Ash merasa seperti mengajarkan satu tambah satu sama dengan dua, tapi memang begini sejak awal. Apa yang menurut orang lain wajar, adalah hal baru untuk Mae. Tidak bisa diburu. Seperti saat harus mengajarkan kalau dirinya boleh lelah, memberi tahu tentang ketulusan, Ash saat ini harus membiasakan Mae menerima nafsu yang memang akan selalu ada dalam tubuhnya. “Tapi—apa sesering ini? Maksudku—Aku selalu membayangkan…” Mae mendesah. Mendadak semakin malu. Padahal ia dulu dengan mudah menggoda Ash, dan mengatakan hal apapun tanpa saringan, tapi kini malah sulit sekali. “Itu berarti aku ‘kotor’ bukan? Selalu memikirkan ‘itu’. Bahkan saat memandang tanganmu,” bisik Mae sambil menunduk. Ada jeda sekitar dua detik, karena Ash perlu menerjemahkan lagi. “Mary, kalau memikirkannya saja membuatmu merasa kotor, maka aku adalah babi yang bermandi lumpur—lebih dari sekadar kotor,” kata Ash. Mae langsung mendongak dengan mata menyipit, tidak menyangka Ash akan menyebut dirinya sendiri babi. “
Seharusnya tidak baru. Ciuman, usapan, belaian, sentuhan—Mae sudah pernah melakukannya. Tidak ada yang mengejutkan seharusnya. Tapi Mae terlalu meremehkan. Ia tahu apa yang akan terjadi, tapi masih bisa terkejut dan tersentak hampir setiap detik. Semuanya tidak sama—bahkan lebih dari apa yang dilakukan Ash sebelumnya. Ash yang ini tidak tergesa, tidak terburu nafsu. Ia mengangkat tubuh Mae dengan halus, membaringkannya di atas ranjang tanpa guncangan. Setiap sentuhannya lembut, Mae sampai tidak menyadari kapan Ash membuka pakaiannya. Tiba-tiba saja seluruh kulitnya meremang karena bersinggungan langsung dengan udara. “Mary…” Bisikan memuja yang membuat Mae seperti terbenam dalam kepompong wol hangat, tapi dingin lidah Ash yang mengusap leher dan telinganya malah menghadirkan kontras yang membuat Mae merintih. Tubuhnya tidak terbiasa oleh nafsu, maka tidak terbiasa juga menerima kenikmatan melimpah yang terus dicurahkan oleh Ash. Tapi meski seperti itu, Ash masih bisa membelain
“Damn it! Mary, kau menakutiku!” Ash tanpa sengaja memaki, karena mendapati Mae berbaring diam dengan mata membuka lebar menatap langit-langit. Masalahnya Mae terlalu diam, sampai Ash mengira Mae masih tidur. Ash tadi berusaha bangun perlahan tanpa banyak menggerakkan ranjang agar Mae tidak terganggu. “Kau melamunkan apa?” tanya Ash, sambil kembali berbaring di samping Mae. Hari sudah terang, tapi Ash tidak perlu bersiap kemanapun. Selama perban masih menempel di lehernya, Parker tidak bisa memaksanya bekerja. “Semua,” gumam Mae. “Semua apa? Tubuhku?” Kalau benar, Ash berharap lamunan Mae berisi pujian, bentuk tubuhnya tidak ada yang buruk seharusnya. “Ya, tapi bukan itu intinya.” Mae bergeser, memiringkan tubuh dan memandang Ash, yang rupanya lebih dulu melakukannya. Tidak mungkin Ash melewatkan kesempatan memandang Mae dari jarak dekat. “Lalu…” “Aku kesal—” “Karena terlalu nikmat?” Ash tentu juga tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda. Mae menarik pipi Ash sebagai hukum
“Saya kembali menawarkan kepada Anda untuk bekerja di Scotland Yard. Bukan tanpa resiko, tapi lebih kecil.” Stone menyapa sambil menyerahkan gelas kertas berisi teh. Penawaran itu datang karena Stone melihat luka di leher Ash yang memang cukup mencolok.Ia lalu duduk di samping Ash, karena memang hanya itu tempatnya. Mereka tidak bertemu di cafe, tapi di taman yang tidak jauh dari base. Taman keluarga yang banyak dikunjungi anak-anak. Mereka kini berlarian ribut di sekitar mereka.“Kenapa semua orang ingin menawarkan pekerjaan padaku?” Ash mendengus sambil berdiri.Ia yang memilih taman itu sebagai tempat bertemu hanya tidak menyangka akan seramai itu. Stone mengikuti. Meski tidak dikatakan, ia tahu Ash akan mencari tempat yang lebih sepi agar mereka bisa bicara.“Siapa lagi yang menawarkan pekerjaan pada Anda? Saya harap tidak akan kalah,” tanya Stone.Mata Ash menyipit. Stone terdengar sangat serius. “Tidak ada yang akan kalah, karena memang tidak ada yang menang juga. Aku tidak ak
“Tapi Mama Carol baik, dia tidak mungkin juga…” Ash menggeleng, tidak bisa menerima. Bukti dari Ella, lalu Stone mengarah kesana, tapi Ash selama ini hanya melihat kebaikannya. “Maaf, tapi uang bisa mengubah orang baik menjadi tidak baik dalam sekejap mata. Anda tidak bisa memakai alibi baik untuk membuat seseorang tidak bersalah.” Stone tersenyum pahit. Tentu sudah melihat banyak sekali kasus yang melibatkan uang dan Ash jatuh terduduk dengan mata kosong. Tidak mungkin mudah menerima kenyataan yang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat itu. “Untuk lebih amannya saya akan menyebut ini kemungkinan. Ada banyak hal yang harus diperiksa untuk membuktikan kalau kesimpulan saya tadi benar. Saya bukan orang yang selalu pasti benar.” Stone sedikit mengurangi kejujurannya saat melihat Ash amat terpukul. “Tapi… Semua benar.” Memang ada kemungkinan salah, tapi Ash tidak bisa menampik benar juga, karena semua kecurigaannya terjawab. “Itu…” “Anda sampai di sini karena mengik
Mae meronta, tapi tangan itu kuat. Dengan mudahnya ia menyeret Mae masuk ke rumpun pepohonan yang memang membatasi tepi lapangan.“Ugh!”Rontaan Mae terhenti saat punggungnya terhempas. Pria yang menyeretnya itu dengan sengaja menghantamkan tubuhnya ke pohon. Mae langsung berkunang-kunang dan nafasnya sedikit sesak.Tapi ia masih mampu membuka mata dan mengenali siapa pria yang menyakitinya itu. Hoodie yang menutupi kepalanya sudah turun meski penampilannya jauh berbeda. Lebih lusuh dengan banyak cabang tumbuh cukup panjang. Mae tidak akan pernah lupa pada wajah Dex.“Dasar anak setan! Apa yang kau inginkan?!” Mae berseru sambil berusaha mencakar dan menendang Dex.Tapi pukulan datang ke pipi Mae, menghadirkan kilas cahaya ke mata, dan Mae langsung tersungkur jatuh. Dex tanpa ragu memukulnya—keras sampai Mae perlu mengumpulkan kesadaran sebelum bisa menyeret tubuhnya menjauh.Tentu belum cukup. Dex masih dengan mudah menyambar kakinya, dan mengangkat Mae dari tanah. Ia menyandang tubu
“Kau lihat ini?”Mae yang Ada dalam posisi berbaring menelungkup, mendengus karena tidak mungkin bisa melihat apapun selain jok mobil Dex mendecak—menyadari kesalahannya. Ia turun dan membuka pintu belakang, kemudian menarik kasar Mad agar duduk dengan tegap.“Kau lihat ini?” Dex menunjukkan pisau dengan mata lebih panjang dari telapak tangan dan bergerigi. Jelas bisa melukai dan mematikan saat terbenam dalam daging. Ancaman berbahaya.“Aku tidak akan segan menggunakannya untuk menusuk salah satu anggota tubuhmu kalau kau berani berteriak ataupun terlihat mencurigakan,” desis Dex sambil menatap mata Mae.“Kau mengerti atau tidak?!” bentaknya.Mae mengangguk. Ia mungkin ingin lari tapi tidak dengan menjadi bodoh. Pisau itu bisa dengan mudah membunuhnya.“Bagus. Aku akan melepaskan mulutmu, dan juga tali yang mengikat tanganmu. Tapi kalau kau mencoba untuk melakukan hal yang aneh, jangan salahkan aku kalau nantinya kau akan mati.”Dex diam lagi sampai Mae mengangguk. Baru setelah itu D
Mae jatuh tersungkur karena kejutan itu, tapi dengan cepat teralihkan saat memandang pergumulan antara Ash dan Dex.Bukan pergumulan seimbang, karena jelas Dex hanya menjadi samsak hidup untuk Ash, sampai beberapa bagian wajahnya sobek dan meneteskan darah.Tapi fokus Mae tidak pada semua luka itu. Ia sejak tadi hanya memandang Ash. Mae menemukan hal yang belum pernah dilihatnya. Ash yang marah—benar-benar marah. Wajah seram yang membuat bergidik–jauh dari hangat dan senyum yang membuat Mae salah tingkah.Mae melihat bagaimana bibir Ash mengatup erat dengan rahang mengunci geram. Juga alis yang biasa ramah kini menukik dengan kerutan di kening yang dalam.Tangannya yang lembut saat memeluknya, tidak lagi terlihat. Saat berayun menghantam perut Dex, atau saat menarik kakinya untuk menghantamkan tubuh Dex ke tembok, tidak tampak lembut. Seluruh ototnya bekerja keras.“Babi busuk!” Ash meludah tepat di wajah Dex yang berbaring telentang tanpa daya melawan, lalu mengusap pipinya dengan ji
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga