Jika berkenan, bisa bantu Subscribe ya, Kak. Terima kasih. Semoga suka dengan ceritanya.———Akhirnya Pak Yuda gak jadi ke ruangan itu dan kita hanya mengobrol di ruangan istirahat. Beruntungnya aku kali ini, nyaris saja kehilangan pekerjaan."Mas, kamu sudah pulang?" Maura langsung mendekat ke arahku dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Berhubung banyak kejadian di tempat kerja, aku semakin malas untuk melihatnya, apalagi bersentuhan.Kutepis tangannya dan kulewati ia begitu saja. "Mulai saat ini kita gak perlu bersentuhan langsung, meskipun hanya bersalaman. Toh kamu juga bukan dari kalangan pesantren."Maura sempat terdiam sejenak, ia sepertinya masih mencerna apa yang baru saja kukatakan. "Maksudnya, Mas?" tanyanya kemudian."Makanya kamu itu sekolah Maura!
Jika berkenan, bisa bantu subscribe ya, Kak. Semoga suka dengan ceritanya dan jangan lupa tinggalkan jejak.————"Kenapa, Mas?" tanya Maura setelah mengantar Pak Yuda dan Alvero pulang.Menjijikkan! tadi aja pura-pura pintar, tapi sekarang malah pura-pura polos dan tidak merasa bersalah."Kamu pikir aja sendiri!" bentakku kesal."Loh, Mas? Aku kan gak ngelakuin kesalahan apapun." Maura malah membereskan piring kotor di meja makan, biasanya kan minta maaf. Ini enggak sama sekali."Iya, Mama kan gak salah." Aira mulai membela."Diam kamu! Anak kecil tahu apa!" mereka berdua hanya bisa membuatku kesal. Sudah tadi tidak jadi pergi, sekarang ma
Aku minta subscribe-nya ya, Kak. Terima kasih.———"Kamu ngapain di sini?" Aku terkaget ketika Majid menepuk pundakku tiba-tiba. Ngapain juga sih dia di sini, aku kan sedang fokus mendengarkan apa yang dibicarakan Maura, Aura, dan juga orang-orang itu. "Cepat kerja! Pak Yuda mau sejam lagi meja depan sudah penuh dengan hidangan yang sempurna!" lanjutnya membuatku lebih syok.Hidangan yang sempurna? Berarti tanpa cacat sedikit pun dari rasa ataupun tampilan? Ya ampun, mana bisa secepat ini."Enggak ada waktu lagi, ayo ikut!" Majid langsung menarik tanganku untuk pergi mengecek makanan yang akan dihidangkan. Setelahnya aku langsung pergi ke dapur untuk melihat makanan apa yang sudah siap."Mana yang sudah selesai dimasak?" Aku mulai memperhatikan semuanya
Jangan lupa subscribe ya, Kak. Terima kasih banyak.———Semalaman aku tidak bisa tidur, perkataan Papa benar-benar seperti mimpi buruk. Mana bisa mereka membuat keputusan yang salah seperti ini. Maura juga, bukannya bujuk Papa biar keputusannya dirubah, malah diam saja.Aku mengacak wajah frustasi, bisa gila jika seperti ini terus. Kalau didiamkan, Maura akan menguasai semua harta kekayaan yang harusnya menjadi milikku."Kamu gak tidur, Mas?" tanya Maura dari balik selimut. Aku langsung menatapnya intens."Kau senangkan melihatku seperti ini, hah?" kucengkram bahunya kuat. "Kau mau melihatku miskin, ya?"Bukannya marah atau takut, Maura malah tersenyum. "Untuk apa kamu marah, Ma
Bantu Subscribe/ berlangganan ya, Kak.Terima kasih banyak.————"Pulang ataupun tidak, bukan keputusan anda!" laki-laki yang dari tadi mengobrol bersama Maura ikut mencekal tanganku dengan kasar. Gaya bahasanya terdengar angkuh, padahal dia hanyalah laki-laki biasa.Pakaian yang melekat di tubuhnya saja bukan merek terkenal dan mahal. Sudah pasti hanya seseorang yang biasa saja, jauh jika dibandingkan dengan pakaian yang kuberikan pada tukang sampah dan Pak Satpam.Namun punya segitu aja sudah berlagak Bos. Enggak punya kaca kayaknya dia."Anda siapanya Maura?" Aku langsung memberikan pertanyaan yan
Jangan lupa subscribe, ya Kak. Terima kasih.———PoV Maura Dua belas tahun yang lalu, aku tiba-tiba di hadapkan dengan dua pilihan dari orang tua. Pertama kuliah ke luar negeri dan kedua menikah. Pilihan yang tiba-tiba itu membuatku bingung, padahal aku baru istirahat di rumah hanya dua tahun setelah lulus sekolah menengah atas. Bagiku, sekolah itu bukanlah hal yang mudah. Di mana kita akan dituntut untuk selalu sempurna. Tak percaya? Mari kuberikan salah satu contoh. Ketika di sekolah, seorang guru memberikan sebuah soal matematika yang belum pernah dipelajari sama sekali. Beliau bertanya, "siapa yang bisa menyelesaikan soal ini?" Semua murid kompak menjawab tidak, lalu beliau pun berkata, "salah juga tidak apa-apa, karena tidak ada salahnya mencoba." Seorang sisw
Maura sungguh sangat tidak tahu malu, beraninya dia kembali mengaku kalau restoran tempatku bekerja adalah miliknya. Enak saja. Aku sendiri yang sudah mengabdi selama lebih dari sebelas tahun tidak mau mengaku bos, tapi dia yang pekerjaannya hanya rebahan malah mengaku dengan mudah.Dia pikir aku akan percaya? Omong kosong. Mana mungkin aku percaya, kecuali kalau dia mau menunjukkan buktinya. Ah, tapi mana mungkin dia adalah pemilik, orang ngurus rumah saja tak bisa."Papa tuh kenapa sih ganggu Mama terus, bukannya bersyukur karena Papa digaji sama Mama." Aira tiba-tiba berkata hal yang membuatku marah.Digaji Maura dia bilang? Tanpa sadar, aku mencekik lehernya."Ya ampun, Mas! Apa yang kamu lakukan?" Maura berteriak histeris dan berusaha untuk melepaskan tanganku dari lehernya. 
Pak Yuda menatapku tajam ketika mendengar apa yang baru saja aku katakan. Bukankah memang benar, untuk apa kita buang-buang waktu. Katanya rapat ini penting, rahasia, tapi masih masa main-main."Bapak bisa diam tidak, jelas-jelas tadi Pak Yuda sudah bilang kalau Bu Maura adalah Bosnya." Seorang staf yang lebih rendah dariku bahkan berani bicara. Emang dia pikir dia siapa, pantas gitu bicara denganku?Dasar orang-orang yang tidak tahu malu."Kamu diamlah, Ferdi. Kita dengarkan dulu apa yang akan dikatakan Pak Yuda." Majid mencoba untuk membuatku mengerti, padahal yang salah buka aku, tapi mereka.Sudah pasti kalau Majid juga tidak percaya bukan, selama ini dia tahu bagaimana cara Maura merawat rumah. Gak ada bagus-bagusnya. Hanya bisa menuntut uang untuk ini dan itu.
MauraHari ini semua ruangan di rumah besar ini dipenuhi bunga untuk menyambut kedatangan Mas Ferdi dengan Syahira. Mereka baru menikah tadi sore dan langsung dibawa ke sini. Meksipun rumah ini milik orang tuanya Mas Ferdi, tapi Mas Dafi punya andil besar. Bisa dibilang kepemilikannya dibagi dua.Meksipun masih muda, Mas Dafi memang ahli dalam berwirausaha sehingga sukses di usia yang begitu muda, dan punya aset banyak. Awalnya aku juga kaget, tapi Mas Dafi memintaku untuk membiasakan diri. Ya sudahlah, toh dia memang bukan lelaki biasa."Kok, diam di sini? Orang-orang sudah ada di sana untuk menyambut pengantin tahu?" Mas Dafi menepuk pelan bahuku. "Apa jangan-jangan kamu cemburu melihat mereka bersama?" tebaknya."Ngaco!" Aku bangkit dari duduk dan menatapnya tajam. "Siapa yang bilang cemburu barusan? Jangan-jangan Mas yang cemburu kalau nanti menatapnya?" godaku sambil menahan
FerdiAku tahu kalau mereka dekat, hanya saja aku benar-benar tidak tahu kedekatan hubungan mereka seperti ini. Dia bahkan mampu melewati aku begitu saja yang selama ini selalu sholat dan sekasur dengannya demi untuk menghampiri Dafi.Bukan apa-apa, aku takut nanti dia juga bisa mengkhianati Dafi.Maura tiba-tiba mendekat dengan Aira ke arahku. "Tidak apa, biarkan saja mereka. Katanya ada banyak hal penting yang harus dibicarakan," ucapnya dingin."Iya, Papa, mereka itu sudah seperti bumbu dapur dan masakan, tidak akan terpisahkan. Kalau pun bisa, maka dua-duanya akan menjadi tidak berguna," jelas Aira membuatku mengerti kalau aku hanya salah faham."Oh, oke. Baiklah. Maaf kalau barusan aku sudah salah sangka," pamitku dan mengajak Aira bermain bersama.&n
Dafi***Ada rasa aneh ketika melihat Aira memeluk Ferdi, padahal dia adalah ayahnya sendiri. Hanya saja ada yang sakit di hatiku ini karena kedekatan mereka. Apalah jika mengingat dulu Ferdi memperlakukan mereka dengan sangat buruk, rasanya hatiku seperti disayat-sayat."Lihat, sekarang anak tirimu sudah kembali kepada ayahnya." Tante Rena mulai menjadi kompor untukku dan Aira."Wajarlah, dia ayah kandungnya." Aku bicara santai dan menampilkan senyuman yang begitu indah.Meskipun hatiku sakit, tapi aku tidak ingin kelemahanku diketahui oleh orang lain. Toh, memang wajar mereka dekat, namanya juga ayah dan anak. Justru di sini akulah yang orang luar."Aku bangga padamu, Mas," ucap Maura setengah berbisik.Tadinya
PoV FerdiAtas bantuan Furqon dan jalan hidup yang telah Allah takdirkan untukku, kini aku sudah kembali ke jalan yang insyaAllah diridhoi Allah.Meksipun aku sudah diajak Mama dan Papa untuk kembali ke rumah besar, entah kenapa aku enggan untuk pergi. Rasanya lebih baik tinggal di dalam kesederhanaan daripada kemewahan yang tidak bisa membuatku tersenyum.Andai saja Muara masih menjadi istriku, tentu saja aku akan pulang dengan senang hati, dan bisa bermain dengan Aira. Namun, sekarang ia sudah menjadi istri orang lain. Lebih tepatnya kakak sepupu."Jangan lupa besok datang ke rumah," ucap Mama penuh penekanan setelah kami lama terdiam dalam bisu. Perbuatan yang kulakukan di masa lalu membuatku sadar kalau perempuan seperti Maura sangatlah langka."Ada apa? Pertemuan keluarga itu hanya buang-buang wa
Di bawah ancaman Furqon, Ferdi selau pergi ke masjid setiap datang waktu sholat. Bahkan kini, dia sendiri yang menunggu Furqon agar datang ke rumahnya untuk datang bersama-sama ke masjid.Dari sebrang rumahnya, ada Bu Friska dan Pak Hasan yang sedang mengamati Ferdi. "Lihatlah! Sekarang anakku lebih hebat dari kita, dia sudah rindu untuk pergi ke rumah Allah." ucap Bu Friska sambil menitikan air mata.Ia sungguh tidak percaya kalau putranya yang sombong itu berangsur berubah. Kini, Ferdi bahkan tidak pernah lagi menelponnya hanya untuk meminta uang. Tidak, beberapa waktu lalu, Ferdi menelpon hanya untuk menanyakan kabar orang tuanya saja.Setelahnya, ia langsung mematikan sambungan telpon."Bukan anakmu, tapi anak kita!" seru Pak Hasan tak terima.Bu Friska menatap suaminya itu lekat, sampai akhirnya beberapa
Ferdi tidak bisa melakukan kehidupan yang normal semenjak jauh dari orang tuanya, apalagi setelah pernikahan Maura dan sepupunya waktu itu, hidupnya terus saja dihantui oleh kehidupan yang belum pernah terjadi.Ia takut orang tuanya benar-benar tidak peduli, ia juga takut kalau kehidupan selanjutnya akan semakin sulit. Hari demi hari dipenuhi rasa ketakutan yang tidak ada habisnya.Untung saja selama di sini, ia bisa berteman dengan seorang pemuda kampung. Umurnya memang berada di bawah Ferdi, tapi cara berpikirnya sudah jauh di depan. Setiap hari, mereka selalu mengobrol di rumahnya Ferdi.Bagi Ferdi, setiap Malam temannya yang bernama Furqon itu wajib datang, tentu saja agar rasa ketakutannya sirna ketika tidak sengaja mendengar bunyi aneh dari dapur.Untungnya Furqon sama sekali tidak menolak, dia menemani Ferdi setiap malam.&nb
Dafi dan Maura hanya tersenyum ketika melihat Ferdi yang sedang melangkah ke arah mereka. Sama sekali tidak terlihat ketakutan, bahkan Aira pun hanya menatap langkah demi langkah papanya dengan tenang dan seulas senyuman."Beraninya kalian menggelar pernikahan di tengah-tengah kesusahanku!" teriak Ferdi sambil menunjuk kedua mempelai. "Kau juga Maura, kita belum resmi bercerai. Tapi kau malah bersanding dengan laki-laki lain, apa kau pikir aku ini batu yang hanya akan diam saja?" teriaknya lagi.Tidak salah apa yang Ferdi katakan, ia memang tidak tahu kalau Bu Friska sudah mengatur perceraian sedari dulu. Ia juga tak tahu hukum tentang agama. Menurutnya selama ini ia masih belum ada kata talak. Padahal, ia berulangkali mengatakan hal yang serupa tanpa disadari."Kau juga Aira, mana ada anak yang tidak berbakti sepertimu!" teriaknya pada Aira yang menutup telinga dengan kedua ta
Ferdi kembali masuk ke dalam rumah yang disangka angker itu. "Apa aku harus bertahan dalam beberapa hari, ya?" gumamnya sambil menatap dapur yang semalam mengeluarkan keributan yang mengerikan."Apa sebaiknya aku tutup saja pintu belakang? Bila perlu gembok, agar tak ada lagi yang membukanya?" ia kembali berbicara sendiri.Dengan terpaksa, dirinya memilih untuk membeli makan di tetangga sebelah dengan lauk seadanya. Setelah itu mengunci pintu dapur dan belakang, lalu masuk ke dalam kamarnya, tanpa dikunci. Agar lebih mudah lari keluar jika terjadi sesuatu, pikirnya.Ia pun segera menelepon Majid untuk mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan, tapi sahabatnya itu malah tak bisa dihubungi. Hanya operator yang menjawab panggilan telponnya."Ah, sial. Sekarang dia lupa dengan sahabatnya yang sudah menjadi miskin ini." Ferdi memaki. Ia juga
Ferdi berganti baju secepat kilat, tapi ganti beberapa kali, dan beberapa kali bercermin juga. Ia merasa tak percaya diri karena baju yang dipakainya bukan yang biasa dikenakan.Bu Friska sudah lebih dulu menyembunyikan pakaian mahalnya yang tidak diketahui Ferdi, tahu-tahu sudah tidak ada. "Aku tak bisa memakai stelan ini, tapi yang itu juga tidak bisa." gumamnya kesal."Masa iya aku makan sama Mama pake baju kumal begini?" batinnya tak bersemangat.Setelah beberapa detik, ia baru teringat dengan baju yang dipakainya ketika pergi dari rumah. Hanya baju itu yang harganya fantastis dan tidak akan malu dipakai ke acara atau tempat manapun."Mana, ya?" Ferdi masih mencari setelannya yang mahal itu di bawah tumpukan baju. Setelah ketemu, ia menutup hidungnya.Sudah lebih dari seminggu ia tinggal di rumah ini, tap