Jarum jam yang menempel di dinding putih, telah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sejak, jam makan malam Mayra menunggu di ruang tamu hanya untuk menanti Nalan. Namun, batang hidung lelaki itu tak nampak sama sekali.
Seharusnya Mayra tak perlu menunggu atau berharap yang jelas saja itu hanya omong kosong belaka. Dia hampir kesenangan, tapi dibuat kecewa sejak tadi. Perutnya belum terisi apapun, karena Nalan berjanji akan membawa makanan pulang.
Cacing di perutnya sudah bunyi, meminta untuk diisi. Mengingat ini sudah sangat malam sekali baginya, ia tak bisa memesan makanan online. Memasak pun sudah tak ada apa-apa di kulkas, akibat kemarahannya tadi setelah di tampar. Jadi, Mayra mogok masak atau sekedar membeli makanan."Seharusnya, aku tak berharap lebih," gumam Mayra dengan raut wajah kecewa. Mau tak mau, ia harus keluar pergi mencari makan di luar. Tak mungkin tidur dalam k
Bunyi dering ponsel manajer tersebut berdering, panggilan dari asisten sang pemilik Huaka. Tak menyangka jam segini, ia menelpon tiba-tiba. Tanpa perasaan ragu, segera diangkat.Bryan yang masih belum jauh berdiri, dapat mendengar suara syok dan kaget dari manajer angkuh itu. Tanpa berbalik, ia sudah paham apa yang terjadi. Dia menyeringai."Ap-apa? Saya dipecat? Apa alasannya, tuan?"Entah apa yang disampaikan oleh Isan pada bawahannya, tapi yang jelas. Tindakan arogan itu tidak benar, apalagi hanya seorang bawahan yang masih mengharapkan pekerjaan. Bukannya menjaga dengan baik, malah membuat diri sendiri terlibat masalah.Setelah pembicaraan selesai, sang pelayan bertanya dengan cemas dan memaksa untuk segera minta jawaban. Melihat reaksi tak terduga dari manajer tersebut."Diam! Kamu perempuan, sial!?" gertaknya sambil mena
Sepanjang jalan, Bryan hanya mendengar suara isakan dari gadis itu. Terpukul, syok dan tak menyangka, jika secepat ini Nalan ketahuan. Apalagi mereka memang menikah hampir sebulan, terbilang cukup baru.Berbeda dengan Bryan, kala mendapati semua keburukan Serra. Tak ada air mata menetes atau sakit dirasakan, karena tidak ada perasaan sejak awal. Mayra memang sangat mencintai sahabatnya. Jadi, mewajari rasa sakit di hati gadis itu. Namun, apa yang bisa diperbuat? Diam, membiarkan menangis untuk melegahkan perasaan, jika itu yang terbaik.Entah mengapa? Perasaan tak tega itu mencuat ke permukaan. Bryan benar-benar tak bisa membayangkan perasaan luka di hati Mayra. Dia juga ikut sedih, bukan sedih karena hubungan mereka. Melainkan, kesedihannya pada gadis yang duduk di sebelahnya.Setelah sampai di sebuah pantai Ombak, tak ada orang pun di tempat itu. Hanya mereka berdua
"Kenapa, kak Bay bertahan? Bukannya melepaskan?" tanya Mayra yang masih sulit mengerti pikiran Bryan."Alasanku cuma 2, demi Mama dan Nalan. Bertahan, karena tidak tahu harus beralasan apa! Sementara Nalan, dia sahabatku. Ingin membuka hati dan pikirannya, cara untuk menemukan bukti membiarkan Serra bersamaku," jawab Bryan panjang."Kenapa kakak harus sampai seperti ini pada, Nalan? Sementara dia sangat membencimu.""Karena dia sahabatku sampai kapanpun, saat ini biarkan saja dia membenciku. Nalan tidak tahu yang sebenarnya, siapa lagi yang bisa membantunya kecuali aku? Marco sudah tak ingin ikut campur, karena ya kamu tahu sendiri bagaimana orangnya. Malas dengan lelaki bodoh seperti suamimu itu," kekeh Bryan, jika mengingat setiap perkataan Marco yang tetap kekeuh tidak ingin membantu Nalan."Kak Bay, kamu memiliki hati yang begitu baik. Kelak
Nalan memang ingin sekali tidur bersama Mayra, itu sebabnya tadi ia menolak ajakan Serra untuk menginap di hotel setelah makan malam.Entah mengapa sejak siang tadi, sehabis berciuman dengan Mayra, hatinya selalu ingin merasakan bibir tipis itu."Ngga! Kamu tidur di kamarmu, sejak kapan kamu mengakui hal itu?" tolak Mayra tegas.Nalan tak memedulikannya, ia menarik gadis itu masuk dalam pelukannya. Dia tahu, Mayra sangat marah, jadi tak mengambil pusing setiap perkataan ketus yang terlontar.Mayra memberontak minta dilepaskan, ia malas untuk sekedar dipeluk atau di sentuh oleh suaminya."Lepaskan!?" racau Mayra mendorong tubuh Nalan untuk menjauh darinya. Meski, sudah diingatkan untuk biasa-biasa saja setelah kembali ke apartemen. Namun, ia tak segampang itu melupakan rasa kecewa yang dibuat dua kal
Keesokan hari di pagi yang cerah, kota Himalaya digegerkan dengan kematian detektif nomor satu yang begitu tragis didalam rumahnya.Berita dan dunia sosmed menjadi trending topik utama pada hari itu, penemuan mayat di rumah Isan, bukan hanya dia seorang melainkan. Asisten dan kepala pelayan pun tewaa mengenaskan, hanya tempat kematian mereka berbeda.Isan ditemukan di atas ranjang dengan beberapa tusukan di dada dan perut. Asistennya yang tak jauh dari kamar majikan, tertembak tepat di kepala dan dada. Sementara kepala pelayan, lehernya di tebas dan ditemukan di ruang tamu.Mendengar hal itu, Seon sangat terpukul. Tatkala mendapati mayat sang kakak kandung, bersimbah darah di atas kasurnya.Seon menjerit dan tak bisa menerima kematian Isan yang begitu tragis. Air matanya luruh, memeluk sang kakak yang masih bersimbah darah, meski aparat telah bera
Warning.. Bab ini mengandung tema kekerasan, harap pembaca menyikapinya dengan bijak...Nalan yang hendak menusukkan pisau ke tubuh Isan, mendadak bangun dan melihat wajah asli lelaki itu."Kamu!" sentak Isan langsung menggulingkan tubuhnya menjauh dari Nalan.Nalan menyeringai, "Kau tak akan hidup.""Ck! Dari awal aku sudah menduga, kaulah dalang dibalik kematian semua orang penting di kota ini.""Sayangnya, kau tidak punya bukti apapun. Begitu juga malam ini," ujar Nalan santai sembari mendekati perlahan Isan yang berada disebrang ranjang."Jadi, kau pembunuh kelas kakap berkedok CEO di Future?" tanya Isan dengan sorotan mata tajam."Jawabanmu tepat sekali," jawab Nalan senyum licik.
Seon anak kedua dari keluarga konglomerat di negara tetangga, kakaknya Isan sangat menyayangi sang adik meski jarak usia mereka cukup jauh, 7 tahun.Suatu ketika, di usia 3 tahun. Keluarga Seon mengunjungi bisnis mereka di kota Himalaya, sembari membawa kedua anaknya berlibur di kota tersebut.Bisnis tersebut hotel Hamers yang kala itu masih belum mencapai yang paling termahal di Himalaya. Restoran Huaka, bisnis kedua mereka. Masih bertahan hingga sekarang, karena di kelola oleh Isan. Dia yang dulunya tak ingin mengambil alih bisnis keluarga, karena ingin menjadi seorang penegak hukum.Namun, kehilangan Seon selama bertahun-tahun membuatnya terpaksa mengambil alih bisnis yang harusnya menjadi milik adiknya.Saat itu, kecerobohan Isan membawa adiknya jalan di tengah keramaian kota Himalaya tanpa didampingi anak buah ayahnya. Usianya kala itu
Seon teringat akan masa lalu, masa ia terpisah dengan sang kakak. Lalu, di temukan oleh ibu Mayra, hingga di adopsi sampai dewasa.Amara dan Fero yang menikah 5 tahun, tak kunjung diberi momongan. Namun, 2 tahun mengadopsi Seon, wanita itu dinyatakan hamil.Hidup mereka berubah sejak kehadiran Seon, mulai dari kelahiran Mayra dan ekonomi keduanya menanjak. Fero dan Amara tak membedakan antara kandung dan angkat, bagi mereka semuanya sama. Kasih sayang dan perhatian, pendidikan dan hal lainnya tetap di dapat lelaki itu.Seon tumbuh di lingkungan terbaik, bahkan sangat menyayangi adiknya. Namun, lambat laun Mayra yang semakin tumbuh besar, perasaan adik itu berubah menjadi antar lawan jenis.Hingga suatu hari, tepat diusia 17 tahun, Seon mengungkapkan perasaannya melalui Amara dan Fero."Mah, Pah, ada yang ingin kukatakan pada kal
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba