Cie, calon Ayah.POV TariAlhamdulilah, puji syukur. Melihat pandu dan juga Aziz sehat. Membuatku mengucap syukur lebih banyak. Mereka berdua baru beberapa bulan tinggal di kampung. Tapi terlihat mereka sangat menikmati. Aziz harus pindah sekolah ke kampung. Pergaulannya di kota sudah tidak bisa di tolerir. Dia begitu liar berbeda dengan Pandu, kakaknya. "Ndu, kata tetangga sebelah Aziz berantem?""Iya, Mah. Tapi sudah baikan kok.""Masalahnya apa? Pendatang baru kok main pukul aja, mentang-mentang Papah orang paling disegani di kampung ini, jadi Aziz bertingkah.""Masalah sepele sih, Mah. Cuma pengen jadi temen doang. Pake mukul segala. Pandu malu lho, Mah. Udah marah-marah gak jelas dirumah orang. Malah Aziz ternyata biang keroknya.""Adikmu itu memang keterlaluan. Ndu, kamu balik ke kota ya. Papah lagi gak sehat, kamu urus usaha Papah.""Mah, Pandu masih betah disini. Kan ada Pak Ali, kenapa mesti Pandu juga sih?""Betah karena ada cewek cantik?" Pandu tersenyum. Aku tahu dia sed
Teka-teki amplop coklatBela duduk di kursi teras. Sedangkan Tari sibuk menyirami tanaman hiasnya yang sudah mulai berbunga. Biasanya kegiatan itu dilakukan oleh Bela. Tapi setelah Bela mengandung. Dia dilarang melakukan kegiatan apapun. Meskipun kekhawatiran Tari begitu berlebihan. Namun Bela nampak menurut saja dengan ibu mertuanya satu ini.Bela merasa beruntung. Mendapatkan mertua sebaik Tari. Dia tidak merasakan kasih sayang mertua di pernikahannya terdahulu.Bagaimanapun pernikahan akan sangat membahagiakan jika semuanya juga ikut andil. Baik itu orang tua sendiri maupun mertua.Tari begitu berhati-hati menjaga Bela. Dia tau rasanya bagaimana jika diperlakukan kasar. Dia belajar dari pengalaman. Perlakuan mertuanya dulu begitu baik sehingga dia juga betah dirumah. Menjadikan anak mantu seperti anak sendiri. Itu benar-benar membuat menantu tak memiliki jarak.Itu yang selama ini sedang diusahakan Tari. Menjadi mertua yang bisa diandalkan. Tari juga sering membantu Bela belajar m
Kedatangan EmakBela duduk ditepi ranjang. Tangannya sibuk dengan benda pipih ditangan sedangkan mulutnya sibuk mengunyah apel yang tadi sudah dikupas. Bela kini tampak lebih berisi. Kehamilannya masih trimester awal. Meskipun dia mengalami mual dan muntah di pagi hari. Semenjak kehamilan Bela. Pandu lebih perhatian. Lelaki itu sering kali memberi perhatian kecil meskipun sekedar mengupas apel untuknya. Ya, Bela suka sekali dengan Apel. Apalagi dengan warna merah yang segar. Dia selalu berandai-andai menjadi putri salju. Tapi tak pernah bermimpi diracun.Tok … Tok … TokKetukan pintu kamar terdengar. Bela mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang terdengar handlenya diputar."Masuk." Tari tersenyum berjalan menghampiri menantunya yang tengah asyik mengunyah."Enak?" Bela mengangguk."Ada tamu didepan. Kamu pasti suka, mereka bawa apel satu keranjang." Tari terkekeh, dia tahu betul bagaimana Bela akan merespon candaannya itu. Bela dengan antusias menyambut tamu. Bukan orangnya tepa
Rahasia AntonAnton gusar. Dia penasaran dengan Amplop yang diberikan Maura kepada istrinya. Entah mengapa Anton tiba-tiba merasa takut jika sesuatu hal itu adalah dirinya. Sebab Maura pernah mengancam Anton dengan ancaman yang tidak main-main. Ini menyangkut masa lalu. Tapi bukannya masa lalu Anton sudah diketahui oleh Tari? Apakah masih ada masa lalu yang tak ia ceritakan kepada Tari? Omong kosong apa ini?"Mah," ucap Anton ketika melihat Tari berjalan dihadapannya."Apa sih, Pah? Masih sore ah, Mamah lagi pengen rebahan sebentar." Tari terkekeh. Meskipun mereka sebentar lagi akan memiliki cucu namun gaya bercanda kedua orang ini seperti anak muda kebanyakan."Mamah sudah transfer seperti biasa kan?""Sudah, Pah. Uang buat Rumi juga udah. Apalagi?" Tari menatap Anton dalam-dalam. Wanita itu tau jika Anton menanyakan hal ini pasti ada sesuatu."Rumi mau nikah, jadi siapkan uang untuk pernikahannya!" "Pah, harus ya?" "Aku kan ayahnya. Sepantasnya aku menyiapkan itu semua! Kamu tahu
Kedatangan Oma"Siapa sih yang bertamu? Kamu tahu, Beng?""Iya, Sayang. Aku lupa ngomong sama kamu. Sepertinya sih Oma." Pandu berjalan mendahului Bela. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti lalu menarik tangan Bela dengan sedikit mundur."Sayang, Oma itu cerewet jadi kamu nurut aja ya kata dia. Daripada urusannya nanti malah jadi puanjang."Bela mengerutkan dahinya. Mencerna ucapan Pandu baru saja. Entah itu antisipasi atau sebuah penyelamat diri.Langkah mereka kembali maju ke depan. Ketika Bela mengangguk.Pandangan Bela menyapu seluruh ruangan. Mengamati satu persatu orang yang tengah duduk bercengkrama di ruang tamu. Bibirnya mengulas senyum menyapa tanpa bersuara. Hanya anggukan kecil yang ditujukan kepada semua orang. "Bela Sayang, sini!" Tangan Tari melambai. Meminta Bela mendekat. "Kenalin, ini Oma. Oma Asih. Dia bakal tinggal disini sampai acara empat bulanan kamu." Bela menyalami Asih wanita yang sudah beruban itu. Mencium tangan Asih dengan takzim lalu mencium pipi kanan d
POV BelaAku pulang dengan rasa penasaran. Ketika ada sebuah mobil yang tak aku kenal sudah terparkir apik dihalaman rumah. Abeng juga terlihat biasa saja. Mungkin dia tahu siapa yang bertamu sepagi ini. Benar ternyata, dia tahu siapa yang datang. Oma, ibu dari Mamah Tari. Dia baik, perhatian dan penuh kasih. Tapi sedikit berlebihan."Beng, Oma berlebihan nggak sih?" tanyaku pada suami yang tengah mencukur kumis.Pandu tersenyum menghentikan aktivitasnya sejenak lalu melanjutkan kembali. "Oma baik Sayang. Cuma agak berlebihan aja. Gak papa lah, tahan sebentar."Aku menggigit bibir bawahku. Takut jika pendapatku menyakiti hati Abeng. Dia benar, Oma baik. Dia perhatian, meskipun agak berlebihan. Bukan berlebihan tapi dia hanya melakukan apa yang ibunya dulu perintahkan padanya. "Maaf ya, Kalau aku menyinggung perasaanmu?" ucapku pada Abeng. Entah mengapa akhir-akhir ini aku begitu sensitif. Terkadang hanya melihat drama-drama Korea maupun india yang menyentuh hati aku langsung menang
Segera aku menghapus jejak air mata yang menetes di pipi. Oma pun sudah berada disampingku tanpa tau kapan dia datang. Mengusap lembut lenganku lalu menjatuhkan bobot tubuhnya dikursi paling dekat denganku. Kehangatan tangannya dalam mendekapku membuatku jauh lebih baik."Gak usah nangis. Adikmu itu sudah besar, dia bukan anak kecil lagi yang bisa kamu atur. Biarkan dia pilih jalan hidupnya sendiri, kalau kamu merasa bersalah atau merasa terbebani. Biar Oma yang bantu dia buat kuliah. Gimana? Kamu mau nggak?" ucapan Oma baru saja menyadarkanku. Betapa baiknya keluarga ini termasuk Oma. Tak sepantasnya aku mengeluh atas perhatiannya yang sedikit berlebih.Ya Allah, aku malu dengan diriku. Aku terlalu mengkhawatirkan yang tidak-tidak kapada mereka. Tapi justru mereka begitu baik kepadaku, Astagfirullahaladzim."Selebihnya kamu gak berantem kan, Ziz. Sama Adit, adiknya Mbakyu mu Bela ini? Jangan-jangan rebutan cewek lagi?" Oma benar-benar langsung to the point. "Kagak Oma, kami baik-bai
Amarah Oma "Sekarang kamu kesini lagi mau apa, Maura? Bukannya sudah jelas anak yang kamu kandung itu bukan anak Mas Pandu, suamiku. Lantas apa lagi ini?" ucapku sembari mengapit lengan Oma. "Oma lupa kalau kita dulu pernah dekat? Oma lupa kalau aku dulu sering membelikan Oma kue kesukaan Oma?" "Itu dulu Maura. Sebelum kamu mengkhianati Pandu. Sebelum sifat aslimu terbongkar! Dan jangan kamu harap Oma akan baik lagi setelah mengetahui niat busukmu itu!" "Istighfar, Oma. Oma itu sudah tua. Jangan marah-marah. Nanti darah Oma naik bisa cepat-." Maura tak meneruskan ucapannya. Namun bisa ditebak apa yang dia ingin sampaikan, dasar ulat bulu. Tidak ada sopan-sopannya. "Astaga, beruntung Pandu tidak jadi menikah denganmu. Andai dia menikah denganmu, entah jadi apa rumah tangganya." Tangan Oma mengepal. Sepertinya Oma benar-benar kecewa dengan Maura. Sebenarnya dia sudah kami maafkan, termasuk aku. Aku sudah melupakan kejadian waktu itu. Berharap wanita ini lekas pergi dari kehidupan k
Happy endingPandu pergi meninggalkan Bela. Pergi meninggalkan wanita itu yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di rumah baru itu. Pandu benar-benar marah, dia tidak percaya jika Bela akan mendorongnya cukup kuat. Dan berpikir dia meminta haknya. Dengan teriakan yang cukup memekikkan telinga.Bela menangis tergugu. Tubuhnya lemas hingga terjatuh di lantai. Bersimpuh dengan air mata yang tidak mau berhenti.Bela menyesali perlakuannya pada Pandu. Padahal dia melihat kesungguhan laki-laki itu dalam membimbingnya kembali mengingat.Bela menyesal. Tapi sesak tiada guna, Pandu sudah pergi entah kemana dia? Seharusnya dia tidak pernah meninggalkan Bela dalam kondisi Semarah apapun. Apakah dia tidak ingat dengan janjinya? Tidak akan meninggalkan Bela dalam kondisi apapun?Tiba-tiba ingatan Bela satu demi satu kembali. Membuat kepalanya terasa berat, semakin lama hanya sakit yang ia rasakan. Sejalan dengan ingatan yang kembali dalam pikirannya.Hingga Bela tidak bisa lagi menahan sakit.
Pandu kecewa"Kenapa mesti pindah rumah sih?" tanya Bela kepada Pandu. Dengan bibir mengerucut. Sedangkan Pandu masih sibuk memasukan pakaiannya satu persatu ke dalam koper. Dia nampak ragu menjawab. Tapi lagi-lagi Bela bertingkah."Eh, ditanya malah diem bae." Bela kembali berteriak. Kini tidak hanya berteriak, dia melempar sesuatu dengan asal. Astaga, dan apa kamu tahu apa yang dia lempar? Celana dalam dengan motif bunga renda. Sungguh menggemaskan, eh salah sexy. Dia salah, salah ambil. Membuat Pandu menoleh ke arah Bela. Dia benar-benar merindukan istrinya. Menatap wajah Bela dengan senyum yang sulit diartikan.Pandu langsung bergegas menghampiri Bela. Tingkahnya seperti singa yang siap akan menerkam mangsanya."Mau apa Lo?" Bela mencoba melempar apapun yang berada didekatnya. Namun sayang Pandu masih bisa menepisnya."Aku mau kamu, Sayang." ucap Pandu dengan wajah menggoda.Bela kembali berteriak hingga membuat Pandu panik. Ketika tubuh Pandu semakin ia dekatkan pada wanita itu.
Pandu sadarBela semakin hari semakin membaik. Beberapa perban yang menutup lukanya dibuka. Lastri dan Sukino sedang dirumah Pandu. Beristirahat, dan berganti Tari dan Anton."Sayang, mamah ada disini. Kamu mau apa?" tanya Tari. Bela menggeleng. Wanita itu berubah. Dia menjadi wanita yang lebih pendiam, dia bingung dengan apa yang sudah menimpanya. Memiliki keluarga dan juga mertua. Sungguh sulit dibayangkan olehnya."Siapa suamiku, Mah?" tanya Bela terbata. Dia penasaran bagaimana keadaan suaminya jika dia memang sudah menikah. "Pandu?" Bela tersenyum. Meskipun dia tidak ingat wajah sang suami, tapi setidaknya dia bertanya. Meskipun sebenarnya dalam hatinya tak ada rasa khawatir sedikitpun."Dia masih koma, dia belum sadar. Doakan ya, semoga dia lekas sadar. Nanti kalau kamu sudah bisa berdiri, kita lihat suamimu di ruangannya. Dia disana sedang berjuang juga sepertimu. Mamah harap, kamu juga ikut berjuang ya!" Bela hanya tersenyum tak ada anggukan atau jawaban. Dia mungkin bingun
Bela hilang ingatanMobil yang dikendarai Pandu keluar kawasan komplek. Baru saja memasuki jalan raya mobil hitam tersebut ditabrak truk bermuatan yang kehilangan kontrol.Kepala Bela terbentur. Pandu pun terluka, Oma yang ada di kursi penumpang bagian belakang juga merasakan guncangan cukup hebat. Arya langsung menghentikan laju kendaraannya. Beristighfar, mengharap Tuhan melindungi Bela dan juga Pandu."Astagfirullahaladzim, Bela. Ya Allah, Mas itu kan mobil Bela sama keluarganya.""Iya, Nia. Kamu yang tenang ya, aku akan segera menghubungi ambulans." Arya dengan cepat menghubungi pihak rumah sakit. Segera meminta pertolongan untuk kecelakaan yang baru saja terjadi.Arya dan Kania turun dari mobil. Sedangkan Cleo dia langsung menghamburkan pelukannya pada Kania. Calon ibu sambungnya. Pikiran Kania tak karuan dia khawatir dengan keadaan sahabatnya. Karena Arya melarang Kania mendekat. Hanya Arya yang mendekat. Memastikan Bela dan keluarga baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa baik-
Pertemuan Arumi dan BelaSeperti rencana semula. Bela pergi ke acara pernikahan Rumi. Anak Anton dengan istri terdahulu. Kebetulan Bela, Oma dan juga Pandu satu mobil. Sedangkan Anton sama Tari mengendarai mobil sendiri. Sengaja, karena kepulangan mereka berbeda waktu.Bela tidak tahu jika Rumi saudara Pandu beda Ibu itu ternyata Arumi. Wanita yang pernah dekat dengannya. Wanita yang pernah memintanya menikah dengan suaminya sendiri. Rela dimadu demi bakti kepada suami itu alibinya. Meskipun pada kenyataannya tidak demikian. Entah apa yang terjadi jika Bela bertemu dengan Arumi? Apakah mereka akan baik-baik saja? Setelah dulu pernah terdengar kabar bahwa Arya akan bercerai dengan Arumi. Tak lama Bela kehilangan komunikasi dengan wanita itu. Tiba-tiba saja dia hilang seperti ditelan bumi.Untuk kali ini Bela akan bertemu dengan Arumi sebagai adik ipar. Terkejutkah Bela jika melihat Arumi? Apakah Arya juga akan hadir dalam acara tersebut?Bela dengan senyum sumringah terlihat anggun m
*****"Lepaskan saya, Pak. Saya ini lagi hamil. Apa kalian tidak punya hati nurani?!" teriak Maura ketika dia ditangkap polisi. Berharap tindakannya itu memberikan rasa empati kepadanya. Namun, bukan mendapatkan empati justru petugas bersikap tegas."Silahkan, Ibu menjelaskan semuanya di kantor. Saya hanya menjalankan tugas. Saya juga sudah membawa surat penangkapan. Ibu juga berhak membawa pengacara!" Dengan jelas dan tegas petugas itu menjawab.Maura terlihat marah, sangat marah. Tidak mungkin jika Pandu tega menjebloskan dirinya ke penjara. Benar-benar diluar dugaannya. Secepat ini keluarga Pandu bergerak. Padahal dia belum melakukan apa-apa. Baru menghilangkan janin Bela, semua orang menyerangnya dengan bersamaan. Umpatan demi umpatan dalam hati yang bisa dilakukan Maura saat ini. Keluarganya sudah tidak mau berurusan dengannya lagi. Setelah kasus hutang piutang yang dilakukan Maura. Kini dia sendirian. Dalam keadaan hamil dan kemungkinan dia dipenjara dalam waktu yang tidak sebe
Maura bertingkah Oma bertindak"Makan dulu, Sayang. Kamu harus tetap makan. Biar nggak sakit, semua merasa kehilangan kok. Sama sepertimu tapi Mamah harap kamu bisa lebih ikhlas." Tari memeluk Bela. Bela hanya tersenyum. Lagi-lagi dia pandai menyembunyikan luka."Ya sudah, kalau begitu Mamah keluar dulu. Nanti kalau kamu pengen sesuatu kamu bisa panggil Bik Tum.""Iya, Mah. Terima Kasih," ucap Bela dengan mata yang sedikit berembun. Tari mengusap lembut pucuk kepala Bela. Lalu menciumnya cukup lama, sesama wanita dia tahu betul apa yang dirasakan menantunya itu.Pandu terlihat masuk kedalam kamar, ketika melihat wanita yang sudah melahirkannya keluar. Pandu mendekat lalu dia mengusap lembut bahu Bela, ikut duduk disisi ranjang."Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Sayang. Maaf, seharusnya ini sudah aku ceritakan sejak dulu."Bela mengangguk tak ada banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia begitu diam, sangat diam."Gladis sedang hamil." Pandu tertunduk menceritakan wanita itu, ber
Rahasia PanduPyar ….Gelas yang ingin Lastri raih dari atas meja mendadak jatuh. Entah itu karena Lastri menyentuhnya atau karena memang pertanda buruk."Ada apa, Mak?" Adit keluar dari kamar. Mencari sumber suara. Dia melihat Lastri membersihkan pecahan gelas di bawah meja. "Perasaan Emak nggak enak, Dit. Coba kamu telpon Mbakmu. Semoga dia sehat-sehat saja." Lastri menerawang jauh. Entah mengapa hatinya gelisah. Rasanya tidak tenang jika belum mendengar kabar dari putrinya. Putri yang kini jauh dari pandangannya."Iya, Mak. Ni aku telpon Mbak Bela." Adit sibuk memainkan benda pipih di tangannya. Sedangkan Lastri kini duduk bersandar."Nggak diangkat Mak," ucap Adit sembari melihatkan layar ponselnya yang sedang menghubungi Bela. Sekali, dua kali hingga tiga kali tanpa ada jawaban sama sekali. Membuat Lastri semakin gusar dan kepikiran. "Mak," panggil Sukino dari kamar. Sukino kini tengah sakit. Hanya sakit biasa, namun entah mengapa sudah seminggu tidak kunjung sembuh. Tenggoroka
Keguguran POV Bela Setelah kurasa badan ini terasa pegal. Kuputuskan pergi ke kamar. Melangkah dengan hati-hati berjalan menuju kamar. Melewati ruang tamu hingga ruang makan pun nampak biasa saja. Tak ada Irt saat ini, mereka tengah sibuk di belakang. Satu demi satu anak tangga aku lalui. Sembari tangan menyentuh lembut perut yang mulai menyembul. Indah dan juga sangat bahagia. Tapi ketika aku menjatuhkan kaki kanan, alangkah terkejutnya aku. Di anak tangga tersebut seakan licin penuh minyak. Seketika aku beristighfar lalu menyebut nama Allah. "Allahuakbar," ucapku spontan. Tanganku langsung mencari pegangan. Namun sayang lantai yang teramat licin membuat tubuhku tak sanggup menopang beban. Hingga tergelincir. Berguling ke bawah melalui anak tangga. Aku meringis kesakitan. Dibawah sana ada sesuatu yang terasa hangat keluar. "Oma," ucapku pelan. Karena aku sibuk memegangi perut yang terasa sakit luar biasa. "Bela, Bela. Astagfirullahaladzim, ini kamu kenapa? Bela, istighfar. B