Share

98. Jiwa Baru

Penulis: DSL
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-01 20:53:53

Dalam perjalanan pulang menuju mansion, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, menyelimuti ketegangan yang tak terucapkan.

Janeetha duduk di kursi belakang, menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong. Ia melamun, pikirannya penuh dengan kabar kehamilan yang baru saja ia dapatkan.

Segala kemungkinan dan ketakutan bercampur menjadi satu, membuatnya bahkan tidak menyadari kehadiran Rusli yang sesekali mencuri pandang ke arahnya melalui kaca spion.

Rusli menggenggam kemudi dengan erat, diam-diam mencemaskan sikap Janeetha yang lebih pendiam dari biasanya.

Wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan rumah sakit, dan bagi Rusli, ini bukanlah hal yang wajar.

Setelah beberapa saat, Rusli akhirnya memecah keheningan. "Nyonya Janeetha, apakah Anda benar-benar baik-baik saja? Anda ... diam saja sejak kita keluar dari rumah sakit."

Janeetha tersentak kecil, sadar bahwa Rusli sedang berbicara padanya. Ia menoleh dengan senyuman
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   99. Harus Lebih kuat

    Di luar kamar, Maya memperhatikan tangga menuju lantai dua dengan raut wajah yang penuh keprihatinan. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan Janeetha. Wanita itu terlalu diam, terlalu murung."Semoga semuanya baik-baik saja," gumam Maya pelan sebelum melangkah menuju dapur untuk mulai mempersiapkan makan malam.Kembali pada Janeetha, pikirannya terus berputar hingga ia memejamkan mata, mencoba mencari ketenangan dalam keheningan kamar itu.Namun, ketenangan itu terasa mustahil. Ada begitu banyak hal yang belum Janeetha atasi, dan waktu seakan bergerak begitu cepat, tak memberinya ruang untuk bernapas."Aku tidak bisa seperti ini terus," ucap Janeetha pada dirinya sendiri. Janeetha duduk kembali di tepi tempat tidurnya, tangannya perlahan mengelus perutnya. Senyuman kecil tersungging begitu saja di bibirnya, sebuah ekspresi yang jarang muncul akhir-akhir ini.Di tengah segala ketakutan dan keraguan, perasaan hangat mulai merambat di hatinya. Ia akan menjadi seorang ibu.Namun, ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   100. Memantapkan Hati

    Hari pun telah berganti. Janeetha duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi sudut kamar tempat ia menyembunyikan ponsel barunya. Tangannya terulur sebentar, tetapi berhenti di tengah jalan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran di dadanya."Aku harus melakukannya. Tapi bagaimana kalau ketahuan?" pikirnya. Kegelisahan itu terus menghantuinya, membuat ia sulit mengambil langkah.Ketukan pelan di pintu membuat Janeetha terkejut. Ia segera berdiri, memastikan dirinya terlihat tenang sebelum membuka pintu.Setelah Janeetha mengizinkan untuk masuk, tampak Maya masuk, tersenyum sambil membawa nampan. "Selamat pagi, Nyonya. Saya bawakan sarapan Anda."Tersenyum tipis, Janeetha mengangguk kecil. "Terima kasih, Maya."Maya melangkah masuk dan meletakkan nampan di meja kecil di dekat tempat tidur. Matanya melirik Janeetha, raut wajahnya penuh perhatian."Nyonya, Anda kelihatan lelah. Apakah semuanya baik-baik saja?" Maya bertanya dengan nada sedikit khawatir.Janeetha sedikit tak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   101. Berubah Haluan

