Yok bisa yok akur sama Ro :))
“Lalu kapan kalian akan menikah?” tanya Ian dengan santainya, sambil mengangkat meja ke atas kepala, agar tidak menyela orang di sekitarnya saat dipindahkan ke seberang aula besar itu.“Kau bicara tentang kami—aku dan Ash?” Mae mengikuti di belakangnya, memakai Ian sebagai tameng karena ada rombongan perawat yang sedang membawa buket bunga untuk para tamu melewati mereka. Rowena dan tamu yang lain memang sudah mulai bermunculan, acara akan dimulai sekitar lima menit lagi. Pembagian kuenya sendiri akan dilakukan nanti setelah acara utama, Mae masih punya waktu kurang lebih setengah jam untuk mempersiapkan semua box kuenya.“Tentu saja. Apa aku terlihat seperti mengenal orang lain di sini?” Ian memberi pandangan menghina pada Mae, kurang lebih menyebutnya bodoh karena bertanya hal yang sudah jelas.“You’re not really nice aren't you?” (Kau itu tidak manis ya?)Mae mendengus. Sejenak lupa kalau kesabaran Ian tidaklah seluas Ash. mereka berteman tapi bertolak belakang sifatnya.“Memangnya
Mae menutup wajah dan mencengkram erat kepalanya, karena seluruh ingatan itu malah datang tanpa diundang. Seolah Mae memanggil, padahal biasanya dengan mudah bisa disingkirkan. Seperti ada tembok kanal yang rusak, dan kini semua menyusup keluar dengan mudah. Pertemuan yang kemarin itu—hal yang tidak ingin diingat Mae, merusak pertahanannya. Mimpi yang sempat jauh, kini seakan merayap dan mendekatinya.“It’s fine… He’s not here…” Mae meremas kedua tangannya sambil terus berbisik. Meyakinkan diri kalau mimpi buruknya itu sesuatu yang jauh.“Kau bersama Ash… nice… he’s nice.”Ia ingin mengubur ingatan itu dengan hal paling indah yang dimilikinya saat ini. Mae mengusap cincin yang ada di jarinya. Mengingat kenyataan hidupnya yang telah berbeda. Saat ini dirinya bahagia, tidak boleh kalah dari bayangan hitam yang jauh. Ia punya mataharinya sendiri.Mae menepuk dadanya, yang perlahan berdegup lebih tenang, lalu menatap tangannya. Masih gemetar, tapi sudah lebih baik. Mungkin masih tidak bis
“Siapa yang memberinya bunga?” Ash berlari sambil nyaris membentak.“Tidak sengaja, Sir. Sepertinya Mrs. Cooper jatuh, dan orang yang akan menolongnya kebetulan membawa bunga. Saat itu kerumunan cukup padat memang.” Jay yang melaporkan kejadian—berdasar perintah Rowena, ikut berlari di belakangnya.“Ck! Kenapa…”Ash ingin memaki semua orang. Ia tadi bisa tenang meninggalkan Mae karena merasa tidak akan ada hal yang bisa menyakiti Mae di sana. Seharusnya mereka hanya bertemu anak-anak.Tapi untungnya mereka ada di rumah sakit. Paling tidak Mae bisa cepat mendapat pertolongan.“Tunggu, Mary sampai pingsan?”Ash sudah sampai di samping ranjang Mae dan melihat kalau Mae benar-benar pingsan. “Ya.” Jay tidak paham apa yang membuat Ash bertanya.“Tapi…”Ash mengusap pipi Mae yang sedikit merah, tidak sampai bengkak seperti kemarin,Mae mendapat pertolongan dengan cukup cepat berarti, tapi tetap pingsan. “Kami sudah memberinya antihistamin, gatal dan lainnya tidak akan menyebar sampai parah.”
