Kasihan Cale, ga ngapa2in ikut kena wkwkw Besok masih dua ya... Tadi kambingnya lepas, jadi Ash harus ngejar dulu :))
“Apa tidak ada kabar atau apapun?” Carol bertanya pada sipir yang mendampinginya. Mendesak yang sudah menjadi amat menjengkelkan.“Tidak ada! Berapa kali kau harus mengulang pertanyaan yang sama?” Petugas itu membentak lalu menunjuk kursi, menyuruh Carol untuk duduk tenang dan menunggu waktu persidangannya dimulai.Mereka sudah sampai di gedung pengadilan sejak kurang lebih setengah jam yang lalu, dan Carol sama sekali tidak bisa menunggu dengan tenang. Steward belum muncul, dan ini yang membuatnya gelisah. Bukan karena khawatir tidak ada yang mendampingi, tapi karena belum mendapat kabar apapun tentang bantuan yang kemarin dijanjikan Monroe. Padahal hari ini vonisnya akan dijatuhkan. Seharusnya bantuan itu sudah berjalan.“Apa dia sudah tidak tertarik?” Carol duduk, sambil menggigit kuku jempolnya.Kekhawatirannya hanya satu itu. Kalau sampai Monroe tidak tertarik lagi pada fakta tentang Dean Cooper, maka kesepakatan mereka bisa jadi batal secara sepihak. Carol tidak bisa melakuka
“Kita harus lari sebenarnya.” Daisy mengeluh begitu kaki mereka menjejak ke trotoar.Wartawan itu tidak langsung menyerbu—tidak amat sadar dengan kemunculan mereka. Seandainya saja mereka bisa langsung lari meniti tangga menuju pintu masuk, kemungkinan besar kerumunan itu bisa dihindari. Tapi jelas keadaan kaki Daisy tidak memungkinkan.“Jangan panik. Tidak masalah.” Mae menahan tangan Daisy yang tampak ingin melangkah lebih cepat. Bisa-bisa mereka akan terguling bersamaan kalau Daisy memaksakan diri.Daisy juga tampak lebih tidak aktif tadi, diam dan pucat. Tapi wajar mengingat ketegangan yang akan dijalaninya hari ini.“Pelan-pelan.” Mae membantu Daisy menaiki undakan pertama, sambil melirik ke arah Megan. Sayangnya saat itu mereka bersiborok.“Oh!” Megan berseru lega, dan keberadaan mereka langsung menjadi terlihat. Begitu Megan berpaling, semua wartawan itu ikut berpaling.“Itu mereka!” Salah satu wartawan berseru. Seperti lalat yang melihat bangkai, mereka langsung menghambur ke a
“Daisy… Daisy…”Meski tertutup air mata dan kelopak yang membengkak, Mae masih menjerit—masih bisa melihat saat tubuh Daisy melambung dan menabrak pagar.Mae mencoba berdiri, tapi kesulitan karena napas sesak dan bersin yang masih terus berlangsung.“Daisy…” Tangis itu bukan lagi datang dari alergi atau sulitnya ia bernapas, tapi karena Mae semakin jelas melihat warna merah menggenang di sekitar tubuh Daisy. Mengalir pelan diatas permukaan beton trotoar. Ada luka yang besar dan Daisy diam. “Daisy…” Mae tidak amat ingat apa dan bagaimana, tapi ada yang tiba-tiba memeluknya.“Jangan dilihat… Jangan… Ikut denganku…” Bisikan menenangkan dan kehangatan yang tentu dikenali Mae.“Daisy…” Mae hanya bisa mengucapkan itu, sementara Ash menariknya menjauh.“Aku tahu… sudah ada yang memanggil ambulance. Untukmu juga. Tenang…”Tapi tidak mungkin Mae tenang. Meski menahan sesak, ia berhasil mendorong Ash, dan berusaha mendekati Daisy.“Aku mau…. Daisy!” Mae menjerit sekuat tenaga, melawan tangan d
“Apa?!”Ash tidak peduli siapa, ia menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya dengan kasar. Panggilan itu mengganggu. Akan lebih mudah kalau ia mematikannya, tapi Ash masih menunggu kabar dari Stone.“Apa kau baik-baik saja?”Ash mengernyit, lalu memeriksa layar ponsel untuk memastikan kalau pertanyaan itu dari ayahnya. Ternyata memang benar.“Apa kau baik-baik saja? Aku dengar ada pembunuhan!” Dean terdengar membentak, tidak sabar dengan lambatnya jawaban dari Ash.“Dari mana—Oh, Stone.” Ash ingat kalau Stone tidak lagi hanya bergerak sesuai permintaannya. Ia pasti melaporkan apa yang terjadi pada ayahnya.“Tidak penting dari mana! Apa kau baik-baik saja?!” Dean mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya. Meski masih bentakan, tapi ada nada memohon di sana.“Kau terdengar peduli.” Ash mendengus.“Karena aku peduli! Sialan!” Dean mengumpat kesal karena pertanyaan semudah itu saja bisa membuat mereka bertengkar.“Aku akan mengirim Louis. Pindahkan Mary dan kau ikut saja.” Dean akhirnya
“Apa maksudmu tidak keduanya?!” Bentakan Monroe membuat Stewart memejamkan mata. Ketidakpuasan semacam itu bisa berakibat sangat panjang. Stewart berharap tidak ada akibat yang datang untuknya. Bagaimanapun ia hanya melaporkan keadaan.“Saya tidak melihat secara langsung tapi hanya satu korban yang tewas menurut berita yang beredar. Daisy Gardner, ia tidak akan bisa bersaksi lagi.”Stewart kembali mengeluh dalam hati karena laporan itu kembali membuat Monroe mengumpat amat panjang.“Aku ingin Mary juga mati! Apa susahnya? Siapapun yang kau sewa itu tidak becus bekerja!” Monroe mencaci maki lebih panjang lagi setelah itu. Daisy adalah sasaran ‘pesanan’ dari Carol, tapi Mae adalah sasaran utama untuk dirinya sendiri---untuk menutup kemungkinan Mae bicara tentang apa yang dilakukannya. Berita Mae selamat tentu membuat Monroe lebih marah.“Kau cari tahu dimana Mary dibawa dan kirim lagi orang untuk menyelesaikannya!” Monroe memberi perintah baru.“Saya sudah mencoba mengirim seseorang unt
“Sir, maaf. Tapi saya harus mengurus pemakaman dari Ms. Gardner juga. Saya harus menuliskan tempat dimana akan dimakamkan.” Louis bertanya dengan amat lirih, sementara Ash mengawasi dua perawat yang sedang melepaskan infus Mae.Mereka sudah sampai di manor milik ayahnya, dan Mae tidak memerlukannya lagi memang.“Bisakah nanti? Aku tidak tahu.” Ash tidak bisa membuat keputusan itu tanpa Mae.“Tentu. Kalau begitu saya akan meminta mereka menunggu. Saya sudah membawa jenazahnya ke St. Thomas, Anda tinggal menyebutkannya harus dibawa kemana.” Louis memberi keterangan lanjutan yang hanya dijawab Ash dengan anggukan, dan Louis berpamitan keluar dari kamarnya.Ash tidak tahu apakah harus setuju atau tidak dengan keputusan membawa Daisy ke St. Thomas—terdengar tidak nyaman mendengar Daisy dipindahkan begitu saja tanpa persetujuan. Tapi Ash perlahan menganggap kalau keputusan Louis itu ada benarnya. Lebih baik membawa Daisy keluar dari Bakewell. Tempat itu terkutuk. Ash sama sekali tidak perca
Jantung Ash terasa mengkerut saat melihat jemari Mae bergerak. Ini pertama kali—dan mungkin untuk terakhir kali—ia berharap agar Mae tidak lekas membuka mata. Ia ingin Mae tidur lebih lama, lebih tenang karena alam mimpi sepertinya akan lebih indah dari kenyataan yang menunggu.“Hai.” Ash masih bisa menyisakan senyum, dan mengecup tangan Mae saat matanya mulai fokus. Ash ingin menyajikan kehangatan terlebih dulu.“Ash…” Mae bergumam, lalu menggosok wajahnya. Rasanya gatal dan tebal.“Jangan digaruk, nanti akan membekas. Gatalnya akan hilang setelah kau minum obat. Tapi mungkin perlu makan dulu.”Ash akan membahas apapun yang jauh dari Daisy, tapi tidak akan bertahan lama. Mae sudah mengernyit, mencoba mengingat hal apa yang membuatnya alerginya kambuh.“Daisy… mana… Kenapa kau di sini? Aku baik-baik saja! Kau seharusnya bersama Daisy.” Mae menyalahkan Ash yang memilih menemaninya. Ia menyibak selimut dan duduk, tapi kemudian bingung.“Aku dimana? Daisy dimana?” Mae merasa seharusnya ad
Ash melirik saat melihat Louis dan satu orang anak buahnya mengikuti dari dekat begitu mereka turun dari mobil. Mereka tidak pernah berjarak lebih dari dua meter. Ash membenci kenyataan dimana ia pada akhirnya membutuhkan mereka.Bukan karena kedekatannya, tapi gentingnya situasi yang mengancam. Ash tadi sampai memeriksa gedung, pohon, atau titik manapun yang sekiranya akan dipakainya—atau Ian saat mengincar seseorang—sebelum turun. Ash tidak tahu seberapa besar sumber daya orang yang mengincar Mae, tapi mereka bisa ada di mana saja. Ash baru bisa lebih lega saat mereka sampai di dalam rumah sakit. Mae membisu. Ash tidak tahu apakah ini baik atau buruk, dan berharap ini langkah awal bagi Mae untuk bisa menerima kenyataan itu. Ash meragukan perkiraannya sendiri tapi, karena sepanjang perjalanan tadi, Mae terus bergumam kalau semua orang salah.Mae ingin mereka semua salah memang, tapi semakin mendekati tujuan, Mae semakin tidak bisa mengingkari kenyataan. Mae nyaris ingin marah saat
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga