Rahasia AntonAnton gusar. Dia penasaran dengan Amplop yang diberikan Maura kepada istrinya. Entah mengapa Anton tiba-tiba merasa takut jika sesuatu hal itu adalah dirinya. Sebab Maura pernah mengancam Anton dengan ancaman yang tidak main-main. Ini menyangkut masa lalu. Tapi bukannya masa lalu Anton sudah diketahui oleh Tari? Apakah masih ada masa lalu yang tak ia ceritakan kepada Tari? Omong kosong apa ini?"Mah," ucap Anton ketika melihat Tari berjalan dihadapannya."Apa sih, Pah? Masih sore ah, Mamah lagi pengen rebahan sebentar." Tari terkekeh. Meskipun mereka sebentar lagi akan memiliki cucu namun gaya bercanda kedua orang ini seperti anak muda kebanyakan."Mamah sudah transfer seperti biasa kan?""Sudah, Pah. Uang buat Rumi juga udah. Apalagi?" Tari menatap Anton dalam-dalam. Wanita itu tau jika Anton menanyakan hal ini pasti ada sesuatu."Rumi mau nikah, jadi siapkan uang untuk pernikahannya!" "Pah, harus ya?" "Aku kan ayahnya. Sepantasnya aku menyiapkan itu semua! Kamu tahu
Kedatangan Oma"Siapa sih yang bertamu? Kamu tahu, Beng?""Iya, Sayang. Aku lupa ngomong sama kamu. Sepertinya sih Oma." Pandu berjalan mendahului Bela. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti lalu menarik tangan Bela dengan sedikit mundur."Sayang, Oma itu cerewet jadi kamu nurut aja ya kata dia. Daripada urusannya nanti malah jadi puanjang."Bela mengerutkan dahinya. Mencerna ucapan Pandu baru saja. Entah itu antisipasi atau sebuah penyelamat diri.Langkah mereka kembali maju ke depan. Ketika Bela mengangguk.Pandangan Bela menyapu seluruh ruangan. Mengamati satu persatu orang yang tengah duduk bercengkrama di ruang tamu. Bibirnya mengulas senyum menyapa tanpa bersuara. Hanya anggukan kecil yang ditujukan kepada semua orang. "Bela Sayang, sini!" Tangan Tari melambai. Meminta Bela mendekat. "Kenalin, ini Oma. Oma Asih. Dia bakal tinggal disini sampai acara empat bulanan kamu." Bela menyalami Asih wanita yang sudah beruban itu. Mencium tangan Asih dengan takzim lalu mencium pipi kanan d
POV BelaAku pulang dengan rasa penasaran. Ketika ada sebuah mobil yang tak aku kenal sudah terparkir apik dihalaman rumah. Abeng juga terlihat biasa saja. Mungkin dia tahu siapa yang bertamu sepagi ini. Benar ternyata, dia tahu siapa yang datang. Oma, ibu dari Mamah Tari. Dia baik, perhatian dan penuh kasih. Tapi sedikit berlebihan."Beng, Oma berlebihan nggak sih?" tanyaku pada suami yang tengah mencukur kumis.Pandu tersenyum menghentikan aktivitasnya sejenak lalu melanjutkan kembali. "Oma baik Sayang. Cuma agak berlebihan aja. Gak papa lah, tahan sebentar."Aku menggigit bibir bawahku. Takut jika pendapatku menyakiti hati Abeng. Dia benar, Oma baik. Dia perhatian, meskipun agak berlebihan. Bukan berlebihan tapi dia hanya melakukan apa yang ibunya dulu perintahkan padanya. "Maaf ya, Kalau aku menyinggung perasaanmu?" ucapku pada Abeng. Entah mengapa akhir-akhir ini aku begitu sensitif. Terkadang hanya melihat drama-drama Korea maupun india yang menyentuh hati aku langsung menang
Segera aku menghapus jejak air mata yang menetes di pipi. Oma pun sudah berada disampingku tanpa tau kapan dia datang. Mengusap lembut lenganku lalu menjatuhkan bobot tubuhnya dikursi paling dekat denganku. Kehangatan tangannya dalam mendekapku membuatku jauh lebih baik."Gak usah nangis. Adikmu itu sudah besar, dia bukan anak kecil lagi yang bisa kamu atur. Biarkan dia pilih jalan hidupnya sendiri, kalau kamu merasa bersalah atau merasa terbebani. Biar Oma yang bantu dia buat kuliah. Gimana? Kamu mau nggak?" ucapan Oma baru saja menyadarkanku. Betapa baiknya keluarga ini termasuk Oma. Tak sepantasnya aku mengeluh atas perhatiannya yang sedikit berlebih.Ya Allah, aku malu dengan diriku. Aku terlalu mengkhawatirkan yang tidak-tidak kapada mereka. Tapi justru mereka begitu baik kepadaku, Astagfirullahaladzim."Selebihnya kamu gak berantem kan, Ziz. Sama Adit, adiknya Mbakyu mu Bela ini? Jangan-jangan rebutan cewek lagi?" Oma benar-benar langsung to the point. "Kagak Oma, kami baik-bai
Amarah Oma "Sekarang kamu kesini lagi mau apa, Maura? Bukannya sudah jelas anak yang kamu kandung itu bukan anak Mas Pandu, suamiku. Lantas apa lagi ini?" ucapku sembari mengapit lengan Oma. "Oma lupa kalau kita dulu pernah dekat? Oma lupa kalau aku dulu sering membelikan Oma kue kesukaan Oma?" "Itu dulu Maura. Sebelum kamu mengkhianati Pandu. Sebelum sifat aslimu terbongkar! Dan jangan kamu harap Oma akan baik lagi setelah mengetahui niat busukmu itu!" "Istighfar, Oma. Oma itu sudah tua. Jangan marah-marah. Nanti darah Oma naik bisa cepat-." Maura tak meneruskan ucapannya. Namun bisa ditebak apa yang dia ingin sampaikan, dasar ulat bulu. Tidak ada sopan-sopannya. "Astaga, beruntung Pandu tidak jadi menikah denganmu. Andai dia menikah denganmu, entah jadi apa rumah tangganya." Tangan Oma mengepal. Sepertinya Oma benar-benar kecewa dengan Maura. Sebenarnya dia sudah kami maafkan, termasuk aku. Aku sudah melupakan kejadian waktu itu. Berharap wanita ini lekas pergi dari kehidupan k
Keguguran POV Bela Setelah kurasa badan ini terasa pegal. Kuputuskan pergi ke kamar. Melangkah dengan hati-hati berjalan menuju kamar. Melewati ruang tamu hingga ruang makan pun nampak biasa saja. Tak ada Irt saat ini, mereka tengah sibuk di belakang. Satu demi satu anak tangga aku lalui. Sembari tangan menyentuh lembut perut yang mulai menyembul. Indah dan juga sangat bahagia. Tapi ketika aku menjatuhkan kaki kanan, alangkah terkejutnya aku. Di anak tangga tersebut seakan licin penuh minyak. Seketika aku beristighfar lalu menyebut nama Allah. "Allahuakbar," ucapku spontan. Tanganku langsung mencari pegangan. Namun sayang lantai yang teramat licin membuat tubuhku tak sanggup menopang beban. Hingga tergelincir. Berguling ke bawah melalui anak tangga. Aku meringis kesakitan. Dibawah sana ada sesuatu yang terasa hangat keluar. "Oma," ucapku pelan. Karena aku sibuk memegangi perut yang terasa sakit luar biasa. "Bela, Bela. Astagfirullahaladzim, ini kamu kenapa? Bela, istighfar. B
Rahasia PanduPyar ….Gelas yang ingin Lastri raih dari atas meja mendadak jatuh. Entah itu karena Lastri menyentuhnya atau karena memang pertanda buruk."Ada apa, Mak?" Adit keluar dari kamar. Mencari sumber suara. Dia melihat Lastri membersihkan pecahan gelas di bawah meja. "Perasaan Emak nggak enak, Dit. Coba kamu telpon Mbakmu. Semoga dia sehat-sehat saja." Lastri menerawang jauh. Entah mengapa hatinya gelisah. Rasanya tidak tenang jika belum mendengar kabar dari putrinya. Putri yang kini jauh dari pandangannya."Iya, Mak. Ni aku telpon Mbak Bela." Adit sibuk memainkan benda pipih di tangannya. Sedangkan Lastri kini duduk bersandar."Nggak diangkat Mak," ucap Adit sembari melihatkan layar ponselnya yang sedang menghubungi Bela. Sekali, dua kali hingga tiga kali tanpa ada jawaban sama sekali. Membuat Lastri semakin gusar dan kepikiran. "Mak," panggil Sukino dari kamar. Sukino kini tengah sakit. Hanya sakit biasa, namun entah mengapa sudah seminggu tidak kunjung sembuh. Tenggoroka
Maura bertingkah Oma bertindak"Makan dulu, Sayang. Kamu harus tetap makan. Biar nggak sakit, semua merasa kehilangan kok. Sama sepertimu tapi Mamah harap kamu bisa lebih ikhlas." Tari memeluk Bela. Bela hanya tersenyum. Lagi-lagi dia pandai menyembunyikan luka."Ya sudah, kalau begitu Mamah keluar dulu. Nanti kalau kamu pengen sesuatu kamu bisa panggil Bik Tum.""Iya, Mah. Terima Kasih," ucap Bela dengan mata yang sedikit berembun. Tari mengusap lembut pucuk kepala Bela. Lalu menciumnya cukup lama, sesama wanita dia tahu betul apa yang dirasakan menantunya itu.Pandu terlihat masuk kedalam kamar, ketika melihat wanita yang sudah melahirkannya keluar. Pandu mendekat lalu dia mengusap lembut bahu Bela, ikut duduk disisi ranjang."Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Sayang. Maaf, seharusnya ini sudah aku ceritakan sejak dulu."Bela mengangguk tak ada banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia begitu diam, sangat diam."Gladis sedang hamil." Pandu tertunduk menceritakan wanita itu, ber