Lia 23Kepergok"Apa yang kita lakukan, Ren? Ini salah?" tanya Erlan pada Reni yang saat ini duduk di depannya. Kali ini Erlan berusaha mengintrogasi wanita itu yang tiba-tiba menyerangnya. saat jam makan malam. Erlan dengan sangat antusias memaksa Reni untuk bercerita. "Maaf, aku khilaf, Pak. Namun jujur aku sudah memendam perasaaanku dari dulu pada, Bapak," jawab Reni seraya memakan makanannya. "Lalu ... kau belom menikah?" tanya lagi Erlan pada wanita itu. Wanita itu menggeleng lalu menunduk. "Suamiku meninggal, Pak.""Maaf."Erlan hanya menghela napas. bicara soal wanita itu yang Erlan sendiri bahkan tak tahu tentang asal usul kehidupannya selama ini. Entahlah ... mungkin karena sikap posesif Ambarwati membuat Erlan saat ini jadi lebih nyaman berada di dekat wanita itu. Yang kini Erlan merasa jika harga dirinya sebagai seorang lelaki kembali bangkit. "Aku yang salah, Pak."Sesaat Erlan menarikan napas berat. Seoalah ia ingin memberitahu point penting pada Reni. "Kau tahu itu
"Kau keterlaluan, tuduhanmu tak beralasan.""Apa ... tak beralasan?"Mendengar ucapan Ambarwati, Erlan terdiam sambil menatapnya tajam. Erlan hanya bisa menerka apa yang tersirat dalam benak istrinya itu, lalu mencoba membaca dari sorot mata yang penuh dengan kecurigaan. Erlan merasakan sorot yang sama dimiliki Kamila saat ia marah besar. Erlan sadar dan mengusap rambutnya dengan kasar. Bukankah kata orang, mata adalah gambaran hati dan tidak akan bisa berbohong. Namun, Erlan mungkin bisa saja salah. Apa itu terlalu penting, mengingat tujuan Erlan ke sini hanya untuk urusan pekerjaan. "Pak Erlan, klien kita sudah datang dan meeting akan segera dimulai." Panggil rekan kerjanya. Tiba-tiba Anton datang memberi tahu Erlan. yang tadi datang bersama namun ia izin ke toilet. Bukankah dewa penolong berpihak padanya kali ini? "Baiklah, tunggu sebentar," jawab Erlan menatap kedua netra Ambar. "Baik, Pak.""Kamu, memalukan Ambar, lihatlah aku kesini bersama rekan kerjaku bukan seperti apa
"Mila, tetap disini. Aku kesana sebentar bertemu dengan, dokter Farid." Kata Reyga sambil meraih tangan Kamila. Jantung Reyga berdetak pelan, rasanya tak ingin menjauh dari istrinya. Untuk pertama kalinya mereka ke undangan bersama, wajah cantik Kamila menjadi daya tarik tersendiri di hati Reyga. "Iya, Mas Rey.""Jangan kemana-mana ya.""Iya, tenang saja. Aku tak apa-apa."Reyga pun tak kalah senang mendengar jawaban dari Kamila. Ia mengecup tangan Kamila dengan lembut. "Serius, mau ditinggal," goda Reyga. "Iya." Kamila menggenggam tangan Reyga erat. Berusaha meyakinkan dirinya akan baik-baik saja. Reyga berjalan mendekati dokter Farid, mereka saling menyapa juga Reyga memandang istrinya dari jauh. Dia tersenyum, senang melihat ke arah Kamila. Sementara Kamila berdiam diri seraya menatap pengantin yang terlihat begitu serasi. Suara alunan musik menggema di penjuru hotel tempat mereka mengadakan resepsi. Kamila melihat sang mama sedang asyik bercanda dengan teman sosialitanya. S
Disaat senja telah menguning, pertanda hari akan berganti petang. Senja seolah tahu kegelisahan yang mendera hati Kamila saat ini, bahwa ia tidak ingin menjadi durhaka pada sang suami di sisi lain ia tak tega meninggalkan Mama mertuanya sendirian di rumah besar itu dengan Nilam wanita ambisius itu. Kamila mengehembuskan nafas berat. Kamila membungkus harapan seperti pasir yang basah, mencoba membangun kembali kenangan yang sudah punah. Berharap agar dirinya dapat menanti kebahagiaan diujung senja. Dengan tergesa dan diiringi isak tangis, Kamila memasukkan barang-barang ke dalam travel bag. Tak perlu menunggu besok karena Reyga sedari tadi sudah marah besar, malam ini juga Reyga akan mengajak istri juga anak-anak untuk keluar dari rumah besar yang menyimpan banyak luka. Meskipun Kamila tidak pernah bercerita, namun, Reyga tahu betapa Kamila di rumah besar itu begitu menderita. Empat travel bag besar dan satu tas berukuran besar, sudah siap bergantian menuju teras rumah. Dibantu ole
Ambarwati membanting ponselnya lagi. Kali ini kesabarannya sudah habis. Ia menyeka kasar air mata. Berjalan bolak balik, Ambarwati menangis, ituu terlalu sakit, sakit sekali. Dan sekuat tenaga Ambarwati menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Kata-kata Erlan di chat terakhir kalinya kembali menggoreskan luka yang memang masih menganga.Bahkan saat ini Ambarwati percaya bahwa ia sedang bersama wanita itu. Ya rasanya begitu pedih. Apakah seperti ini yang dialami Kamila saat itu? Ketulusan cintanya dibalas dengan penghianatan, berganti dengan pedih yang menyayat hati. Atas penghianatan Erlan. "Kamu kenapa sih Ambar, bolak balik ga karuan bikin mama pusing saja, deh." Tukas sang mama melihat Ambar yang terlihat gelisah. "Ambar merasa dihina, Ma sama Erlan. Masa sih telepon aku ga dijawab. Sama sekali""Mungiin sibuk, Ambar sudahlah, jangan parno gitu ah.""Mama sih ga tahu saja, kelakuan Erlan bagaimana? Aku tidak menuduh karena aku punya bukti otentik, Ma.""Lo. Ya jela
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka