Freesia tak tahu ia pingsan cukup lama. Ia baru bangun menjelang tengah malam. Dan tak lama setelah Freesia bangun, Lily sudah tidur karena mengantuk menunggui Freesia bangun hingga selarut itu.“Kau akan membiarkan dia tidur di sini, kan?” tanya Freesia pada Allen sembari merapikan selimut yang menutupi tubuh kecil Lily.“Kau akan membiarkannya meski itu akan membuatku berkali-kali datang ke kamar ini untuk mengeceknya?” balas Allen.Freesia menghela napas. “Setelah aku tahu alasanmu, mana bisa aku melarangmu?”“Aku tak tahu kau sepengertian itu,” dengus Allen geli.“Haruskah kau meledekku untuk segala hal?” kesal Freesia.“Kau saja yang terlalu sensitif,” tepis Allen. “Tapi, apa kau baik-baik saja? Tidak pusing atau mual?”Freesia kemudian teringat sesuatu. “Mendekatlah kemari,” pintanya pada Allen yang berdiri tak jauh dari tempat tidur.“Kenapa? Kau butuh bantuan untuk melakukan sesuatu?” tanya Allen sembari mendekat. “Kau mau aku mengangkatmu berbaring atau ...”Kalimat Allen ter
“Aku pun bisa menjanjikan satu hal padamu,” Allen berkata. “Aku tidak akan pernah mengusirmu dari rumah ini.” Ketika mendengar Allen mengucapkan kata-kata itu, Freesia menahan napas selama beberapa detik karena merasakan denyut keras jantungnya yang diikuti degupan kencang. Freesia berdehem pelan untuk meredakan degupan kencang jantungnya. “Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok,” balas Freesia. Dan, tidak ada yang tahu kapan Allen akan berubah pikiran dan membunuh Freesia seperti dia membunuh orang yang menyandera Freesia itu. Namun, entah kenapa … Freesia tak sedikit pun merasa takut akan itu. “Apa yang kau lakukan padaku sebenarnya?” gumam Freesia pelan tanpa sadar. “Apa?” Allen bertanya dengan kening berkerut. “Ha? Apa?” balas Freesia, kelabakan. “Kau barusan bilang sesuatu?” tanya pria itu lagi. Freesia menggeleng. “Hanya … aku masih tak percaya nenekku mengirim orang itu padaku. Itu pun, dia adalah orang Bramasta,” ucapnya, mengalihkan topik. “Dan jika dia meman
“Kau selius, Allen?” Wajah Lily tampak sumringah dan matanya berbinar-binar. Allen mengangguk. Freesia memperhatikan ekspresi Lily lekat. “Kau sesenang itu?” tanya Freesia. “Tentu saja!” seru Lily penuh semangat. “Aku akan belmain dengan banyak teman-teman.” “Tapi, sebagai gantinya, kau harus berjanji jika kau tidak akan kabur dari pengawalmu dan mengendap-endap sendiri ke mana pun di rumah ini, maupun di luar rumah ini.” Lily menoleh pada Freesia, seolah menanyakan pendapat Freesia. Freesia kontan mengangguk cepat. Seharusnya Allen melakukan ini lebih cepat. “Baiklah,” Lily akhirnya menjawab Allen dan mengulurkan jari kelingkingnya. Freesia menjadi saksi ketika jari kelingking kecil itu bertaut dengan jari kelingking Allen. “Tapi, bagaimana kau akan membawa teman-teman untuk Lily kemari?” tanya Freesia penasaran. “Apa kau membayar aktor kecil atau apa?” Allen mendengus pelan dan mengetuk kening Freesia dengan punggung jari telunjuknya. “Jangan samakan aku denganmu,” balas pr
“Kau ingin aku bertarung di sini dengannya atau apa?” sengit Freesia sembari menyipitkan mata kesal pada Allen. Allen menatap gadis itu dan tak bisa menahan senyum gelinya. “Kenapa? Kau ingin bertarung dengannya karena dia meninggalkan Lily?” Freesia mendesis kesal. “Aku serius!” bentak gadis itu. “Aku juga serius,” sahut Allen. “Jika kau akan melakukannya, aku akan mendukungmu.” Freesia menggeram kesal dan sudah akan pergi, tapi Allen menahan tangan gadis itu. “Tak bisakah kau mengakhiri salah pahammu dan berhenti marah padaku?” tanya Allen. Freesia menoleh pada Allen. “Apa?” “Anak-anak ini, seperti yang sudah kukatakan tadi, mereka dari panti asuhan Alia,” Allen berkata. “Dan tentu saja, Alia akan membunuhku lebih dulu jika aku melakukan apa yang kau tuduhkan padaku.” Freesia mengerjap. “Jadi, kau … saat itu, kau …” “Aku tidak serius,” Allen berkata. “Karena kau dengan mudahnya menawari kerjasama semacam itu, aku hanya …” Kalimat Allen tak selesai karena Freesia tiba-tiba m
“Kau … serius dengan kata-katamu itu?” Alia sampai ternganga tak percaya sepanjang mendengar penjelasan Val mengenai gadis bernama Freesia itu.“Apa aku tampak sedang bercanda?” balas Val dengan ekspresi gusar.Tidak. Val tidak akan bercanda tentang hal seperti ini. Jika itu menyangkut tentang mereka, maka itu adalah hal yang serius. Amat sangat serius.“Jadi, maksudmu … Allen benar-benar serius tentang menikahi gadis itu?” Alia memastikan.Val mengangguk. “Kau sudah lihat sendiri. Dia juga pasti mengancammu, kan?”Ya. Dia memberi peringatan yang sangat jelas pada Alia. Dan itu menunjukkan keseriusannya.Namun, apa yang sebenarnya ada di pikiran Allen? Tidakkah pria itu tahu, melibatkan orang yang tak bersalah hanya akan membuat masalah ini semakin panjang? Alia bahkan tak tahu bagaimana mereka bisa bertemu. Apakah itu benar-benar kebetulan?Tidak. Bagaimana jika Allen sudah merencanakan semua ini?Jika Allen tidak berhenti, Alia khawatir suatu saat, Lily akan terseret dan terlibat. D
Alia tak bisa berkata-kata ketika melihat apa yang barusan terjadi di depan matanya. Tak pernah sekali pun Alia melihat Allen melakukan hal seperti itu kecuali untuk Lily. Sama seperti di malam kecelakaan itu. Bagaimana Allen menembus hujan lebat untuk datang menjemput Lily dan semalaman berusaha menenangkan bayi Lily yang menangis tanpa henti.Dengan kata lain, Allen akan melakukan apa pun untuk Lily. Seperti misalnya, melompat ke kolam yang dangkal, atau bahkan melompat dari tebing tinggi. Namun, apa yang barusan terjadi?Alia bahkan sampai tak berusaha menahan Allen ketika pria itu melewatinya begitu saja dengan ekspresi tak terbaca. Alia melihat pakaian pria itu basah. Dan orang yang menyebabkan reaksi tak terduga Allen itu adalah …Alia menoleh ke tepi kolam renang, tempat Lily menumpuk tubuhnya di atas tubuh Freesia yang dipeluknya erat. Alia mendengus tak percaya.Sekarang, alasan Val meminta Alia membawa gadis itu pergi dari sini, bagaimanapun caranya, terdengar sangat masuk a
Setelah berganti pakaian tadi, Allen sengaja tidak kembali ke kolam renang dan malah pergi ke ruang kerjanya. Ia juga tidak keluar bahkan ketika Alia dan anak-anak panti asuhan meninggalkan rumahnya sore itu. Toh, Lily tampak baik-baik saja bersama Freesia. Anak itu bahkan tidak menangis atau merengek ketika Alia dan anak-anak panti asuhan itu pulang. Tak seperti biasanya.Namun, tak lama setelah kepergian Alia dan anak-anak panti asuhan, pintu ruang kerjanya diketuk dan didengarnya suara Freesia dari luar,“Allen, boleh aku masuk?”Allen mengerutkan kening heran. Apa gadis itu sudah tak marah lagi pada Allen? Mengingat, Allen tidak hanya membuatnya kesal sekali, tapi dua kali. Dia tampak benar-benar kesal ketika Allen mengacaukan rencananya memberi event kejutan aneh pada Lily tadi.“Masuklah,” Allen menjawab.Pintu ruangan itu terbuka dan kepala Freesia menyembul dari baliknya. Tak bisakah ia langsung masuk saja tanpa membuat efek seperti itu? Namun, gadis itu lantas melongok ke kan
“Kau selius, Fleesia? Kita akan belmain ke panti asuhan?” Mata Lily berbinar penuh harap sekaligus ketidakpercayaan.Freesia mengangguk kuat. “Ya. Kau bisa memastikannya sendiri pada papamu,” jawabnya.Lily langsung menoleh pada Allen. “Apa itu benal, Allen?” ia memastikan.Allen mengangguk sembari menyuapkan sepotong daging ke mulutnya.“Wow! It’s so f***ing gleat!” seru Lily dengan umpatan tak ter-filter.Freesia yang tak menduga akan kemunculan tiba-tiba kata itu, seketika panik. Ia melirik Allen sekilas sebelum mengoreksi Lily,“It’s so awesome, right?” Freesia tersenyum pada Lily. “Kau bisa bermain dan bersenang-senang dengan teman-temanmu di panti asuhan nanti.”Lily mengangguk kuat sembari tersenyum lebar. “Kapan kita akan pergi ke sana?” tanya Lily.Freesia belum bisa memastikan itu, jadi ia menoleh pada Allen. “Kapan kau punya waktu luang untuk menemani kami ke panti asuhan?” tanyanya.“Semakin cepat semakin baik,” jawab Allen.Ah, benar juga. Kemarin Allen bilang jika dia ad
Beberapa minggu kemudian …“Mama!” Lily berlari masuk ke rumah dengan membawa selembar kertas di tangannya.Freesia yang menunggu di ruang tamu seperti biasanya, meski kali ini tanpa Leon yang masih tidur, tersenyum menyambut kepulangan putrinya itu.“Bagaimana sekolahmu tadi, Kakak Lily?” tanya Freesia ketika Lily mencium pipinya.“Mama, lihat ini!” Lily mengangkat selembar kertas yang dibawanya tadi dan Freesia bisa melihat gambar di sana.Freesia ternganga takjub melihat gambar dirinya di sana. Freesia yang duduk di kursi santai di tepi kolam renang rumah Allen. Dan itu adalah gambar Freesia yang sedang tertawa. Dari semua fiture Freesia di gambar itu, ekspresi Freesia tampak begitu jelas. Kebahagiaan yang dirasakan Freesia tergambar dengan baik di sana.“Aku dan Reyn menggambar ini bersama-sama,” Lily berkata.Ah … jadi ini ekspresi yang disukai anak-anak ini dari Freesia? Freesia memeluk Lily.“Terima kasih, Sayang,” ucap Freesia sungguh-sungguh.Lily terkekeh bangga. “Reyn bilan
“You’re impressive,” Brand berkomentar sembari mengawasi Lily dan anak-anak panti asuhan Alia bermain di kolam renang dari balkon lantai dua. Ah, ada satu lagi, anak yang menjadi sumber keresahan Allen saat ini. Anak seusia Lily yang bernama Reyn.“Yeah, indeed,” timpal Val. “Aku takjub Freesia masih menerimamu sebagai suaminya.”“Huh! Kalian belum merasakan saja jika kalian punya anak perempuan,” cibir Allen. “Anak itu bahkan sudah berani menggandeng tangan Lily …”“Kudengar, Lily yang menggandeng tangannya dulu. Jangan memutarbalikkan fakta dan membuat anak orang lain menjadi kriminal,” tegur Brand.“Jika Lily menggandeng tangannya lebih dulu, bukankah seharusnya dia melepaskan tangan Lily jika dia memang seorang gentleman?” balas Allen.“Freesia benar,” tukas Val. “Kau tak masuk akal. He’s a baby, Dude! A freaking baby!” Val terdengar frustasi.“Allen, jika kau terus bersikap seperti itu, kau akan merepotkan Freesia.”Brand, Allen, dan Val menoleh ke sumber suara yang berada di pin
Sejak dia bangun tadi, Lily tampak sangat bahagia. Tidak, lebih tepatnya, sejak Allen mengatakan jika dia akan mengajak Freesia dan Leon mengantarkan Lily ke sekolah. Allen sudah memberitahukan Freesia tentang situasi Reyn dan dia ingin Freesia menemui Reyn agar anak itu tidak terlalu waspada pada orang dewasa.Mungkin karena perlakuan orang-orang panti asuhan, anak itu terlalu waspada pada orang dewasa. Karena itu, dia selalu menolak bantuan guru-guru sekolahnya. Dia pertama kali membuka diri pada Lily yang berkeras menemaninya seharian kemarin.Ketika mereka tiba di sekolah Lily, Leon tertidur. Kepala sekolah Lily yang sudah dihubungi Allen dan menyambut mereka di gerbang, mengantarkan Freesia ke ruang kesehatan agar Leon bisa tidur dengan nyenyak di sana. Freesia memercayakan Leon pada dua pengasuh dan dua pengawal sebelum dia pergi ke tempat Lily dan Reyn berada. Sementara, Allen pergi ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan masalah panti asuhan Reyn dengan pihak sekolah.Salah
Lily baru masuk ke ruang kelasnya ketika melihat salah satu teman sekelasnya didorong temannya yang lain hingga jatuh terjengkang ke belakang.“Jangan dekat-dekat! Bajumu jelek!” hardik Lucy yang mendorong teman sekelas Lily yang lainnya tadi.Lily bergegas menghampiri Reyn, anak laki-laki yang didorong Lucy hingga jatuh tadi. Reyn adalah anak yang baru masuk beberapa hari terakhir ini. Dia adalah anak dari panti asuhan. Dia masuk ke sekolah ini sebagai murid beasiswa. Lily dengar, salah satu guru kesenian di sekolahnya melihat kemampuan menggambar Reyn dan menawarkan beasiswa untuk Reyn.“Kenapa kalian jahat sekali pada Reyn?!” tegur Lily.“Lily, kau jangan dekat-dekat dengan dia! Kau tidak lihat bajunya? Jelek dan kotor. Bajumu bisa ikut kotor!” Lucy heboh.Memang yang dikatakan Lucy tidak salah tentang baju seragam Reyn yang jelek karena warnanya pudar dan kotor karena noda yang tidak hilang meski telah dicuci. Sepertinya itu seragam bekas. Namun, dia tidak harus mengatakannya deng
Beberapa bulan kemudian …Pintu kamar tidur Allen dan Freesia terbuka lebar dan Lily yang sudah memakai seragam sekolah, menghambur masuk sembari berseru,“Selamat pagi, Mama, Papa, Leon!”“Selamat pagi, Kakak Lily,” Freesia yang duduk bersandar di kepala tempat tidur sembari menyusui putranya, Leon, membalas sembari tersenyum.“Lily, jangan ganggu adikmu,” Allen mengingatkan Lily.“Papa, kapan aku mengganggu Leon?” protes Lily sembari melepas sepatu sekolahnya dan naik ke tempat tidur.Bahkan setelah dia memprotes peringatan Allen, dia langsung menciumi pipi Leon yang sedang menyusu. Akhirnya, seperti biasa, Leon mulai risih dan merengek.“Lihat itu, kau mengganggunya!” tuding Allen.“Aku hanya memberinya ciuman selamat pagi,” Lily beralasan sembari mundur.Freesia hanya tersenyum geli sembari menenangkan Leon. “Leon sepertinya masih mengantuk. Nanti setelah dia tidur, kita sarapan bersama, ya, Kakak Lily?”“Ya, Mama,” jawab Lily riang.Setelah Leon tertidur, Allen memindahkan Leon k
“Mama masih sedih?” tanya Lily dengan nada sedih.Freesia tersenyum dan menggeleng. “Maaf, Mama membuatmu khawatir,” sesalnya.Lily menggeleng. “Mama jangan sedih lagi. Kan, Mama sudah bilang sendili, aku bisa belmain ke lumah itu lagi kapan pun aku ingin. Itu belalti, Mama juga bisa pelgi ke sana kapan pun Mama ingin.”Freesia tersenyum sendu dan mengangguk. Padahal ia yang mengatakan itu pada Lily, tapi justru Freesia yang bereaksi seperti ini. Lily bahkan tak menangis ketika berpisah dengan orang-orang rumah Allen tadi. Namun, justru Freesia yang menangis. Val bahkan menertawakan Freesia hingga Lily mengomelinya dan mereka berdebat sampai detik terakhir perpisahan mereka tadi.“Lily benar, Freesia,” ucap Allen sembari merangkul Freesia. Pria itu duduk di sebelah kanan Freesia. “Aku tak tahu apa yang membuatmu sesedih itu ketika rumah itu penuh dengan aturan yang tak bisa memberi kau atau Lily kebebasan.”“Tapi, itu adalah rumahmu, Allen,” Freesia berkata. “Aku tahu, kau punya banya
“Aku akan mendukung rencana kalian mengambil alih perusahaan keluarga Martin,” Brand berkata. “Dan kurasa, Mary juga pasti tidak akan keberatan dengan itu. Well, jika itu untuk cucunya, dia akan memberikan apa pun.”“Kau … mengenal nenekku?” Freesia tampak terkejut.Brand tersenyum. “Aku banyak belajar dari Mary tentang bisnis.”“Oh …”“Dia juga pernah memintaku untuk membantu cucunya jika suatu saat dia tertarik dengan bisnis keluarganya,” lanjut Brand.Freesia tersenyum sendu. “Aku benar-benar … sudah tidak adil pada nenekku,” ucapnya. “Aku selama ini selalu berpikir jika dia hanya memaksaku melakukan hal yang tak kuinginkan. Tapi, aku sekarang sadar, dia melakukan semua itu benar-benar untukku. Karena seandainya orang tuaku masih ada … dia hanya ingin aku melakukan apa yang kuinginkan.”Brand mengangguk. “Nenekmu punya impian untuk menghabiskan waktu tuanya bermain denganmu,” Brand berkata.Freesia mengernyit dan tampak akan menangis.“Aku tahu kau sudah salah paham tentang nenekmu
Ketika Lily tidur setelah makan siang, Allen mengajak Freesia ke ruang kerjanya karena Brand ingin bicara dengan mereka. Freesia tidak tahu banyak tentang Brand selain jika dia adalah kakak sulung Allen dan dia adalah bos di rumah ini sebelum Allen.Tunggu. Bagaimana jika Brand tak menyetujui hubungan Freesia dengan Allen? Dia mungkin akan memberi Freesia uang untuk meninggalkan Allen. Tidak, tidak. Dia tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Freesia juga sedang hamil anak Allen.Jika bukan itu … apa dia akan memarahi Freesia? Itu masuk akal. Mengingat bagaimana tadi pagi mereka semua berjemur di tepi kolam renang sambil mendengarkan lagu anak-anak. Meski ayah Allen sepertinya tak keberatan dan menikmati waktu bersantai mereka tadi, tapi Freesia tak tahu bagaimana reaksi Brand. Pria itu juga tak banyak bicara sepanjang pagi tadi.“Um … Allen,” panggil Freesia dalam perjalanan ke ruang kerja pria itu.“Kenapa, Freesia?” tanya pria itu.“Kakakmu itu … dia orang yang bagaimana?” tanya F
Freesia terkejut ketika melihat seorang pria yang tak dikenalinya ada di ruang makan saat ia masuk ke sana bersama Allen dan Lily untuk sarapan. Pria itu memakai topeng setengah wajah yang menutupi bagian mata kanan hingga pipinya. Lily yang juga tampaknya terkejut, menarik-narik ujung baju Freesia.Freesia menoleh dan mendapat Lily sudah bersembunyi di belakangnya. Reaksinya nyaris sama dengan saat ia bertemu ayah Allen. Freesia sudah akan menggendong Lily, tapi lagi-lagi Allen bergerak cepat dan menggendong anak itu lebih dulu.“Itu Brand,” Allen menyebutkan.Brand? Brand, kakak Allen? Namun, bukankah dia sudah …?“Bland?” tanya Lily.“Ya,” jawab Allen. “Dia kakakku. Jadi, dia adalah ommu.”“Om?” Lily mengerutkan kening. “Apa dia … kelualgaku?”Allen tersenyum kecil. “Ya. Dia keluargamu.”“Whoaaa …” Lily ternganga takjub. “Kelualgaku beltambah lagi. Setelah nenek, kakek, sekalang aku punya om!” Lily terkekeh.Freesia memperhatikan ekspresi sendu Brand yang tertuju pada Lily. Jadi …