Bulan terus berganti, usia kehamilan Laila memasuk 16 minggu dan perselingkuhan itu pun masih terus terjalin hingga saat ini. Begitu apik Laila menutupi segalanya sampai Hendra atau pun yang lain tidak menyadari. Dan, sudah berpa puluh juta Laila habiskan untuk selingkuhannya. Pagi ini Laila tengah bersantai di sofa kecil dalam kamar. Jari jemarinya sibuk dengan ponsel, tidak lain, tidak bukan hanya untuk mentranfer uang pada Doni yang di dapat dari suaminya malam tadi, sebagai jatah bulanan biasa Hendra berikan."Tante, temenin main, yuk." Tiba-tiba anak Santi datang sembari menarik tangan Laila. Wanita itu terkejut, tanpa sengaja benda pipih yang di pegang terjatuh."Kamu itu bisa hati-hati nggak sih!" hardik Laila seraya berdiri dengan mata melotot, seperti akan keluar dari tempatnya.Anak kecil yang belum mengerti apa-apa itu tidak berani mengangkat kepala. Air mata telah menggenang di pelupuk mata. Clara hanya ingin bermain karen tidak ada yang menemani. Di dapur, semua orang sib
"Apa maksudmu Mas! Anak ini, anak kamu!" pekik Laila tidak terima dengan pertanyaan yang Hendra lontarkan.Suara Laila kuat sekali. Hendra memutar tubuhnya dan menutup pintu, tidak lupa mengunci."Siapa By? Selingkuhan kamu? Terus anak itu anak dia?" cecer Hendra dengan suara tertahan. Lelaki itu tidak ingin ada yang mendengar pertengkaran mereka. Padahal emosinya telah sampai di ubun-ubun.Mulut Laila mengangah serta jantung yang bergemuruh hebat, seperti genderang perang. Takut dan cemas menjadi satu. Semua yang disembunyikan sebentar lagi akan terbongkar karena kecerobohannya sendiri atau ini jalan dari Yang Kuasa agar Hendra mengetahui semua perbuatan Laila."Ini nggak seperti yang kamu-" Wanita itu mencoba berkilah, tetapi belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Hendra lebih dulu mengangkat tangan, sebagai tanda agar Laila berhenti berbicara."Buka kunci ponselmu." Hendra menyodorkan gawai. Dengan tangan gemetar Laila menerima. Rasanya tungkai kaki lemas, tidak mampu menopang
Pov Hendra"Aku sayang banget sama kamu, By.""By, kita jalan, yuk. Aku baru dapet uang nih.""Kamu yang terbaik, By."Chat mesrah Laila dan selingkuhannya berputar layaknya kaset rusak yang menyakiti pendengar. Aku menutup telinga dan mata agar tidak terus terbayang. Potongan chat itu seperti puzzel yang siap menyatu untuk meremukkan hati.Kugenggam ponsel Laila dengan erat. Tiba-tiba saja emosi dalam diri ini memuncah. Ya, aku tidak mengizinkan Laila menggunakan ponselnya lagi. Dan, selama ponsel itu berada di tanganku, banyak pesan masuk dari lelaki bernama By itu, mencari keberadaan wanitanya yang tak kunjung membalas pesan. Sebab, pesan darinya hanya kubaca. Tidak sampai di situ, mungkin karena kesal umpatan kasar dia kirimkan. Aku tertawa sumbang, bisa-bisanya Laila mencintai lelaki berakhlak buruk. Aku tidak pernah menyangka istri yang kusayangi tega berselingkuh. Meski menikah karena perjodohan, aku bersungguh-sungguh membina rumah tangga bersamanya. Mencintai sepenuh hati,
"Kita batalkan aja, ya pertemuan ini. Aku janji-""Cukup, La. Aku nggak ingin mendengar penolakan."Motor matic yang Hendra kendarai berhenti tepat di depan kafe, tempat biasa Laila bersama teman-temannya dan Doni berkumpul.Sekujur tubuh Laila mendadak seperti orang meriang saat pertama kali turun dari motor. Panas, dingin tidak menentu. Dia mengusap kening yang basah oleh keringat. Sungguh Laila benci keadaan ini. Tidak pernah menduga aksinya akan ketahuan secepat ini. Namun, kini hanya tinggal penyesalan yang ada. Semua sudah terlanjur, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Dia terus mengikuti Hendra yang lebih dulu berjalan menuju kafe.Saat pintu dibuka hawa dingin dari dalam kafe menerpa wajah keduanya, tetapi tidak membuat emosi dalam diri Hendra mereda, justru lebih bergejolak. "Yang mana?" tanya Hendra sembari mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.Sebelum menunjukkan di mana keberadaan Doni, Laila dibuat tidak percaya, melihat teman-temannya juga ikut berkumpul. Dia
Bugh!Lelaki yang memakai kaus oblong itu mengaduh kesakitan. Satu pukulan Hendra berikan pada wajah yang tidak terlalu tampan itu. Tadinya, Hendra tidak ingin menggunakan kekerasan, tetapi senyum mengejek serta kata-kata yang menghina istrinya, membuat emosi yang sedari tadi di tahan akhirnya butuh perlampiasan.Kini, Doni terduduk sembari memegangi wajahnya yang memar.Laila beserta temannya terpekik, gerakan cepat Hendra tidak terbaca oleh mereka."Jaga mulut kotormu! Jadi laki-laki mulutnya jangan lemes," ucap Hendra seraya berlalu keluar kafe. Diikuti Laila dari belakang. Ada rasa iba di hati wanita itu melihat sudut bibir Doni berdarah, tetapi mengejar masa depan serta ayah dari anaknya lebih utama.Mereka jadi tontonan para pengunjung kafe. Doni segera bangkit dan matanya melotot memberikannya ancaman para pengunjung yang masih mencibir."Ba****t!" umpatnya tidak terima di permalukan.Saat hendak mengejar, tangannya lebih dulu dicekal oleh Tiara, Tasya dan Tania."Lepas be****
Dengan kecepatan tinggi Hendra memacu motor membelah jalanan padat. Untung saja kemahiran mengendarai motor tidak perlu di ragukan lagi hingga Dia sampai di bengkel dengan selamat.Niatnya Hendra akan menepi atau pergi untuk menenangkan hati, menjauh sejenak dari keramaian, tetapi setelah dipikir-pikir jika tidak ada teman sama saja hatinya akan bertambah gundah. Kini, dia hanya butuh nasehat untuk mempertahankan pernikahan atau mengakhiri. Banyak hal yang harus di pertimbangkan termasuk anak dalam kandungan memberatkan Hendra mengambil keputusan."Woi! Bengong aja. Ayo, masuk." Saka menepuk bahu Hendra yang masih duduk di atas motor.Mereka berjalan bersisisan menuju bengkel. Pelataran bengkel yang sedikit penuh oleh motor pelanggan, membuat Hendra parkir sedikit jauh dari biasanya. "Nggak ada lo seharian sibuk banget gue, bengkel nggak berhenti kedatangan pelanggan. Makin keren aja bengkel yang lo punya, salut gue sama lo, Ndra. Pasti nanti pas anak lo lahir, kehidupannya seneng, b
Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Doni, Hendra tidak pulang ke rumah. Hari-harinya di habiskan menyibukkan diri di bengkel. Sempat dia pulang karena mendapat telepon dari Laila yang mengabarkan Doni di rumah mereka.Hendra datang hanya untuk mengusir Doni, setelah itu dia kembali ke bengkel, sekadar masuk rumah pun tidak dia lakukan. Bukan benci pada istrinya, tetapi Hendra perlu menyembuhkan luka yang Laila torehkan."Bang, ada telepon," ujar lelaki yang mendiami meja kasir."Siapa?""Atas nama Ardi, katanya paman-nya Abang. Beliau nelepon di HP Abang, tapi nggak di angkat."Lelaki itu baru menyadari ponselnya tertinggal di ruangan tempat dia beristirahat. Dia mengernyitkan kening mendengar penjelasan karyawannya. Karena tidak biasanya Ardi menghubungi dirinya jika tidak ada yang penting.Lekas Hendra membasuh tangan yang berlumuran oli, lalu menuju meja kasir di mana telepon bengkel biasa di gunakan."Asalamualaikum, Paman. Ada apa Paman nelepon?" tanya Hendra sopan."Kamu bi
Setelah kepulangan Hendra dan Saka, Ardi masih duduk termenung di sofa ruang tamu. Berpikir apa yang harus dilakukan, kala keluarga Hendra mengetahui kelakuan Laila. Namun, sampai lelah berpikir pun Ardi tidak menemukan jawaban. Biarlah jika tiba saatnya nanti, dia hadapi sebagai keluarga Laila, begitu pikirnya. Walaupun rasa malu yang di dapat.Laila juga belum berani beranjak, takut jika salah lagi dalam bertindak. Dia hanya menunduk serta memilin ujung kerudungnya."Istirahatlah. Ingat, nanti sore antarkan paman ke tempat laki-laki minus itu," ucap Ardi dengan nada dingin, tanpa melihat.Ardi berniat akan menemui Doni untuk memberi pelajaran."Untuk apa lagi, Paman? Belum cukup Mas Hendra aja yang datang menemui dia. Paman pun mau bertemu dengannya. Untuk apa? Apa mau mempermalukan aku lagi?"Ardi yang tadinya menunduk kini menatap nyalang pada keponakannya. Kemudian tersenyum miring."Jadi kamu masih mau sama dia? Silahkan, biar Paman bilang sama Hendra."Ternyata Laila baru menya
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil