Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
“Bayu, kamu yakin?” Sutha bertanya Bayu menatap kedua temannya itu dalam-dalam, “bagaimana jika sebenarnya aku bukanlah Bayu yang kalian kenal?” “Maksudmu?” Bayu tak menjawab, ia langsung membuka pintu itu dan masuk ke dalam rumah diikuti kedua temannya yang masih diliputi keheranan. Mereka berjalan menuju area ruangan makam tempat kalung Gajahsora menembak-nembakkan bola api kecil. “Bayu makamnya menghilang!” Seru Sutha pertama kali saat tiba ke ruangan itu, Benar saja, ketiga makam yang tadi harusnya ada, tiba-tiba sudah lenyap seperti habis dilalap api, begitu pula dengan foto-foto yang sebelumnya menempel di dinding ruangan itu, lenyap pula seperti dimakan api. Namun hanya itu, sedangkan dinding-dinding dan area lain sama sekali tak berbekas meski api-api kecil masih menempel di sana. Kalung Gajahsora masih melayang kali ini tanpa bola-bola api, hanya berpendar terang begitu indah. Selain itu ada butiran pasir yang keluar sedikit sedikit dari sana, pasir putih. Bayu mengamb
Menjelang pagi… Obor-obor yang menempel di dinding gua itu masih setia melemparkan cahaya dari lidah api yang menyala di atasnya. Udara dingin menjadi sedikit hangat menjalar di sekujur permukaan gua suci itu. Tak ada suara makhluk malam apapun yang terdengar, tak ada deru angin yang menembus hingga ke dalam sana. Hanya ada suara nafas dan bisingnya lemparan ekor mata para pelarian yang tertuju pada sosok pria muda dengan pakaian compang camping beserta sebuah kalung permata di genggamanya, di sebelahnya Sutha dan Rukmana tak tahu harus berekspresi seperti apa dalam segala kebingungan ini. Sedangkan Ampu Estungkara duduk kembali ke peraduannya sambil menatap pria muda itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Bayu, pria muda itu tampaknya tak begitu senang dengan tatapan gurunya itu, ia menoleh ke berbagai arah untuk mengusir rasa risihnya, namun yang ia temui justru tatapan aneh pula dari orang-orang lainnya, termasuk Cadudasa. Bayu merasa makin tak nyaman. Ia kini menunduk. Ampu Estun
Brata hanya satu tahun lebih muda dariku, wajah kami memang sangat mirip hingga banyak yang mengira kami saudara kembar, walaupun faktanya kami tidak kembar. Orang tua kami meninggal saat perang Kertasenktra di teluk Zanubar. Ayah kami adalah perwira militer rendah, sedangkan ibu kami adalah anggota pasukan pemanah kerajaan Martadipura. Mereka dipertemukan di medan perang dan dipisahkan di medan perang pula. Kami masih sangat kecil saat menyadari bahwa orang tua kami harus pergi selamanya. Maharaja Wulau Benggala lalu memerintahkan setiap anak yatim akibat perang untuk diberikan Pendidikan terbaik. Kami berdua lantas belajar di padepokan Resi Renjamin Basa, seorang ahli militer, ahli politik, dan pemerhati dunia supranatural, beliau adalah mantan Mentri kerajaan di masa pemerintahan Maharaja Bhakti Jaya Warman yang memilih pensiun dini karena masalah kesehatan, kakinya agak pincang akibat perang dan matanya buta sebelah terkena tombak saat di medan perang. Namun ia masih bisa menemba
Yang pertama kali kulihat ketika masuk ke ruangan kerja Paduka Raja adalah lima bilah pedang yang menempel rapi di dinding ruangan berbahan kayu ulin langka itu. Aku hapal nama-nama dan sejarah pedang-pedang itu, yang bersarung cokelat diberi nama Ardhani, ditempa oleh Laksamana Gulanggang Sedayu, jenderal Angkatan laut yang menghabiskan masa remajanya sebagai seorang penempa besi handal, pedang ini terkenal karena merupakan hasil dari peleburan dua pedang paman Paduka Gajahsora yang digantung karena berupaya melakukan pembunuhan pada paduka saat ia masih berusia 14 tahun. Pedang yang sedikit lebih panjang namun lebih kurus dengan ukiran seperti liukan sungai di sarungnya dan bergagang berwarna hitam diberi nama pedang Jayasri, pedang yang ditempa oleh penempa besi khusus keluarga istana, Datu Buranda, pedang ini tak pernah digunakan dalam pertempuran, seperti namanya pedang ini hanya digunakan Paduka saat menyambut atau melepas pasukannya dari dan ke medan perang. Pedang ketiga dibe
“Aku memiliki darah manu, Estungkara. Mungkin kau pernah belajar itu dari Resi Renjamin. Darah utama, darah para penakluk, darah yang diberkati Dewa, darah unggulan, istimewa jika kau ingin menyebutnya. Tak semua dari kami, para keturunan Paduka Kurangga Bernawa memilikinya, hanya mereka yang dipilih dewa. Aku takbtahu siapa yang memilikinya sebelum aku, tapi aku yakin bukan orang tuaku atau kakekku, mungkin Paduka Kurangga Bernawa, Paduka Maharaja Jaya Prabawa II, atau Maharaja Cipta Atmadewa juga memilikinya, entahlah. Hal ini sangat penting untuk dirahasiakan, karena jika pemiliknya dibunuh atau atau digauli dengan ritual tertentu, maka darah ini bisa saja berpindah kepada orang yang melakukannya, dan mereka tentu bukan orang yang bermaksud baik. Berbahaya pastinya.” “Lantas apa hal yang membuat Paduka membeberkan ini pada saya?” aku mencoba mencari tahu tentang rahasia yang cukup mengejutkanku ini, aku pernah belajar memang tak semua manusia memiliki darah manu, mungkin satu band
Malam itu adalah kali pertama aku melihat dan bertemu dengan Purwaca, dan aku bersumpah demi para Dewa, tidak pernah kulihat pria setampan dan sesempurna dirinya. Wajahnya putih bersih tanpa noda setitik pun, matanya tajam dan teduh, alisnya melengkung indah bagai liukan sungai yang hanya ada dalam cerita-cerita surgawi, bibirnya tipis dihiasi senyum ramah dan menagih simpati siapapun yang menangkap senyum itu. Tubuhnya tinggi jangkung dengan bahu yang kokoh dan punggung yang seolah diukir dengan pahatan tangan terbaik para Dewa. Dadanya bidang dan perutnya rata dengan tonjolan otot-otot kekar di sana. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam yang tergerai rapi sesekali bergoyang pelan disapu udara yang lewat menyapa helai -helainya. Tak hanya penampilan fisiknya yang memukau, tutur bicaranya juga sangat menyenangkan. Ia begitu lihai memilih kata demi kata, kalimat demi kalimat, dalam memikat lawan bicaranya. Sangat santun dalam bersikap. Dalam kurun waktu beberapa saat berbicara denga
Bayu atau Ganendra Aryasathya merasakan getaran aneh di dalam lambungnya, seperti sesuatu yang besar sedang berusaha menyeruak keluar, terlontar beserta darah yang mengalir dalam nadinya. Ia tak tahu perasaan semacam apa itu, namun nama yang disebut oleh Estungkara itu seperti begitu lekat dengan jiwanya. Benarkah karena itu adalah ibunya? Entahlah, otaknya masih terlalu payah untuk diajak berpikir saat ini setelah menerima fakta-fakta yang enggan ia terima namun seperti ada sisi lain dirinya yang mengakui hal itu. Estungkara sepertinya menangkap ribuan pertanyaan yang menghinggapi para tamunya yang sedang mendengarkan ceritanya itu. Tampak dari wajah kebingungan bercampur penasaran yang menghiasi rona muka mereka disapu cahaya-cahaya temaram dari obor yang menyala. Estungkara tersenyum. “Aku tahu, ada banyak sekali tanya dari kalian semua, tentang kisah apa ini, dan apa hubungannya ini dengan kalian. Tapi bolehkah aku melanjutkan kisah masa laluku itu kembali?” Tak ada yang menjawa
Hari itu aku tak melihat Brata sekalipun, biasanya ia selalu menemuiku untuk melaporkan rencana pengawasannya. Kebetulan pekerjaanku juga sudah mulai menipis yang artinya aku bisa menyediakan waktuku untuk menengok Putri Aruna. Biasanya di jam seperti ini Putri Aruna sedang menyulam di pekarangan belakang kediamannya. Aku tau remaja itu senang sekali menyulam benang membentuk suatu kain yang memuaskan hasrat seninya. Namun aku tak menemukan sang Putri ke kediamannya, begitu pun pengawalnya. “Di mana Putri Aruna?” aku mencoba bertanya pada pelayan pribadinya. “Mohon ampun, saya tidak tahu, Gusti. Tuan Putri sejak tadi, bahkan tidak mau ditemani para pengawalnya.” kata si pelayan sambil menunduk takut. “Maksudmu tanpa ditemani pengawal bagaimana?” “Ampun, Gusti. Tadi saya mendengar Tuan Putri pergi dan bilang kepada pengawalnya untuk tak usah mengikutinya.” Aku mulai khawatir. “Sekarang di mana para pengawalnya?” “Ada di belakang, Gusti.” Dengan wajah marah dan tanpa permisi aku
Aku mengetuk pintu ruangan Paduka namun sebelum kulakukan, Paduka telah berseru dengan suara beratnya dari dalam. “Masuk!” Perasaanku langsung tak nyaman. Aku pelan masuk ke ruangannya sambil menunduk, sempat kulihat ia duduk masih dengan pakaian kebesarannya yang belum berganti, sepertinya ia memang sama sekali belum pulang ke kediamannya. Ia lalu mendekat kepadaku. “Mohon ampun, Paduka, saya tidak sempat menyambut kepulangan paduka karena baru selesai mengerjakan laporan bencana banjir….” PLAKKK!! Begitu keras tamparan Paduka Gajahsora hinggap di pipi kiriku dan aku sendiri terhuyung-huyung ke arah pintu sambil meringis kesakitan. Sambil menahan takut, aku langsung bersimpuh di depannya. “Mohon ampun, Paduka, apa gerangan salah hamba hingga Paduka segeram ini?” Sumpah demi apapun, aku tak pernah melihat Paduka semarah ini kepada para pejabatnya. Aku menggigil gemetar ketakutan. “Kau lalai, Estungkara! Aku kecewa padamu!” geram Paduka Gajahsora. “Maafkan jika saya lancing,
Setelah kejadian itu hingga beberapa hari kemudian tak pernah lagi kulihat Purwaca, Brata pun juga mengaku tak pernah lagi melihatnya. Entah di mana sekarang ia berada jujur aku tak peduli, justru yang aku pedulikan adalah bagaimana tanggapan Paduka Gajahsora jika tahu bahwa aku sempat memarahi Purwaca yang notabene adalah anak dari kawannya. Tapi kurasa Paduka juga tak akan ambil pusing, Purwaca adalah pria dewasa yang tau akan konsekuensi dari segala hal yang telah ia lakukan.Namun nampaknya itu tak berlaku bagi Putri Aruna, sang Putri Nampak agak murung dari biasanya selepas menghilangnya Purwaca. Ia tak sesemangat biasanya. Memang ia mencoba tidak memperlihatkan prubahan raut wajahnya namun bukan berarti aku tak tahu bahwa sebenarnya ia merasa kehilangan. Aku mulai khawatir menafsirkan jika itu adalah tanda bahwa Tuan Putri jatuh cinta pada pria itu. Ia masih sangat muda dan sangat berharga. Aku memang tak punya hak untuk mementukan jodohnya, namun jika aku jadi raja, Purwaca sam
Hari itu aku tak melihat Brata sekalipun, biasanya ia selalu menemuiku untuk melaporkan rencana pengawasannya. Kebetulan pekerjaanku juga sudah mulai menipis yang artinya aku bisa menyediakan waktuku untuk menengok Putri Aruna. Biasanya di jam seperti ini Putri Aruna sedang menyulam di pekarangan belakang kediamannya. Aku tau remaja itu senang sekali menyulam benang membentuk suatu kain yang memuaskan hasrat seninya. Namun aku tak menemukan sang Putri ke kediamannya, begitu pun pengawalnya. “Di mana Putri Aruna?” aku mencoba bertanya pada pelayan pribadinya. “Mohon ampun, saya tidak tahu, Gusti. Tuan Putri sejak tadi, bahkan tidak mau ditemani para pengawalnya.” kata si pelayan sambil menunduk takut. “Maksudmu tanpa ditemani pengawal bagaimana?” “Ampun, Gusti. Tadi saya mendengar Tuan Putri pergi dan bilang kepada pengawalnya untuk tak usah mengikutinya.” Aku mulai khawatir. “Sekarang di mana para pengawalnya?” “Ada di belakang, Gusti.” Dengan wajah marah dan tanpa permisi aku
Bayu atau Ganendra Aryasathya merasakan getaran aneh di dalam lambungnya, seperti sesuatu yang besar sedang berusaha menyeruak keluar, terlontar beserta darah yang mengalir dalam nadinya. Ia tak tahu perasaan semacam apa itu, namun nama yang disebut oleh Estungkara itu seperti begitu lekat dengan jiwanya. Benarkah karena itu adalah ibunya? Entahlah, otaknya masih terlalu payah untuk diajak berpikir saat ini setelah menerima fakta-fakta yang enggan ia terima namun seperti ada sisi lain dirinya yang mengakui hal itu. Estungkara sepertinya menangkap ribuan pertanyaan yang menghinggapi para tamunya yang sedang mendengarkan ceritanya itu. Tampak dari wajah kebingungan bercampur penasaran yang menghiasi rona muka mereka disapu cahaya-cahaya temaram dari obor yang menyala. Estungkara tersenyum. “Aku tahu, ada banyak sekali tanya dari kalian semua, tentang kisah apa ini, dan apa hubungannya ini dengan kalian. Tapi bolehkah aku melanjutkan kisah masa laluku itu kembali?” Tak ada yang menjawa
Malam itu adalah kali pertama aku melihat dan bertemu dengan Purwaca, dan aku bersumpah demi para Dewa, tidak pernah kulihat pria setampan dan sesempurna dirinya. Wajahnya putih bersih tanpa noda setitik pun, matanya tajam dan teduh, alisnya melengkung indah bagai liukan sungai yang hanya ada dalam cerita-cerita surgawi, bibirnya tipis dihiasi senyum ramah dan menagih simpati siapapun yang menangkap senyum itu. Tubuhnya tinggi jangkung dengan bahu yang kokoh dan punggung yang seolah diukir dengan pahatan tangan terbaik para Dewa. Dadanya bidang dan perutnya rata dengan tonjolan otot-otot kekar di sana. Rambutnya panjang sebahu berwarna hitam yang tergerai rapi sesekali bergoyang pelan disapu udara yang lewat menyapa helai -helainya. Tak hanya penampilan fisiknya yang memukau, tutur bicaranya juga sangat menyenangkan. Ia begitu lihai memilih kata demi kata, kalimat demi kalimat, dalam memikat lawan bicaranya. Sangat santun dalam bersikap. Dalam kurun waktu beberapa saat berbicara denga
“Aku memiliki darah manu, Estungkara. Mungkin kau pernah belajar itu dari Resi Renjamin. Darah utama, darah para penakluk, darah yang diberkati Dewa, darah unggulan, istimewa jika kau ingin menyebutnya. Tak semua dari kami, para keturunan Paduka Kurangga Bernawa memilikinya, hanya mereka yang dipilih dewa. Aku takbtahu siapa yang memilikinya sebelum aku, tapi aku yakin bukan orang tuaku atau kakekku, mungkin Paduka Kurangga Bernawa, Paduka Maharaja Jaya Prabawa II, atau Maharaja Cipta Atmadewa juga memilikinya, entahlah. Hal ini sangat penting untuk dirahasiakan, karena jika pemiliknya dibunuh atau atau digauli dengan ritual tertentu, maka darah ini bisa saja berpindah kepada orang yang melakukannya, dan mereka tentu bukan orang yang bermaksud baik. Berbahaya pastinya.” “Lantas apa hal yang membuat Paduka membeberkan ini pada saya?” aku mencoba mencari tahu tentang rahasia yang cukup mengejutkanku ini, aku pernah belajar memang tak semua manusia memiliki darah manu, mungkin satu band
Yang pertama kali kulihat ketika masuk ke ruangan kerja Paduka Raja adalah lima bilah pedang yang menempel rapi di dinding ruangan berbahan kayu ulin langka itu. Aku hapal nama-nama dan sejarah pedang-pedang itu, yang bersarung cokelat diberi nama Ardhani, ditempa oleh Laksamana Gulanggang Sedayu, jenderal Angkatan laut yang menghabiskan masa remajanya sebagai seorang penempa besi handal, pedang ini terkenal karena merupakan hasil dari peleburan dua pedang paman Paduka Gajahsora yang digantung karena berupaya melakukan pembunuhan pada paduka saat ia masih berusia 14 tahun. Pedang yang sedikit lebih panjang namun lebih kurus dengan ukiran seperti liukan sungai di sarungnya dan bergagang berwarna hitam diberi nama pedang Jayasri, pedang yang ditempa oleh penempa besi khusus keluarga istana, Datu Buranda, pedang ini tak pernah digunakan dalam pertempuran, seperti namanya pedang ini hanya digunakan Paduka saat menyambut atau melepas pasukannya dari dan ke medan perang. Pedang ketiga dibe
Brata hanya satu tahun lebih muda dariku, wajah kami memang sangat mirip hingga banyak yang mengira kami saudara kembar, walaupun faktanya kami tidak kembar. Orang tua kami meninggal saat perang Kertasenktra di teluk Zanubar. Ayah kami adalah perwira militer rendah, sedangkan ibu kami adalah anggota pasukan pemanah kerajaan Martadipura. Mereka dipertemukan di medan perang dan dipisahkan di medan perang pula. Kami masih sangat kecil saat menyadari bahwa orang tua kami harus pergi selamanya. Maharaja Wulau Benggala lalu memerintahkan setiap anak yatim akibat perang untuk diberikan Pendidikan terbaik. Kami berdua lantas belajar di padepokan Resi Renjamin Basa, seorang ahli militer, ahli politik, dan pemerhati dunia supranatural, beliau adalah mantan Mentri kerajaan di masa pemerintahan Maharaja Bhakti Jaya Warman yang memilih pensiun dini karena masalah kesehatan, kakinya agak pincang akibat perang dan matanya buta sebelah terkena tombak saat di medan perang. Namun ia masih bisa menemba
Menjelang pagi… Obor-obor yang menempel di dinding gua itu masih setia melemparkan cahaya dari lidah api yang menyala di atasnya. Udara dingin menjadi sedikit hangat menjalar di sekujur permukaan gua suci itu. Tak ada suara makhluk malam apapun yang terdengar, tak ada deru angin yang menembus hingga ke dalam sana. Hanya ada suara nafas dan bisingnya lemparan ekor mata para pelarian yang tertuju pada sosok pria muda dengan pakaian compang camping beserta sebuah kalung permata di genggamanya, di sebelahnya Sutha dan Rukmana tak tahu harus berekspresi seperti apa dalam segala kebingungan ini. Sedangkan Ampu Estungkara duduk kembali ke peraduannya sambil menatap pria muda itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Bayu, pria muda itu tampaknya tak begitu senang dengan tatapan gurunya itu, ia menoleh ke berbagai arah untuk mengusir rasa risihnya, namun yang ia temui justru tatapan aneh pula dari orang-orang lainnya, termasuk Cadudasa. Bayu merasa makin tak nyaman. Ia kini menunduk. Ampu Estun