Pov Serena. Seperti biasa setiap pagi aku mengantar Zena ke sekolah dan langsung menuju kafe. Ini sudah menjadi rutinitasku hampir dua bulan ini. Aku sangat bersyukur karena aku sudah terbiasa dengan semua pekerjaanku di kafe. Itu tidak lepas dari bantuan Mas Gibran dan Mbak Lina tentunya. Setiap pagi aku akan memastikan semua bahan di dapur lengkap lalu memastikan kafe di buka dalam keadaan rapi dan bersih. Sesekali aku memeriksa ke dapur untuk melihat makanan yang di pesan pelanggan kafe lalu kembali ke meja kerjaku untuk memeriksa laporan. Sekitar pukul 9 pagi aku kembali ke meja kerjaku untuk memeriksa laporan belanja bulanan. Baru setengah jam aku berkutat dengan kertas-ketas itu sebuah panggilan masuk ke ponselku. panggilan dari Dewa, teman sekolahku yang bekerja di kota Bali. 📞[Hallo,] sapaku begitu aku menerima panggilannya. [Hallo Rena,] sahutnya. [Iya, apa kabar kamu?]tanyaku basa basi. [Alhamdulillah sehat, kamu bagaimana?] tanya Dewa balik. [Sehat. Alhamduliilah.
[Aku tahu kamu sudah menikah dan memiliki keluarga, jika perlu aku akan menemui suami kamu dan meminta izin langsung darinya.] Suara Aira memohon karena Serena tidak juga menjawab permintaannya. [Apa kamu yakin jika aku menjenguknya, Kaisar akan sadar?] tanya Serena dengan suara yang di usahakan setenang mungkin. [Iya. Aku sangat yakin jika kamu mau datang dan berbicara dengannya InsyaAllah dia akan sadar,] jawab Aira penuh keyakinan. [Kenapa kamu begitu yakin?] kembali Serena mempertanyakan keputusan Aira menghubungi mantan kekasih suaminya. Apa hatinya tidak terluka? pikir Serena. [Karena dia menunggumu. Tolonglah!] [Kamu yakin?] tanya Serena sekali lagi untuk memastikan. Serena tidak ingin kehadirannya menjadi bumerang untuk rumah tangga Aira dan Kaisar. [Iya aku yakin. Percayalah tidak akan ada yang mempermasalahkan kedatangan kamu menemui Kaisar] jawab Aira mengerti kekhawatiran yang dirasakan Serena. [Baiklah besok aku akan datang,] putus Serena. [Aku akan mengirim pesan
"Aku tidak setuju, jika Zena harus di titipkan di rumah orang lain ketika kamu bekerja," tolak Dirga. "Kita tidak tahu kondisi ke amanan tempat tinggal teman kamu itu," Dirga mengutarakan alasannya. "Lalu, mau bagaimana?" tantang Serena menatap Dirga sinis. "Kita panggil pengasuh saja, untuk mengasuh Zena di rumah," kata Dirga memutuskan. Sontak Serena melebarkan matanya menatap penuh amarah pada Dirga, "Maksudmu, kamu ingin memanggil Ratna, janda yang membuatmu membentakku dan bahkan bersedia meminta maaf padanya padahal dalam mimpi pun kamu tidak pernah meminta maaf padaku," ucapnya tidak terima. Ada rasa marah bercampur dendam jika mengingat Ratna yang setelah kehadiran wanita itu rumah tangganya tidak lagi harmonis. Dirga menggigit bibir bawahnya, menyadari jika dirinya sudah salah bicara dengan mengungkit hal yang seharusnya tidak pernah mereka bahas lagi. "Silahkan bawa dia kembali kesini untuk me nga suh mu." Serena menekankan pada kata di akhir kalimatnya, "Dengan senang h
Untuk makan malam Serena hanya menggoreng nugget untuk dirinya dan Zena saja, ia sama sekali tidak berniat untuk mengajak Dirga makan malam bersama. Dirga keluar dari kamar lalu ikut bergabung di meja makan. Serena hanya melirik sebentar namun tak berniat berbicara. "Tunggulah sebentar aku sudah memesan ayam goreng, kasihan Zena hanya makan pakai nagget saja," tutur Dirga ketika melihat Serena menyuapi Zena makan hanya dengan lauk kotak di lapisi tepung panir itu Serena bergeming, ia sama sekali tidak menyahut dan melanjutkan kegiatannya menyuapi Zena dan sesekali menyuapi dirinya sendiri. Saat ayam goreng pesanan Dirga datang Serena dan Zena sudah menyelesaikan makan malamnya. Tanpa menghiraukan Dirga, Serena membereskan bekas makannya dan Zena. Dirga sempat menawari Zena untuk memakan ayam goreng yang di pesannya tapi gadis kecil itu menolak dengan alasan kenyang. Zena hanya duduk diam diatas kursi meja makan seperti biasanya menunggu Serena selesai mencuci piring bekas makan mere
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulutnya seperti sebuah silet yang menggores hatiku berkali-kali. Dia selalu mengatakan aku lebay jika aku mengeluh padanya. "Ya aku lebay. Untuk orang yang hidupnya sempurna seperti kamu. Ya aku memang lebay bagi orang yang tidak pernah merasa di bully dan di ejek sejak kecil," kataku pelan dengan rasa kecewa yang menyesak di dada membuat mataku tak lagi bisa menahan laju air mata yang sudah mulai membasahi kedua pipiku. "Aku memutuskan kembali bekerja juga karena Ibumu yang terus-menerus MEMBERI NASEHAT supaya aku bekerja untuk membantu keuangan keluarga," Aku sengaja menekankan pada dua kata 'Memberi nasehat' karena dia selalu membela ibunya dengan mengatakan, 'Ibu hanya memberi nasehat bukan menyuruhmu' ketika aku mengeluh ibunya terus menerus menyuruhku untuk kembali bekerja setelah Zena lahir. "Kamu selalu seperti itu, menyalahkan orang lain," cibir Mas Dirga lalu berjalan ke taman belakang rumah.Hatiku sakit, sakit sekali. Mengapa Mas D
Pov Serena. Setibanya di rumah, nampak Bunda sudah menunggu di teras. Beliau bergegas menyambut kedatangan kami dengan wajah sedih dan mata yang sudah berkaca-kaca. Tanpa berkata apapun wanita paruh baya itu langsung mengambil Zena dari gendonganku dan membawanya masuk. Selama dua tahun pernikahan, aku sama sekali tidak pernah mengeluh sedikitpun soal Mas Dirga kepada Bunda. Mungkin karena itulah Bunda terlihat sangat sedih karena beliau mengira rumah tanggaku dan Mas Dirga sangat harmonis seperti yang terlihat selama ini.Hanya kepada Mas Gibran saja aku mau bercerita itu pun ketika sudah tidak bisa menahan rasa kesalku lagi. Bagi Ibu, Mas Dirga itu sosok suaminya yang baik dan tidak banyak menuntut. Bunda selalu berpesan agar aku selalu menjadi istri yang baik dan penurut agar rumah tanggaku tidak berakhir seperti rumah tangga Mbak Indira yang pertama. Ya. Rumah tangga pertama kakak keduaku itu memang berakhir dengan perceraian. Karena itu Bunda mewanti-wanti agar aku menjadi istr
"Kamu itu dulu kok bisa nikah sama orang kayak Dirga? Apa tidak ada lelaki lain yang menyukaimu?" Kembali Bunda mengomel, "Jefri yang yang urakan begitu saja masih mengerti salah dan minta maaf. Tapi suamimu yang terlihat berpendidikan malah sifatnya seperti itu," lanjutnya terlihat sangat kesal. Mendengar kata, 'Lelaki lain' membuat aku teringat pada seseorang di masa lalu. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang, tidak seharusnya aku mengingat seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Ya Alloh, rasanya kepalaku seperti mau pecah. Omelan Bunda semakin membuatku pusing dan tertekan. Ingin sekali membantah tapi itubmemang benar, Jefri mantan suami Mbak Indira lebih bisa menghargai perasaan istrinya di banding Mas Dirga yang terkesan tak peduli denganku. Dari dalam rumah Mas Gibran memanggil, "Serena," panggilnya memberi isyarat agar aku mengikutinya untuk masuk ke dalam rumah. Ah... ada sedikit rasa lega. Setidaknya aku bisa bebas dari omelan dari bunda meski sebentar. "Bunda tu
Flasback off. Seperti janji Serena pada Aira, hari ini ia akan datang ke rumah sakit untuk menjenguk mantan kekasihnya Kaisar Danu Atmajda. Sebelum menjembut Zena Serena meminta izin pada Gibran untuk kembali ke kafe sedikit terlambat karena dia ada perlu dengan Dewa. Serena tidak berani jujur jika akan menemui Kaisar karena kakaknya itu sangat membenci mantan kekasihnya. Sekitar pukul sebelas siang Dewa menjemputnya di rumah Nurida. "Sudah siap?" tanya Dewa saat Serena sudah duduk di kursi penumpang disampingnya. "Hemm," jawab Serena mengangguk yakin. Dewa segera menjalankan mobilnya menuju rumah sakit dimana Kaisar di rawat. Serena sengaja meminta Dewa menemaninya karena ia membutuhkan Dewa untuk mengingatkannya jika tiba-tiba ia berubah pikiran dan membatalkan niatnya untuk menjenguk Kaisar. Jika ia boleh jujur, hatinya belum bisa ikhlas memaafkan Kaisar.Sekitar 45 menit mereka sampai di rumah sakit. Dengan lankah ragu-ragu Serena mengikuti langkah Dewa yang berjalan di depanny
"Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana
"Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di
Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya
"Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya
Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap