"Saya boleh bicara?" tanya Rena dengan sikap tenang."Silakan." Pak Ridwan kemudian menghentikan protes warga."Kalau warga di sini nggak nyaman dengan keberadaan saya, maka saya akan segera angkat kaki. Tapi yang perlu kalian ingat, saya sama sekali nggak ada niat buat menggoda suami atau anak-anak kalian!"Rena bangkit dan menatap orang-orang di sekelilingnya. "Kalau suami ibu-ibu tergoda dengan perempuan lain, jangan hanya salahkan perempuannya. Tapi salahkan juga para suami yang nggak bisa menjaga hasrat dan pikiran!"Ucapannya hanya dibalas dengan seringai sinis dan merendahkan. Rena dapat menyaksikan beberapa wanita mengumpat dengan matanya."Atau mungkin ada yang salah dengan sikap ibu-ibu jika suaminya tergoda perempuan lain. Benar bukan, Mbak Ratri?" Rena mengembalikan ucapan Ratri dulu.Mulut Ratri terkatup rapat. Ekspresinya mengeras ketika sadar ia tak bisa menanggapi ucapan Rena.Sesungguhnya Rena ingin tetap diam. Tapi ia tak terima jik
Kilatan petir menerangi jalan. Kini terlihat jelas wajah sosok pria yang sedang melambaikan tangan ke arahnya.Ketukan pintu samar terdengar. Rena segera beranjak menemui pria itu."Astaga! Mas Bagas bikin aku ketakutan setengah mati!""Kejutan!" Bagas tertawa renyah."Kenapa hujan-hujanan? Kok tadi nggak kasih tahu mau datang?""Tadi waktu teleponan, aku sudah di dekat sini sama teman kantor. Sekarang mobilku dia bawa buat ambil barang. Boleh nunggu di sini sebentar?""Masuk, Mas. Ya ampun, basah gitu bajunya.""Boleh pinjam baju?" Bagas menyeringai, "Nggak, bercanda! Hahaha.""Aku nggak punya baju yang muat buat Mas Bagas. Coba aku pinjam ke tetangga dulu ya.""Nggak usah, bentar lagi temanku juga datang."Rena tak memedulikan jawaban Bagas dan bergegas mengambil payung yang dibawa Bagas tadi ke rumah Pak Ridwan. Setelah tiga ketukan, Bu Tiara, istri Pak Ridwan membukakan pintu."Pak Rid-"Rahang Bu Tiara mengeras dan matanya me
Rena masih terpinga-pinga, lidahnya kelu. Ia tak pernah berpikir pernah melakukan kesalahan fatal pada Bu Tiara. Tapi kenapa ibu pemilik rumah itu tiba-tiba menamparnya?Tiara menautkan alisnya, "Ini rumahku! Kamu bilang apa tadi? Aku seenaknya menerobos rumahmu? Kamu itu cuma numpang di sini! Aku punya hak untuk membuang barang dan mengusirmu!""Hah! Saya membayar sewa rumah ini sekaligus, Bu! Tunai! Kalau Ibu mau mengusir saya seenaknya, seenggaknya Ibu kasih pengembalian dari uang yang sudah saya bayarkan!""A- apa..."Rena mengerutkan wajah. Ekspresi ibu RW di depannya saat ini tampak terkejut. Ia jadi bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah pak Ridwan tidak pernah memberi tahu istrinya jika ia sudah membayar penuh uang sewa rumah?"Nggak usah bohong! Aku cuma terima uang dua juta saja. Dan itu untuk sewa sebulan ini. Sekarang kamu bisa pergi!" Tiara menunjuk-nunjuk tepat di wajah Rena."Sudah untung kita bantu beres-beres barang. Mbak Rena tinggal baw
"Berdebar-debar apanya! Sudah, cepat pulang sana!""Iya, iya sebentar, Mbak. Habisin minuman dulu."Rena segera menghubungi taksi agar Ricky tak lagi mencari-cari alasan. Seperti tadi saat ia menemukan Ricky meringkuk di bagian belakang mobil pikap pengangkut."Ngapain kamu di sini!" Rena setengah berteriak saking terkejutnya, begitu pula si sopir yang tak tahu menahu.Ricky menyeringai canggung. Ia berkata, "Di rumah, setiap kali bertemu Mama dan Papa ribut terus, Mbak.""Kamu cuma mau ngikutin aku, kan? Sudah pamit sama orang rumah?" Rena menyipitkan mata.Ricky menggeleng. Katanya, sejak malam itu Ratri sering pergi membawa Ari. Sedangkan Andi kembali seperti dulu. Kerap pulang malam dan semakin jarang di rumah.Dari ceritanya pula, akhirnya Rena tahu kalau saat Andi tiba-tiba datang melamarnya, Ricky diam-diam membuntuti ayahnya dan merekam semua pembicaraan mereka."Sebenarnya aku nggak tega harus mengungkap semua. Tapi Mama juga berhak tahu. Dan
"Semalam kamu..." Tomi ragu melanjutkan kalimatnya."Semalam saya kenapa, Pak?" Rena pura-pura tak tahu."Aku dengar semalam kamu masuk ke ruangan ini. Apa yang kamu lakukan?"Rena bernafas lega. Meskipun memasang wajah polos namun dalam hati ia takut setengah mati. Lebih tepatnya ia malu sekaligus khawatir karena mengetahui perselingkuhan sang direktur. Tepat di depan matanya. Sekaligus menyaksikan adegan intim malam itu."Saya agak malu mau bilang. Sebenarnya semalam saya ketakutan jalan sendiri di lorong. Kebetulan sampai di depan kantor Pak Tomi. Jadi saya buru-buru masuk untuk menenangkan diri."Pertanyaan-pertanyaan terus mengalir di benak Rena. Mengapa Tomi tak menanggapi? Apa sang direktur percaya dengan kebohongannya?Tomi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pandangannya lurus ke arah Rena tapi netranya tampak kosong."Pak?" Rena memiringkan kepala."Ah, oh, ya. Aku kira ada perlu apa. Ya sudah, Rena bisa kembali sekarang.""Nggak ada barang yang hilang, bukan? Saya khawatir
"Aku nggak sengaja dengar obrolan Rino dan anak-anak lain. Besok mereka mau bikin pesta untuk menyambutmu.""Terus? Bukankah bagus, kita semua bisa jauh lebih akrab.""Kamu tahu restoran di atap hotel depan sana? Dia bilang mau menaruh sesuatu di minumanmu. Pikir sendiri apa yang mau mereka perbuat padamu," ujar Ambar."Masa sih mereka setega itu? Kelihatannya mereka orang-orang baik."Ambar memutar bola mata. "Terserah mau percaya atau nggak. Yang penting aku sudah bilang padamu." Rena tak menjawab."Keputusan ada di tanganmu sendiri. Toh aku juga nggak tahu kamu bakalan khawatir atau malah senang. Secara banyak cewek yang kemungkinan besar nggak keberatan dijebak oleh cowok-cowok tampan dan populer itu," imbuhnya dengan nada ketus.Dan Rena menyaksikan sendiri, serbuk putih halus belum terlarut di dasar gelas. Ia tak tahu kapan dan siapa yang menaruh obat itu.Tampaknya para pria yang dimaksud Ambar sudah terbiasa dengan situasi yang serupa. Andai saja
"Ikut denganku sekarang," perintah Siska dengan nada dingin.Rena mengekor Siska ragu-ragu. Beberapa orang menatap sambil bisik-bisik. Sementara pikirannya berkecamuk pada tulisan dalam kertas nota hotel.Seseorang telah menggunakan namanya. Dan Rena tahu pasti siapa orang itu."Aprilia. Tapi kenapa dia harus memakai namaku? Apa dia nggak suka denganku? Atau dia tahu aku melihat mereka malam itu?" Pertanyaan-pertanyaan terus muncul dalam benaknya.Ia melirik ke arah Aprilia sekilas. Lagi-lagi wanita itu bersikap seolah tak ada yang salah. Rena mengepalkan tangan ketika melihat Aprila malah tertawa dengan temannya."Duduk." Rena menuruti ucapan Siska.Sebelumnya ia sudah bertekad untuk berubah. Kali ini pun sama.Rena buka suara, "Saya nggak tahu kenapa ada nama saya di nota hotel yang Bu Siska bawa. Tapi itu bukan saya. Dan saya tahu siapa orang yang sudah menggunakan nama saya."Rahang Siska mengeras. Sorot matanya tak menandakan kepercayaan pada ucapan Rena."Kamu mau mencari kambing
Dari balik layar Siska berulang-ulang memutar adegan di kantin. "Sekarang kamu mau terang-terangan selingkuh?""Mamah salah paham. Aku cuma-""Cuma apa!" bentak Siska.Tomi berniat memeluk Siska namun segera didorong mundur. "Nggak usah banyak alasan!" teriak Siska."Kemarin setelah ronde kedua di karaoke aku mengantar anak-anak pulang. Karena nggak tahu rumah Rena, aku sewakan dia kamar hotel. Sebab Rena sudah mabuk parah.""Ka- kalau nggak percaya tanya April," imbuhnya."Benar Sis, aku yang menyarankan Tomi. Maaf kalau gara-gara aku kalian jadi berantem kaya gini. Seharusnya aku bawa Rena pulang ke rumah. Tapi kamu tahu sendiri gimana orang tuaku. Mereka bisa langsung mengusirku kalau aku bawa teman mabuk."Siska bergidik mendengar wanita itu leluasa memanggil namanya dan suaminya tanpa rasa hormat. Memang benar, dulu ia sendiri yang menyarankan untuk memanggil nama jika hanya ada mereka bertiga. Namun sekarang terasa berbeda.Ia berharap bisa memp
"Nggak... Itu nggak mungkin.""Apanya yang nggak mungkin? Kenapa kamu ke sini?""Aku pikir ada masalah karena Billy meliburkan semua orang. Ternyata bukan hanya masalah. Tetapi masalah besar!" Kilatan di mata Aurora berubah. Ia bukan orang bodoh yang tak tahu situasi."Mama? Kenapa Mama ada di sini?" Billy muncul dari pintu."Kamu juga ada di sini? Jangan bilang... Kamu nggak mengejar Rena lagi karena...." Aurora kehilangan kata-kata."Apa yang mau Mama katakan?""Nggak, itu nggak mungkin." Aurora menggeleng-geleng tak percaya.Ingatan Aurora kembali ke malam itu. Ketika ia menemui Widya untuk mengatakan jika ia telah memenangkan David.Widya tengah menunggu di seberang jalan stasiun yang saat itu belum begitu ramai. Wanita itu terkejut melihatnya alih-alih David yang telah lama dinanti."Mau apa kamu ke sini, Aurora?""Untuk membayar kesalahan suamiku padamu.""Apa maksudmu?""David nggak akan pernah kembali padamu, Widya. Dia nggak akan mau meninggalkan semua fasilitas yang ia milik
Rena gemetaran dalam dekapan Joshua di sampingnya. Ia takut menunggu reaksi ayah kandungnya.David hanya membuka mulut tak begitu percaya kata-kata Billy. Kemudian Billy menyodorkan hasil tes DNA yang diberikan Oliver saat di pulau waktu itu.Semua orang bisa tahu, Billy lah yang meremas-remas kertas itu sampai kusut dan sobek di beberapa bagian. Untungnya, hasil tes DNA masih bisa terbaca.Probabilitas David Ethan sebagai ayah biologis dari Renata Cahyani adalah 99,999%."A-apakah ini nyata?" David berdiri sambil memandangi Rena."Si tua Oliver itu yang melakukan tes DNA diam-diam. Nggak tahu dapat sampel dari mana."Air mata David kembali meleleh. "Kamu... Rena... Kamu anakku dan Widya? Oh Tuhan, ini pasti keajaiban!" David bersimpuh seperti orang yang sedang berdoa.Reaksi David membuat hati Rena bergejolak. Ia menyembunyikan wajah ke dalam jaket suaminya. Ada rasa senang sekaligus malu."Jadi... Bayi ini cucuku?""Iya, Pa. Tadinya dia akan menjadi anak tiriku, ternyata malah jadi
"Papa menyesal selama ini hanya diam saja, sedangkan papa tahu semua perbuatan burukmu." Mata David berkaca-kaca. "Papa merasa gagal sebagai seorang ayah. Maafkan papa, Bill."Mulut Billy sedikit terbuka, hampir mengucap sesuatu. Tapi David lebih cepat memotongnya."Papa tahu perbuatanmu dan Aurora demi untuk mendapatkan keinginan kalian. Tapi ini nggak benar, Billy. Belum ada sejarahnya seorang pria di keluarga kita menjadi suami kedua."Billy terkekeh-kekeh. "Aku hampir tergoda dengan usulmu, Pa.""Maaf, mengecewakan, Om. Tapi saya nggak akan pernah rela membagi istri saya dengan lelaki lain," tegas Joshua."Lalu..."Rena segera memotongnya, "Mari kita selesaikan makanannya dulu. Setelah ini baru bicara."Tiga puluh menit kemudian, di atas meja makan hanya tersisa minuman. Tak ada salah satu dari mereka yang memulai pembicaraan.Suara khas bayi milik Ethan dari dalam kereta dorong bayi memecah keheningan. Joshua menirukan suara anaknya. Lagi-lagi sibuk memeriksa gigi Ethan dan tak m
Joshua mencengkeram kemudi dengan erat ketika melihat istrinya memeluk pria lain. Meskipun tahu siapa Billy bagi istrinya."Ah, bikin nggak tenang."Joshua membanting pintu mobil dengan kencang. Ia pun berjalan menghampiri mereka berdua yang tak sadar oleh kehadirannya.Setelah mendengar pengakuan Billy dan Rena, Joshua mundur teratur agar tak ketahuan mencuri dengar. Ia menyesal sudah marah-marah dan curiga berlebihan."Mereka lagi shooting sinetron? Mantan pacarku tercinta ternyata anak kandung Papaku?" Joshua terkekeh oleh leluconnya sendiri."Itu sama sekali nggak lucu, Josh! Istrimu sedang sedih!" Ia membentak dirinya sendiri.Sementara itu, Rena tengah menyeka air mata Billy. "Sudah, jangan menangis lagi.""Apa yang kamu inginkan sekarang, Rena?""Maksudmu? Tentang apa?""Mamaku. Dia yang sudah...""Aku nggak tahu, Bill. Aku marah sekali waktu tahu ibuku meninggal karena mamamu. Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya dan memanggilnya ibu." Rena kembali terisak."Katanya janga
Tangan Rena bergetar hebat dan hampir menjatuhkan satu ikat kertas di tangannya. Joshua sigap menggenggam kedua tangan istrinya."I- ini... I -ini pasti salah. Nggak mungkin mereka orang tuaku, Josh!""Shhh, shhh... Mau dibaca dulu keterangan di belakangnya? Haruskah aku yang membacakannya untukmu?"Rena mengangguk.Joshua mengambil kertas itu dengan posisi duduk yang masih sama. Membalik foto pernikahan Aurora dan David, lalu mulai membaca isi dalam dokumen itu."Nama ayah kandungmu David Ethan dan nama ibumu Widya Cahyani."Rena membungkam mulut dengan kedua tangannya sendiri. "Apa ibuku...." Rena terisak."25 tahun yang lalu, David melayangkan gugatan perceraian kepada Aurora. Karena David mengetahui perselingkuhan Aurora dengan..." Joshua tiba-tiba mengumpat."Dengan siapa, Josh?""Aditya Wijaya, ayah Gladis."Rena menatap sang suami tak percaya."Sejak itu, David sering tak pulang. Dia bahkan membeli rumah sendiri. Dan selama satu tahun, David diam-diam berhubungan dengan Widya,
Di ruang keluarga Gavin, para anggota keluarga masih berbincang-bincang. Kemudian mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tak terduga."Aurora Volker! Bagaimana dia bisa masuk ke sini?!" Teriak James."Aku nggak pernah mengundangmu ke rumahku, Nyonya Volker," kata Peter."Aku yang menyuruhnya datang!" Seruan Oliver membuat semua orang terdiam. "Ikut aku, Nyonya Volker."Aurora membuntuti Oliver ke arah ruang kerja Peter. Wanita itu sama sekali tak memandang satu pun anggota keluarga Gavin yang lain. Jika bukan karena Oliver memiliki kartunya, mana sudi ia menginjakkan kaki di tempat ini."Langsung saja, katakan apa yang ingin Anda sampaikan," kata Aurora dengan sikap menantang."Kamu memang Volker sejati. Nggak terlihat gentar walaupun dalam hati ketakutan." Oliver terkekeh-kekeh."Aku sibuk, Tuan Besar Gavin. Kalau hanya mau basa basi, bilang saja ke sekretarisku.""Baik, baik." Oliver duduk berhadapan dengan Aurora. "Aku sudah memberi tahu Billy Volker tentang rahasiamu.""
Meskipun hari mulai gelap, para tamu masih memenuhi hotel. Tempat acara diperluas sampai ke dalam karena semakin banyak tamu yang datang. Sebab beberapa orang mendapat undangan di jam yang berbeda.Di sebuah layar di dalam hotel, rekaman Joshua dan Rena tadi diputar berulang-ulang. Orang yang baru datang pun bisa tahu acara yang sesungguhnya bukan hanya ulang tahun perusahaan.Rena dan Joshua duduk di sofa paling depan. Memberi salam dan berjabat tangan dengan para tamu silih berganti. Seperti pengantin baru pada umumnya.Kelompok yang pernah bertemu Rena di bar dulu ikut bergabung. Berfoto-foto lalu mengobrol seru."Ya ampun, aku nggak pernah menyangka kamu mau sama dia, Ren!""Iya, astaga! Kasihan sekali hidupmu!""Kalian mau dipecat, hah?!" Sentak Joshua.Para pria dan wanita itu cukup dekat dan terbiasa bersikap kurang ajar pada atasannya di luar kantor. Tapi mereka cukup sopan dan tahu posisi masing-masing saat bekerja.Mereka terus saja menggoda Joshua sampai wajah suami Rena it
Seminggu berlalu, pesta pun tiba. Hari ini tepat satu tahun ulang tahun pernikahan Rena dan Joshua. Sekaligus merayakan kelahiran Ethan meskipun telah 3 bulan berlalu.Acara diselenggarakan di halaman belakang Hotel Gavin sore ini. Para tamu undangan telah memenuhi area hotel.Oliver dan para tetua Gavin yang memasuki area diiringi tepuk tangan para undangan. Banyak karyawan yang belum tahu sosok Oliver Gavin itu. Sebab Oliver jarang sekali keluar pulau."Wah, kakeknya Pak Josh tampan sekali," ujar Cynthia."Betul... betul... Aku mau tuh jadi istri kedua," tukas wanita lainnya."Itu Alexa ada di belakang mereka. Dengar-dengar acara ini juga untuk merayakan pesta cucunya. Jangan-jangan beneran tuh Pak Josh mau menikah dengan Alexa."Sabrina mengerutkan kening tak suka. "Aku nggak pernah dengar tuh. Lagi pula di undangan cuma merayakan hari jadi Gavin Corp saja. Jangan banyak gosip kalian!""Eciee, yang tiap hari masakin calon suami," goda Ririn, teman Sabrina.Karyawati di Gavin Corp t
"Kamu mau bilang dia istrimu?""Siapa lagi kalau bukan dia?""Jangan gila, Josh! Tadi bilang kalau kamu tahu aku mau ke sini, bukan?""Aku bilang, mungkin tahu tujuanmu ke sini. Mana aku tahu kamu mau datang.""Nggak, nggak. Aku yakin kamu tahu. Lalu kamu mau membuatku cemburu dengan pura-pura tidur dengan perempuan ini, bukan?"Joshua menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia sudah berusaha menjelaskan sebaik mungkin tapi lawan bicaranya tak juga mengerti."Jawab, Josh!""Kamu tunggu di luar saja. Aku mau pakai baju dulu."Alexa menangis tapi Ethan menangis lebih keras. "B- bayi siapa itu?""Itu anakku, Lexa."Rena membuai tempat tidur Ethan tapi ia terus menangis keras. Disusui pun tak mau.Rena bisa melihat Alexa terus menangis sambil menatap dirinya. Ia pun menuju ke arahnya. Memamerkan muka Ethan agar Alexa tahu bahwa Joshua tak bohong. Alexa menyumpal mulutnya ketika menatap Ethan."Gendong dia, Josh. Aku pusing," perintah Rena."Sebentar, Mamah. Aku pakai baju dulu." Joshua