"Permisi," ucap laki-laki itu yang sudah berada di hadapan Dania dan anak-anaknya.
Mereka pun menoleh heran."Iya?" ucap Meli, dan Dania sedikit menoleh tanpa ikut bertanya."Perkenalkan, saya Danar Prasetyo," katanya, sambil mengulurkan tangan kekarnya yang bening ke arah Meli dan Dania.Meli mengulurkan tangan dan menanggapi dengan menyebutkan namanya, sementara Dania hanya terdiam, seperti wanita yang trauma dengan laki-laki."Hallo, Om. Aku Raihan. Ini adikku, Om, Hafiz," kata Raihan, yang tiba-tiba berbicara memperkenalkan dirinya.Hafiz terlihat bersembunyi di balik tubuh Dania, seperti ketakutan melihat orang baru, membuat Dania khawatir."Kamu ini siapa? Kami tidak ada yang mengenalmu. Apa tujuan kamu?" Dania menatap sinis."Saya sama seperti kalian. Saya barusan habis berziarah ke makam orang tua saya.""Iya, terus? Kenapa tiba-tiba kamu menghampiri saya dan keluarga saya?""Tidak apa-apa,"Aw... sakit!" Meli menjerit kesakitan."Anggi?!" ucapnya lagi.Terlihat Anggi menjambak rambut Meli dengan kencang, tanpa ada celah sedikit pun untuk melepasnya."Di mana Dania? Lo pasti tahu, kan?!""Lepasin rambut gue, pelakor!""Anggi...!!" terdengar suara laki-laki yang tak asing di telinganya."Mas Rizal?""Kamu, ini apa-apaan sih?!""Oh, jadi lo berdua sengaja, iya?! Lakinya manggil gue, bininya jambak gue waktu gue lengah. Serasi lo berdua! Lepasin rambut gue, atau...""Atau apa? Lo kasih tahu di mana Dania, baru gue lepas!" ucap Anggi yang semakin bringas mengencangkan jambakannya."Lepaskan tangan kotormu dari rambut Meli!"Danar, yang baru balik dari toilet, memerintahkan Anggi untuk melepaskan rambut Meli yang masih dicengkeramnya.Rizal yang berada di tempat itu terperangah melihat kehadiran Danar. Ia seperti pernah bertemu dengannya, tapi tidak terlalu ingat. Akhirnya
Danar enggan menjawab, tetapi ia mengeluarkan sesuatu yang sudah ia persiapkan dan hendak diperlihatkan pada Dania.Terlihat Danar mengeluarkan sebuah buku. Namun, saat dibuka, di dalamnya terdapat foto-foto mereka waktu kecil. Halaman demi halaman dibuka, dan melihat foto lucu mereka, Dania terlihat tersenyum, tertawa kecil, hingga terbahak-bahak."Ih, lo kok masih ada aja foto ini, sih," ucap Dania sambil terus membalik halaman.Entah apa yang salah, ia seketika berhenti membalik halaman itu. Lalu ia seperti kebingungan dan menatap Danar heran."Lo? Danar temen kecil gue? Yang waktu kecil kita tetanggaan?""Hmm, menurut kamu gimana?" tanyanya balik."Kebiasaan, kalo ditanya selalu nanya balik.""Iya, ini saya, Danar. Peluk dong!" ucap Danar yang memang senang menjahili Dania."Yeh, apa sih, lo?"Dania berkata sinis sambil menatap tajam ke arah Danar. Terpancar sedikit syok di raut wajahnya, dan ada ra
"Sayang, kenapa bisa kamu dan adikmu pergi tanpa seizin Ibu, Nak?" ucap Dania, penasaran dengan alasan anak-anaknya bisa sampai pergi bersama Rizal dan Anggi.Mereka sempat terdiam. Nampak rasa khawatir di wajah Raihan, anak tertua Dania.“Gak apa-apa, Nak, ngomong sama Ibu, ya?”“Tadi, sewaktu aku bermain di taman, Ayah datang dan bilang kalau Ibu terluka di jalan. Aku sempat bertanya, tapi...” Raihan terdiam sejenak, namun tidak melanjutkan pembicaraannya.“Tapi? Tapi apa, Sayang?”“Tapi ante yang sedang bersama Ayah tadi tidak memberiku kesempatan untuk mendengarkan cerita Ayah, Bu,” jawabnya lesu.Dania tidak heran. Dirinya sudah menduga kalau Raihan dan Hafiz tidak akan melanggar aturan yang selalu ia ingatkan pada kedua putranya tersebut.“Ya sudah, gak apa-apa. Lain kali, kalau diajak dan diberi informasi apa pun tentang Ibu oleh orang lain, jangan mudah percaya, ya, Sayang.”Raihan mengangguk paham. Kemu
[Dania, bagaimana? Kamu sudah lihatkan cv ku? Jadi, kapan kamu bisa menghubungiku untuk wawancara kerja?] "Siapa, ya? Perasaan aku tidak pernah membuka lowongan pekerjaan," gumam Dania dalam hati. Ia sedang mengingat, namun dirinya yakin kalau tidak pernah membuka lowongan pekerjaan.Disaat yang bersamaan, "Dania.." ucap Rizal memanggil. "Masuk," sahutnya dengan datar. "Aku, mau mengambil berkas yang tadi kuberikan." ucapnya sambil mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan Dania. "Oh, iya. Belum saya tanda tangani." dengan menyilangkan kedua tangan di dada, Dania memerhatikan gerak-gerik Rizal. "Yasudah, kamu tinggal tanda tangani saja," Rizal terlihat gusar, ia menyadari kalau Dania memerhatikan dirinya yang sedang mencari keberadaan Danar. "Nih, kamu bawa keluar berkasnya!" Dania menyodorkan beberapa berkas ke tangan Rizal dan mempersilahkan laki-laki itu untuk segera keluar dari ruangannya.
"Kamu siapa?" tanya Linda heran.Anggi tercengang dengan kedatangan laki-laki itu yang bertepatan dengan dirinya sedang ribut bersama Linda."Bukan urusanmu!" Anggi menarik laki-laki itu pergi menjauh dari lingkungan sekitar rumah Linda.Linda yang menatap heran sedari tadi menerka-nerka siapa laki-laki itu sebenarnya. Ia mencoba mencari tahu dengan menanyakan pada adiknya, Rizal."Siapa ya? Apa jangan-jangan..." Linda tersenyum lebar nan sinis. Ia bergegas berjalan menuju kamar Rizal.Dug... Dug..."Zal..." Linda memanggil Rizal dengan suara keras. Sejak tadi dipanggil, Rizal tidak menyahutinya."Iya, kenapa, Kak?" ucapnya dari dalam kamar tanpa membukakan pintu atau menyuruh Linda masuk."Pintunya dikunci, nggak? Kakak masuk, ya?" Linda menawarkan diri untuk masuk.Tanpa ada jawaban, Rizal membuka pintunya. "Ada apa, Kak?""Kamu itu kenapa? Terus kenapa Anggi marah-marah?""Ya biasa,
"Mas, ini aku, Anggi. Bukan Dania!"Anggi berdecak kesal."I-iya, maaf. Kamu di mana?" ujar Rizal sambil memijat pelipisnya.Tut... Tut...Sambungan telepon dimatikan sepihak. Rizal tahu Anggi pasti merasa kesal."Kacau lo, Zal," gumamnya.Rizal duduk di sofa dan menundukkan kepalanya. Fikirannya tidak fokus. Ia pusing memikirkan ke mana Anggi pergi, dan di sisi lain, ia penasaran dengan kehidupan mantan istrinya, Dania, yang sekarang.Setelah beberapa menit menunggu Anggi yang tak kunjung pulang, Rizal berniat beristirahat di kamar.Dug... Dug... Dug...Suara ketukan pintu yang cukup keras membuat telinga Rizal terasa pengang."Iya, tunggu!" sahutnya. "Siapa sih?""Anggi, kamu ke mana saja?" tanyanya setelah membuka pintu. Anggi berdiri di sana dengan raut wajah jengkel.Anggi tidak menjawab pertanyaan suaminya dan langsung masuk ke kamar. Rizal memutuskan membiarkan istrinya tena
"Tunggu," ucap Linda sambil menarik tangan Danar dengan cepat dan keluar ruangan.Dania terbelalak dan ia mengikuti ke mana langkah Linda membawa sahabat laki-lakinya itu."Perhatian!"Langkah Linda terhenti di ruang kerja para karyawan yang pagi itu sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing.Dua puluh pasang mata pun tertuju pada Linda. Ada yang menghampiri dan mendekat ke arahnya. Rizal, saat itu, tidak berada di kantor. Ia ditugaskan untuk mengecek pembangunan kantor baru.Linda melepaskan genggaman tangan Danar dan melipat kedua tangannya di dada."Perhatian, perkenalkan, saya Linda. Saya adalah kakak ipar bos besar kalian, Dania," ucap Linda dengan bangganya.Danar yang berada di dekat Linda menunjukkan ekspresi wajah yang acuh.Sedangkan Dania, yang memperhatikan dari jauh, hanya menyunggingkan senyum melihat mantan kakak iparnya itu akan segera mempermalukan dirinya sendiri di hadapan banyak orang.
Danar memerhatikan dengan saksama. Untuk meyakinkan dirinya, saat lampu merah, ia mengarahkan mobilnya menepi dekat trotoar yang tadi dilewati kedua anak laki-laki itu. Kemudian, Danar turun tanpa memberitahu Dania terlebih dahulu."Danar, kamu mau ke mana?" tanya Dania terheran.Kebisingan jalan raya membuat Danar tidak mendengar pertanyaan Dania, terlebih lagi ia sedang fokus mencari kedua anak laki-laki tadi.Dania ikut turun, namun hanya beberapa langkah saja meninggalkan mobil karena ia telah kehilangan jejak Danar."Ke mana ya perginya? Anak yang tadi mirip seperti anaknya Dania?" Danar bergumam pelan.Kurang lebih lima menit mencari, tidak ketemu juga, Danar memutuskan kembali ke mobil.Danar melangkah dengan pandangan tetap mengitari sekeliling trotoar. Kedua anak itu pun terlihat kembali; mereka keluar dari suatu gang kecil yang sempit."Ra... Raihan, Hafiz!" Danar memanggil nama mereka, awalnya ragu karena ia s
Berselang enam bulan ke depan, Danar mendapat kabar bahwa dirinya memenangkan tender yang selama ini diincarnya sejak lama.Ia langsung menghubungi istri tercintanya, yang tidak lama kemudian mengangkat teleponnya."Assalamu'alaikum, iya, Mas?""Kamu di mana? Aku punya kabar gembira, Sayang."Suara Danar terdengar sangat riang dan antusias untuk memberi tahu istrinya."Kabar gembira? Wah, apa nih?" Dania menanggapinya dengan antusias."Hmm, gimana kalau nanti malam kita bermalam di hotel bintang lima? Nanti Mas pulang cepat biar kita packing sama-sama. Gimana?""Iya, Mas. Asalkan kamu tidak kecapekan, aku selalu ikut rencanamu." Dania menjawab dengan penuh sukacita."Oke, Sayang. See you."Danar mematikan sambungan teleponnya.Semenjak menikah dengan Dania, Danar merasa rezekinya selalu mengalir deras. Ada saja keberhasilan yang datang dari berbagai sisi.Ia menganggap semua ini sebaga
"Rizal?" ucap Dania dengan heran dan penuh kekhawatiran, khawatir akan anak-anaknya.Sementara Danar maju untuk mengambil pesanan yang sudah dipesannya, mereka segera menutup pintu. Namun, Rizal menahannya."Pantas saja kamu tidak berada di rumahmu. Dan aku susah mencarimu, tahunya kamu berada di sini? Bersama selingkuhan berkedok sahabat kecil!" ucap Rizal dengan tatapan sinis.Mereka mengabaikan ucapan Rizal barusan dan langsung menutup pintu rapat-rapat. Dania teringat anak-anaknya. Ia khawatir Rizal akan melakukan hal yang tidak diinginkan lagi.Saat sampai di kamar anak-anaknya, mereka sedang bermain. Dania merasa lega."Ibu, apakah Ibu mau memanggil kami untuk makan malam?" tanya Raihan lirih."Iya, sayang. Ibu baru saja membeli makanan secara online. Yuk, kita makan sama-sama," ajaknya.Raihan lari terlebih dahulu, sedangkan Hafiz digendong oleh Dania untuk bergegas menuju meja makan.Di sana, terlihat Da
Plakkkkk!!!!Terdengar tamparan keras dari tangan Dania yang mendarat di pipi Radist. Kali ini, kesabarannya tidak dapat dibendung lagi.Danar tidak menghiraukan Dania yang menampar Radist barusan. Ia tetap memperlihatkan rekaman itu dengan terburu-buru.Dan... benar saja dugaan Danar. Radist sudah menjebaknya dengan memasukkan serbuk ke dalam makanan yang sedang dimasak tadi saat makan malam bersama. Namun, hanya makanan yang akan dimakan oleh Danar."Ketahuan, kan, belangnya? Perempuan ini bagaimana?!" ucap Danar."Kamu itu tidak tahu malu, Radist!"Danar memaki perempuan yang kini terdiam, namun tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatannya."Apa motifmu? Dan kenapa kamu bisa tahu vila ini? Padahal Mas Danar berkata kalau vila ini belum banyak yang tahu, termasuk kamu!"Dengan wajah yang terlihat menantang, Radist maju perlahan sambil melipat tangan ke dada."Lalu... kamu percaya begitu saja? B
"Hmm, apakah kamu tidak suka melihat Dania bahagia?"Terdengar suara perempuan menyahuti gumaman Anggi.Anggi menoleh dengan kasar. Ia terkejut dengan pertanyaan seseorang yang menanggapi gumamannya itu."Bukan urusanmu!" Anggi terlihat panik. Ia berpikir perempuan tersebut adalah seseorang dari keluarga mereka."Tentu jadi urusanku! Siapa pun yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka akan menjadi partnerku untuk bersama menjatuhkan mereka, iya bukan?""Oh iya, perkenalkan, aku Radisty," katanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan Anggi. Anggi hanya menanggapi sebisanya.Saat mendengarkan rencana demi rencana Radisty, Anggi pun enggan mengikutinya. Ia akan menggunakan caranya sendiri.---Dua hari setelahnya, Dania menikah dengan Danar. Mereka sepakat untuk mengambil cuti kerja selama sebulan. Mereka memutuskan untuk berlibur sekaligus berbulan madu.Sore itu, sepulang mereka berbelanja keperluan untuk libu
Lima bulan ke depan, Rizal dan yang lainnya sudah dipenjara. Mereka berpasrah diri, tidak ada yang dapat dilakukan selain menjalani hukuman tersebut.Saat bulan keenam mereka menjalani masa hukuman, siang itu Anggi dipanggil karena ada yang membesuk.Saat ditemui di ruang khusus kunjungan, ia terperangah melihat Anton yang berada di jajaran meja pengunjung tahanan."An-Anton?" sapa Anggi ragu-ragu.Anton, yang semula sedang memainkan ponsel sambil menunduk, menengadahkan pandangannya ke depan."Hai, gimana kabarnya?""Ya, gini-gini aja. Tumben kamu punya waktu untuk membesukku.""Hmm, sebenarnya ini kejutan. Tapi..."Belum selesai Anton meneruskan pembicaraannya, petugas datang untuk memberitahu kalau Anggi telah terbebas dari hukuman dan tuntutan."Permisi, benar dengan Saudari Anggi Noviyanthi?""Iya, Pak. Kenapa ya? Apa jam besuknya sudah habis?""Silakan ikut kami ke ruang Kepala P
"Si Danar, Mel. Bener kata lo, dia barusan ngirim pesan ke gue kalau katering nanti bakalan datang," ujar Dania sambil menunjukan ponselnya ke Meli."Kan gue bilang juga apa," sahut Meli."Iya, tapi kan boros banget. Udah ah, nanti gue mau bilang stop aja. Gak usah katering-katering lagi."Meli terdiam sambil memperhatikan Dania.Tanpa sadar, mereka sudah lama berbincang di dapur hingga karyawan katering yang mengantar makanan pun sampai.Dania mulai menyiapkan semua menu yang dipesan dan menatanya di meja makan."Ya ampun, sampai nasi aja dibeli," keluh Dania.Meli hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.Semua makanan sudah tersaji dan tertata. Dania mengabadikannya dengan memfoto makanan sebelum disantap, lalu mengirimkan foto itu ke Danar."Sudah sampai, terima kasih.""Makan yang banyak, ya. Itu untuk sekali makan jadi langsung habiskan."Tak lama, Raihan dan Haf
"Bu Dania sudah membaik dan mendingan, secara fisik," ucap dokter. "Hanya saja…"Ucapan dokter itu terhenti saat ingin menjelaskan kondisi lain yang terjadi pada Dania."Hanya saja? Hanya saja apa, Dok?""Dia harus berobat ke psikiater. Khawatir nanti ke depannya muncul trauma-trauma yang menyakitkan hati dan kembali kumat."Danar mendengarkan dengan fokus penjelasan dokter saat di dalam tadi.Danar pun langsung bertindak. Ia mencari psikiater terbaik dan memulai pengobatan Dania hingga sembuh.---"Danar, bagaimana? Apakah aku sudah bisa pulang?" Dania bertanya penasaran."Sudah, tapi nanti kamu harus rutin pergi ke psikiater, ya. Pokoknya kamu harus dengar apa kata aku, Dan." Danar menatap Dania serius, membuat Dania terdiam dan tidak berkutik ataupun membantah."I-Iya, Nar," ucapnya terbata.Danar membereskan barang-barang milik Dania, lalu Meli membantu Dania untuk berganti pakaian.
"Dania..."Meli masuk tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Danar yang tegang kini nampak lega."Lo gak apa-apa? Gue kaget, sumpah, waktu sampai rumah lo. Banyak banget polisi. Ya Allah, gimana bisa kayak gitu?" cecar Meli tanpa henti.Dania hanya tersenyum tipis melihat ekspresi Danar yang berdiri di belakang Meli."Ehmm... Ini saya lho ada di sini. Kamu belakangi?""Ehh, i-iya, Pak. Maaf, maaf. Saya terlalu khawatir sama Dania, Pak. Maafin saya.""Mel, lo dari mana aja kok baru kelihatan sekarang ini?""Iya, Dan. Panjang ceritanya. Nanti kalau lo udah mendingan aja ya gue ceritain. Oh iya, lo udah makan belum?" Meli mengeluarkan bubur ayam yang dibelinya sebanyak dua porsi saat hendak menjenguk Dania."Gue udah makan. Danar kayaknya yang belum, deh," jawab Dania sambil menatap ke arah Danar.Meli menepuk jidatnya, merasa bersalah karena dari tadi hanya fokus mengajak ngobrol sahabatnya itu."Oh iy
"Ucapkan lagi apa yang kau katakan barusan!" Rasa takut yang sedikit menggelayuti Linda tidak ditunjukkan di depan Anggi. "Memang benar kenyataannya, bahkan kamu ini seorang pelakor. Gimana bisa kamu memiliki anak? Karena kalau sampai kamu mempunyai anak, anak itu nggak akan punya ayah, saking banyaknya ayah yang meniduri ibunya. Miris!" Linda melipat kedua tangannya di dada dan berdecak pelan. Anggi, yang sedari tadi sudah tersulut emosi, melemparkan keramik pajangan berbentuk kura-kura kecil. Benda itu melesat mengenai TV LED berukuran besar. Anggi berteriak keras. Linda bergegas melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu, meninggalkan Anggi sendiri di dalam. "Kamu lihat saja! Kamu dan adikmu sudah membuatku sengsara! Terutama kamu, Dania, perempuan picik yang nggak pernah lupus dari pikiran Mas Rizal!" Anggi menyusul kakak-beradik itu yang sudah pergi terlebih dulu. Mereka meninggalkan rumah