"Kau harus bagaimana tanyakan pada hatimu sendiri. Orang lain hanya bisa memberi masukan, tapi hatimu sendiri lah penentunya."Aku menarik napas, selalu terasa sesak jika membahas masalah ini."Lebih baik melepaskan dengan keikhlasan dari pada bertahan dengan keterpaksaan. Kuharap kau bisa belajar dari pengalaman orang tua kita dahulu, Dek. Aku yakin kau bisa melaluinya. Maaf aku harus kembali ke sel. Jangan ragu mencariku jika kau perlu tempat untuk bercerita. Aku kakakmu."Aku terharu mendengar kalimat Kak Rizal. Aku benar-benar merasa punya saudara sekarang, sayang sekali kami harus dipertemukan dalam kondisi seperti ini. ***POV Andri Aku sedang di jalan menuju kantor setelah meninjau lokasi proyek terbaru perusahaanku. Perusahaanku yang dulunya hanya bergerak di bidang advertising sekarang perlahan mulai mengembangkan sayap ke bidang konstruksi. Tak kupungkiri peran Rini sangat besar terhadap perkembangan perusahaanku belakangan ini. Kecerdasannya dalam merencanakan dan membuat
Nuri hanya terdiam saat aku mengabarinya namun kuyakinkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.Setelah menutup telpon, aku melirik Rini di sebelahku. Dia hanya terdiam tanpa ekspresi. Rini, istri yang rencananya akan kutalak sore ini. Namun ternyata harus tertunda karena insiden kecelakaan Bu Endang. Tidak mungkin aku mengajaknya bicara tentang hubungan kami disaat seperti ini. Kulajukan mobilku agak cepat ketika sudah memasuki jalan toll. Tak ada percakapan yang berarti di antara kami selama dalam perjalanan. Hanya sesekali aku menawarinya mampir ke toilet atau mampir mengisi perut di rest area namun Rini selalu menolaknya dengan alasan masih kenyang dan tidak perlu ke toilet. Dia hanya ingin segera melihat keadaan ibunya. ***Kami tiba di kampung saat matahari sudah mulai tenggelam. Aku menyetir sesuai dengan arahan Rini karena kami langsung menuju rumah sakit yang ada di ibu kota kabupaten.Setelah tiba dan memarkirkan mobilku, Rini segera turun dan berlari kecil mencari ruang
"Sini, Nak. Minum teh dulu menghangatkan perut." "Iya, Buk" sahutku sambil duduk di depan ibu. Aku menghirup teh hangat buatan ibu."Nuri tau kamu kesini, Nak" tanya ibu."Iya, Buk. Aku mengabarinya lewat telpon tadi karena kebetulan masih jam kerja tadi ketika Rini menerika kabar kecelakaan Bu Endang."Ibu diam sambil tersenyum padaku."Nak, apa kalian sudah membicarakan mengenai hubunganmu dengan Rini, maaf jika ibu terpaksa menanyakan ini padamu.""Iya Bu, tak apa. Kami sudah membicarakannya.""Lalu apa tanggapan anak ibu?""Nuri tidak pernah setuju dengan poligamu, Buk.""Lalu bagaimana?""Aku akan melepaskan Rini dan kembali menjalani rumah tangga kami dengan normal," sahutku mantap.Ibu menarik nafas."Jangan mempermainkan pernikahan, Nak."Aku mengerutkan keningku, tak kupahami apa maksud ucapan ibu."Apa maksud ibuk?""Ibu tidak mau ikut campur lebih jauh. Ibu yakin kalian pasti mampu mengatasinya dengan baik. Apapun keputusan kalian ibu akan selalu mendukung dan mendoakan ke
“Maaf sebelumnya saya mau tanya dengan siapa saya berbicara dan apa hubungan Anda dengan pasien atas nama Bu Endang,” tanya dokter setelah aku duduk di hadapannya.“Saya Andri, Dok. Saya keluarganya pasien.”“Anda anaknya atau keponakannya? Kami perlu data yang jelas sebelum menjelaskan detail kondisi pasien."“Saya ... menantu pasien, Dok,” jawabku ragu.Dokter itu terlihat terdiam sesaat sambil mengerutkan kening, sepertinya dia heran dengan keraguanku menjawabnya.“Baik, Pak Andri. Maaf jika saya harus menyampaikan berita ini. Kondisi pasien saat ini dalam kondisi yang kurang baik. Kepalanya mengalami benturan pada saat kecelakaan dan itu menyebabkan trauma di kepala pasien. Bahkan suatu mukjizat bagi kami melihat pagi ini pasien bisa sadar dan mebuka matanya. Kami menganjurkan dilakukan tindakan operasi namun harus dirujuk ke rumah sakit rujukan yang setingkat di atas rumah sakit ini karena peralatan medis di sini belum memadahi.”“Kalau begitu segeralah dirujuk, Dok. Saya yakin k
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.” Aku berucap lirih. Sesungguhnya hidup dan mati manusia adalah rahasia Allah. Baru beberapa menit yang lalu beliau menitipkan putrinya padaku dan kini Bu Endang telah berpulang kepada Sang Pencipta.“Pak Andri silahkan mengurus beberapa urusan administrasi agar jenazah bisa segera dipulangkan. Petugas kami akan mengarahkan prosedur pengurusan jenazah. Sekali lagi maafkan kami."“Iya, Dok.”Aku mengusap-usap ujung kepala Rini yang tertutup jilbab. Sungguh malang gadis ini, sekarang dia harus kehilangan ibunya. Beruntung kemarin aku langsung berinisiatif mengantarkannya ke sini, rupanya ini adalah pertemuan terakhirnya dengan ibunya.“Rin, istighfar ya. Ikhlaskan kepergian beliau. Jika kamu terus seperti ini kasian beliau, sekarang beliau hanya membutuhkan doa dari kita yang masih hidup, terutama doa darimu, Rin.” aku terus membelai kepalanya memberi kekuatan. Aku harus mengurus administrasi jenazah Bu Endang. Jika Rini terus seperti ini aku tidak
“Bang, bukannya abang ini suaminya Mbak Nuri?” Seorang pemuda menyapaku sambil membongkar beberapa besi tenda.“Iya," jawabku singkat.“Kok bisa ada di sini, Bang? Tadi kumpulan ibu-ibu itu membicarakan Abang loh, mereka mengira Abang ini suaminya Rini,” lanjutnya lagi. Aku hanya diam tak menanggapi. Aku melirik sekilas pada beberapa ibu-ibu yang memang terlihat sedang memandang ke arahku. Aku sudah bisa menebak apa yang mereka bicarakan.Beberapa ibu-ibu terlihat berpamitan pulang dan berjalan melewati kami yang masih melipati dan merapikan tenda yang sudah dibongkar.“Pak Andri masih di sini? Mbak Nuri nya mana kok nggak ada kelihatan?” Seorang ibu berperawakan gempal menegurku.“Iya, Bu. Masih beresin tenda ini. Istri saya kebetulan nggak ikut ke mari, Bu,” jawabku.“Oooo ... jadi istri tuanya ditinggal ya pak. Kok tega ya." Suara ibu itu pelan sambil berlalu dari hadapanku.Aku menarik nafas panjang. Pastilah berita aku menikahi Rini sudah tersebar di kampung ini. Tak perlu kutany
“Aku tidak apa-apa, Pak. Aku hanya masih ingin di sini mengenang kebersamaanku dengan ibu di rumah ini. Pak Andri tidak usah mengkhawatirkanku.”“Tidak mungkin aku tidak mengkhawatirkanmu, Rin. Aku ... masih punya tanggungjawab padamu,” ujarku sambil menarik nafas.“Pulanglah, Pak. Mbak Nuri pasti sudah menunggu Bapak. Mbak Nuri pasti akan kepikiran jika Bapak masih di sini. Tolong beri aku waktu beberapa hari di rumah ini, Pak.”“Oke, kalau begitu bagaimana jika kamu kuberi waktu 2 malam di rumah ini. Aku sendiri akan menginap di rumah ibu, dan kita akan tetap pulang bersama kembali. Aku tak mungkin lepas tanggung jawab dengan meninggalkanmu disini. Aku yakin Nuri pasti akan mengerti."“Rini bisa pulang sendiri nanti, Pak. Tidak perlu menungguku, Bapak juga pasti punya banyak pekerjaan di kantor. Aku tidak mau menjadi beban, Pak.”“Tidak, Rin. Kamu harus tetap pulang bersamaku. Aku tetap pada pendirianku kuberi waktu 2 hari kamu di sini dan aku akan menginap di rumah ibu. Sudah janga
Kepergian ibu begitu membuatku terpukul, namun dibalik itu ada perasaan lain yang menelusup hatiku sesaat setelah kepergian ibu. Pelukan dan belaian pak Andri sewaktu menenangkanku tiba-tiba saja mengisi kekosongan dan kesedihan yang ditinggalkan ibu. Aku sendiri tidak mengerti persaaan apa yang tiba-tiba saja muncul di dalam hatiku, namun sungguh dekapannya membuatku merasa sangat nyaman. Bahkan pikiranku yang sangat kalut ketika dokter mengatakan ibu tak bisa diselamatkan bisa seketika menjadi tenang saat Pak Andri mendekapku.Lalu sekarang, Pak Andri bahkan rela menungguku di sini hanya agar aku bisa pulang kembali bersamanya, meskipun dia tidak menginap di rumah ibu. Namun ada perasaan sejuk menelusup di hatiku ketika dia terlihat peduli padaku. Lalu, aku harus bagaimana? Hubungan kami tidak sesederhana itu. Apa yang harus aku lakukan Ibu? Kepada siapa aku harus mengadu?***Hari ini, aku dan Pak Andri akan kembali pulang setelah Pak Andri memberiku waktu 2 hari berada di sini set
“Bang, pulang yuk! Kita nggak dianggap di sini. Dunia serasa milik mereka berdua tuh.” Andin menyebikkan bibirnya sambil menoleh pada Rizal.“Jangan pulang dulu dong, Ndin. Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Nuri.“Apaan? Asal jangan meminta bayi dalam kandunganku. Kamu kan udah dapat bonus bayi dari Mas Andri.”“Sayang!” Rizal menegur lembut istrinya sambil menggelengkan kepalanya. Dia takut Andri tersinggung dengan ucapan istrinya.“Nggak apa-apa. Aku sangat terhibur dengan kalian berdua,” ucap Andri yang mengerti maksud Rizal.“Jadi minta apa, Ri?” tanya Andin.“Untuk beberapa hari kedepan bisa nggak kalian menginap di sini dulu menemani Ibu dan anak – anak.”“Maksud kamu, Ri?”“Aku dan Mas Andri berencana untuk berlibur keluar kota beberapa hari.”“Jadi kamu setuju, Dik?” tanya Andri dengan tatapan berbinar –binar.“Iya, Mas. Semoga anak-anak juga mengizinkan, ya.”“Wuihhh, aku cemburu pada kalian berdua. Yang pengantin baru siapa yang bulan madu siapa!” Andin kembali mengerucu
“Tapi kita bukan pasangan pengantin baru, Mas.” Protes Nuri. Wajahnya sedikit bersemu merah menerima tatapan menggoda dari suaminya.“Bagiku kita adalah pengantin baru, Sayang. Dan akan selalu begitu. Kita akan menjalani hari-hari kedepan seperti pengantin baru setiap harinya. Kamu mau kan?” Andri menarik mengencangkan pelukannya di bahu Nuri yang membuat tubuh wanita itu masuk kedalam dekapannya. Andri mencium pucuk kepala Nuri. “Boleh minta lagi nggak?” tanyanya mengedipkan mata.“Aku ke sini buat manggil sarapan, Mas. Ayo, sepertinya yang lain sudah menunggu kita.” Nuri menjauhkan tubuhnya. Dia pun sebenarnya susah payah menahan hasratnya untuk tetap berada dalam dekapan hangat suaminya.“Ah, padahal aku ingin sarapan yang lain.” Andri masih menggodanya.“Udah ah, Mas!”“Makanya kamu ambil cuti ya, Dik. Kita liburan berdua.”“Kita bicarakan nanti ya, Mas. Yuk, sarapan dulu.” “Morning kiss dulu, dong,” pinta Andri memajukan bibirnya.Cup! Nuri mengecupnya sekilas. Mata Andri berbin
Kembali Andri dan Nuri tak sanggup menahan keharuan ketika mereka bersujud dalam salat, sajadah keduanya basah dengan air mata penuh rasa syukur atas semua yang sudah mereka lalui.“Aku mencintaimu, Nuri-ku. Perasaanku tidak pernah berkurang meski takdir memisahkanku darimu,” ucap Andri lembut dan memberi kecupan pada kening Nuri setelah mereka melewati malam panjang berdua.“Aku juga mencintaimu, Mas,” jawab Nuri manja sambil menyandarkan kepalanya di dada lelaki yang tak pernah pergi dari hatinya itu.“Sarapan apa pagi ini, Bi?” tanya Nuri pada Bi Ina yang sedang sibuk di dapur.“Ini lagi bikin nasi goreng, pancake dan roti bakar, Bu.”“Ooh, ada yang pesan nasi goreng, Bi? Nggak biasanya sarapan nasi goreng.”“Nggak ada yang pesan, Bu. Bibi hanya membuat nasi goreng kesukaan Pak Andri.”Nuri tersenyum. Beruntung sekali dia dulu menerima Bi Ina ketika seorang keluarga jauhnya merekomendasikan Bi Ina saat Nuri sedang mencari tenaga ART. Bi Ina orang yang jujur, baik dan sangat menyaya
Andri mengetuk pintu kamar Nuri kemudian membukanya perlahan. Nuri yang sedang merapikan beberapa barang diatas meja riasnya menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat kehadiran Andri di sana.“Silakan masuk, Mas. Maaf aku masih merapikan beberapa barang yang tadi berantakan di sini,” ucapnya.“Mau kubantu, Dik?” tanya Andri.“Nggak usah, Mas. Sebentar lagi beres kok. Oiya, ibu masih nginap di sini?”“Ibu sudah pulang ke rumah, Dik. Katanya nggak bawa baju ganti jadi tadi minta antar pulang. Maaf nggak sempatin pamit, tadi ibu nyari kamu untuk berpamitan tapi sepertinya kamu sedang mandi tadi.”“Oh, nggak apa-apa, Mas. Insya Allah besok kita jemput ibu lagi ke sana. Kasian beliau sendirian di sana.”“Iya, Dik. Besok aku ada janji dengan perawat Bilqis juga dan ibu juga ingin ikut menengok Bilqis.”Nuri mengangguk tersenyum. “Besok kita ke sana bersama-sama ya, Mas.”“Teririma kasih, Sayang,” ucap Andri dengan suara serak. Nuri tersipu malu mendengar kata ‘sayang’ bibir lelaki itu. P
Rizal tersenyum bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Nuri. 'Aku akan menebus kesalahanku padamu dengan menjaga Nuri, Ayah. Aku melihat senyummu di balik senyumannya,' batin Rizal. Setelah tamu satu persatau mulai meninggalkan rumah Nuri, Andri dan Nuri yang sedang duduk bersantai di ruang tengah terkejut dengan kemunculan Bi Ina dengan deraian air mata di sana.Bi Ina sedari tadi tidak kelihatan diantara para tamu karena sibuk di belakang. Dengan deraian air matanya, Bi Ina memberi selamat pada kedua majikan yang begitu dihormatinya itu.“Bi Ina kok nangis gitu? Nggak suka saya balik ke rumah ini lagi?” tanya Andri sengaja bercanda. Dia tau Bi Ina dari dulu sangat berharap dia kembali ke rumah ini. Bi Ina bahkan beberapa kali menangis memohon padanya agar majikannya itu kembali bersama seperti dulu lagi.“Tidak, Pak. Justru sebaliknya saya sangat bahagia. Saya bahagia melihat keluarga Pak Andri dan Bu Nuri kembali bersatu. Ini adalah impian saya selama ini. Saya hanya
Andri dan Nuri serta Aldy dan Nanda masih berkeliling menyapa semua keluarga mereka yang hadir di rumah Nuri. Bu Susi yang dari tadi hanya diam menyaksikan semua yang terjadi di sana memeluk Nuri dengan erat ketika Nuri dan Andri serta kedua anak mereka menghampirinya.Tak ada kata yang keluar dari bibir wanita tua itu, hanya terdengar tangisan lirih membungkus keharuan yang dirasakannya. Nuri pun kembali menitikkan air mata harunya dalam dekapan ibu mertuanya itu.“Ibu tak bisa berkata apa-apa, Nak. Kebahagiaan yang ibu rasakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pemandangan ini membuat perasaan ibu sesak dengan rasa bahagia. Sayang sekali Bapak dan adikmu Nindya tak bisa menyaksikan ini,” ucap Bu Susi sambil menyeka air matanya.“Iya, Bu. Kita akan mengabari Bapak dan Nindya nanti,” sahut Nuri lembut.“Terima kasih, Bu. Andri yakin ini semua juga tak lepas dari doa – doa ibu selama ini. Terima kasih untuk selalu meminta kebahagiaan anakmu ini dalam setiap doamu Ibu,” ucap Andri d
Andri terpaku mendengar ucapan Nuri, ucapan Nuri membuatnya merasa terbang ke awan – awan. Hatinya yang tadinya sesak dengan kepedihan kini berganti sesak dengan kebahagiaan.Begitu mudahnya Allah membolak – balikkan keadaan dan hati seseorang, maka sesungguhnya kita hanya perlu berpasrah pada ketentuan-Nya. Kun Fayakun, tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Allah jika Dia menghendakinya.Setelah semuanya setuju, Andri duduk dengan gagahnya menggantikan posisi yang tadinya diisi Adit. Kemeja kuning pucat hadiah dari Nuri yang dikenakannya tampak serasi dengan kebaya putih kombinasi kuning gading yang digunakan Nuri.Jika dilihat sekilas, tidak akan ada yang menyangka jika posisi Andri ada di sana untuk menggantikan Adit. Semua tampak serasi, seperti telah direncanakan dengan sempurna. Ya, semua rencana Allah. Itulah yang membuat semua terlihat sempurna.“Andri Firmansyah, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid d
Ayah Andin, yang merupakan pemuka agama khusus datang dari Kalimantan memenuhi undangan anak dan menantunya untuk memberi khutbah dan wejangan pada calon pengantin. Jantung Adit berdegup kencang ketika tiba saatnya Rizal menatap tajam padanya dan menggenggam erat tangannya, sedangkan Nuri hanya duduk tertunduk di sampingnya sambil sesekali menghela napas pelan.“Danis Raditya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid dengan maskawinnya berupa uang sebesar Lima Ratus Ribu Rupiah dan seperangkat alat sholat dibayar TUNAI!”Hening. Tidak ada jawaban dari Adit. Ujung mata pria itu melirik pada sesosok pria di sudut ruangan yang tertunduk dengan bahu terguncang naik turun sambil memangku gadis kecil yang terlihat heran melihat pria itu menangis. Bola mata Adit menatap tajam pada Rizal kemudian kembali melirik ke sudut ruangan lalu melirik Nuri yang hanya menunduk dan menunggunya mengucapkan ijab kabul.Rizal menyipitkan m
Andri membuka lemari pakaiannya dan memilih kemeja berwarna kuning pucat yang merupakan kemeja favoritnya. Kemeja itu menjadi hadiah ulang tahun terakhir yang dihadiahkan Nuri padanya sebelum akhirnya takdir memisahkan mereka. Bu Aisyah, Aldy dan beberapa kerabat Nuri menyambut kehadiran Bu Susi dan Andri ketika mereka ibu dan anak itu tiba di sana. Bu Aisyah tampak ramah seperti biasanya mengajak Bu Susi mengobrol membicarakan beberapa hal. Sementara perhatian beberapa orang yang ada disana terpusat pada Andri ketika pria itu datang. Nuri hanya mengundang beberapa keluarga dekatnya, dan mereka semua yang ada disana mengetahui siapa Andri. Aldy yang menyambut kedatangan papanya mengajak Andri masuk kedalam rumah dan memilih menemani papanya itu duduk di pojok ruangan. Beberapa orang terlihat hilir mudik mempersiapkan keperluan acara. Rizal menghampiri Andri ketika melihat lelaki itu duduk di pojok ruangan ditemani Aldy. Rizal dan Andri terlibat perbincangan ringan beberapa saat sebe