Pertemuan mereka dengan Indira sangat mengubah semua suasana hati Alden dan Keenan. Termasuk Shana. Ia lebih mengenal sosok Indira yang selama ini tidak pernah ia ketahui mirip sekali dengan kisah pribadinya.
Shana banyak menemukan kemiripan sifat dan karakter, walau tidak secara keseluruhan. Indira lebih menempuh jalan untuk tetap menjaga hati supaya tidak tenggelam dalam kegetiran. Sementara Shana memilih langkah menempatkan diri dalam posisi menjadi tangguh serta tegar. Kekecewaannya pada hidup membentuk benteng yang kokoh pada dirinya untuk tidak mudah terlena. Ia selalu memastikan memegang kendali penuh atas segala sesuatu.
“Besok kami akan kembali ke Salatiga. Seringlah berkunjung dan nengokin Griya Busana,” ujar Shana pada Indira. Gadis itu mengangguk dengan senyum.
“Gimana kabar Griya Busana sekarang, Mbak?”
“Syukurlah lebih baik. Sempat terseok waktu kamu pergi,” sahut Shana.
“Maaf ya, Mbak. Aku pe
Siwi berusaha menetralkan situasi yang saat ini masih memanas. Tapi sayangnya, Alden masih terlalu kecewa untuk kembali bersikap seperti semula.Dengan inisiatif yang tinggi, Siwi memiliki ide untuk mengajak Alden menjauh dari Keean dan Shana untuk sementara.“Kamu inget Yayasan yang kita pernah kunjungi?” tanya Siwi. Alden mengangguk dengan malas dan tanpa minat.“Mereka akan merayakan ulang tahun yang ke sepuluh. Aku berencana akan datang sekalian mau nengokin mama sama papa,” papar Siwi.“Kamu mau ikut?” ajaknya pada Alden.“Bolehlah, daripada sumpek,” balas Alden dengan tidak bersemangat. Siwi tersenyum. Rencananya berhasil. Ia akan mengubah cara pandang Alden sepenuhnya kali ini.***Sementara itu Keenan, sepeninggal Alden dan Siwi ke Jakarta, mengajak Shana untuk makan malam. Dengan enggan, Shana mengiyakan. Sepanjang jalan keduanya bungkam. Tidak ada sepatah kata yang terucap.
Ren masih pulas di kamar dengan memeluk guling. Vero menutup pintu pelan-pelan dan berjalan berjingkat menjauh dari kamar paviliun Alden.“Apa yang anak itu pikiran sih, Wi? Bisa senekat itu mengasuh balita hanya untuk satu malam?” tanya Vero pada Siwi dengan heran.Hubungan mereka memang mulai membaik dan Siwi mencoba berlapang dada tidak menyalahkan papanya.“Pengen belajar tanggung jawab, demi masa depan bersama Indira,” sahut Siwi sambil menyimpan senyum serta melirik Alden yang sibuk menyiapkan air panas.“Al, kamu yakin?” tanya Vero kembali.“Seratus persen, tanteku yang cantik,” jawab Alden dan mengecup pipi Vero dengan cepat.“Aku justru punya pikiran mau mengadopsi Ren,” lanjut Alden.“Hah?!” seru Siwi dan Vero serempak.“Jangan sembarangan ngambil keputusan yang konyol, Al. Kamu nggak tahu resikonya!” ucap Vero.“Tahu bang
Sudah sebulan berlalu dengan segala pekerjaan menumpuk. Indira menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan rasa lelah yang bergelayut. Dia tidak sempat menikmati waktu senggang. Fashion show di Sanur yang sukses sebulan yang lalu membuat dirinya sibuk. Butik tempat ia bekerja mulai dibanjiri pesanan dan penawaran kerja sama.Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil dan menyempatkan diri membuka social media yang ia tinggalkan dalam beberapa waktu ini. Berita yang ia baca rata-rata tidak ada yang special. Ketika tangannya mengalirkan layar ke atas, Indira menangkap foto Alden dengan seorang anak kecil sedang tertawa riang.Rasa penasaran Indira terasa menghentak dan ia membaca captionnya.‘My life and my sunshine! Be bright and always cheering my days, Renzo!’Hati Indira begitu tersentuh oleh tulisan tersebut. Tapi itu cukup ganjil. Alden tidak memiliki keponakan atau sepupu lelaki. Abby, kakak Alden, memiliki seorang anak perempuan buk
Setelah sepuluh hari melewatkan saat-saat membosankan di rumah sakit, Indira diperbolehkan pulang. Kali ini ia tidak bisa menolak permintaan Lila, yang meminta Indira untuk tinggal bersama di villa pribadinya.Walau dengan sungkan dan segan, Indira mengiyakan. Lila menunjukkan kamar Indira yang terletak di lantai bawah bangunan tengah.“Di atas adalah kamar Dayu dan aku,” imbuh Lila kembali.Indira tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Semua kebaikan ini terasa menganjal dan ia tidak terbiasa menerima dalam hidupnya. Prinsip hidup Indira yang mengandalkan kemampuan diri sangat menentang uluran dari orang lain.Mungkin karena Pramono, kakeknya, mengajarkan jika tidak semua bantuan itu baik dan tulus. Indira menjadi cukup skeptis dan membentengi diri dari hal tersebut.Indira berdecak kagum. Jendela kamarnya menghadap tepat ke hamparan sawah yang menghijau. Villa di kawasan Oberoi, Seminyak tersebut memang lokasinya tepat di areal
Tas kerja Indira sudah nangkring di pundaknya. Ia harus mengayuh sepeda untuk pulang. Indira lebih memilih sepeda kayuh dari pada motor yang tinggal duduk dan menarik gas. Baginya menaiki sepeda adalah seni dan kenikmatan tersendiri.Lila meneriakkan Indira untuk tidak menunggunya pulang cepat malam nanti. Sementara Dayu sudah melesat kembali pulang ke Singaraja sejak siang tadi.“Ok!” balas Indira dan mulai mengenjot sepeda meninggalkan halaman parkir kantornya.Udara sore itu memang sedikit hangat. Peluh Indira mulai menetes dan ia makin bersemangat melewati wilayah pertokoan dan juga pura yang memanjakan mata Indira.Ia mulai merasa betah tinggal di Bali. Bunyi klakson di belakang membuat Indira menepi dan membiarkan mobil itu lewat. Tapi bunyi kembali terdengar. Indira mulai jengkel dan mengira ada pria iseng yang mencoba menggodanya.Dengan rasa malas melayani, Indira mengayuh semakin cepat.“Indi!”Ia men
“Kamu tahu kalo Indira baru keluar dari rumah sakit?” tanya Siwi. Keenan terkejut dan menoleh pada kakaknya.“Eng-enggak. Kamu tahu dari mana?” tanya Keenan heran.“Lila, pemilik butik tempat Indira kerja tadi malam party di tempat temanku. Dia mengatakan desainernya baru sembuh dan show mereka akan tertunda selama seminggu,” jawab Siwi.“Aku akan menengoknya,” ucap Keenan segera menelepon seketarisnya untuk segera memesan tiket ke Bali.“Sebaiknya kamu bicara sama Alden. Kalian udah nggak tegur sapa selama beberapa bulan lebih lho!” tegur Siwi mulai tampak kesal.“Alden menghindar mulu,” kelit Keenan. Siwi menyadari itu. Bukan hanya Keenan. Alden juga menghindar darinya dan Shana.“Mungkin Alden sibuk mengurus Ren saat ini,” gumam Siwi tetap berpikiran positif. “Aku akan bicara dengannya malam ini,” janji kakaknya. Keenan tidak merespons. Betapa
Ketika Indira sedang mempersiapkan diri menghadapi pertemuan tidak sengaja dengan Alden di restoran, tidak lama kemudian, lelaki itu datang bersama Renzo.Loka menyapa keduanya dengan hangat dan penuh persahabatan. Alden terbawa oleh sikap Loka yang sangat gentle juga terbuka.“Ini Renzo. Putraku,” ucap Alden dengan bangga. Loka segera mengajak anak kecil tersebut melihat air mancur sementara memberi waktu untuk Indira mengobrol bersama Alden.“Apa kabar kamu, Ndi?” tanya Alden kikuk. Indira menunduk dan memainkan lap makan dengan jarinya.“Baik. Gimana kabar keluargamu? Anakmu lucu juga,” jawab Indira dengan bahasa yang aneh menurut pikirannya. Itu bukan jawaban yang biasa ia ucapkan!“Baik semua. Kebetulan aku makan dengan keluarga mertua Abby. Mama dan papa nggak ikut,” jawab Alden.“Aku baru tahu kalo kamu punya anak. Selamat ya.”“Thanks. Aku langsung jatuh cinta p
Lorong putih rumah sakit itu cukup ramai pengunjung. Indira bergegas menuju meja resepsionis rumah sakit untuk menanyakan pasien dengan nama Loka. Belum sempat terjawab, seorang pria yang wajahnya mirip dengan Loka muncul.“Indira?”Gadis itu mengangguk dengan ragu.“Aku Metro. Terima kasih sudah mau datang. Mari,” ajaknya. Indira tidak sempat bertanya, ia segera bergegas dan mengikuti langkah panjang Metro. Mereka naik lift dalam diam dan turun di lantai tiga. Dada Indira makin berdebar ketika mereka tiba di depan sebuah kamar. Mereka memasuki kamar tersebut dan ada seorang pria separuh baya asing yang duduk dengan tubuh lunglai.“Dad, this is Indira,” ucap Metro mengenalkan Indira pada ayahnya. Indira mengangguk dengan segan. Pria bermata biru agak kehijauan tersebut menepuk pundak Indira dengan lembut.“Thank for coming. Really appreciated,” sambutnya dengan suara serak. Indira tersenyum dengan kec
You know I want youIt's not a secret I try to hideI know you want meSo don't keep sayin' our hands are tiedYou claim it's not in the cardsAnd fate is pullin' you miles awayAnd out of reach from meBut you're here in my heartSo who can stop me if I decideThat you're my destiny?What if we rewrite the stars?Say you were made to be mineNothing could keep us apartYou'd be the one I was meant to findIt's up to you, and it's up to meNo one can say what we get to beSo why don't we rewrite the stars?Maybe the world could be oursTonightYou think it's easyYou think I don't wanna run to youBut there are mountainsAnd there are doors that we can't walk throughI know
Inilah kisah dari beberapa manusia yang mampu menaklukkan tantangan hidup dan cobaannya.Indira Sartika, seorang wanita yang begitu tegar menjalani berbagai krisis dalam hidupnya selama ini, akhirnya merengkuh dan layak mendapatkan buah dari keprihatinannya.Bukan karena dia wanita hebat dan memiliki kualitas bertahan yang mumpuni, tapi karena dia mencoba mengikuti nuraninya yang tidak mungkin berbohong. Setiap jalan yang ia ambil selalu menempuh cara benar dan bukan yang mudah.Berani berkata tidak dan menolak segala nikmat dunia, demi mempertahankan martabat sebagai wanita yang juga pantas dihormati.Pria melihat dia sebagai pribadi yang begitu berharga untuk dimiliki, karena prinsipnya tidak sekedar menjadi perempuan yang pasrah.Indira tahu dengan baik, tujuan hidup dan keinginannya. Tahu bagaimana memperjuangkan haknya sebagai wanita dan juga berani mengambil tanggung jawab meskipun pahit.Siwi dan Shana adalah saksi bagaimana Indira me
Alunan musik yang memenuhi ruang keluarga membuat hati siapa pun menjadi damai. Pilihan mereka adalah menikah di Bali dan setelah persiapan matang di Salatiga, akhirnya bersama-sama terbang ke Bali dua hari lalu.Besok adalah hari yang mereka nantikan. Persiapan gedung dan catering memang menggunakan event organizer, tapi Indira dan Menik tampak tidak bisa diam.Keduanya sibuk memeriksa bunga, pilihan makanan, tamu undangan, tempat duduk dan bahkan persiapan bulan madu. Keduanya memastikan jika ini akan berjalan baik dan tidak ada kendala.Kini malam sebelum pernikahan, Gya harus tinggal di hotel dan menjauh dari Renzo sementara waktu. Alden menggoda putranya yang tampak mulai gugup dengan seloroh yang cukup vulgar. Keenan menimpali dengan tawa yang tergelak. Genta dengan tenangnya mengatakan semua akan berakhir indah.“Seindah lenguhan panjang dan senyum cemerlang di pagi hari!” imbuh Alden tanpa menahan diri.Indira muncul dan bertola
Silka dan Ignar bergilir merawat dan menjaga Gya hingga sembuh. Renzo masih harus menyelesaikan keperluan surat menyurat untuk persyaratan pernikahan.Setiap sore dia datang menggantikan kedua adik sepupunya dan tidur di rumah sakit.Gya memang tidak memiliki luka dalam, tapi sepertinya dia masih menyimpan ketakutan tersendiri. Wajahnya sesekali mengernyit dan cemas.“Kamu masih inget kejadian itu, Kak?” tanya Silka tampak prihatin.Gya memejamkan mata dan membenarkan.“Kebencian sama Bayu nggak sebanding dengan penyesalanku karena udah ngebiarin dia masuk dalam hidup ini.”“Nyalahin diri adalah target Bayu yang sebenarnya. Jangan terpengaruh oleh hal itu, Kak. Kayaknya nggak berharga banget,” bantah Silka dengan cepat-cepat.“Ya. Dia memang mau ngancurin aku pelan-pelan, lewat pikiranku.”Gya sadar sekali akan hal itu.“Kita nggak akan ngebiarin itu, kan?” Silk
Renzo merasakah tubuhnya gemetar oleh amarah yang mengelegak. Melihat kekasihnya dihajar sedemikian rupa oleh pria biadab, membuat Renzo diliputi dendam.Alden dan Indira terus menenangkan dengan kata-kata lembut.“En, tenang. Pakai ini dan bukan ini,” ucap Alden sembari menunjuk kepala kemudian lengan.Putranya duduk terkulai dan meremas rambut gusar.Ibu dan kakak Gya sudah dikabari dan mereka sedang menuju ke rumah sakit dari hotel. Pernikahan tinggal dua minggu lagi dan suasana gembira menjadi duka dalam sekejap.Saat bertemu dengan Leo dan Dion, kedua pria yang akan menjadi kakak iparnya tersebut menepuk pundaknya dengan pelan.“Kita nggak akan bertindak apa pun, kecuali lapor polisi! Semua bakal ditindak melalu proses hukum yang benar dan tahan emosi kalian. Kalo ada yang nekad, Bayu menang dan kita kalah telak!” ingat Alden dengan lantang dan tegas.Ibu Gya terlihat gemetar dan tidak sanggup berdiri. Ind
Persiapan pernikahan memang selalu merepotkan. Namun Gya tidak melihat sedikit pun kesulitan yang membuatnya kelelahan dan stress. Ibu mertuanya, Indira, selalu membantu dan mengarahkan dengan sabar.Pemilihan pernak pernik yang berbeda pendapat dengan keluarga besarnya, akhirnya berhasil ditengahi dengan elegan dan bijak oleh Indira.Ibu Gya memuji berkali-kali tentang calon ibu mertuanya yang ternyata masih muda dan sangat cantik tersebut. Terlebih lagi ayah mertuanya, Alden, yang mirip dengan pria muda dengan penampilan masih tidak kalah menarik dan modis dengan Renzo.Dengan hati-hati, Gya menjelaskan mengenai siapa Renzo dan ibunya semakin kagum dengan keluarga mereka. Gya melihat dengan jelas, bagaimana ibunya sedikit syok dan tersentuh oleh kebesaran hati Indira yang membesarkan Renzo tanpa menimbang dia bukan putra yang terlahir dari rahimnya.Keputusan buat Indira tidak memiliki anak kandung adalah karena dirinya merasa lebih dari cukup mendapatk
Alden berdiri di depan bingkai foto di ruang tengah rumah Salatiga. Matanya menatap gambar dirinya bersama Indira dan Renzo dalam baju adat Jawa.Di sebelah bingkai foto besar tersebut, terdapat foto Indira bersama Jantayu dan Renzo dengan baju pernikahan modern. Hatinya berdesir sakit.Bukan karena cemburu, melainkan merasa prihatin akan nasib Jantayu yang malang.Pria baik itu tidak sempat menjalani kehidupan bahagia yang lama dengan wanita luar biasa, Indira. Alden bahkan sempat mengalah demi memberi kesempatan pada Jantayu untuk menjadi pria yang bisa meneruskan harapannya.“Kayaknya baru kemarin dia ada di sini,” gumam Indira tiba-tiba ada di sebelahnya.Alden mengingat dengan jelas saat datang ke rumah ini beberapa belas tahun yang lalu setelah Jan meninggal. Foto itu menjadi satu-satunya kehangatan yang terpancar dan bisa memberi sinar juga kekuatan bagi Indira untuk bertahan dalam kesedihan.Dunia istrinya mungkin dalam k
Kembali ke Jakarta dengan status baru, cukup membuat Silka risih. Antara dia dan Alka adalah hubungan kecelakaan yang tidak disengaja.Sementara kembali pada aktivitas kuliah yang super sibuk mendekati akhir semester, Silka memilih tidak lagi memusingkan tentang Alka.Pria itu cukup memberinya ruang dan gerak yang tidak mengikat. Mungkin inilah enaknya pacaran dengan orang dewasa. Banyak pengertian yang dia dapatkan dari Alka.“Sil! Kamu beneran pacaran sama dosen baru anak fakultas kedokteran?” tanya teman kuliahnya dengan wajah penasaran.Silka mengangguk ragu.“Gila! Keren banget sih! Pak Alka itu ganteng dan baik banget!”Silka terus mendengarkan puluhan pujian untuk kekasihnya yang hingga detik ini belum pernah dia cium atau pegangan tangan.Setelah mendekati jam masuk kelas, Silka mengakhiri obrolan satu arah itu dan melenggang masuk. Selama kuliah berjalan, dia tidak habis-habisnya memikirkan tentang Alk
Mungkin bertemu jodoh itu terjadi tanpa bisa terduga.Bagi Silka yang masih berusia awal dua puluhan, ini bukan menjadi pertimbangan seriusnya. Terlebih lagi Ignar juga masih bimbang akan jati dirinya, semua keluarga tidak akan berpusat pada hal pernikahan dalam waktu dekat.Mengunjungi orang tua dan kerabatnya di Salatiga memang menyenangkan. Dia kadang malas meninggalkan kota kecil tempat ia tumbuh dan besar. Teman masa kecilnya ada di sini. Tapi Silka untuk saat ini tidak memiliki pilihan.Semua keluarga berkumpul di rumahnya. Ayahnya, Keenan, tampak masih tampan meskipun menjelang usia setengah baya. Mati-matian ayahnya menolak dengan mengatakan masih lima tahun lagi, tapi Silka suka mengangguk dengan gencar.Malam itu Renzo datang sendiri dan Silka senang karena memiliki waktu untuk berbagi lebih banyak. Perhatian kakak sepupunya memang tertuju pada dua hal akhir-akhir ini.Untuk Ignar dan Gya, kekasihnya.Silka merindukan masa-masa di