    Fabian terdiam sejenak di ujung telepon. Janeetha menggenggam ponsel erat-erat, menunggu jawaban tanpa sadar menahan napas.“Aku...” Fabian akhirnya berbicara, suaranya terdengar ragu. “Aku ingin, Janeetha. Tapi, kalau aku pergi bersamamu, itu akan semakin membahayakanmu. Dikara pasti akan tahu.”“Tapi aku butuh Kakak,” potong Janeetha, suaranya mulai gemetar. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau aku sendirian. Kalau dia menemukan aku—”“Dengar, Janeetha,” Fabian menyela dengan nada lembut dan penuh ketenangan. “Aku akan memastikan kau aman. Aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja, tapi aku juga harus berhati-hati. Kalau aku ikut dalam perjalanan ini, rencanamu akan gagal bahkan sebelum dimulai.”Janeetha terdiam. Air mata menggenang di matanya, tetapi ia mengerti apa yang Fabian maksud.“Kak Fabian... aku takut,” bisiknya akhirnya.“Aku tahu,” jawab Fabian pelan. “Aku tahu, dan aku juga takut karena kau akan mengalami semuanya sendirian. Tapi kau lebih kuat dari yang kau kir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   102. Keresahan Maura

    Rusli terdiam di ujung telepon, seperti sedang mempertimbangkan jawabannya. Napasnya terdengar pelan, tapi cukup jelas menandakan ada sesuatu yang ingin ia katakan namun ditahan. “Ada banyak hal yang tidak bisa saya katakan, Nyonya,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar berat. “Tapi saya tahu satu hal: Anda tidak pantas menjalani hidup seperti ini.” Janeetha terpaku mendengar jawaban Rusli. Ia menatap ke luar jendela, pikirannya bercampur aduk. “Tapi, Rusli… Jika Dikara tahu kau membantuku, dia tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Kau tahu itu, kan?” Rusli terkekeh kecil, getir. “Saya sudah bekerja untuk Tuan Dikara cukup lama untuk tahu risikonya, Nyonya. Tapi ada saatnya seseorang harus memilih apa yang benar.” Janeetha merasa matanya mulai berkaca-kaca. Keputusan Rusli membuatnya terharu, tetapi juga lebih cemas. “Aku… aku tidak ingin kau terluka karenaku.” Rusli terdengar menghela napas. “Kalau begitu, pastikan semuanya berjalan lancar. Jangan biarkan Tuan Dikara menan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   103. Memastikan

    Maura terdiam, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia masih belum sepenuhnya puas. “Kak, aku peduli pada Janeetha, tapi ini berbeda. Membantu dari jauh itu satu hal. Tapi ini? Menyiapkan dokumen palsu, menyusun rencana pelarian? Apa kau sadar seberapa berbahayanya ini?”Fabian menatap Maura tajam, nada suaranya sedikit lebih keras. “Tentu aku sadar! Aku tahu betapa berbahayanya ini. Tapi aku tidak bisa hanya berdiri dan melihat dia terus dikekang oleh orang seperti Dikara. Jika kau di posisinya, aku akan melakukan hal yang sama untukmu.”“Ini bukan soal itu, Kak,” balas Maura dengan suara lebih lembut. “Janeetha mungkin sahabat kita, tapi kau mengorbankan terlalu banyak untuknya. Kau mempertaruhkan nyawamu, karirmu, bahkan hidupmu sendiri. Aku hanya… aku hanya ingin tahu kenapa kau begitu yakin dia layak dengan semua ini.”Fabian terdiam, rahangnya mengeras. Setelah beberapa detik, ia menjawab dengan suara tenang namun tegas. “Karena dia layak mendapatkan kesempatan untuk hidup bebas,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   104.

    Sementara itu, di mansion, Janeetha memeriksa sekali lagi barang-barang yang ia siapkan. Tas kecil yang berisi dokumen, pakaian, dan sejumlah uang sudah siap. Ia duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap pintu dengan tatapan waspada. Dalam hati, ia terus berdoa agar semua berjalan sesuai rencana. Janeetha memikirkan pesan Fabian yang baru saja diterimanya. “Jangan ambil risiko sebelum waktunya,” gumamnya. Kata-kata itu terus terngiang, seakan menjadi mantra yang menahan dirinya dari rasa takut dan panik. Ia tahu, hanya tinggal sedikit waktu lagi. *** Pagi yang seharusnya cerah di mansion terasa penuh dengan ketegangan bagi Janeetha. Ia bangun lebih awal dari biasanya, merasa terlalu gelisah untuk bisa tidur nyenyak. Langkahnya pelan saat turun ke ruang makan, mencoba menjaga sikap tenang meski di dalam hati ia seperti gunung berapi yang hampir meletus. Di dapur, Maya sudah sibuk. Wanita itu terlihat ceria, mempersiapkan makanan dengan semangat yang tak biasa. Saat melihat Janeet

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   105. Menuju Kebebasan

    Perjalanan menuju bandara terasa begitu panjang bagi Janeetha, meskipun jam di dashboard mobil menunjukkan waktu terus bergulir. Jalanan sore itu cukup lengang, tetapi di dalam kendaraan, suasana penuh dengan ketegangan yang tak terlihat.Janeetha duduk di kursi belakang, kedua tangannya menggenggam erat tas kecil di pangkuannya. Matanya melirik keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh.Rusli yang berada di belakang kemudi mengamati gerak gerik Janeetha beberapa kali melalui kaca spion tengah. Pria itu pun berusaha memecah keheningan.“Nyonya, tenang saja. Saya sudah memastikan rencana ini berjalan dengan baik,” ucapnya, penuh keyakinan.Janeetha mengangguk kecil, tetapi dirinya tetap merasa tegang. Ia tahu Rusli sedang berusaha menenangkannya, tetapi kata-kata pria itu hanya sedikit mengurangi kecemasan yang melingkupi dirinya.“Tapi,” lanjut Rusli, “Akan ada beberapa orang suruhan Tuan Dikara yang ikut dalam penerbangan Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda di Arden

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   106. Rapuh

    Dikara duduk di kursi kulit hitam yang mewah di sudut suite hotelnya. Pemandangan kota yang gemerlap terbentang di balik dinding kaca, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Jemarinya menggenggam ponsel dengan erat, membaca ulang pesan singkat yang baru saja diterimanya.[Pesawat Nyonya sudah take off, Tuan.]Pria itu mengetukkan jarinya ke meja dengan ritme pelan namun teratur, sebuah kebiasaan yang muncul setiap kali pikirannya terganggu.“Kenapa rasanya ada yang salah?” gumamnya pelan.Dikara mencoba membuang pikiran itu dengan meminum kopi hitam di depannya. Rasanya pahit, seperti perasaannya saat ini.Ia sudah memastikan semuanya terkendali—menempatkan orang-orangnya di dekat Janeetha, memastikan keberadaannya diketahui setiap saat, bahkan menyiapkan rencana cadangan.Namun, tetap saja, hati pria itu terasa gelisah.Pikirannya mulai berputar. Bagaimana jika Janeetha benar-benar mencoba melarikan diri darinya? Bagaimana jika...“Tidak,” gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seaka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11

Bab terbaru

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   148. Pergi!

    Ketika Ketika Janeetha membuka matanya, ruangan putih terang menyambutnya. Kelopak matanya terasa berat, tubuhnya lemah, dan ada rasa sakit luar biasa di perutnya.Dia berkedip beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma khas rumah sakit menyengat hidungnya. Infus terpasang di tangannya, dan tubuhnya terasa begitu lemah, seolah hanya tersisa separuh jiwa dalam dirinya.Kemudian, ingatan itu kembali.Darah.Rasa sakit.Jeritan yang tidak terdengar.Tangannya perlahan bergerak ke perutnya yang datar.Tidak…Tidak mungkin…Matanya membelalak saat kepanikan merayapi tubuhnya. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Air matanya mulai menggenang di sudut mata.“Bayi…” suaranya hampir tak terdengar. “Bayi ku…”Maria, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, segera menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan erat. “Janeetha… aku di sini.”

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   147. Tidak Akan Pergi

    “Dasar bajingan! Pergi kau!”Dikara tersentak.Suara itu begitu familiar, mengandung kemarahan yang meledak-ledak. Sebelum ia bisa sepenuhnya mengangkat kepalanya, seseorang sudah menarik kerah bajunya dengan kasar, hampir membuatnya terjatuh dari kursi.Fabian.Pria itu berdiri di depannya dengan wajah merah padam, tatapan penuh kebencian terpancang kuat di matanya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seolah menahan emosi yang hendak meledak.“Sudah cukup kau menghancurkan hidupnya! Apa kau belum puas?!” Fabian menggeram, suaranya bergetar oleh amarah. “Dia hampir mati, Dikara! Kau dengar itu? HAMPIR MATI karena kau!”Dikara hanya menatapnya, matanya kosong.Jika ini terjadi beberapa bulan lalu, ia mungkin sudah membalas Fabian dengan kepalan tangan. Ia mungkin sudah melayangkan tinju ke wajah pria itu tanpa pikir panjang.Tetapi malam ini… tidak ada amarah dalam dirinya. Hanya keham

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   146. Rapuh

    Setelah semalaman berjaga, Dikara berdiri dengan tubuh tegang di depan ruang ICU, menunggu dokter yang baru saja masuk untuk memeriksa Janeetha. Begitu juga Maria dan Sam.Pikiran pria itu berkecamuk, memutar kembali kejadian-kejadian yang telah terjadi. Keguguran. Trauma. Janeetha telah kehilangan bayinya. Anak mereka.Suatu kenyataan yang menghantamnya tanpa ampun.Pintu ICU terbuka, dan Dokter Arief melangkah keluar dengan ekspresi lebih tenang dari sebelumnya. “Kondisinya mulai stabil. Jika tidak ada komplikasi lain, kami akan memindahkannya ke ruang perawatan dalam beberapa jam.”Dikara mengangguk pelan, meskipun perasaannya masih berantakan.Maria, yang berdiri tak jauh darinya, bersedekap dengan tatapan tajam. “Bagus. Itu artinya kau tak perlu di sini lagi.”Dikara menoleh, menatap Maria dengan pandangan dingin. “Aku akan tetap di sini.”Sam, yang berdiri di samping Maria, mendengus sinis. &l

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   145. Kehilangan

    Maria menatapnya penuh kebencian. “Kau tidak bisa mengambilnya kembali begitu saja.”Dikara menatapnya sejenak, lalu perlahan berjalan mendekat.“Aku tidak mengambil apa pun.” Suaranya rendah, tetapi ada nada mengancam di dalamnya. “Aku hanya datang untuk menjemput istriku.”Maria mengepalkan tangannya, sementara Sam berdiri lebih dekat di sampingnya.Di balik pintu ruang operasi, Janeetha sedang berjuang antara hidup dan mati.Suara alat-alat medis yang berbunyi nyaring, berpadu dengan suara dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan dua nyawa sekaligus.Tubuh Janeetha terbaring tak berdaya di atas meja operasi, darah masih mengalir dari tubuhnya meskipun tim medis sudah berusaha menghentikannya.Dokter yang bertugas berdiri di dekat kepala Janeetha, menatap monitor dengan rahang mengatup rapat. “Tekanan darahnya turun drastis! Beri tambahan cairan!”Seorang perawat buru-buru

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   144. Di Ambang Bahaya

    Malam semakin larut, hujan turun perlahan di luar jendela klinik kecil itu. Di dalam ruangan yang remang, Janeetha terbaring dengan tubuh lemah, wajahnya pucat pasi. Napasnya pendek dan tersengal, sementara tangannya menggenggam erat sprei ranjang seakan mencoba menahan rasa sakit yang semakin menggigit perutnya.Maria duduk di sisi ranjang, memegang tangan Janeetha dengan erat. Sam mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang, sesekali menoleh ke arah dokter Arief yang sedang memeriksa tekanan darah Janeetha.Beberapa waktu lalu Janeetha kembali mengeluh kesakitan dan tampak lebih parah dari sebelumnya karena itu Sam segera memanggil dokter Arief.Tiba-tiba, tubuh Janeetha menegang. Napasnya memburu, dan bibirnya mengeluarkan erangan tertahan sebelum tubuhnya mulai bergetar hebat.“Maria… sakit…” Suaranya nyaris tidak terdengar.Maria langsung menegang, sementara Sam menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat.&

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   143. Semakin Dekat

    Sam memapah Janeetha keluar dari rumah persembunyian mereka. Langkah Janeetha lemah, tubuhnya nyaris limbung jika saja Sam tidak menggenggamnya erat.Maria berjalan cepat di depan, sesekali menoleh dengan wajah tegang. Mereka tahu mereka tidak bisa sembarangan ke rumah sakit besar—terlalu berisiko.“Kita harus menemukan tempat yang aman untuk memeriksanya,” gumam Maria sambil melihat layar ponselnya. “Ada sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Aku punya kenalan di sana. Dia bisa membantu tanpa terlalu banyak bertanya.”Sam mengangguk tanpa ragu. “Ayo.”Mereka menaiki mobil tua yang telah disiapkan Maria sebelumnya. Sam duduk di belakang bersama Janeetha, memastikan kepalanya bersandar nyaman di bahunya. Wanita itu tampak semakin pucat, bibirnya sedikit gemetar akibat kehilangan darah.“Bertahanlah,” bisik Sam pelan.Janeetha hanya mengangguk lemah, matanya mengerjap samar. Setiap detik ya

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   142. Rahasia yang Terungkap

    "Ya Tuhan, Janeetha!" Maria buru-buru melangkah keluar, mendekat dengan wajah panik. Tatapannya langsung tertuju pada wanita itu yang hampir tidak bisa berdiri tanpa dukungan Sam. "Apa yang terjadi?"Sam menghela napas berat. "Dia terluka, tapi dia menolak untuk mendapatkan pertolongan medis."Maria mengumpat pelan sebelum meraih lengan Janeetha dengan lembut, mencoba menuntunnya masuk. "Kita tidak bisa membiarkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau butuh dokter.""Tidak," gumam Janeetha lemah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak bisa menahan rasa sakit yang semakin tajam di perutnya. "Kita tidak bisa pergi ke rumah sakit. Dikara pasti akan menemukanku."Maria mengatupkan rahangnya dengan frustasi. "Dan kau pikir apa yang akan terjadi jika kau mati di sini?!" suaranya sedikit meninggi. "Ini bukan tentang Dikara lagi, Janeetha. Ini tentang kau. Tentang nyawamu!"Janeetha menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang bercampur dengan rasa sakit. Ia s

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   141. Tidak Ada Pilihan

    Sam membantu Janeetha memasuki sebuah mobil kecil yang mereka dapatkan dari seseorang yang bersedia mengantarkan mereka ke luar kota dengan imbalan cukup besar.Pria paruh baya yang mengemudikan mobil itu tidak banyak bicara—hanya sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion dengan ekspresi waspada.Duduk di kursi belakang, Janeetha bersandar lemah pada jendela. Napasnya pendek-pendek, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya meskipun udara di dalam mobil terasa dingin. Sam, yang duduk di sampingnya, tidak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya."Janeetha, kau harus bilang apa yang sebenarnya terjadi," ujar Sam pelan, tapi dengan tekanan yang jelas.Janeetha mengerjap, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang menusuk perutnya semakin menjadi. "Aku baik-baik saja," gumamnya, meski suaranya hampir tak terdengar.Sam tidak lagi percaya. Tadi di terminal, dia melihatnya berdarah—dan itu bukan sesuatu yang bisa diabaika

  • Saat Istri Cantik Pergi, Tuan Dikara Memohon Kembali!   140. Tidak Ada Waktu

    Angin dingin menusuk kulit saat Janeetha turun dari bus dengan langkah goyah. Hujan gerimis masih turun, membuat jalanan becek dan licin.Sam berjalan di sampingnya, sesekali melirik dengan khawatir. Wajah Janeetha pucat, bibirnya tampak lebih kering dari biasanya, dan sorot matanya mengisyaratkan kelelahan yang amat sangat. Sekilas, ia tampak seperti seseorang yang bisa roboh kapan saja.Di sekitar mereka, terminal kecil itu masih cukup ramai meski hari sudah mulai menginjak petang. Orang-orang berlalu lalang dengan jaket atau payung seadanya, beberapa tampak bergegas menuju bus yang siap berangkat, sementara yang lain sibuk berbincang dengan pedagang kaki lima di sekitar area tunggu.Sam menoleh ke Janeetha, kemudian menarik lengannya pelan. “Kita harus cari tempat istirahat sebentar,” katanya, mencoba berbicara selembut mungkin agar Janeetha tidak langsung menolaknya.Seperti yang sudah diduga, Janeetha segera menggeleng cepat. “Tidak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status