Indira masih tampak kikuk dan malu ketika Alden membukakan pintu mobil untuknya. Keduanya masuk dan disambut oleh pekikan Menik dan Abby yang gembira melihat Indira kembali. Alexi melemparkan siulan yang menggoda. Ayahnya, Raka, tertawa ceria melihat Alden berhasil membawa Indira kembali ke rumah.
Entah apa yang membuat mereka begitu menyukai gadis yang bernama Indira Sartika ini, tapi bahkan Alexi, kakak Alden, yang selalu cuek dan tak acuh juga turut menunjukkan sikap yang bersahabat padanya.
“Indi, mulai dari detik ini Alden nggak bakal uring-uringan lagi. Udah ketemu sama pujaan hati soalnya!” ledek Alexi jahil. Alden bersiap melempar kakaknya dengan bantal, tapi Alexi berkelit dan berlari menjauh. Indira tertawa geli.
“Mama udah masak sop iga dan ikan presto! Kita makan siang bersama sebentar lagi!” seru Menik sambil menata meja makan. Indira segera mengambil piring dan membantunya menyiapkan meja.
Menik mengerling pada Alden
Laporan akhir bulan dari pusat perbelanjaan Siwi dan Alden menunjukkan profit yang meningkat sebesar 12% dibandingkan bulan sebelumnya.“Sudah jalan dua tahun tapi perkembangannya terus naik,” decak Shana kagum.“Berkat kamu, Shan. Semua berjalan dengan baik dan lancar,” timpal Siwi. Shana tersenyum getir.Seandainya saja kehidupan cinta juga semulus karirnya, Shana tidak akan merana seperti saat ini. Keenan tampak makin terpuruk dan tenggelam dalam kesibukannya.Entah kenapa, Shana tidak ingin mengusik lagi kehidupan Keenan juga Alden. Rasa malu yang sempat ia tanggung karena Keenan kelepasan bicara telah hilang dan tidak lagi menjadi ganjalan.Tapi hubungannya dengan Alden masih belum membaik dan Keenan mendadak menjauh darinya.“Wi, aku cabut dulu ya?” pamit Shana kemudian.“Eh, tunggu!” tahan Siwi buru-buru memalingkan wajahnya. Shana urung beranjak.“Ada apa?”
Siwi berdecak jengkel karena hujan terus mengguyur Salatiga sejak tadi malam.“Bukan cuman Bogor kota hujan, Salatiga juga wajib disebut kota yang lebih parah hujannya!” gerutu Siwi. Shana menoleh dan menggelengkan kepala.“Emang kamu mau kemana?” tanya Shana.“Mau ketemuan sama pembatik di desa Beringin. Tapi hujan gini gagal, deh,” jawab Siwi. “Padahal mereka itu produsen potensial banget,” keluh Siwi.Shana tidak menanggapi karena sibuk mengetik pesan.“Kamu mau kemana?” tanya Siwi penasaran.“Ada pesta ulang tahun temen di Semarang. Keenan ngajak barengan,” jawab Shana dan meletakkan ponsel serta mulai membereskan laptop dan memasukkan ke dalam tas.“Ok. Aku tetep dateng deh ntar sorean,” balas Siwi membayangkan akan sendirian hingga malam nanti. Shana menawarkan untuk ikut, tapi Siwi bukan penikmat pesta dan hingar bingar seperti dirinya dan Keena
Widari bangkit dari kursi goyangnya dan memutar CD player untuk mendengarkan lagu keroncong kesukaannya.Sejak hubungannya memburuk dengan putra keduanya, Seto, Widari tidak lagi mendapat perlakuan istimewa seperti mendengar orkestra keroncong langsung dari penyanyi favoritnya.Sandi dan Bagus juga tidak terlalu banyak bisa ia harapkan. Sandi, putra sulungnya, selalu mengeluh dan merengek meminta kucuran untuk dana usaha yang tidak pernah jelas.Wanita tua itu sadar bahwa semua uang yang Sandi minta hanya untuk mendanai biaya hidupnya yang terlalu mahal. Terutama perawatan Mirna, menantunya, istri Sandi.Belum lagi Bagus, putra bungsunya, yang selalu meminta hak warisan. Widari merasa semua usaha yang ia kerjakan demi keberhasilan anak-anaknya telah gagal.Hanya Seto saja yang terlihat paling stabil dan mandiri. Kenyataannya, Widari yang berniat menyatukan ketiga anaknya untuk selalu membantu, harus berakhir dengan ketergantungan Sandi dan Bagus pa
Penerbangan ke Jakarta paling pagi membawa Keenan dan Shana kembali ke Jakarta keesokan harinya. Siwi terbang dari Yogyakarta dan tiba lebih dulu malam sebelumnya.Mereka bergegas ke rumah sakit dan menemui Vero yang terlihat kuyu dan tidak bersemangat. Kecantikannya terlihat tidak memudar, hanya cahaya wajahnya mulai meredup. Vero kehilangan pegangan untuk tetap bertahan dan tegar.“Dokter masih mengobservasi kondisi jantung papa, sementara ini kita dilarang mengunjungi dan hanya bisa menunggu kabar terbaru dari mereka,” terang Vero dengan wajah gusar.Keenan meraih bahu ibunya dan membiarkan Vero menangis melepas semua sesak yang menghimpitnya. Shana menarik Siwi dan juga memeluk sahabatnya untuk menguatkan. Keempatnya tampak saling memberi dukungan satu sama lain untuk bertahan.Pagi itu mereka menahan diri untuk tidak menjadi lepas kendali dalam penantian yang tidak pasti.***Alden baru saja selesai lari pagi ketika ibunya b
Indira sudah mulai terlelap ketika Alden pulang dari rumah sakit. Pintu terhubung dengan kamar orang tuanya terbuka dan Alden menyusup di sebelah Indira yang tidur dengan ekspresi lucu. Alden menyukai wajah Indira saat lelap. Begitu tenang dan tanpa beban.“Al …,” protes Indira ketika tangan Alden menyentil hidung lancip Indira.Tunangannya berbalik memunggungi. Alden gemas dan merengkuh pinggang Indira dan mendekap tubuh mungilnya.Bibir Alden sontak menelusuri pundak telanjang dan kulit halus Indira yang berbau harum mint. Sentuhan yang ia lakukan, membuatnya terangsang.“Jangan mulai! Belum waktunya!” ancam Indira begitu napas Alden mulai menderu.“Kita kan mau tunangan, Ndi. Terus setelah itu sebulan kemudian nikah. Mau tunggu kelamaan nih,” keluh Alden tidak sabar. Indira mencubit lengan Alden dan mendorong tubuhnya.“No!” tolak Indira dengan tegas. Alden mengalah dan tersenyum akhi
Keenan ingin menyimpan berita baik hubungannya dengan Shana setelah ayahnya sembuh dan bisa berkomunikasi kembali. Tapi rupanya ia sendiri tidak bisa menahan diri untuk memperlihatkan perhatian juga di depan keluarga besarnya.Ketika tanpa sadar tangannya mengelap dengan tisu ujung bibir Shana, ibunya berdehem dan mengerling penuh arti. Shan sempat kikuk dan salah tingkah.Untung ada Siwi yang segera mengalihkan perhatian dan mengajak ibunya segera berlalu dari kafetaria rumah sakit tempat mereka sarapan pagi.“Mama nggak salah liat kan, Wi?” tanya Vero dengan langkah cepat mengikuti ayunan langkah Siwi yang panjang. Putri sulungnya menyilangkan telunjuk di bibir.“Beri Keenan waktu untuk siap memberitahu kita, Ma. Inget ya? Keenan udah dua puluh enam tahun. Sudah waktunya untuk berkeluarga,” cetus Siwi dengan serius.“Iya sih, tapi ….” Vero menggantung ucapannya. Siwi mendadak menghentikan langkah dan ber
Setelah seminggu di Jakarta, Alden dan keluarganya kembali ke Bali. Indira sangat penat dan lelah. Sehari setelah kepulangannya, ia jatuh sakit. Badannya demam dan kepalanya berputar seperti vertigo. Lila membuatkan sup dan bubur hangat, namun Indira tidak bisa makan dengan baik.Menik mengunjunginya dan meminta Indira untuk menginap di rumah supaya ia bisa merawatnya. Dengan hati segan, Indira akhirnya mengiyakan. Alden memberikan kamarnya dan merelakan diri untuk tidur di kamar Renzo.Setiap saat ia menengok Indira di kamar. Sesekali tangannya memeriksa kening Indira yang masih hangat. Menik juga tampak khawatir dan mendatangkan dokter hingga dua kali.“Kamu belum menyentuh Indira kan, Al?” tanya Menik curiga. Mata Alden terbeliak.“Astaga, Mama! Kejam banget nuduhnya. Belom, Ma. Masih perawan tingting!” elak Alden dengan gugup. Menik menarik napas lega.“Syukurlah. Soalnya banyak jaman sekarang pasangan belum resmi
Tangan Indira berkeringat dan hatinya berdebar. Inilah hari yang ia nantikan seumur hidupnya. Ia akan mengakhiri masa sendirinya dan menikah lelaki pilihan yang telah melewati seleksi yang tidak sebentar. Seto dan Vero akan menjadi walinya dalam pernikahan hari ini. Tidak lupa ia juga mengundang Narti, wanita yang begitu setia menemani hari-harinya dulu. Narti mengusap air mata haru berulang kali ketika melihat betapa Indira sudah mencapai keberhasilan dalam hidup.Tamu undangan dari berbagai kalangan hadir dan memenuhi kursi mewah yang menempati taman sebuah hotel bintang lima.Pejabat negara dan bahkan presiden RI juga turut menghadiri pernikahan mereka. Indira baru menyadari bahwa keluarga Alden memiliki posisi dan koneksi penting di Indonesia. Para artis papan atas juga datang memenuhi undangan.Pernikahan mereka akan dliliput oleh televisi nasional dan masuk dalam berita. Indira tidak menyangka akan sebesar ini! Ia menyerahkan semua pada ibu mertua dan
You know I want youIt's not a secret I try to hideI know you want meSo don't keep sayin' our hands are tiedYou claim it's not in the cardsAnd fate is pullin' you miles awayAnd out of reach from meBut you're here in my heartSo who can stop me if I decideThat you're my destiny?What if we rewrite the stars?Say you were made to be mineNothing could keep us apartYou'd be the one I was meant to findIt's up to you, and it's up to meNo one can say what we get to beSo why don't we rewrite the stars?Maybe the world could be oursTonightYou think it's easyYou think I don't wanna run to youBut there are mountainsAnd there are doors that we can't walk throughI know
Inilah kisah dari beberapa manusia yang mampu menaklukkan tantangan hidup dan cobaannya.Indira Sartika, seorang wanita yang begitu tegar menjalani berbagai krisis dalam hidupnya selama ini, akhirnya merengkuh dan layak mendapatkan buah dari keprihatinannya.Bukan karena dia wanita hebat dan memiliki kualitas bertahan yang mumpuni, tapi karena dia mencoba mengikuti nuraninya yang tidak mungkin berbohong. Setiap jalan yang ia ambil selalu menempuh cara benar dan bukan yang mudah.Berani berkata tidak dan menolak segala nikmat dunia, demi mempertahankan martabat sebagai wanita yang juga pantas dihormati.Pria melihat dia sebagai pribadi yang begitu berharga untuk dimiliki, karena prinsipnya tidak sekedar menjadi perempuan yang pasrah.Indira tahu dengan baik, tujuan hidup dan keinginannya. Tahu bagaimana memperjuangkan haknya sebagai wanita dan juga berani mengambil tanggung jawab meskipun pahit.Siwi dan Shana adalah saksi bagaimana Indira me
Alunan musik yang memenuhi ruang keluarga membuat hati siapa pun menjadi damai. Pilihan mereka adalah menikah di Bali dan setelah persiapan matang di Salatiga, akhirnya bersama-sama terbang ke Bali dua hari lalu.Besok adalah hari yang mereka nantikan. Persiapan gedung dan catering memang menggunakan event organizer, tapi Indira dan Menik tampak tidak bisa diam.Keduanya sibuk memeriksa bunga, pilihan makanan, tamu undangan, tempat duduk dan bahkan persiapan bulan madu. Keduanya memastikan jika ini akan berjalan baik dan tidak ada kendala.Kini malam sebelum pernikahan, Gya harus tinggal di hotel dan menjauh dari Renzo sementara waktu. Alden menggoda putranya yang tampak mulai gugup dengan seloroh yang cukup vulgar. Keenan menimpali dengan tawa yang tergelak. Genta dengan tenangnya mengatakan semua akan berakhir indah.“Seindah lenguhan panjang dan senyum cemerlang di pagi hari!” imbuh Alden tanpa menahan diri.Indira muncul dan bertola
Silka dan Ignar bergilir merawat dan menjaga Gya hingga sembuh. Renzo masih harus menyelesaikan keperluan surat menyurat untuk persyaratan pernikahan.Setiap sore dia datang menggantikan kedua adik sepupunya dan tidur di rumah sakit.Gya memang tidak memiliki luka dalam, tapi sepertinya dia masih menyimpan ketakutan tersendiri. Wajahnya sesekali mengernyit dan cemas.“Kamu masih inget kejadian itu, Kak?” tanya Silka tampak prihatin.Gya memejamkan mata dan membenarkan.“Kebencian sama Bayu nggak sebanding dengan penyesalanku karena udah ngebiarin dia masuk dalam hidup ini.”“Nyalahin diri adalah target Bayu yang sebenarnya. Jangan terpengaruh oleh hal itu, Kak. Kayaknya nggak berharga banget,” bantah Silka dengan cepat-cepat.“Ya. Dia memang mau ngancurin aku pelan-pelan, lewat pikiranku.”Gya sadar sekali akan hal itu.“Kita nggak akan ngebiarin itu, kan?” Silk
Renzo merasakah tubuhnya gemetar oleh amarah yang mengelegak. Melihat kekasihnya dihajar sedemikian rupa oleh pria biadab, membuat Renzo diliputi dendam.Alden dan Indira terus menenangkan dengan kata-kata lembut.“En, tenang. Pakai ini dan bukan ini,” ucap Alden sembari menunjuk kepala kemudian lengan.Putranya duduk terkulai dan meremas rambut gusar.Ibu dan kakak Gya sudah dikabari dan mereka sedang menuju ke rumah sakit dari hotel. Pernikahan tinggal dua minggu lagi dan suasana gembira menjadi duka dalam sekejap.Saat bertemu dengan Leo dan Dion, kedua pria yang akan menjadi kakak iparnya tersebut menepuk pundaknya dengan pelan.“Kita nggak akan bertindak apa pun, kecuali lapor polisi! Semua bakal ditindak melalu proses hukum yang benar dan tahan emosi kalian. Kalo ada yang nekad, Bayu menang dan kita kalah telak!” ingat Alden dengan lantang dan tegas.Ibu Gya terlihat gemetar dan tidak sanggup berdiri. Ind
Persiapan pernikahan memang selalu merepotkan. Namun Gya tidak melihat sedikit pun kesulitan yang membuatnya kelelahan dan stress. Ibu mertuanya, Indira, selalu membantu dan mengarahkan dengan sabar.Pemilihan pernak pernik yang berbeda pendapat dengan keluarga besarnya, akhirnya berhasil ditengahi dengan elegan dan bijak oleh Indira.Ibu Gya memuji berkali-kali tentang calon ibu mertuanya yang ternyata masih muda dan sangat cantik tersebut. Terlebih lagi ayah mertuanya, Alden, yang mirip dengan pria muda dengan penampilan masih tidak kalah menarik dan modis dengan Renzo.Dengan hati-hati, Gya menjelaskan mengenai siapa Renzo dan ibunya semakin kagum dengan keluarga mereka. Gya melihat dengan jelas, bagaimana ibunya sedikit syok dan tersentuh oleh kebesaran hati Indira yang membesarkan Renzo tanpa menimbang dia bukan putra yang terlahir dari rahimnya.Keputusan buat Indira tidak memiliki anak kandung adalah karena dirinya merasa lebih dari cukup mendapatk
Alden berdiri di depan bingkai foto di ruang tengah rumah Salatiga. Matanya menatap gambar dirinya bersama Indira dan Renzo dalam baju adat Jawa.Di sebelah bingkai foto besar tersebut, terdapat foto Indira bersama Jantayu dan Renzo dengan baju pernikahan modern. Hatinya berdesir sakit.Bukan karena cemburu, melainkan merasa prihatin akan nasib Jantayu yang malang.Pria baik itu tidak sempat menjalani kehidupan bahagia yang lama dengan wanita luar biasa, Indira. Alden bahkan sempat mengalah demi memberi kesempatan pada Jantayu untuk menjadi pria yang bisa meneruskan harapannya.“Kayaknya baru kemarin dia ada di sini,” gumam Indira tiba-tiba ada di sebelahnya.Alden mengingat dengan jelas saat datang ke rumah ini beberapa belas tahun yang lalu setelah Jan meninggal. Foto itu menjadi satu-satunya kehangatan yang terpancar dan bisa memberi sinar juga kekuatan bagi Indira untuk bertahan dalam kesedihan.Dunia istrinya mungkin dalam k
Kembali ke Jakarta dengan status baru, cukup membuat Silka risih. Antara dia dan Alka adalah hubungan kecelakaan yang tidak disengaja.Sementara kembali pada aktivitas kuliah yang super sibuk mendekati akhir semester, Silka memilih tidak lagi memusingkan tentang Alka.Pria itu cukup memberinya ruang dan gerak yang tidak mengikat. Mungkin inilah enaknya pacaran dengan orang dewasa. Banyak pengertian yang dia dapatkan dari Alka.“Sil! Kamu beneran pacaran sama dosen baru anak fakultas kedokteran?” tanya teman kuliahnya dengan wajah penasaran.Silka mengangguk ragu.“Gila! Keren banget sih! Pak Alka itu ganteng dan baik banget!”Silka terus mendengarkan puluhan pujian untuk kekasihnya yang hingga detik ini belum pernah dia cium atau pegangan tangan.Setelah mendekati jam masuk kelas, Silka mengakhiri obrolan satu arah itu dan melenggang masuk. Selama kuliah berjalan, dia tidak habis-habisnya memikirkan tentang Alk
Mungkin bertemu jodoh itu terjadi tanpa bisa terduga.Bagi Silka yang masih berusia awal dua puluhan, ini bukan menjadi pertimbangan seriusnya. Terlebih lagi Ignar juga masih bimbang akan jati dirinya, semua keluarga tidak akan berpusat pada hal pernikahan dalam waktu dekat.Mengunjungi orang tua dan kerabatnya di Salatiga memang menyenangkan. Dia kadang malas meninggalkan kota kecil tempat ia tumbuh dan besar. Teman masa kecilnya ada di sini. Tapi Silka untuk saat ini tidak memiliki pilihan.Semua keluarga berkumpul di rumahnya. Ayahnya, Keenan, tampak masih tampan meskipun menjelang usia setengah baya. Mati-matian ayahnya menolak dengan mengatakan masih lima tahun lagi, tapi Silka suka mengangguk dengan gencar.Malam itu Renzo datang sendiri dan Silka senang karena memiliki waktu untuk berbagi lebih banyak. Perhatian kakak sepupunya memang tertuju pada dua hal akhir-akhir ini.Untuk Ignar dan Gya, kekasihnya.Silka merindukan masa-masa di