"Kenapa sih gadis ini bertanya?" tanya Nalan dalam hatinya mulai geram seraya mengepalkan tangannya di atas paha, tidak ada yang melihat karena mereka masih duduk, kapalan itu sembunyi dibalik meja makan.
"Ngga ada masalah apa-apa sih, cuma wanita yang kembali ke masa lalu kakak ngga respect lagi," sahut Seon pura-pura biasa, memandang Mayra yang berada didepannya."Kenapa? Kalau kak Seon suka, harusnya hargailah," ungkap Mayra begitu polos.Nalan kembali melebarkan mata dan Seon sedikit terhenyak dengan kata-kata Mayra. Dia tidak bermaksud ingin menyinggung adiknya, tapi yang keluar dari bibirnya sungguh diluar dugaan."Ehm, gimana ya?" Seon sedikit berpikir dan melirik ke arah Nalan yang masih diam mematung tapi wajahnya ditekuk. "Masa lalu, biarkan saja. Toh, kakak lebih memilih hidup di masa depan. Mundur ke belakang kakak takut kesandung," sindirnya lagi seraya me
Serra mengembangkan senyum kala Bryan menatap dirinya dari atas ke bawah, ia merasa suaminya mulai tergoda dengan tubuhnya yang hanya dibalut lingerie."Bryan pasti tergoda," tebak Serra dalam hatinya. "Mana ada laki-laki bisa menahan hasratnya ketika melihat keindahan tubuhku.""Sedang apa kamu di kamar ayah?" tanya Bryan dengan wajah santai agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Pakai pakaian seperti ini ke kamar, ayah," tegurnya pura-pura perhatian.Wajah Serra berubah kebingungan dengan pertanyaan Bryan, ia jadi salah tingkah dan lupa memakai penutupnya saking keasyikan memadu kasih dengan Eden tanpa henti.Eden mendengar hal itu, ia keluar untuk membantu Serra yang terlalu lama diam. Dia takut jika rencananya akan gagal, kalau sampai Bryan curiga."Ayah tadi tiba-tiba tidak enak badan, minta tolong pada Serra mengambilkan air. Mungkin dia p
Serra teramat kesal dengan perlakuan Bryan yang semakin berusaha menjauh dan menolaknya. Dia melempar tubuhnya ke ranjang dengan kasar, sebegitu tak tergodanya ia di mata suaminya. Padahal, segala cara dilakukan agar lelaki polos itu mau menyentuh. Termasuk memperlihatkan tubuhnya secara langsung, tapi tetap saja iman Bryan kuat."Bryan, kau semakin membuatku penasaran," gumam Serra menarik selimut, bergegas ingin tidur karena lelah seharian melayani nafsu Eden yang sangat besar. Walau ia tua, tapi tenaga dan gairahnya sangat kuat.Dibanding lelaki manapun yang pernah dicobanya, tetap Eden lebih bisa memuaskannya. Ketimbang Arback dan Nalan bahkan lelaki lainnya. Hanya saja, Serra penasaran dengan keperkasaan Bryan. Semakin lelaki itu menolaknya, semakin tinggi hasrat untuk tidur dengan suaminya.Serra memang wanita yang sering tidur dengan laki-laki sebelum bersama Nalan, sudah puluhan pria yan
"Aku benci kakakmu yang sejak tadi menyindir masa laluku," tegur Nalan setelah Seon pulang. Amarahnya diluapkan pada istrinya."Kenapa kamu mikir seperti itu? Kakakku bukan orang yang suka menyindir, emang kamu kembali sama Serra?" tanya Mayra membela kakaknya karena marah sang suami dianggapnya tidak masuk akal.Nalan terhenyak, ia diam kala mendapat pertanyaan yang hampir terjebak didalamnya sendiri."Bu-bukan berarti aku tersindir karena kembali sama Serra, tapi ia terus mengungkit masa lalu yang jelas tahu aku masih terbayang kesana," kilah Nalan gagap."Tapi, kakakku tidak berniat menyinggung kamu. Dia cerita soal masa lalunya, semua orang punya masa lalu, Nalan. Bukan cuma kamu," bantah Mayra yang tidak terima Seon di tuduh. Dia sangat tahu kakaknya itu seperti apa! Terlebih lagi, sikap mereka berdua tadi bisa membuat Seon tidak curiga.
"Yan, aku keluar dulu ya. Ada urusan sama teman, biasa soal bisnis," pamit Serra pada Bryan yang tengah menikmati sarapan buatannya sendiri. Sejak tahu ada sesuatu dalam minuman, ia jadi mawas diri."Sepagi ini?" tanya Bryan melirik jam di dinding pukul 06.30 pagi. Ia masih pura-pura seperti biasa, setelah semalam pengakuannya tetap melakukan peran suaminya. Eden yang sudah keluar sejak pagi buta ketika mereka belum bangun."Hum, lebih cepat lebih baik dan aku tidak akan pulang dalam 2 hari.""Oh, baiklah," ucap Bryan santai sembari meneguk habis kopinya. Serra pun pergi meninggalkan sang suami seorang diri di meja makan.Pagi ini jadwalnya untuk melayani Arback selama 3 jam, sesuai kesepakatan kemarin sebelum janjian dengan Nalan. Ia berangkat dengan hati senang, karena akan memuaskan langsung 2 laki-laki.Setelah memastikan Serra perg
"Marco benar-benar membuatku marah, bisa-bisanya ia menyuruhku menusuk Nalan lagi. Waktu Serra saja, aku penuh rasa bersalah karena memisahkan mereka. Namun, setelah tahu banyak tentang wanita itu, aku ingin membantunya keluar dari bayang-bayang Serra," gumam Bryan kesal. Baru kali ini selama menjalin persahabatan, tak pernah sekalipun ia marah bahkan kesal seperti ini."Aduh! Siapa yang bisa aku mintai tolong?" pikirnya kebingungan. Dia mondar mandir di depan kantor Marco seorang diri. Orang-orang berlalu lalang melihatnya dengan tatapan aneh tapi Bryan sama sekali tidak peduli. Ia berpikir keras siapa yang bisa dimintai tolong agar mereka tidak bertemu.Namun, pikirannya kembali pada Atras. Sepupunya yang menjadi kakak ipar Nalan, mereka masih sering berkomunikasi. Atras tidak pernah menyalahkan Bryan atas perjodohan yang dilakukan Bibinya itu, begitu juga dengan Nami. Mereka berpikir luas, tak sempit seperti adiknya.
Nalan membuka pintu dan terkejut dengan kedatangan Atras yang mendadak."Kak, sama siapa?" tanya Nalan matanya mencari-cari Nami tapi tak ditemukan.Atras memperhatikan dari atas ke bawah, pakaian Nalan begitu rapi tapi bukan seperti orang kantoran melainkan memakai kaos hitam polos dan jeans abu serta sepatu kets putih."Benar saja, pasti mau menemui Serra," tebak Atras dalam hati."Kak, ada apa?" tanya Nalan sekali lagi membuyarkan lamunan Atras."Tidak ada! Hanya lewat saja, aku lama tidak melihatmu.""Ayo masuk!" silah Nalan dan mengikuti Atras dari belakang. "Ya, ampun kak Atras pakai datang segala lagi, semoga saja dia cepat pulang," gumamnya cemas."Oh, ya mana Mayra?" tanya Atras melihat sekitar rumah tapi sepi bahkan suaranya pun tak terdengar."
Setelah Serra memutuskan sambungan telepon secara sepihak karena amarah yang memuncak, Nalan mulai stres memikirkan semuanya. Di saat bersamaan keluarga kakaknya datang, ia tak tahu harus bagaimana membuat Serra mengerti dan membujuknya.Entah mengapa Nalan merasa, Serra yang dulu telah berubah. Wanita itu semakin emosian dan tak mau tahu, jika dulu sewaktu pacaran dia sangat memahami dirinya bahkan tak sampai berbicara keras apalagi marah.Dia pun kembali ke ruang tamu, di mana mereka berkumpul. Wajahnya terlibat sedih dan itu sangat susah ia sembunyikan di depan keluarganya.Hingga matanya melirik ke arah Mayra yang sedang bermain dengan Zena, kejadian tadi membuatnya teringat dan terperanjat. Nalan memperhatikan bibir yang tadi disentuhnya berharap gadis itu tak menyadari perbuatannya yang spontan."Kenapa kamu, Nalan?" tanya Nami yang memperhatikan gerak gerik adikny
Ketika pagi menjelang, keduanya belum bangun. Namun, ada hal yang dirasakan Mayra seperti tubuhnya tertindih sesuatu dan ada memegang gundukannya.Ketika bangun, Mayra perlahan mengerjap. Matanya melihat ke arah yang menimpanya, betapa terkejutnya Nalan memeluk dari belakang sembari memegangi gundukan.Sontak membuatnya berbalik dan Nalan masih tertidur pulas, artinya lelaki itu tak menyadari tangannya sudah menyentuh bagian sensitifnya."Astaga! Aku ingin teriak, tapi Zena masih tidur. Aku takut membangunkannya," gumam Mayra melepaskan perlahan tangan Nalan tapi dirasakannya hingga terbangun dan dalam sekejap matanya melebar mendapati pemandangan mengejutkan."Mayra, a-aku...," lirih Nalan gugup."Singkirkan!" titah Mayra. Dengan cepat Nalan mengambil tangannya, ia tak menyangka dalam keadaan tidur tangannya kemana-mana."
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba