Mendengar kata tampan dari bibir mama sendiri membuatku ingin marah dan melampiaskannya. Hanya saja Papa menatapku dengan tajam, jadi tidak mungkin aku bisa berbuat sesuka hati seperti sebelumnya. "Sudah tahu bodoh, tapi masih ngaku pintar." sungut Papa lagi-lagi menghancurkan harga diriku. "Apa tidak bisa Papa mendukungku saja, jadi tidak perlu bicara yang enggak-enggak." "Lah, kenapa? Orang yang Papa katakan itu benar adanya. Itu semua karena kami peduli padamu, walau bagaimanapun kamu adalah anak kami." ucap Papa, akhirnya ia sadar juga kalau aku adalah anaknya. "Jadi kamu bicara jujur denganmu kalau kecerdasan itu tidak perlu dibanggakan." lanjutnya membuatku kembali muram. "Jika orang itu pintar, maka kami akan mengatakan orang itu pintar. Jika tidak, ya, kami juga tidak memuji," sahut Mama. Di sini aku merasa semakin menyedihkan. Punya orang tua seperti yang tidak punya orang tua. Aku punya Majid, tapi sudah lama kita tid
PoV Maura "Aku ingin Mas Ferdi kembali ke restoran," ucapku semalam di meja makan. Semua orang yang awalnya duduk dengan tenang kembali menegang dan mengentikan aktivitas makanannya. Bukan hanya orang tua dan Aira yang kaget, tapi juga Pak Yuda dan Zein yang kebetulan sedang kita undang makan malam di sini. Awalnya mereka berdua hanya berkunjung biasa ke restoran, tapi sekarang sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan lagi. "Apa Om tidak salah dengar, Ra?" Pak Yuda menatapku penasaran. "Enggak, Om. Aku memang ingin mengundangnya." jawabku lesu sambil menyenderkan punggung ke sandaran kursi. Aku sudah memikirkan hal ini dengan matang, pokoknya aku ingin Mas Ferdi merasakan rasanya dihina. Seperti yang ia lakukan kepada staf bawah. "Om tahu kalau kamu memang tertekan dan sangat membencinya, tapi tidak baik jika membiarkan dia terus berada di restoran. Dia malah akan semakin menjadi," ucapnya terdengar sangat menantang.
PoV Maura.Mendengar keluh kesahnya kepada Pak Majid sungguh membuatku bahagia. Awalnya aku tidak ingin bermain dengan cara seperti ini, Mas. Tapi kau sendiri yang memintaku untuk bertindak lebih kejam.Aku bisa melupakan semua yang kulakukan padaku, tapi tidak kepada Aira. Bahkan dengan tanpa perasaan kau mencekik darah dagingmu sendiri. Di mana letak hati nuranimu?Setelah menyaksikan kejadian itu, aku jadi sadar kalau Mas Ferdi memang tidak pantas untuk dipertahankan. Tidak ada yang bisa menyentuh putriku seperti itu, termasuk ayah biologisnya sendiri.Tidak akan pernah aku lupakan, apalagi memaafkannya."Siapa wanita yang Aira lihat waktu itu?" Papa menatapku dengan mata tajamnya. Beliau memang merasa sangat menyesal pernah menikahkan aku dengan laki-laki itu. Tapi rasa sesal itu berubah menjadi amarah ketika mendeng
PoV Maura Daripada meladeni Mas Ferdi, aku kembali masuk ke dalam rumah, dan memerintahkan beberapa orang untuk selalu mengikutinya agar bisa mengetahui perkembangan dari kerjasama antara dia dengan Gina. Aku mengirimkan Aira ke rumah Nenek bukan karena aku takut akan kekejaman keluarga Gunawan dan tidak bisa melakukan apapun, hanya saja takut kalau mereka akan mengajak nenekku kerjasama untuk melawanku. Kami paling tahu bagaimana sikap dari wanita yang sudah melahirkan ayahku itu, dia bukan hanya seorang wanita paruh baya, tapi orang yang selalu melarangku untuk melakukan ini dan itu. Jika tidak mengikuti perintahnya, aku takut kalau Aira pun akan ia kekang. Seperti diriku. "Apa kau berubah pikiran?" Papa ternyata memerhatikan gerak-gerikku dari tadi, memang ada rasa tahu dalam hatiku ketika memutuskan untuk mengantar Aira ke sana. Hanya saja ini memang pilihan yang terbaik. Pertama, dia akan aman di sana, kedua, Ne
PoV Maura"Sini, Sayang." Aku menepuk kursi yang ada di sampingku untuk memintanya duduk. Nenek yang faham dengan isyarat itu menatapku dan Aira bergantian dengan tajam."Untuk apa? Di sini akulah penguasa!" Nenek tiba-tiba bangkit dan berkata yang membuat hatiku terasa sangat sakit. "Jangan kira kau anak orang kaya, lantas berbuat seenaknya!" ucapnya lagi.Apakah wanita ini sungguh nenekku? Kenapa aku malah merasa dia berpihak kepada keluarga lain? Padahal dari kekayaan ataupun kedudukan, keluarga Gunawan jauh di bawah kami.Bukannya sombong, harta kekayaannya memang tidak ada persepuluh-nya dari kekayaan kami.Lantas, kenapa nenek masih berpihak kepada orang-orang yang jahat itu?"Tidak usah dengarkan apa yang Nenek katakan, duduklah!" Aku menuntunnya untuk duduk, tapi Aira terlihat enggan.
PoV FerdiKetika aku masuk kerja untuk pertama kalinya setelah dipecat, aku masih bisa melihat dan mendengar suara Maura. Makanya aku datang ke rumahnya untuk meminta dia mengangkatku kembali menjadi pimpinan staf.Mana cocok jika terus saja menjadi staf bawah."Kamu kok malah enak-enakan duduk di sini? Sana, bantu yang lainnya." Pak Yuda kembali memberikan perintah dengan kata-kata yang menohok seolah aku dari tadi di sini, sedangkan belum ada lima menit bokongku mendarat di tangga ini.Apalagi seharusnya aku istirahat di ruangan ber-AC, bukan di tangga tempat ngobrol para staf bawah."Loh, emang bapak gak tahu kalau saya baru duduk?" tanyaku lagi dengan berani. Emang dia pikir aku akan diam saja ketika mempermalukan aku dengan kejam, para staf yang lainnya saja gak ditegur, padahal dari tadi. Penglihatannya selalu saja terfokus padaku
PoV Maura"Ma, aku bosan di sini." ucap Aira lirih. Keseharian kita di sini hanya makan dan tidur. Untung saja ada kamar mandi di dalam kamar dan dekat dengan dapur, jadi aku bisa mengambil apapun sebagai cemilan.Aku bisa mentolerir kalau nenek membenci diri ini, tapi tidak dengan Aira. Sifatnya sudah keterlaluan. Usia yang mungkin sudah diintai oleh malaikat maut tidak membuatnya berubah, justru semakin tua malah semakin menjadi.Beberapa kali papa juga memberikannya nasehat, tapi tidak ada yang diterimanya. Seolah merasa hanya diri sendiri yang benar, orang lain salah. Hanya sama papa, nenek akan luluh, tapi itupun dengan beberapa syarat yang tidak masuk akal.Seperti ketika aku ingin Nenek memujiku ketika sudah berhasil mendapatkan rangking di kelas dua sekolah dasar, papa langsung memohon.Nenek memang setuju, tapi papa harus
PoV MauraBukannya menjawab, Mas Ferdi malah diam seribu bahasa. Tidak biasa dia seperti ini. "Loh, kok kamu gak jawab, Mas?" tanyaku penasaran."Emang tadi kamu hanya apa?" Mas Ferdi malah kembali bertanya, masa iya dia tidak mendengar apa yang barusan aku katakan, jelas-jelas tadi langsung hening."Galang, Mas. Apa hubungan kalian?" Aku kembali mengulang pertanyaan. Toh tidak ada ruginya meksipun aku menanyakan hal itu berulangkali."Untuk kedepannya, jangan pernah bertanya tentang hal ini. Dia adalah orang yang tabuh dibicarakan di keluargaku." Mas Ferdi mengeluarkan kata-kata bijak.Sejak kapan dua peduli dengan aturan, bukankah selama ini selalu langsung terobos?"Aku kan hanya tanya, Mas. Lagipula ini menyangkut hal yang penting. Kurasa Mama sama Papa juga gak akan keberatan kalau aku membicarakan hal in
MauraHari ini semua ruangan di rumah besar ini dipenuhi bunga untuk menyambut kedatangan Mas Ferdi dengan Syahira. Mereka baru menikah tadi sore dan langsung dibawa ke sini. Meksipun rumah ini milik orang tuanya Mas Ferdi, tapi Mas Dafi punya andil besar. Bisa dibilang kepemilikannya dibagi dua.Meksipun masih muda, Mas Dafi memang ahli dalam berwirausaha sehingga sukses di usia yang begitu muda, dan punya aset banyak. Awalnya aku juga kaget, tapi Mas Dafi memintaku untuk membiasakan diri. Ya sudahlah, toh dia memang bukan lelaki biasa."Kok, diam di sini? Orang-orang sudah ada di sana untuk menyambut pengantin tahu?" Mas Dafi menepuk pelan bahuku. "Apa jangan-jangan kamu cemburu melihat mereka bersama?" tebaknya."Ngaco!" Aku bangkit dari duduk dan menatapnya tajam. "Siapa yang bilang cemburu barusan? Jangan-jangan Mas yang cemburu kalau nanti menatapnya?" godaku sambil menahan
FerdiAku tahu kalau mereka dekat, hanya saja aku benar-benar tidak tahu kedekatan hubungan mereka seperti ini. Dia bahkan mampu melewati aku begitu saja yang selama ini selalu sholat dan sekasur dengannya demi untuk menghampiri Dafi.Bukan apa-apa, aku takut nanti dia juga bisa mengkhianati Dafi.Maura tiba-tiba mendekat dengan Aira ke arahku. "Tidak apa, biarkan saja mereka. Katanya ada banyak hal penting yang harus dibicarakan," ucapnya dingin."Iya, Papa, mereka itu sudah seperti bumbu dapur dan masakan, tidak akan terpisahkan. Kalau pun bisa, maka dua-duanya akan menjadi tidak berguna," jelas Aira membuatku mengerti kalau aku hanya salah faham."Oh, oke. Baiklah. Maaf kalau barusan aku sudah salah sangka," pamitku dan mengajak Aira bermain bersama.&n
Dafi***Ada rasa aneh ketika melihat Aira memeluk Ferdi, padahal dia adalah ayahnya sendiri. Hanya saja ada yang sakit di hatiku ini karena kedekatan mereka. Apalah jika mengingat dulu Ferdi memperlakukan mereka dengan sangat buruk, rasanya hatiku seperti disayat-sayat."Lihat, sekarang anak tirimu sudah kembali kepada ayahnya." Tante Rena mulai menjadi kompor untukku dan Aira."Wajarlah, dia ayah kandungnya." Aku bicara santai dan menampilkan senyuman yang begitu indah.Meskipun hatiku sakit, tapi aku tidak ingin kelemahanku diketahui oleh orang lain. Toh, memang wajar mereka dekat, namanya juga ayah dan anak. Justru di sini akulah yang orang luar."Aku bangga padamu, Mas," ucap Maura setengah berbisik.Tadinya
PoV FerdiAtas bantuan Furqon dan jalan hidup yang telah Allah takdirkan untukku, kini aku sudah kembali ke jalan yang insyaAllah diridhoi Allah.Meksipun aku sudah diajak Mama dan Papa untuk kembali ke rumah besar, entah kenapa aku enggan untuk pergi. Rasanya lebih baik tinggal di dalam kesederhanaan daripada kemewahan yang tidak bisa membuatku tersenyum.Andai saja Muara masih menjadi istriku, tentu saja aku akan pulang dengan senang hati, dan bisa bermain dengan Aira. Namun, sekarang ia sudah menjadi istri orang lain. Lebih tepatnya kakak sepupu."Jangan lupa besok datang ke rumah," ucap Mama penuh penekanan setelah kami lama terdiam dalam bisu. Perbuatan yang kulakukan di masa lalu membuatku sadar kalau perempuan seperti Maura sangatlah langka."Ada apa? Pertemuan keluarga itu hanya buang-buang wa
Di bawah ancaman Furqon, Ferdi selau pergi ke masjid setiap datang waktu sholat. Bahkan kini, dia sendiri yang menunggu Furqon agar datang ke rumahnya untuk datang bersama-sama ke masjid.Dari sebrang rumahnya, ada Bu Friska dan Pak Hasan yang sedang mengamati Ferdi. "Lihatlah! Sekarang anakku lebih hebat dari kita, dia sudah rindu untuk pergi ke rumah Allah." ucap Bu Friska sambil menitikan air mata.Ia sungguh tidak percaya kalau putranya yang sombong itu berangsur berubah. Kini, Ferdi bahkan tidak pernah lagi menelponnya hanya untuk meminta uang. Tidak, beberapa waktu lalu, Ferdi menelpon hanya untuk menanyakan kabar orang tuanya saja.Setelahnya, ia langsung mematikan sambungan telpon."Bukan anakmu, tapi anak kita!" seru Pak Hasan tak terima.Bu Friska menatap suaminya itu lekat, sampai akhirnya beberapa
Ferdi tidak bisa melakukan kehidupan yang normal semenjak jauh dari orang tuanya, apalagi setelah pernikahan Maura dan sepupunya waktu itu, hidupnya terus saja dihantui oleh kehidupan yang belum pernah terjadi.Ia takut orang tuanya benar-benar tidak peduli, ia juga takut kalau kehidupan selanjutnya akan semakin sulit. Hari demi hari dipenuhi rasa ketakutan yang tidak ada habisnya.Untung saja selama di sini, ia bisa berteman dengan seorang pemuda kampung. Umurnya memang berada di bawah Ferdi, tapi cara berpikirnya sudah jauh di depan. Setiap hari, mereka selalu mengobrol di rumahnya Ferdi.Bagi Ferdi, setiap Malam temannya yang bernama Furqon itu wajib datang, tentu saja agar rasa ketakutannya sirna ketika tidak sengaja mendengar bunyi aneh dari dapur.Untungnya Furqon sama sekali tidak menolak, dia menemani Ferdi setiap malam.&nb
Dafi dan Maura hanya tersenyum ketika melihat Ferdi yang sedang melangkah ke arah mereka. Sama sekali tidak terlihat ketakutan, bahkan Aira pun hanya menatap langkah demi langkah papanya dengan tenang dan seulas senyuman."Beraninya kalian menggelar pernikahan di tengah-tengah kesusahanku!" teriak Ferdi sambil menunjuk kedua mempelai. "Kau juga Maura, kita belum resmi bercerai. Tapi kau malah bersanding dengan laki-laki lain, apa kau pikir aku ini batu yang hanya akan diam saja?" teriaknya lagi.Tidak salah apa yang Ferdi katakan, ia memang tidak tahu kalau Bu Friska sudah mengatur perceraian sedari dulu. Ia juga tak tahu hukum tentang agama. Menurutnya selama ini ia masih belum ada kata talak. Padahal, ia berulangkali mengatakan hal yang serupa tanpa disadari."Kau juga Aira, mana ada anak yang tidak berbakti sepertimu!" teriaknya pada Aira yang menutup telinga dengan kedua ta
Ferdi kembali masuk ke dalam rumah yang disangka angker itu. "Apa aku harus bertahan dalam beberapa hari, ya?" gumamnya sambil menatap dapur yang semalam mengeluarkan keributan yang mengerikan."Apa sebaiknya aku tutup saja pintu belakang? Bila perlu gembok, agar tak ada lagi yang membukanya?" ia kembali berbicara sendiri.Dengan terpaksa, dirinya memilih untuk membeli makan di tetangga sebelah dengan lauk seadanya. Setelah itu mengunci pintu dapur dan belakang, lalu masuk ke dalam kamarnya, tanpa dikunci. Agar lebih mudah lari keluar jika terjadi sesuatu, pikirnya.Ia pun segera menelepon Majid untuk mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan, tapi sahabatnya itu malah tak bisa dihubungi. Hanya operator yang menjawab panggilan telponnya."Ah, sial. Sekarang dia lupa dengan sahabatnya yang sudah menjadi miskin ini." Ferdi memaki. Ia juga
Ferdi berganti baju secepat kilat, tapi ganti beberapa kali, dan beberapa kali bercermin juga. Ia merasa tak percaya diri karena baju yang dipakainya bukan yang biasa dikenakan.Bu Friska sudah lebih dulu menyembunyikan pakaian mahalnya yang tidak diketahui Ferdi, tahu-tahu sudah tidak ada. "Aku tak bisa memakai stelan ini, tapi yang itu juga tidak bisa." gumamnya kesal."Masa iya aku makan sama Mama pake baju kumal begini?" batinnya tak bersemangat.Setelah beberapa detik, ia baru teringat dengan baju yang dipakainya ketika pergi dari rumah. Hanya baju itu yang harganya fantastis dan tidak akan malu dipakai ke acara atau tempat manapun."Mana, ya?" Ferdi masih mencari setelannya yang mahal itu di bawah tumpukan baju. Setelah ketemu, ia menutup hidungnya.Sudah lebih dari seminggu ia tinggal di rumah ini, tap