Ash bukan hanya menghubungi Ian—menyuruhnya pergi ke Daisy’s Cake, melihat apakah ia bisa membantu di sana—tapi juga Stone, tapi sayangnya tidak berhasil.Beberapa kali mencoba, Ash hanya mendengar nada panggil sampai pesan voice mail. Ash sampai harus mengingatkan diri sendiri kalau memang Stone adalah orang sibuk, ia tidak mungkin bisa selalu menjawab panggilannya.“Bagaimana keadaannya?”Ash hampir menjatuhkan ponsel, karena tiba-tiba saja Rowena muncul dari belokan, bersama ayahnya yang juga tampak penasaran.“Siapa?” Ash bertanya balik dengan bingung.“Mae… Mary tentu. Bagaimana keadaannya?” Rowena kesal karena harus mengulang pertanyaan yang seharusnya jelas.“Oh, she’s fine. Dia tidur.” Ash mengangguk. Ia sulit mencerna karena tidak menyangka Rowena akan bertanya tentang Mae secara khusus.“Jangan disini.” Dean mendorong mereka berdua ke ruang tengah, agar menjauh dari kamar tempat Mae tidur.Ash akhirnya mengirim pesan saja untuk Stone, memintanya menghubungi saat senggang.“A
“Aku apa?” Rowena menurunkan kakinya yang tadi bersilang, kebingungan karena baru saja mereka berdiskusi yang sangat sejalan.“Ada apa memang?” Dean sampai berdiri karena melihat gemetar kedua tangan Ash yang mengepal karena marah.“Dia yang melakukannya. Rumah Carol Jobs terbakar—itu dia yang melakukannya.” Ash menunjuk dengan tangan yang gemetar itu. Selain marah, Ash lebih merasa terguncang.Ash baru saja ingin memberi kesempatan pada Rowena, ingin membuat hubungan mereka lebih baik seperti yang dikatakan Mae tadi. Ash akan bersedia berpikir ulang, dan menganggap kalau apa yang dilakukan Rowena untuk Mae adalah kebaikan, tanda peduli.Namun, kenyataan ini seperti memetakan kata bodoh dalam benaknya, mengejek keinginan yang rupanya naif. Rowena tahu, selama ini ia tahu apa sumber penderitaan Mae.“Tidak membantah? Aku benar berarti.”Ash menyeringai saat melihat perubahan wajah Rowena, dari yang berubah pucat terkejut, sampai akhirnya merah panik, sebelum akhirnya menunduk dengan tan
“Bisakah kau cepat sedikit?” Monroe mengetukkan telunjuk ke lututnya dengan gelisah. Mobil yang ditumpanginya sudah melaju cukup kencang tapi Monroe merasa masih kurang.“Saya tidak ingin melanggar batas kecepatan, Sir.” Bob menjelaskan.Monroe mendecak dan kembali melempar pandangan keluar, untuk berpikir. Perkembangan keadaan yang dilihatnya tadi masih terasa tidak masuk akal.Rowena mengenal Mae adalah keadaan yang terlalu berbahaya. Mae muncul di istana saja sudah terlalu dekat, kini ternyata ia mengenal seseorang yang punya kekuasaan.“Seharusnya tidak seperti ini.” Monroe merasa masalah Mae berkembang terlalu luas dan liar. “Kalau tahu akan merepotkan seperti ini aku seharusnya melenyapkannya saja sejak dulu.”Monroe pernah punya keinginan untuk menghapus jejak Mae setelah ia kembali pada Carol. Bagaimanapun Mae adalah saksi yang bisa bicara tentang apa yang dilakukannya pada semua orang, tapi Carol bisa menebak hal ini dan ‘melindunginya’.Dengan mengancam akan menyebarkan ap
“Sir Monroe? Wah, ini kejutan.” Carol tidak bersandiwara. Ia memang terkejut melihat Monroe bersedia datang sendiri—dan secepat ini. Saat mengajukan syarat itu, Carol mengira akan butuh berbulan-bulan sebelum ia muncul. Carol tahu Monroe selalu berhati-hati.“Cut the crap! Kau ingin apa?!” Monroe tidak berminat pada basa-basi. Ia langsung duduk dan menunggu jawaban.Pertemuan itu tidak terjadi di ruang penjengukan yang biasa, jadi tidak ada pembatas kaca anti pecah yang memisahkan mereka. Bob bisa mengatur pemakaian di ruang sipir, setelah kehilangan beberapa puluh ribu pound. Masih berbahaya tapi karena banyak orang yang melihat kedatangan Monroe tadi, tapi ini yang diinginkannya, Bob tidak bisa mencegah.“Aku ingin berterima kasih atas bantuannya. Hal itu sangat berarti.” Carol tersenyum manis, dan duduk di hadapan Monroe.Bantuan Stewart benar-benar mengubah keadaan secara drastis. Carol sudah tidak punya harapan awalnya, kini bisa menyusun rencana dengan rapi. Carol sudah memulai
“Kau tidak punya? Apa kau gila?!” Monroe menggebrak meja dan berdiri.“Sebenar apapun fakta yang kau katakan, hal itu hanya akan menjadi gosip kalau tanpa bukti. Kau pikir bisa menyerang Dean hanya dengan gosip?!”Monroe marah. Antara mengutuk Carol yang berani memberinya pernyataan tanpa bukti, dan juga kebodohannya karena tidak menyimpan bukti untuk fakta sepenting itu.“Tapi ini benar. Anak itu ada dalam pengasuhan saya selama kurang lebih dua minggu sebelum Dean menjemputnya. Ia menyebutnya adopsi, tapi saya tahu kalau mereka ayah dan anak kandung. Saya mendengar sendiri. Anak itu marah karena Dean tidak peduli pada ibunya.”Saat Carol mendengar pertengkaran antara Dean dan Ash, ia tidak merasa kenyataan itu penting. Tapi seiring waktu, Carol tahu kalau fakta itu penting dan menyimpannya baik-baik.“Mana buktinya?! Jangan naif! Kau pikir orang akan percaya saat seorang napi yang dipenjara atas penipuan mengatakan itu?” Monroe hampir menyemburkan ludah saat menunjuk pada Carol.“Tap