. Belum apa-apa udah banyak gaya.""Nah itu, banyak gaya dan mentang-mentang. Gue dukung sih tindakan loe, Shan.""Thanks, Wi. Ini kayak flashback ...,""Hidupmu dulu, ya gue ngerti," potong Siwi. Mata Shana berkaca-kaca.Jika bukan karena siswa berprestasi, Shana tidak mungkin kuliah hingga ke Australia. Ibunya hanya pegawai Tata Usaha sebua
Keenan mengakhiri rapat pagi itu dengan senyum mengembang. Setelah beberapa minggu selalu tampil murung, kini Keenan tampil berbeda. Fatar menyindir halus dan menggodanya. Keenan membalas dengan tertawa lepas."Ada sesuatu beneran nih kayaknya, sudah dapat yang dikejarkah?" selidik Fatar yang berakhir menjadi dekat dengan Keenan karena semua saran baiknya tentang keuangan."Lebih pada mengubah taktik dan cara pandang," sahut Keenan dengan helaan napas panjang."Good, yang membuat suasana hati dan pikiran itu memang cara pandang kita, kok," timpal Fatar senang dengan perubahan baik pada atasannya."Yup, seribu persen betul." Keenan membenarkan."Fatar, aku boleh tanya hal pribadi?" tanya Keenan kemudian."Please. Semoga saya bisa jawab, Pak," jawab Fatar ringan."Bagaimana kamu bisa menikah muda dan bahagia? Aku lihat rumah tanggamu sangat harmonis dan sejahtera," lontar Keenan dengan dahi berk
Alden membuka kembali file yang sudah ia dapatkan dan tampak termenung di meja kantornya. Pikirannya dipenuhi kebimbangan apakah dia harus memberitahu Siwi dan Keenan atau tidak.Resiko terburuknya adalah kedua sepupunya akan menuduh Alden sebagai perusak hubungan baik dan juga reaksi Indira yang mungkin akan terpuruk.Dilema sulit kini ia hadapi. Namun jika menutup semua itu, Alden sama saja dengan Widari beserta anteknya."Al," sapa Siwi sudah nyelonong masuk dan duduk di hadapannya dengan kertas A3 denah gedung baru mereka."Hei, Wi." Alden langsung tergagap dan buru-buru menutup dokumen yang terbentang di mejanya.Sayang, sebuah kertas perjanjian yang Haris temukan jatuh dan Siwi dengan sigap memungutnya. Alden pasrah saat Siwi kemudian membacanya.Wajah wanita yang sudah ia anggap kakak tampak pucat pasi."Ini apa, Al?" tanya Siwi gemetar. Alden menelan ludah dengan tidak nyaman."Bu
Tahun 1987Indri meminta suaminya supaya cepat bergegas. Ratno mengiyakan dan segera memakai sepatu.“Indi, mama sama papa pergi dulu ya, Sayang,” pamit Indri sambil mengecup buah hatinya yang baru berusia dua tahun.“Hati-hati di jalan. Ini kayaknya mau hujan!” seru Pramono sambil mengambil alih cucunya dari gendongan Indri, menantunya.“Iya, Pak. Kami cepat pulang kok. Paling bayar dan langsung pulang, Pak,” timpal Ratno dengan semangat.“Setelah ini selesai, kita bisa melanjutkan usaha dengan maksimal tanpa sangkutan hutang,” harap Ratno penuh optimis. Pramono tersenyum lembut.“Jangan lupa isi bensin sebelum jalan!” seru Pertiwi, ibu mereka. Ratno dan Indri mengiyakan dengan serentak.Pramono mengiringi kepergiaan keduanya dengan penuh doa. Indri dan Ratno berniat akan membayar hutang pada Widari. Pramono sudah tidak sanggup menghadapi tekanan dari Widari. Untunglah, sete
Ketika Alden menerima tugas untuk menyampaikan pada Indira mengenai rahasia kelam Widari, ia tidak mampu menolaknya.Pagi itu, ia sibuk menghindari Indira untuk mencari cara supaya tidak menuntaskan tugasnya.“Kamu sengaja ya?” tanya Shana pada Alden. Pemuda itu mengerutkan kening dan pura-pura tidak mengerti.“Maksudmu?”“Jangan pura-pura deh. Basi!” cibir Shana. Alden memilih untuk tidak menanggapi.“Kasihan Indira, Al. kamu mau menunda sampai kapan?” tanya Shana berubah melunak.Ada helaan napas yang terdengar begitu berat.“Aku nunggu waktu yang tepat aja,” sahut Alden sekenanya. Ada decak kesal pada wanita itu.“Kamu mau aku yang menyampaikan? Kan nggak lucu!”“Aku bilang nunggu waktu yang tepat, Shan.”“Udah ah, ngeles melulu.”Shana meninggalkan Alden dengan hati jengkel.***Narti akhirnya k
Siwi tidak lagi sanggup tinggal di Jakarta. Hingga pada detik terakhir ia kembali ke Salatiga, wanita itu memilih untuk tidak menyapa kedua orang tuanya. Siwi menyerahkan pada Keenan untuk merampungkan urusan eyangnya selanjutnya. Di sisi lain. Keenan mendesak ayahnya untuk menempuh jalur hukum. Tapi Seto masih tidak menyetujui. Alasannya, ibunya terlalu tua untuk berada dalam penjara.“Ya! Tapi tidak memikirkan Indira yang masih balita dulu, terlalu kecil untuk menjadi yatim piatu!” cecar Keenan sadis dan tanpa ampun.“Oh Tuhan, berhentilah menyalahkan papa, Keen,” pinta ibunya dengan sedih.“Terus menyalahkan siapa?!” tanya Keenan makin geram. “Kenyataannya, papa tahu dan malah turut menutupi serta membungkam fakta tersebut!” cecar Keenan lagi.“Eyang tidak mungkin kita tuntut dengan kondisinya yang sudah berusia tujuh puluh tahun, Keen,” timpal Vero meminta anaknya untuk mengendurkan tuntutan.
You know I want youIt's not a secret I try to hideI know you want meSo don't keep sayin' our hands are tiedYou claim it's not in the cardsAnd fate is pullin' you miles awayAnd out of reach from meBut you're here in my heartSo who can stop me if I decideThat you're my destiny?What if we rewrite the stars?Say you were made to be mineNothing could keep us apartYou'd be the one I was meant to findIt's up to you, and it's up to meNo one can say what we get to beSo why don't we rewrite the stars?Maybe the world could be oursTonightYou think it's easyYou think I don't wanna run to youBut there are mountainsAnd there are doors that we can't walk throughI know
Inilah kisah dari beberapa manusia yang mampu menaklukkan tantangan hidup dan cobaannya.Indira Sartika, seorang wanita yang begitu tegar menjalani berbagai krisis dalam hidupnya selama ini, akhirnya merengkuh dan layak mendapatkan buah dari keprihatinannya.Bukan karena dia wanita hebat dan memiliki kualitas bertahan yang mumpuni, tapi karena dia mencoba mengikuti nuraninya yang tidak mungkin berbohong. Setiap jalan yang ia ambil selalu menempuh cara benar dan bukan yang mudah.Berani berkata tidak dan menolak segala nikmat dunia, demi mempertahankan martabat sebagai wanita yang juga pantas dihormati.Pria melihat dia sebagai pribadi yang begitu berharga untuk dimiliki, karena prinsipnya tidak sekedar menjadi perempuan yang pasrah.Indira tahu dengan baik, tujuan hidup dan keinginannya. Tahu bagaimana memperjuangkan haknya sebagai wanita dan juga berani mengambil tanggung jawab meskipun pahit.Siwi dan Shana adalah saksi bagaimana Indira me
Alunan musik yang memenuhi ruang keluarga membuat hati siapa pun menjadi damai. Pilihan mereka adalah menikah di Bali dan setelah persiapan matang di Salatiga, akhirnya bersama-sama terbang ke Bali dua hari lalu.Besok adalah hari yang mereka nantikan. Persiapan gedung dan catering memang menggunakan event organizer, tapi Indira dan Menik tampak tidak bisa diam.Keduanya sibuk memeriksa bunga, pilihan makanan, tamu undangan, tempat duduk dan bahkan persiapan bulan madu. Keduanya memastikan jika ini akan berjalan baik dan tidak ada kendala.Kini malam sebelum pernikahan, Gya harus tinggal di hotel dan menjauh dari Renzo sementara waktu. Alden menggoda putranya yang tampak mulai gugup dengan seloroh yang cukup vulgar. Keenan menimpali dengan tawa yang tergelak. Genta dengan tenangnya mengatakan semua akan berakhir indah.“Seindah lenguhan panjang dan senyum cemerlang di pagi hari!” imbuh Alden tanpa menahan diri.Indira muncul dan bertola
Silka dan Ignar bergilir merawat dan menjaga Gya hingga sembuh. Renzo masih harus menyelesaikan keperluan surat menyurat untuk persyaratan pernikahan.Setiap sore dia datang menggantikan kedua adik sepupunya dan tidur di rumah sakit.Gya memang tidak memiliki luka dalam, tapi sepertinya dia masih menyimpan ketakutan tersendiri. Wajahnya sesekali mengernyit dan cemas.“Kamu masih inget kejadian itu, Kak?” tanya Silka tampak prihatin.Gya memejamkan mata dan membenarkan.“Kebencian sama Bayu nggak sebanding dengan penyesalanku karena udah ngebiarin dia masuk dalam hidup ini.”“Nyalahin diri adalah target Bayu yang sebenarnya. Jangan terpengaruh oleh hal itu, Kak. Kayaknya nggak berharga banget,” bantah Silka dengan cepat-cepat.“Ya. Dia memang mau ngancurin aku pelan-pelan, lewat pikiranku.”Gya sadar sekali akan hal itu.“Kita nggak akan ngebiarin itu, kan?” Silk
Renzo merasakah tubuhnya gemetar oleh amarah yang mengelegak. Melihat kekasihnya dihajar sedemikian rupa oleh pria biadab, membuat Renzo diliputi dendam.Alden dan Indira terus menenangkan dengan kata-kata lembut.“En, tenang. Pakai ini dan bukan ini,” ucap Alden sembari menunjuk kepala kemudian lengan.Putranya duduk terkulai dan meremas rambut gusar.Ibu dan kakak Gya sudah dikabari dan mereka sedang menuju ke rumah sakit dari hotel. Pernikahan tinggal dua minggu lagi dan suasana gembira menjadi duka dalam sekejap.Saat bertemu dengan Leo dan Dion, kedua pria yang akan menjadi kakak iparnya tersebut menepuk pundaknya dengan pelan.“Kita nggak akan bertindak apa pun, kecuali lapor polisi! Semua bakal ditindak melalu proses hukum yang benar dan tahan emosi kalian. Kalo ada yang nekad, Bayu menang dan kita kalah telak!” ingat Alden dengan lantang dan tegas.Ibu Gya terlihat gemetar dan tidak sanggup berdiri. Ind
Persiapan pernikahan memang selalu merepotkan. Namun Gya tidak melihat sedikit pun kesulitan yang membuatnya kelelahan dan stress. Ibu mertuanya, Indira, selalu membantu dan mengarahkan dengan sabar.Pemilihan pernak pernik yang berbeda pendapat dengan keluarga besarnya, akhirnya berhasil ditengahi dengan elegan dan bijak oleh Indira.Ibu Gya memuji berkali-kali tentang calon ibu mertuanya yang ternyata masih muda dan sangat cantik tersebut. Terlebih lagi ayah mertuanya, Alden, yang mirip dengan pria muda dengan penampilan masih tidak kalah menarik dan modis dengan Renzo.Dengan hati-hati, Gya menjelaskan mengenai siapa Renzo dan ibunya semakin kagum dengan keluarga mereka. Gya melihat dengan jelas, bagaimana ibunya sedikit syok dan tersentuh oleh kebesaran hati Indira yang membesarkan Renzo tanpa menimbang dia bukan putra yang terlahir dari rahimnya.Keputusan buat Indira tidak memiliki anak kandung adalah karena dirinya merasa lebih dari cukup mendapatk
Alden berdiri di depan bingkai foto di ruang tengah rumah Salatiga. Matanya menatap gambar dirinya bersama Indira dan Renzo dalam baju adat Jawa.Di sebelah bingkai foto besar tersebut, terdapat foto Indira bersama Jantayu dan Renzo dengan baju pernikahan modern. Hatinya berdesir sakit.Bukan karena cemburu, melainkan merasa prihatin akan nasib Jantayu yang malang.Pria baik itu tidak sempat menjalani kehidupan bahagia yang lama dengan wanita luar biasa, Indira. Alden bahkan sempat mengalah demi memberi kesempatan pada Jantayu untuk menjadi pria yang bisa meneruskan harapannya.“Kayaknya baru kemarin dia ada di sini,” gumam Indira tiba-tiba ada di sebelahnya.Alden mengingat dengan jelas saat datang ke rumah ini beberapa belas tahun yang lalu setelah Jan meninggal. Foto itu menjadi satu-satunya kehangatan yang terpancar dan bisa memberi sinar juga kekuatan bagi Indira untuk bertahan dalam kesedihan.Dunia istrinya mungkin dalam k
Kembali ke Jakarta dengan status baru, cukup membuat Silka risih. Antara dia dan Alka adalah hubungan kecelakaan yang tidak disengaja.Sementara kembali pada aktivitas kuliah yang super sibuk mendekati akhir semester, Silka memilih tidak lagi memusingkan tentang Alka.Pria itu cukup memberinya ruang dan gerak yang tidak mengikat. Mungkin inilah enaknya pacaran dengan orang dewasa. Banyak pengertian yang dia dapatkan dari Alka.“Sil! Kamu beneran pacaran sama dosen baru anak fakultas kedokteran?” tanya teman kuliahnya dengan wajah penasaran.Silka mengangguk ragu.“Gila! Keren banget sih! Pak Alka itu ganteng dan baik banget!”Silka terus mendengarkan puluhan pujian untuk kekasihnya yang hingga detik ini belum pernah dia cium atau pegangan tangan.Setelah mendekati jam masuk kelas, Silka mengakhiri obrolan satu arah itu dan melenggang masuk. Selama kuliah berjalan, dia tidak habis-habisnya memikirkan tentang Alk
Mungkin bertemu jodoh itu terjadi tanpa bisa terduga.Bagi Silka yang masih berusia awal dua puluhan, ini bukan menjadi pertimbangan seriusnya. Terlebih lagi Ignar juga masih bimbang akan jati dirinya, semua keluarga tidak akan berpusat pada hal pernikahan dalam waktu dekat.Mengunjungi orang tua dan kerabatnya di Salatiga memang menyenangkan. Dia kadang malas meninggalkan kota kecil tempat ia tumbuh dan besar. Teman masa kecilnya ada di sini. Tapi Silka untuk saat ini tidak memiliki pilihan.Semua keluarga berkumpul di rumahnya. Ayahnya, Keenan, tampak masih tampan meskipun menjelang usia setengah baya. Mati-matian ayahnya menolak dengan mengatakan masih lima tahun lagi, tapi Silka suka mengangguk dengan gencar.Malam itu Renzo datang sendiri dan Silka senang karena memiliki waktu untuk berbagi lebih banyak. Perhatian kakak sepupunya memang tertuju pada dua hal akhir-akhir ini.Untuk Ignar dan Gya, kekasihnya.Silka merindukan masa-masa di