Sudah dua hari Mas Alvan tak menampakkan batang hidungnya. Entah di kantor maupun di rumah. Dia seakan sengaja menghilang paska di turunkan jabatan menjadi Office Boy. Rumah terasa damai karena tak ada parasit di dalamnya. Ketiadaannya tak membuatku khawatir dan mengirimkan pesan sekedar bertanya keadaannya. Bagiku tak ada gunanya basa-basi bertanya, jika kenyataan aku tahu dimana ia sekarang berada. Ya, dimana lagi kalau bukan di rumah istri keduannya, Mega. Mega adalah istri kedua Mas Alvan yang dinikahi secara siri. Nama Mega sendiri sangat familiar bagiku. Tapi siapa dia? Satu tanda tanya besar yang hingga kini belum ku temukan jawabannya. Bang Rizal memang sudah menyelidiki asal usul istri siri Mas Alvan. Mega lahir di kota kembang. Dia dibesarkan di sebuah panti asuhan di kota Bandung. Ibunya meninggal saat ia berusia enam tahun. Dan sejak saat itu Mega tinggal di panti asuhan. Mengenai siapa ayah kandungnya, Bang Rizal belum mendapatkan informasi. Karena Mega lahir dari seb
Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas. Waktunya untuk para karyawan kantor istirahat sejenak dari penatnya pekerjaan mereka. Tepat saat aku menata berkas di meja, satu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau ku. Benar dugaanku. Satu pesan dari Baim. Sebuah lokasi restoran yang letaknya lumayan jauh dari kantor. Hampir satu jam untuk sampai ke sana. Sebegitu pentingkah hingga memilih restoran yang jauh dari sini? Mobil melesat mengikuti petunjuk dari aplikasi pintar di dalam ponsel. Hampir satu jam membelah ramainya jalanan kota di jam istirahat. Namun belum sampai juga. Waktu yang harusnya satu jam kini melebihi perkiraan. Hampir satu jam lebih dua puluh menit aku menyetir mobil. Dan akhirnya restoran tujuanku sudah ada di depan mata. Ku hentikan kendaraan roda empatku tepat di depan sebuah restoran dengan menu khas nusantara itu. Melangkah dengan perasaan tak menentu. Mata awas mencari sosok lelaki yang ku kenal semasa duduk di bangku sekolah menengah atas. Ku cari dari sudut
"Sejak kapan kamu memiliki video ini?"Baim diam. Matanya masih menatap lurus ke depan. Seakan tengah mengingat kenangan masa lalu. "Jika ada orang yang menjelekkan orang yang kamu cinta dan percayai sepenuh hati. Apa kah kamu percaya?" tanya Baim lalu menatap lekat netraku. Aku diam, tak mampu menjawab apa. Dalam hubungan suami istri harus ada sebuah kepercayaan. Karena pada dasarnya kepercayaan adalah lem yang akan mempererat suatu hubungan. Kalau tak ada kepercayaan mungkin hubungan itu akan kandas. Jika Baim memberikan video ini dari dulu, apakah aku akan percaya? Entahlah, aku sendiri bingung harus menjawab apa. "Aku yakin kamu tak akan percaya Al, meski kamu telah mengenalku lama. Kamu pasti lebih percaya pada suamimu ketimbang aku. Benar kan?"Baim seolah mampu membaca pikiranku. Rasa cinta yang mendalam membuat logika dan mata ku buta. Buktinya aku mudah saja dibohongi Mas Alvan. Dia mempunyai istri kedua saja aku sampai tak tahu. Bagaimana aku bisa percaya dengan ucapan B
Pov AliaMelangkah mendekati wanita yang telah melahirkanku tiga puluh satu tahun yang lalu itu. Kujatuhkan bobot tepat di sampingnya. Ku tarik nafas dalam untuk memasok oksigen ke dalam otak. Aku harus bisa menahan emosi dan berpikir jernih kalau tidak masalah ini akan melebar kemana-mana. Mama adalah kelemahanku. Mas Alvan sangat licik. Tega dia memanfaatkan mama untuk ambisinya. Suamiku adalah menantu kebanggaan mama. Beliau sangat mempercayai ular jantan itu. Ya, bisa dibilang sifatnya sebelas dua belas denganku. "Jelaskan apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian? Kamu selingkuh?" Mama menatap nyalang ke arahku. Seakan aku ini tersangka pembunuhannya yang harus dilenyapkan. "Siapa yang selingkuh, ma?" "Kamu!" Mama mengarahkan jari telunjuk padaku,"Alvan bilang kamu selingkuh. Kamu mengusir Alvan karena dia memergoki kalian bercumbu di kamar."Kupijit kepala yang terasa berdenyut. Bisa-bisanya lelaki breng**k itu memutar balikkan fakta. Dia yang selingkuh dan mendua tapi aku
Pov Rahmawati (Mama Alia) "Al, Alia ... Maafkan mama!" "Alia!"Alia tak menghiraukan ucapanku. Dia masih berjalan ke lantai atas tanpa menenggok ke belakang. Melihat perlakuan Alia membuat hatiku seperti di sayat, sakit. Seumur hidup, baru kali ini Alia berkata kasar padaku. Ku lihat beberapa foto yang ada di tangan. Ini memang foto Alvan. Dia terlihat bahagia dengan wanita di sampingnya. Hati istri mana yang tak sakit melihat pemandangan ini. Aku tahu Alia sangat terluka dengan pengkhianatan Alvan. Ku baca foto kopi laporan keuangan perusahaan. Memang benar ada keganjilan dalam laporan ini. Penarikan uang dengan nominal besar setiap bulannya. Alvan, kenapa kamu setega ini pada kami? Tak ingat kah saat ku angkat derajatmu. Dengan tangan terbuka ku terima kahadiranmu. Aku bahkan sudah mengaggapmu sebagai anakku sendiri. Namun justru luka yang kamu torehkan pada putriku. Kurang apa kami padamu? Ku hembuskan nafas kasar. Bodohnya aku yang mudah percaya dengan ucapan Alvan tanpa me
Alia, wanita cantik dan apa adanya. Wanita yang mampu mencuri hatiku untuk pertama dan mungkin terakhir . Aku mencintainya dalam diam. Dia yang sangat ku cinta tapi tak pernah bisa ku miliki. Jika mengingat itu, rasa sesak kembali menyelimuti dada. Aku tahu jika perasaan ini salah. Salah besar karena aku mencintai adik kandungku sendiri. Ya Tuhan, kenapa Engkau berikan cinta kepada wanita yang jelas-jelas tak bisa ku miliki. Sampai kiamat pun tak akan pernah bersatu. Kulihat ikan yang asyik berenang di dalam kolam. Mereka bebas memilih pasangan tanpa perduli jika mereka satu induk. Berbeda denganku, yang harus memendam rasa karena mencintai adik sendiri. Sudah berulang kali kucoba menghapus namanya dari sanubari. Namun nyatanya nama itu semakin kokoh tertanam di relung hati terdalam.Ya Tuhan, harusnya Engkau hapus dan hilangkan rasa ini. Bukan justru Engkau biarkan semakin dalam. Andai aku bisa mengatur hati. Sudah pasti aku ingin mencintai wanita lain. Wanita yang bukan adik kand
Semenjak Alia menikah, aku memang lebih suka tinggal di Surabaya. Karena saat tinggal di rumah mama membuatku selalu teringat dengan adikku. Dan berulang kali rasa sakit itu muncul saat mengingat kenangan manis bersama Alia. "Kamu tidak ke kantor Al?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Agak siangan Bang, kenapa? Mau anterin?" "Boleh, Abang pengen mencari bukti lebih lanjut. Ku rasa ada baiknya jika lapor polisi Al,"Alia terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu. Apa dia keberatan jika Alvan masuk penjara. Mungkinkah masih ada cinta untuk lelaki tak tahu diri itu? "Sebenarnya aku ingin bermain-main dulu Bang. Tapi lebih baik kita laporkan saja ke kantor polisi. Aku ingin hidup lebih tenang.""Nanti abang urus tentang laporan ke kantor polisi. Kamu terima beres." Alia tersenyum menampakkan gigi putihnya. Beberapa saat kami terdiam, aku masih memperhatikan Alia. Cantik saat dilihat dari samping. Apalagi tanpa menggunakan hijab. Astaga apa yang aku pikirkan? "Kamu sudah sarapan, Za
Meninggalkan rumah yang enam tahun kutempati dengan kesal. Harga diriku hancur di hadapan Alia. Dan dari mana ia tahun jika aku sudah menikah lagi? Argg.... Rencana yang telah kususun rapi hancur berantakan. Sekarang bagaimana nasibku. Uang hanya tinggal tiga juta dalam dompet. Sementara kartu debit dan kredit telah dibekukan Alia. Untung saja aku masih memiliki uang dua puluh juta di brankas rumah Mega. Tapi itu tak akan bisa menghidupi Mega dengan gaya yang bak sosialita. Padahal uang tak ada. Pasti Mega akan mengamuk jika tahu aku tak bisa merayu Alia lagi. Menyalakan mesin motor butut, meninggalkan rumah penuh kenangan. Kenangan indah dengan Alia. Di rumah itu aku diperlakukan bak raja. Namun kini hanya tinggal kenangan. Bodoh! Kenapa aku tak cepat bergerak untuk menguasai perusahaan itu. Kujalankan motor dengan kecepatan sedang. Sinar mentari yang mulai nampak menyentuh kulit yang tak memakai jaket. Dulu tak perlu aku kepanasan atau kehujanan tapi sekarang aku harus terbiasa
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang