Pov Syasya"Syasya...," panggil Mbak Alia, matanya melotot melihatku. Raut tak percaya tergambar jelas di sana.Aku tahu Mbak Alia terkejut melihat aku berdiri di depan kompor sambil membawa spatula. Seumur-umur baru kali ini aku berada di dapur untuk memasak. Dulu ibu yang selalu menyiapkan makanan untuk kami. Aku selalu dimanja, meski hidup kekurangan, hingga akhirnya Mas Alvan menikah dengan Mbak Alia. Limpahan harta yang Mbak Alia berikan membuatku lupa daratan. Aku semakin menjadi wanita angkuh dan egois. Rasa bersyukur yang harusnya tertanam justru hilang. Bahkan timbul rasa iri pada wanita berhati malaikat seperti Mbak Alia. Nasi sudah menjadi bubur, aku tak mampu mengulang waktu. Hanya tinggal penyesalan yang selalu menghantui hidupku. "Kamu masak, Sya?" pertanyaannya menyentakku dari lamunan. "Iya, Mbak. Maaf hanya nasi goreng, aku tidak bisa memasak. Ini saja pakai bumbu siap saji.""Harusnya kamu istirahat, kamu tamu di sini bukan pembantu yang harus mengerjakan ini dan
Pov Syasya"Apa benar Bapak melakukan itu, Sya?" tanya Mbak Alia karena sedari tadi aku hanya membisu. Dadaku menjadi sesak, seakan pasokan oksigen tak mampu mengalir ke seluruh tubuh. Pertanyaan Mbak Alia tak ubahnya membuka luka yang baru saja kututup. "Kamu siapa? Bapak, tolong!" teriakku kala seorang lelaki masuk kemudian mengunci pintu kamar rapat-rapat. Aku terus berteriak tapi ibu dan bapak seolah tak mendengar, padahal mereka ada. Jelas-jelas aku melihat bapak berdiri di belakang lelaki itu. Namun kenapa mereka tak menolongku. "Diamlah, Sayang, Bapakmu sudah menjual kamu padaku. Malam ini kamu harus memuaskan aku!""Tidak, pergi kataku!" Aku mundur hingga tubuh ini menempel pada dinding kamar. Lelaki itu mendekat, dengan cepat ia melucuti semua pakaiannya hingga meninggalkan celana kolor. Aku berteriak meminta tolong tapi nihil, ibu dan bapak seolah tak mendengar lebih tepatnya pura-pura tak mendengar.Dengan nafsu lelaki itu melampiaskan hasratnya. Dia tak perduli aku me
Pov Syasya"Aira baik-baik saja, kan, Sya?"Aku diam tak tahu harus menjawab apa. Aira dibawa ke panti asuhan oleh Bapak tepat sebelum perisitiwa mengerikan terjadi padaku. Bapak merasa kehadiran Aira adalah malapetaka baginya. "Kenapa bengong, Sya? Kamu dengar Mas ngomong, kan?"Aku mengangkat kepala, Mas Alvan menatapku dengan penuh tanda tanya. Namun mulut ini kembali bungkam. Kalimat yang sempat tersusun rapi berjatuhan satu persatu hingga habis tak tersisa. “Syasya, ada yang kamu sembunyikan dari Mas?”Mas Alvan seolah tahu apa yang ada di kepalaku. Dia tahu aku tengah menyembunyikan masalah besar. Aku atur napas yang kian terasa sesak. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengatakan kebenarannya. Namun apa Mas Alvan kuat mendengar kenyataan ini? Ada perdebatan dalam hati hingga membuatku merasa ragu.“Aira ... Aira dibawa pergi Bapak,Mas.”“Ke mana,Sya? Aira baik-baik saja,kan? Bapak tidak berbuat gila,kan?” cecar Mas Alvan membuatku sesak napas. Wajah kakakku kian tegang. Ini y
Pov Syasya"Assalamualaikum ...." Mataku membola melihat tamu itu. "Masuk, Sya. Sini duduk!" Mbak Alia melambaikan tangan. Aku membatu, kakiku enggan melangkah mendekati mereka. Kalau bisa menghilang, saat ini juga aku akan pergi dari sini. Sayang, aku tak memiliki ajian itu. Mau tidak mau aku harus ke sana. "Perkenalkan ini Syasya, adik aku," ucap Mbak Alia datar. Wajah tidak suka tergambar jelas di sana. "Bisma," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Aku masih diam, enggan menyentuh tangan lelaki itu. Tangan yang telah menghancurkan masa depanku. Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan kembali dengan dia? Lelaki yang telah merebut kesucian ini. "Sya," panggilan Mbak Alia menyentakku dari lamunan kelam. "Syasya," ucapku menerima uluran tangan tapi secepat kilat tangan ini kutarik, enggan berlama-lama menyentuhnya. "Syasya ke kamar dulu, Mbak." Aku beranjak berdiri. Tak sudi duduk berhadapan dengan lelaki bej*ngan itu. "Tidak temani Mbak dulu, Sya?" ucap Mbak Alia dengan sorot mat
Pov Alia"Bapak...," panggil Syasya dan aku bersamaan. Lelaki dengan penampilan wah itu menatap tajam ke arah Syasya lalu beralih ke arahku. Raut amarah tergambar jelas di sana. Bapak melangkah mendekat, lengan kemeja ia tarik ke atas. Kini penampilannya jauh lebih muda, berbeda dari terakhir kali kami bertemu. Jelas, aku bertemu ia di dekat lampu merah. Bapak tengah mengemis kala itu. Sebuah tanda tanya terlintas dalam benak, dadi mana ia mendapatkan uang untuk membeli barang-barang mewah itu? Melihat Bapak mendekat, dengan cepat Syasya memutar tubuh hingga berada di belakangku. Dia bahkan memeluk erat tubuh ini. Layaknya seorang anak kecil yang ketakutan. "Tolong aku, Mbak!" ucapnya lirih seraya mempererat pelukan. "Di sini kamu, ya! Ayo pulang!" teriak Bapak seraya menarik tangan Syasya dengan kuat. "Syasya tidak mau ... Lepas!" Syasya menepis kasar tangan Bapak, kemudian mempererat pelukannya di tubuhku. "Jangan jadi anal durhaka kamu, Sya!" pekik Bapak dengan sorot mata
Pov AliaRutinitas yang kulakukan terasa membosankan, hanya berkutat dengan lingkungan rumah, kantor dan begitu seterusnya. Hidupku hampa, terasa kurang lengkap meski dipenuhi dengan limpahan kebahagiaan. Mungkin orang lain menilai aku adalah wanita yang paling bahagia sedunia karena memiliki harta, suami dan orang tua yang tulus menyayangiku. Namun mereka tidak tahu, ada bagian hati yang terasa kosong. Ya, aku mendambakan hadirnya buah hati di antara kami. Bang Rizal memang tak pernah bertanya atau mungkin menuntut lahirnya buah hati. Namun aku tahu di dalam hatinya tersimpan keinginan itu. Siapa yang tak menginginkan anak? Semua pasangan suami istri pasti menginginkan itu, termasuk kami. Tapi apa mau di kata hingga tiga bulan usia pernikahan kami, Allah belum menitipkan janin dalam rahimku. "Kenapa melamun, Sayang?" ucap Bang Rizal seraya mencubit pelan pipiku. Aku menoleh ke samping, seulas senyum kaku kuberikan untuknya. "Gak apa-apa kok, Bang," dustaku. "Sejak kapan istri A
Pov Alia"Ha ha ha ... BH kamu ketinggalan, Al?" Bang Rizal bangun dari tempat tidur sambil terpingkal-pingkal. Dia mentertawakan nasib sial yang menimpaku, istrinya. Sungguh menyebalkan. "Ketawa aja terus sampai kencing di celana baru tahu rasa!"Aku menyilangkan kedua tangan di dada, kutatap tajam Bang Rizal. Perlahan dia berjalan mendekatiku. Tangan kirinya segera menarik tubuhku hingga kepalaku menempel di dada bidang miliknya. "Abang lebih suka kamu tak memakai dalaman, lebih leluasa," ucapnya kemudian mengedipkan mata ke arahku. "Abang mesum terus pikirannya!" Kudorong tubuhnya hingga menjauh dariku. Lagi suamiku tertawa lalu mengedipkan mata menggoda ke arahku. Baru juga sampai tapi pikiranku sudah travelling ke mana-mana. "Mandi dulu sana, nanti kita beli setelah shalat. Waktunya tidak cukup kalau kita beli dalaman dulu.""Masa pakai daleman yang udah kotor, Bang," ucapku merajuk. "Gak usah pakai dulu, pakai baju longgar dan hijab besar."Aku mengangguk pasrah, kuambil
Pov AliaPonsel Bang Rizal berbunyi, segera ku ambil benda pipih yang ada di atas meja. Seketika dada ini bergemuruh melihat nama Kartika tertera di layar ponsel. Mau apa lagi wanita itu? Aku melirik ke kamar mandi. Memastikan Bang Rizal masih di sana sebelum kuberikan pelajaran pada wanita yang tidak memiliki urat malu itu. Kartika memang sahabat Bang Rizal, tapi bagiku dia parasit yang harus dibasmi. Bukan, bukan aku tak menghargai sahabat suamiku. Namun aku tak ingin ada wanita lain yang merebut apa yang menjadi milikku saat ini. Setelah memastikan semua aman, segera kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. "Sudah kubilang jangan pernah dekati suamiku, apa kamu tidak mengerti? Kamu itu hanya sahabat dan selamanya akan tetap seperti itu.""Ta ....""Tidak usah mencari pembenaran atas sebuah kesalahan. Kamu tau, apa sebutan yang pantas bagi wanita seperti kamu. Kamu wanita yang tidak memiliki ....""Telepon dari siapa, Al?" Aku tersentak, suara Bang Rizal bagai halilintar.
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang