"Aku tak ingin kembali bersamamu, aku akan berpisah denganmu," racau Mayra dalam mobil dengan penuh emosi.
"Mayra!" Nalan menyentak dengan suara menggema, berhasil membungkam istrinya dengan tatapan tajam. "Bisakah kau tenang sedikit?" pintanya dengan desahan kasar.
Mayra duduk sembari menyilangkan kedua tangan dan memalingkan diri dengan nafas memburu, wajahnya tertekuk. Dia tak ingin melihat wajah Nalan yang teramat menyebalkan."Sekarang kita kembali dulu, lalu bicarakan semuanya pelan-pelan," ujar Nalan kembali fokus mengendarai mobilnya.
Nalan merasakan hal yang berbeda sejak semalam meniduri istrinya, ia tak mampu mengucapkan kata perpisahan. Kepergian sang istri mulai membuatnya tak karuan, bahkan sampai mengacuhkan kekasih yang dicintainya.Selama perjalananSetelah malam di mana ia meniduri istrinya, Nalan mulai merindukan semtuhan itu lagi malam ini. Dia seperti ketagihan dengan tubuh Mayra sejak pertama kali disentuhnya.Di kamar, Nalan nampak uring-uringan. Padahal, sudah sejak lama kembali pada Serra, ia tak pernah melakukan hal itu lagi. Cukup bisa menahan diri, tapi Mayra membuatnya begitu ketagihan."Kenapa aku jadi seperti ini?" Nalan menjadi orang yang sangat bingung. Entah ia mulai mencintai sang istri atau karena tubuhnya saja? Padahal, ia merasa tubuh Mayra kalah dengan tubuh Serra."Aku tidak bisa begini terus, aku harus melakukannya. Toh, dia masih istriku dan berhak atas dirinya." Nalan pun keluar dari kamar untuk menemui sang istri. Saat ia membuka pintu, Mayra lewat depan kamar dengan mengacuhkan.Nalan seket
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia jatuh cinta dengan sang suami. Seumur hidup, Serra selalu menganggap cinta adalah hal yang tidak masuk akal baginya.Cinta tidak bisa membuatnya kaya, terlebih lagi bisa membodohi diri. Terbukti pada setiap lelaki yang pernah tergila-gila padanya, mereka akan memuja bahkan merugi hanya demi cinta.Serra tak ingin jatuh ke cinta yang dapat membuatnya sesat nanti, terbukti pada Nalan. Dia begitu tersesat pada dirinya, sehingga buta akan kebenaran tentangnya. Cinta memang dapat membodohi orang, itu sebabnya ia pantang untuk mencintai pria manapun.Cukup mereka yang bodoh, Serra tak ingin menjadi bodoh. Hingga, ia termakan oleh kata-katanya sendiri.Dia jatuh cinta pada Bryan, lelaki yang tak pernah menginginkan dirinya, meski kenyataan menyakitkan diterima wan
Serra meremas dadanya, teramat sakit mendapat penolakan dari Bryan. Malu, hilang harga diri dan sakit hati menjadi satu dalam benaknya. Dia ingin sekali mengakhiri hidup, tak sanggup bertemu lagi dengan sang suami."Ternyata cinta sesakit ini, dari dulu aku tidak pernah memedulikan perasaan orang yang mencintaiku dengan tulus. Setelah merasakan semuanya, aku tak sanggup menerima rasa sakit ini," isak Serra diatas balkon seorang diri. Dia ingin menenangkan diri, setelah pengakuan Bryan yang teramat menyakitkan.Secepat itukah Bryan jatuh cinta pada wanita lain? Atau memang cintanya sudah lama? Ingin rasanya ia melabrak perempuan yang merebut hati suaminya. Memberi pelajaran setimpal dan bahkan mencabut nyawanya, sayangnya dia tak tahu siapa! Sang suamipun enggan memberi tahu."Kenapa aku harus terlambat jatuh cinta pada, Bryan? Kenapa juga h
Sore hari setelah urusan mereka selesai di kantor, Bryan, Seon dan Nalan secara bersamaan turun dari mobil. Ketiganya bertemu dipelataran parkir apartemen Nalan."Ngapain kalian berdua ke sini?" tanya Nalan tak suka melihat keduanya. Niat hati ingin pulang, untuk bercinta dengan Mayra. Namun, secara bersamaan kedua pengganggu datang mengusik niatnya."Aku ingin bertemu dengan adikku, apa itu salah?" Seon bertanya balik dengan ketus."Aku ingin membahas sesuatu dengannya," jawab Bryan datar.Keduanya berbohong, tujuan mereka datang karena merindukan Mayra yang sudah lama tak pernah mereka melihat. Kesibukan membuat Seon dan Bryan, tak pernah bisa melihat gadis yang dicintainya. Namun, komunikasi tetap berjalan."Bisakah kalian
Tangan Nalan terkepal sempurna, tatkala pengakuan dua orang yang berada disamping kanan dan kirinya. Sebegitu menariknya kah Mayra di mata dua lelaki ini? Sementara yang ia tahu, sang istri hanya orang biasa.Namun, hal yang paling tak disangkanya, tanpa rasa malu kedua lelaki itu mengungkapkan perasaan mereka pada orang yang jelas-jelas merupakan suami sahnya. Mereka anggap apa Nalan?"Jika, kukatakan kami telah melakukan selayaknya suami-istri di atas ranjang, apa kalian masih menginginkan Mayra?" tanya Nalan sinis. Dia yakin tak akan ada laki-laki yang tertarik pada wanita yang telah dijamah, meski suami sendiri.Keduanya tertegun mendengar hal itu, mereka sejenak diam. Bahkan, Bryan yang sedang mengunyah kue buatan Mayra, seketika menghentikan hal itu. Dan langsung meneguknya secara paksa.Seon menyeringai, "Sek
Serra mendatangi Eden yang berada di Villa milik lelaki paruh baya nan gagah. Memoles diri secantik mungkin dan memakai pakaian yang teramat terbuka untuk menemuinya.Wanita itu sudah paham, saat dipanggil Eden ke Villanya. Ingin menghabiskan beberapa hari bersamanya, bercinta tanpa harus diganggu dengan Bryan.Dia menuju ruang televisi di mana pria perkasa itu berada, menonton sambil meminum segelas anggur merah."Sayang, apa kau merindukanku?" tanya Serra langsung mendaratkan bokongnya disebelah Eden yang memegang segelas anggur merah di tangan sambil menggoyangkannya.Eden tetap fokus pada layar besar yang ada didepannya, mengacuhkan kedatangan wanita yang membuatnya marah besar. Wanita yang sangat tidak patuh dan diam-diam membangkang dibelakangnya.Eden tak suka dengan wanita
Benda pipih yang terletak di atas nakas samping ranjang Mayra, membangunkan Nalan yang sedang tidur dalam dekapan sang istri.Semalam ia membuat dirinya kelelahan, rindu yang mendera, nafsu yang menggebu dan amarah membuncak akibat ulah dua lelaki yang datang hanya untuk istrinya. Hingga Nalan melampiaskan segalanya di atas ranjang, selepas makan malam.Nalan berdecak kesal dengan dering ponsel yang tak kunjung berhenti, meski diabaikan."Siapa sih?" rutuknya meraih ponsel tersebut. "Nomor yang tak dikenal?" Nalan mengangkat. "Halo.""Selamatkan sahabat terbaikmu, sebelum nyawanya meregang di tanganku," suara yang tak dikenalnya sedang mengancam dengan tawa yang besar. Nalan membulatkan mata, tersentak.Lelahnya pun hilang, ia menyibak selimut yang membaluti dirinya. Tanpa mengen
Setelah membereskan yang kejadian hari ini, Bryan menghubungi Mayra. Dia membutuhkan perempuan itu saat ini, hanya Mayra yang bisa membuatnya tenang dan menghilngkan rasa penatnya.Beruntung perempuan itu mau menemuinya di apartemen miliknya yang lumayan jauh. Mendengar kabar hari ini, Mayra langsung mendatanginya. Khawatir dengan lelaki tersebut yang sudah dianggapnya sahabat. Bagaimanapun, ia masih mengingat kebaikannya yang telah menolongnya."Kak Bay!" seru Mayra tatkala masuk ke dalam apartemen tersebut. Dia melihat lelaki itu sedang merenung membelakangi sofa, menatap ke jendela dengan tatapan kosong.Bryan berbalik saat mendengar suara yang sangat membuatnya senang. Menampilkan senyuman termanis menyambut kedatangan wanita yang dicintainya."Kau sudah datang?" tanyanya lembut melangkah pelan.
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba