Dimas mengerutkan alis melihat tingkah istrinya yang sedang menantang. Dia menutup buku yang dia baca, lalu menatap wanita yang sama sekali belum pernah dia sentuh."Kamu kenapa?" tanya Dimas."Mas Dimas kenapa nggak minta maaf sama mama?" Dwi bertanya dengan lantang.Dimas menatap istrinya sebentar, namun tak menyahut. Lantas membuka kembali buku yang tadi dia baca. Tak peduli dengan pertanyaan dari Dwi yang diajukan untuknya."Mas Dimas!" Dwi kembali memanggil. Lalu menarik bukunya dari tangan lelaki itu."Apa lagi?" Dimas masih berucap dengan lembut."Jawab dulu. Kenapa mas Dimas mendiamkan mama seperti itu? Bukannya mobil dan juga atm mas Dimas udah dibalikin? Seharusnya Mas Dimas berterima kasih. Bukan malah marah-marah kek gini.""Memangnya kapan Mas marah-marah sama mama?""Dengan Mas Dimas diemin mama seperti ini, itu artinya Mas Dimas marah. Sekarang Mas Dimas ke kamar mama dan minta maaf." Wanita yang meski sudah berstatus menikah namun masih gadis itu memerintah dengan kesa
"Emang kamu mau?" tanya dia.Kini mata Dwi yang melotot menatap wajah suaminya. Tanpa rasa canggung sedikit pun laki-laki itu bertanya pertanyaan bodoh yang dia sendiri tahu jawabannya."Mas jangan mimpi! Lebih baik Dwi jadi janda daripada berbagi suami dengan wanita itu!" Dwi dengan ketus menjawab."Oh, kamu nggak rela. Baguslah. Makanya jangan sok-sokan minta cerai." Dimas menahan senyum mendengar jawaban jujur istrinya.Dwi tergagap. Dia sama sekali tidak bermaksud membuat laki-laki itu menjadi besar kepala."Udah ngomongnya? Ngapain lagi?" Dimas mengulurkan tangannya. "Sini, balikin bukunya!" "Ini milik Dwi. Ngapain Mas minta?""Itu cuma pelajaran dasar. Kalau cuman seperti itu, kamu bisa tanyain ke Mas nanti.""Nggak perlu! Dwi nggak butuh apa pun dari Mas Dimas!" Dwi mengentakkan kaki, lalu berjalan menjauh memeluk buku itu."Mau ke mana?" "Tidur!""Lupa, kalau ini kamar kamu?"Dwi mendengus kesal, lalu berbalik dan memanjat naik ke tempat tidur."Kapan mulai masuk kantor?" Di
POV Dwi.Usai perkenalan, aku diberikan meja di ruangan terbuka. Bergabung dengan beberapa karyawan yang lain. Tentu saja ini atas keinginanku sendiri. Aku yang baru lulus SMA dan sama sekali belum berpengalaman tidak mungkin langsung meminta posisi yang sama dengan mas Arya. Apalagi mendampingi mas Dimas yang seorang direktur.Aku juga tak mau orang-orang di kantor ini juga bersikap hormat dan segan hanya karena aku istrinya mas Dimas. Apalagi jika mereka sampai tahu kalau atasan yang mereka hormati itu menikahiku karena terpaksa. Aku pasti akan lebih dipermalukan lagi."Makan siang yuk, Dwi." Mas Arya kini sudah berdiri di depan mejaku. Kulihat beberapa rekan sudah meninggalkan tempat mereka. Aku melirik arloji kecil di pergelangan tangan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Pantas saja perutku terasa lapar."Kita makan di mana, Mas?" tanyaku."Terserah kamu aja. Di bawah ada kafetaria. Atau kita keluar cari makanan yang kamu suka.""Di kafetaria aja deh, Mas. Kerjaan Dwi
"Iya, Mas. Makasih ya, traktirannya. Besok-besok gantian Dwi yang bayar."Mas Arya tersenyum manis dan mengangguk.Aku kembali ke mejaku dan membuka laptop untuk melanjutkan pekerjaan."Ciee... Dwi pacarnya Pak Arya, ya?" ledek Suci, wanita yang bersama kami di dalam lift."Wah, beruntung banget, Dwi, ya. Udah ganteng, Pak Aryanya ramah lagi." Sinta, wanita yang satunya ikut menimpali."Selamat ya, Dwi.""Rupanya karyawan baru di kantor kita adalah pasangan.""Kapan kita rayain, Dwi?"Masing-masing dari mereka berseloroh denganku. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya tersenyum mendengar mereka yang telah salah paham pada aku dan mas Arya.Suci dan Sinta pasti menyimpulkan sesuatu saat mas Arya menarik tanganku tadi. Dan pastinya setelah kembali ke kantor, mereka menyampaikan apa yang mereka lihat dan mereka simpulkan pada yang lain.Pantas saja rekan-rekan yang lain ikut meledekku. Aku jadi malu sendiri. Tapi aku merasa senang. Setidaknya orang-orang di sini bersikap ramah dan me
Aku jadi semakin kesal dengan sikap mas Dimas. Bukannya merasa bersalah, malah menuduhku yang bukan-bukan. Aku enggan kembali berdebat dengannya. Sudah ketahuan pun masih juga membela diri dan menyalahkan orang lain. Dasar laki-laki egois.Aku memilih mengabaikannya. Meletakkan tas di atas meja rias, lalu mengambil baju ganti dari lemari. Selama pernikahan, memang seperti inilah yang aku lakukan.Sejak menjadi istri mas Dimas dan pindah ke kamarnya, aku selalu mengganti pakaian di kamar mandi. Hal ini karena mas Dimas sama sekali tak pernah menyentuhku. Otomatis ada rasa canggung dan malu jika harus membuka pakaian di hadapannya.Lagipula mas Dimas juga tidak peduli. Terkadang dia juga keluar saat melihatku bersiap-siap untuk mandi. Harusnya dari situ aku sadar, bahwa mas Dimas benar-benar tidak tertarik dan menganggapku sebagai istrinya."Kenapa kamu nggak jawab pertanyaan Mas?" Mas Dimas masih ngotot. "Ada hubungan apa kamu sama Arya?"Aku yang tadinya diam dan mulai tenang, kembal
Selain statusku yang akan menjadi janda, hubungan keluarga mereka juga akan menjadi canggung. Terlebih lagi di antara mas Dimas dan mas Arya. Kedekatanku dengan mas Arya selama ini hanyalah agar aku tak larut dalam kesedihan karena perselingkuhan suamiku. Aku butuh teman yang lebih dewasa dan juga baik hati seperti mas Arya."Tega sekali mama ingin menikahkan istri Dimas sama orang lain." Mas Dimas kembali memelas."Kamu sendiri bagaimana? Apa bukan tega namanya, berselingkuh di belakang istri kamu sendiri? Coba kamu bayangkan, seandainya Ajeng masih hidup, dan suaminya berselingkuh di belakang dia. Apa kamu juga akan membiarkan adik kamu tersiksa seperti itu?" Mama mulai emosi.Mas Dimas terdiam sejenak. Kembali melirikku lagi. Dia pasti berpikir akulah yang selalu mengadukan semuanya pada mama. Mas Dimas pasti akan membalasku lebih parah lagi dari ini."Dimas nggak selingkuh, Ma. Dimas dan Lena sudah menjalin hubungan sebelum menikah dengan Dwi. Saat itu Lena mengalah dan mau menun
Pagi hari ini, Mas Dimas ikut sarapan bersama aku dan mama. Aku hanya diam tak menyapa suamiku itu. Hanya sesekali melirik untuk melihat bagaimana ekspresinya terhadap aku dan juga ibu mertuaku.Mimik wajah mama kini terlihat lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena mas Dimas akhirnya mengalah dan mau kembali menyapanya. Tak lagi menghindar dan mendiamkan mama seperti kemarin."Dimas berangkat ya, Ma!" Mas Dimas pamit dengan ucapan yang lembut.Mama hanya berdehem menjawab ucapan putranya. Mama sepertinya masih enggan untuk berbaikan. Atau mungkin hanya memberi mas Dimas pelajaran. Mas Dimas sama sekali tidak keberatan atas jawaban mama kali ini. Pria dengan kemeja biru langit itu beranjak dan keluar dari ruang makan. Saat berpapasan di ujung tangga saat mau turun tadi, kulihat mas Dimas sudah memegang kunci mobil. Sepertinya dia telah menerima semuanya. Mengambil kembali aset-aset yang sempat disita oleh ibunya.Hati mas Dimas pasti kini sudah merasa tenang. Semua kemb
Aku hanya tersenyum mendengar celotehan rekan-rekanku. Salah satu dari mereka pasti melihatku turun dari mobil mas Dimas. Aku tahu mereka hanya mencoba bersikap akrab padaku. Aku tak ambil pusing dengan ledekan mereka. Hanya sedikit terhibur saat mereka menyebut nama mas Arya.Hari ke dua di kantor, aku mulai terbiasa. Meski hanya menyalin data-data saja. Tugas pertama aku selesaikan dengan mudah. Jam makan siang sudah tiba. Aku berdiri di pintu utama ruangan, menunggu seseorang."Mas Arya?" Aku tersenyum saat melihat pria yang aku tunggu muncul dari ruangannya."Udah makan?" tanya dia, ramah."Dwi nunggu Mas Arya.""Dah selesai kerjaannya?""Udah dong. Kan Mas Arya yang ngajarin." Aku tersenyum bersemangat."Ciee..., gitu dong. Mau makan di mana?""Dwi lihat di depan ada kafe, Mas. Kali ini Dwi yang traktir, ya?""Eh, kok gitu? Kan belum gajian?""Nggak apa-apa, Mas. Kan gantian.""Nanti aja kalau kamu udah gajian. Mas minta traktir yang mahal."Aku tertawa kecil."Memangnya Mas Ary
"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Dimas! Dimana kamu? Ayo keluar! Jangan coba-coba sembunyi dariku Dimas!" teriak Lena dari luar sembari menggedor-gedor pintu ruangan yang biasa ditempati oleh Dimas dengan sangat keras. Sudah beberapa hari ini wanita itu datang ke kantor ini untuk mencari keberadaan kekasih hatinya itu dan ingin meminta pertanggung jawaban darinya.Namun sayang, apa yang dia cari tak kunjung ketemu. Bak ditelan bumi, keberadaan Dimas tidak dia ketahui. Yang ada hanya Arya, pemuda yang begitu menyebalkan baginya.Ratih dan Arya yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan kantor di dalam ruangan itu sontak terkejut."Siapa itu Arya?" tanya Ratih kepada putra temannya itu."Sepertinya itu suara Lena, Tante.""Kenapa wanita itu bisa bebas berkeliaran di kantor ini?""Dia sudah biasa melakukannya, Tante. Beberapa hari ini saja, dia sudah berkali-kali datang ke sini untuk mencari Dimas.""Kenapa kamu tidak mengusirnya?""Saya sudah mencoba untuk memberinya peringatan, namun wanita itu tidak juga mau meny
Dimas dapat merasakan tentang betapa beratnya kerinduan yang dirasakan oleh istri kecilnya itu. Sebab saat ini Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak dan segera keluar dari masalah yang sedang menderanya. "Kamu yang sabar ya, Sayang. Mas akan segera membuktikan bahwa Mas tidak pernah berhubungan sejauh yang Lena tuduhkan pada Mas. Kamu percaya kan sama Mas?" Hanya kata-kata itu yang dapat Dimas ucapkan untuk meyakinkan istrinya."Dwi percaya sama Mas Dimas."*Sepanjang malam Dwi tidak bisa tidur memikirkan tentang keadaan suaminya. Sebagai istri, seharusnya saat ini Dwi berada di samping suaminya dan melayani segala kebutuhan Dimas. Dalam hati yang paling dalam, Dwi benar-benar merasa bersalah karena telah menuntut Dimas dengan berlebihan dan memberi sebuah beban yang sangat berat dipundak suaminya itu.Karena tidak bisa tidur, Dwi memutuskan untuk membuat sarapan untuk ibu mertuanya. Dwi harus mencari perhatian dari ibu suaminya itu agar tetap bersi
"Kamu mengenalku?" tanya Dimas heran.Pria yang ada dihadapannya itu tersenyum sinis sembari membuang muka, seperti tak ingin melihat wajah Dimas."Tentu saja aku mengenalmu. Kamu orang yang telah merebut Lena dariku, bukan?"Sontak Dimas terkejut dengan pernyataan pria itu. Dimas merasa khawatir jika akan terjadi selisih paham diantara mereka. Kemudian dia melirik Arya yang berada disampingnya. Dimas curiga bahwa Arya sengaja melakukan semua ini untuk menjebaknya. Agar pria yang tidak dia kenali ini salah sangka dan menghajarnya.'Licik sekali kamu, Arya!' gumam Dimas dalam hati."Tenang saja, Bro. Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadapmu. Justru dengan kedatanganmu kesini, akan menguntungkan buatku. Bukankah begitu kawan?" ucap pria itu menatap kearah Arya.Arya tersenyum sembari mengangguk. Membenarkan semua ucapan pria yang bernama Rangga tersebut."Apa maksud kalian?" tanya Dimas semakin tak mengerti. Menatap Arya dan Rangga secara bergantian."Oh, perkenalkan! Saya Rangga,
Dwi yang melihat itu menjadi tak enak hati. Lalu semakin mengeratkan diri dalam pelukan suaminya itu."Dwi cuma bercanda, Sayang. Dwi ke sini sengaja mau ngasi kejutan buat Mas Dimas. Dwi kangen banget sama Mas Dimas," ucap Dwi dengan sangat manja.Hati Dimas terenyuh mendengarnya. Suara manja Dwi membuat wanita itu terlihat begitu menggemaskan."Oh, gitu. Sengaja mau bikin Mas marah, gitu?""Dih. Emang kalau Mas Dimas marah gimana?""Mmm... nantangin, ya?""Emang mau ngapain?"Dimas tersenyum nakal, lalu menarik hidung mancung Dwi dengan gemas."Mas mau ngasi kamu hukuman sampai sore." Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan merebahkannya di atas ranjang."Ish, Mas Dimas nakal." Dwi menjerit kecil.Dimas tak peduli, lalu terus mencumbu istrinya dengan semangat."Awas kelewatan, ya. Tepati janji Mas.""Berisik! Pokoknya hukuman kamu sampai sore!"*Sore harinya Dimas dan Dwi turun dari kamar. Setelah menghabiskan waktu seharian, Dwi akhirnya harus pulang. Dimas punya sesuatu untuk dikerj
Dimas terkejut saat mendengar suara yang begitu dia kenal. Merasa tak percaya, pria itu langsung menoleh, lalu berdiri saat mendapati istrinya telah berdiri di sampingnya."Sayang? Kamu di sini?" Dimas menyentuh pundak Dwi. Merasa khawatir, sekaligus senang dengan kehadiran sosok yang begitu dia nantikan.Sementara seseorang yang masih duduk di hadapan mereka memandang keduanya dengan perasaan sedih mendengar ucapan sayang dan juga perhatian yang ditunjukkan Dimas pada istrinya.Ada rasa amarah dan juga cemburu di hati orang itu. Namun tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengikhlaskan agar orang-orang yang dia sayang merasa bahagia."Mas Arya ngapain di sini?" Dwi memandang sahabat, yang belakangan sedang menjadi musuh suaminya.Hal itu membuat Dwi merasa khawatir atas pertemuan mereka. Takut kalau keduanya akan kembali bertengkar dan membuat keributan. Dwi takut pertemuan mereka akan menarik perhatian semua orang.Arya tersenyum kaku, lalu bangkit dan menyapa Dwi."Mas ada perl
"Lancang kamu! Tidak punya sopan santun. Seenaknya saja datang dan menuduh saya yang bukan-bukan. Saya tidak akan sudi punya menantu seperti kamu." Mamanya Dimas yang semula mulai luluh dan meminta Dimas bertanggung jawab, kini harus mengurungkan niatnya.Wanita yang selama ini menjadi kekasih anak laki-lakinya itu telah menunjukkan sifat aslinya. Pagi-pagi sekali Lena datang dengan keadaan kacau balau. Bau alkohol dan asap rokok bercampur dan masih bisa tercium oleh siapa pun yang berada dekat dengannya.Sejak tadi malam, Lena memang tidak pulang ke rumahnya. Tentu saja Rangga yang sedang dimabuk cinta tak mungkin begitu saja melepaskannya. Mantan narapidana itu membawanya menginap di apartemen. Tentu saja untuk melayaninya sepanjang malam.Dwi hanya terdiam melihat Lena berteriak-teriak memanggil nama Dimas. Bahkan dia sempat memaki Dwi karena telah merebut Dimas dari dia. Tapi tentu saja mertuanya selalu pasang badan untuk membelanya. Hingga wanita paruh baya itu harus memanggil m
Dimas terbangun dari ranjang hotel saat mendengar bunyi panggilan masuk dari ponselnya. Dimas langsung tersenyum saat melihat nama yang tertera di layar yang sedang menyala itu. Nama seseorang sedang melakukan panggilan video dari aplikasi whatsapp."Pagi, Sayang." Dimas menyapa dengan suara serak khas bangun tidur."Ish, ini udah siang, tau!" Suara Dwi berdecak manja dari seberang sana.Dimas melirik ke arah jam beker di atas nakas. Lalu tertawa kecil saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Hari sudah hampir siang."Iya, iya. Mas kesiangan." Dimas menggaruk rambutnya yang masih acak-acakan."Emang tadi malam tidur jam berapa? Begadang sama siapa?""Nggak ada, Sayang. Mas tidurnya larut karena kepikiran terus sama kamu.""Gombal!"Dimas kembali tertawa."Keenakan ya, mentang-mentang sekarang udah nggak kerja lagi," rajuk Dwi. "Bebas. Nggak perlu lagi bangun pagi.""Eh, kan cuma sementara, Sayang. Kalau nanti Mas ke kantor__.""Barusan Lena datang nyariin Mas!" Bibir D