Rini, dia adalah karyawan bagian marketing di perusahaan Mas Andri. Rini sudah kuanggap sebagai adik seligus sahabatku. Usianya sekitar 10 tahun lebih muda dariku, kami berasal dari daerah yang sama. Rumahnya berjarak 6 rumah dari rumah ibuku. Bahkan aku yang membawanya dari kampung dan mengusulkan kepada Mas Andri untuk menerimanya sebagai karyawan di perusahaan advertising yang dikelola Mas Andri.
Tapi mengapa suamiku tadi menggenggam tangan Rini? Bukankah selama ini kami menjalani hubungan suami istri yang mencontoh sunnah Nabi. Aku dan suamiku sudah beberapa tahun belakangan sepakat untuk tidak bersalaman dengan yang bukan mahrom agar tidak bersentuhan selain kepada mahrom kami. Lalu mengapa tadi Mas Andri begitu gampangnya menyentuh Rini? Kepalaku mendadak pusing. Kuputuskan untuk segera pulang sebelum air mataku kembali jatuh. Buru-buru kuselesaikan transaksi di kasir dan mengambil beberapa bungkus makanan yang kupesan untuk anak – anakku.
“Assalamualaikum …” sapaku sambil membuka pintu rumah.
“Walaikumsalam, Ma ...” sahut Aldy. Dia lagi berbaring di ruang tengah sambil memainkan gawainya. Segera Aldy beranjak dan meraih punggung tanganku seraya menciumnya. Sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan sampai sepuluh detik Aldy belum juga melepaskan tanganku. Ini membuatku sedikit heran, kemudian kuusap kepala anak remajaku ini dengan tanganku yang satunya. Sekilas setelah melepaskan punggung tanganku kulihat mata Aldy merah seperti menahan tangisan.
Aldy Habibie, anak sulungku yang kini beranjak remaja. Aldy sekarang duduk di kelas 1 SMP sedangkan adiknya Nanda Zafira baru berusia 5 tahun. Aldy adalah anak yang tidak banyak bicara, namun pembawaannya terlihat lebih dewasa. Hal yang sangat kusyukuri bahwa Mas Andri mendidik anak lelakinya dengan sangat baik, sehingga Aldy di usia remajanya termasuk anak yang kalem. Dia tidak suka keluyuran dan lebih memilih menghabiskan waktunya bersama adiknya ataupun bersama kami pada saat aku dan suamiku lagi libur bekerja.
Kutatap mata Aldy yang masih merah namun aku enggan menanyakan padanya, mungkin karena pengaruh Aldy lagi demam.
“Makanlah dulu, Nak” kataku setelah menyiapkan makanan yang tadi kubawa.
“iya, Ma,” jawabnya singkat.
“Mama nengokin adikmu dulu ya ke kamarnya sekalian pamit sama Bi Ina” ucapku sambil berlalu menuju kamar anak bungsuku.
***
“Maaf bu, sepertinya anak ibu lagi banyak pikiran. Apakah di sekolahnya dibebani tugas sekolah yang berat? Anak ibu seperti lagi depresi, telapak tangannya dingin dan pandangan matanya tidak fokus. Saya menyarankan Ibu membawanya ke Psikiater," kata dokter setelah memeriksa Aldy.
WHAT??? Aku mengerutkan kening, setahuku tidak ada masalah dengan kegiatan sekolah Aldy. Dan psikiater??? Mengapa harus ke psikiater? Apakah kejiwaan Aldy bermasalah? Beribu pertanyaan melintas di benakku mendengar penjelasan dokter tadi.
Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang, kuputar musik insrument agar bisa lebih rileks. Sesekali kulirik Aldy yang lagi duduk di sampingku, tatapannya lurus kedepan tanpa ekspresi. Aku memutuskan mampir ke taman kota ada danau kecilnya, Aldy tidak protes ataupun bertanya dia hanya mengikuti langkahku. Aku harus mencari tau ada apa dengan Aldy.
“Duduk di sini dulu yuk, Nak. Mama agak capek hari ini, di kantor tadi banyak pekerjaan. Boleh kan mama rileks sebentar di taman ini,” kataku sambil mengajak Aldy duduk di kursi taman yang menghadap ke danau buatan. Aldy hanya tersenyum dan duduk. Dia belum bicara satu kata pun sejak pulang dari doker tadi.
Hening
Hening
“Ma ... Apa mama dan papa baik-baik saja?” katanya lirih membuka percakapan.
DEGGG!!! Aku terkejut dan melirik cepat kedalam matanya. Tiba-tiba Aldy memelukku erat sambil menangis sesegukan. Oh My God, ada apa ini? Baru beberapa jam yang lalu aku melihat suamiku menggandeng tangan wanita lain dan sekarang anak lelakiku bertanya dan menangis seperti ini. Sungguh aku benar-benar tidak mengerti, aku menerka – nerka apa yang terjadi. Kepalaku pusing, aku seperti mengurai benang kusut. Aku tak tau dimana ujung pangkalnya. Aldy melepaskan pelukannya padaku dan kembali duduk dengan tegak di sampingku.
“Ma, Aldy tau Mama dan Papa lagi ada masalah. Aldy beberapa kali melihat papa jalan dengan Tante Rini tanpa Mama. Aldy takut ....” Dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya dan air matanya sudah membanjiri pelupuk matanya.
Bersambung.
“Astaghfirullahaladzim ....” Aku berkali-kali mengucapkan istighfar menanggapi cerita Aldy. Aku sungguh tak menyangka dan aku tak tau apa-apa selama ini. Bahkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang kulihat tadi siang di restoran masih menggantung di benakku. Dan kini anakku mengungkapkan cerita tentang papanya yang selama ini tidak kuketahui. Ya Allah, aku bahkan belum sempat menanyakan hal ini kepada Mas Andri tapi sekarang harus menghadapi pertanyaan Aldy yang aku sendiri pun tak tau harus menjawab apa.“Kita pulang yuk, Nak. Kasian adik kamu menunggu di rumah. Tidak semua apa yang kita lihat itu seperti apa yang kita bayangkan, Nak. Aldy tau papa kan, selama ini papa adalah papa yang sangat baik bagi kalian. Sebaiknya jangan berprasangka buruk dulu sebelum memastikan semuanya. Mama dan papa baik-baik saja Nak, tidak ada yang mama sembunyikan dari kamu dan adik kamu,” ucapku kemudian, walaupun batinku sendiri ragu dengan apa yang kuucapkan.***Aku memarkirkan mobilku di samping m
Namaku Nuri Wulandari. Aku adalah anak tunggal. Ralat, aku memiliki 2 orang saudara kandung beda ibu. Namun sejak kecil aku tidak pernah tau tentang kedua kakakku itu. Mereka hampir tidak pernah berkunjung ke rumah kami. Aku hanya mengetahui keberadaan mereka dari cerita ayah dan ibuku dahulu sewaktu aku kecil. Yang kuingat, pertama dan terakhir kali aku bertemu mereka pada saat pemakaman ayahku, waktu itu usiaku baru 8 tahun. Beberapa bulan yang lalu aku mengambil cuti tahunan yang berbarengan dengan jadwal libur sekolah Aldy anakku dan pulang kerumah ibu di kampung. Kami bertiga aku, Aldy dan Nanda hampir 2 minggu berada dirumah ibu. Suatu hari, aku membersihkan gudang dirumah ibu dan menemukan beberapa catatan ayah serta diary usang milik ibu di masa mudanya. Iseng kubuka buku usang yang berisi catatan pesanan pelanggan konfeksi ayah. Ya, ayah dulunya membuka usaha konfeksi setelah resign dari profesinya sebagai guru, ini cerita yg kudengar dari ibu bahwa sebelum aku lahir ayah ada
Kulangkahkan kakiku memasuki kantor Mas Andri. Para karyawan menyapaku dengan ramah. Hari ini hari Sabtu, kantorku libur di hari sabtu tapi bukan hari libur untuk Mas Andri, perusahaannya hanya libur di hari Minggu dan tanggal merah. Aku mememcet tombol lift dan menunggu, ruangan Mas Andri ada di lantai 3. Lama menunggu, dari arah sebelah kiriku kulihat Rini yang sedang berjalan membawa beberapa berkas. Dia terlihat begitu senang melihatku kemudian tersenyum dan menghampiriku."Mbak Nuri, masya Allah Rini kangen sama Mbak. Gimana kabarnya Mbak Nuri dan anak-anak soleh solehanya?" sapanya riang sambil menyalamiku kemudian cipika - cipiki."Baik Rin, anak-anak juga kabarnya baik. Kamu sendiri apa kabar, Rin? Kamu sekarang terlihat lebih cantik dan lebih segar," jawabku sambil memperhatikan penampilannya. Rini memakai gamis dan jilbabnya terjulur panjang menutupi dadanya. Penampilannya jauh lebih agamis dibanding pertama kali aku mengajaknya ke kota ini. Aku tersenyum padanya."Alhamdul
Lembaga Pemasyarakatan.Aku duduk dengan gelisah menunggu pertemuan pertamaku dengan kakakku Rizal Arifin yang sedang menjalani hukuman di Lapas ini. "Mas, kita pulang aja yuk.Aku nggak yakin dia mau bertemu denganku," ucapku lirih."Tenang, Dik, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Lebih baik memastikan lebih dahulu dari pada menyimpulkan sendiri. Kita tunggu beliau keluar ya." Mas Andri meremas jemariku memberiku kekuatan."Saudara Rizal, Anda diberi waktu 30 menit sebelum kembali ke sel Anda." Suara tegas petugas Lapas membuyarkan lamunanku. Kulihat sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi menatap ke arahku. Mataku berkabut, aku teringat ayah. Sungguh penampilan Kak Rizal di depanku mengingatkanku pada ayah. Kembali kurasakan jariku diremas lembut oleh Mas Andri, sepertinya ia memahami jika aku sedang tidak baik-baik saja."Kak Rizal ..." gumamku lirih sambil berdiri."Duduklah, Dek," ucapnya menyuruhku duduk kembali. Dek??? Apa dia memanggilku adek? Apa dia mengingatku yang dul
Kumatikan mesin mobil kemudian menghela nafas untuk menguatkan hatiku. Aku melangkah ke arah rumah Rini. Kulihat Mas Andri duduk di kursi teras depan sedangkan Rini langsung berjalan ke arah pagar menyambutku."Assalamualaikum," sapaku. Aku merasakan suaraku bergetar saat mengucapkan salam."Walaikumsalam Mbak Nuri, ayo masuk mbak. Pak Andri ada di dalam," kata Rini."Walaikumsalam, Dik," sahut mas Andri hampir berbarengan dengan jawaban Rini.Aku berdiri tepat didepan suamiku. "Kok ada di sini mas?" tanyaku menyelidik."Ayo kita masuk dulu, Sayang, tidak enak mengobrol di luar," kata mas Andri.Akupun melangkah memasuki rumah Rini. Rumah yang menurutku lumayan bagus, sangat nyaman walaupun tidak begitu luas. Rumah ini terkesan elegan dengan penataaannya, dan yang pasti rumah ini bersih, rapi dan masih kelihatan baru.Aku duduk di sofa di ruang tamu, empuk sekali, sofanya pun terlihat masih baru. Beruntung sekali Rini dihadiahi rumah senyaman ini oleh perusahaan. Tentu saja pencapaian
Lembaga Pemasyarakatan.Aku duduk dengan gelisah menunggu pertemuan pertamaku dengan kakakku Rizal Arifin yang sedang menjalani hukuman di Lapas ini. "Mas, kita pulang aja yuk. Aku nggak yakin dia mau bertemu denganku," ucapku lirih."Tenang, Dik, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Lebih baik memastikan lebih dahulu dari pada menyimpulkan sendiri. Kita tunggu beliau keluar ya." Mas Andri meremas jemariku memberiku kekuatan."Saudara Rizal, Anda diberi waktu 30 menit sebelum kembali ke sel Anda." Suara tegas petugas Lapas membuyarkan lamunanku. Kulihat sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi menatap ke arahku. Mataku berkabut, aku teringat ayah. Sungguh penampilan Kak Rizal di depanku mengingatkanku pada ayah. Kembali kurasakan jariku diremas lembut oleh Mas Andri, sepertinya ia memahami jika aku sedang tidak baik-baik saja."Kak Rizal ...," gumamku lirih sambil berdiri."Duduklah, Dek," ucapnya menyuruhku duduk kembali. Dek??? Apa dia memanggilku adek? Apa dia mengingatku yang d
"Dik, kemarin mau bahas apa dengan Rini?" Suara Mas Andri memecah kesunyian di mobil saat kami berdua pulang dari Lapas."Ada sesuatu yang ingin kupastikan padanya, Mas. Kenapa? Tumben mas jadi 'kepo' gini?" Aku menoleh padanya."Hehe gak boleh ngomong gitu, Dik. Bukankah Mas suamimu, Mas harap kamu tidak melakukan hal yang aneh-aneh ya, Dik." Tangan kirinya mengusap pahaku sedang tangan kanannya memegang stir. Aku kembali menoleh."Aneh-aneh gimana maksudnya, Mas? Kenapa juga aku harus aneh? Kurasa Mas deh yang aneh sekarang," sahutku ketus."Ya sudahlah, Dik. Kita nggak usah bahas 'keanehan' lagi," katanya sambil tertawa. Aku terdiam, tidak ada yang lucu menurutku, malah sekarang aku merasa makin tertantang untuk menyelidiki ada apa sebenarnya antara Mas Andri dan Rini.***Drrrtttt... ddrrtttt... Ponselku berbunyi. Kulihat Rini memanggil."Asalamualaikum, Rin.""Walaikumsalam Mbak Nuri. Mbak sibuk kah? Rini mau ketemu Mbak ada yang ingin Rini sampaikan," capnya "Mbak masih di kant
Kumatikan mesin mobil kemudian menghela napas untuk menguatkan hatiku. Aku melangkah ke arah rumah Rini. Kulihat Mas Andri duduk di kursi teras depan sedangkan Rini langsung berjalan ke arah pagar menyambutku."Assalamualaikum," sapaku. Kurasakan suaraku bergetar saat mengucapkan salam."Walaikumsalam Mbak Nuri, ayo masuk, Mbak. Pak Andri ada di dalam," kata Rini."Walaikumsalam, Dik," sahut mas Andri hampir berbarengan dengan jawaban Rini.Aku berdiri tepat di depan suamiku. "Kok ada di sini mas?" tanyaku menyelidik."Ayo kita masuk dulu, Sayang, tidak enak mengobrol di luar," kata mas Andri.Akupun melangkah memasuki rumah Rini. Rumah yang menurutku lumayan bagus, sangat nyaman walaupun tidak begitu luas. Rumah ini terkesan elegan dengan penataaannya, dan yang pasti rumah ini bersih, rapi dan masih kelihatan baru.Aku duduk di sofa di ruang tamu, empuk sekali, sofanya pun terlihat masih baru. Beruntung sekali Rini dihadiahi rumah senyaman ini oleh perusahaan. Tentu saja pencapaianny
“Bang, pulang yuk! Kita nggak dianggap di sini. Dunia serasa milik mereka berdua tuh.” Andin menyebikkan bibirnya sambil menoleh pada Rizal.“Jangan pulang dulu dong, Ndin. Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Nuri.“Apaan? Asal jangan meminta bayi dalam kandunganku. Kamu kan udah dapat bonus bayi dari Mas Andri.”“Sayang!” Rizal menegur lembut istrinya sambil menggelengkan kepalanya. Dia takut Andri tersinggung dengan ucapan istrinya.“Nggak apa-apa. Aku sangat terhibur dengan kalian berdua,” ucap Andri yang mengerti maksud Rizal.“Jadi minta apa, Ri?” tanya Andin.“Untuk beberapa hari kedepan bisa nggak kalian menginap di sini dulu menemani Ibu dan anak – anak.”“Maksud kamu, Ri?”“Aku dan Mas Andri berencana untuk berlibur keluar kota beberapa hari.”“Jadi kamu setuju, Dik?” tanya Andri dengan tatapan berbinar –binar.“Iya, Mas. Semoga anak-anak juga mengizinkan, ya.”“Wuihhh, aku cemburu pada kalian berdua. Yang pengantin baru siapa yang bulan madu siapa!” Andin kembali mengerucu
“Tapi kita bukan pasangan pengantin baru, Mas.” Protes Nuri. Wajahnya sedikit bersemu merah menerima tatapan menggoda dari suaminya.“Bagiku kita adalah pengantin baru, Sayang. Dan akan selalu begitu. Kita akan menjalani hari-hari kedepan seperti pengantin baru setiap harinya. Kamu mau kan?” Andri menarik mengencangkan pelukannya di bahu Nuri yang membuat tubuh wanita itu masuk kedalam dekapannya. Andri mencium pucuk kepala Nuri. “Boleh minta lagi nggak?” tanyanya mengedipkan mata.“Aku ke sini buat manggil sarapan, Mas. Ayo, sepertinya yang lain sudah menunggu kita.” Nuri menjauhkan tubuhnya. Dia pun sebenarnya susah payah menahan hasratnya untuk tetap berada dalam dekapan hangat suaminya.“Ah, padahal aku ingin sarapan yang lain.” Andri masih menggodanya.“Udah ah, Mas!”“Makanya kamu ambil cuti ya, Dik. Kita liburan berdua.”“Kita bicarakan nanti ya, Mas. Yuk, sarapan dulu.” “Morning kiss dulu, dong,” pinta Andri memajukan bibirnya.Cup! Nuri mengecupnya sekilas. Mata Andri berbin
Kembali Andri dan Nuri tak sanggup menahan keharuan ketika mereka bersujud dalam salat, sajadah keduanya basah dengan air mata penuh rasa syukur atas semua yang sudah mereka lalui.“Aku mencintaimu, Nuri-ku. Perasaanku tidak pernah berkurang meski takdir memisahkanku darimu,” ucap Andri lembut dan memberi kecupan pada kening Nuri setelah mereka melewati malam panjang berdua.“Aku juga mencintaimu, Mas,” jawab Nuri manja sambil menyandarkan kepalanya di dada lelaki yang tak pernah pergi dari hatinya itu.“Sarapan apa pagi ini, Bi?” tanya Nuri pada Bi Ina yang sedang sibuk di dapur.“Ini lagi bikin nasi goreng, pancake dan roti bakar, Bu.”“Ooh, ada yang pesan nasi goreng, Bi? Nggak biasanya sarapan nasi goreng.”“Nggak ada yang pesan, Bu. Bibi hanya membuat nasi goreng kesukaan Pak Andri.”Nuri tersenyum. Beruntung sekali dia dulu menerima Bi Ina ketika seorang keluarga jauhnya merekomendasikan Bi Ina saat Nuri sedang mencari tenaga ART. Bi Ina orang yang jujur, baik dan sangat menyaya
Andri mengetuk pintu kamar Nuri kemudian membukanya perlahan. Nuri yang sedang merapikan beberapa barang diatas meja riasnya menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat kehadiran Andri di sana.“Silakan masuk, Mas. Maaf aku masih merapikan beberapa barang yang tadi berantakan di sini,” ucapnya.“Mau kubantu, Dik?” tanya Andri.“Nggak usah, Mas. Sebentar lagi beres kok. Oiya, ibu masih nginap di sini?”“Ibu sudah pulang ke rumah, Dik. Katanya nggak bawa baju ganti jadi tadi minta antar pulang. Maaf nggak sempatin pamit, tadi ibu nyari kamu untuk berpamitan tapi sepertinya kamu sedang mandi tadi.”“Oh, nggak apa-apa, Mas. Insya Allah besok kita jemput ibu lagi ke sana. Kasian beliau sendirian di sana.”“Iya, Dik. Besok aku ada janji dengan perawat Bilqis juga dan ibu juga ingin ikut menengok Bilqis.”Nuri mengangguk tersenyum. “Besok kita ke sana bersama-sama ya, Mas.”“Teririma kasih, Sayang,” ucap Andri dengan suara serak. Nuri tersipu malu mendengar kata ‘sayang’ bibir lelaki itu. P
Rizal tersenyum bahagia melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Nuri. 'Aku akan menebus kesalahanku padamu dengan menjaga Nuri, Ayah. Aku melihat senyummu di balik senyumannya,' batin Rizal. Setelah tamu satu persatau mulai meninggalkan rumah Nuri, Andri dan Nuri yang sedang duduk bersantai di ruang tengah terkejut dengan kemunculan Bi Ina dengan deraian air mata di sana.Bi Ina sedari tadi tidak kelihatan diantara para tamu karena sibuk di belakang. Dengan deraian air matanya, Bi Ina memberi selamat pada kedua majikan yang begitu dihormatinya itu.“Bi Ina kok nangis gitu? Nggak suka saya balik ke rumah ini lagi?” tanya Andri sengaja bercanda. Dia tau Bi Ina dari dulu sangat berharap dia kembali ke rumah ini. Bi Ina bahkan beberapa kali menangis memohon padanya agar majikannya itu kembali bersama seperti dulu lagi.“Tidak, Pak. Justru sebaliknya saya sangat bahagia. Saya bahagia melihat keluarga Pak Andri dan Bu Nuri kembali bersatu. Ini adalah impian saya selama ini. Saya hanya
Andri dan Nuri serta Aldy dan Nanda masih berkeliling menyapa semua keluarga mereka yang hadir di rumah Nuri. Bu Susi yang dari tadi hanya diam menyaksikan semua yang terjadi di sana memeluk Nuri dengan erat ketika Nuri dan Andri serta kedua anak mereka menghampirinya.Tak ada kata yang keluar dari bibir wanita tua itu, hanya terdengar tangisan lirih membungkus keharuan yang dirasakannya. Nuri pun kembali menitikkan air mata harunya dalam dekapan ibu mertuanya itu.“Ibu tak bisa berkata apa-apa, Nak. Kebahagiaan yang ibu rasakan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pemandangan ini membuat perasaan ibu sesak dengan rasa bahagia. Sayang sekali Bapak dan adikmu Nindya tak bisa menyaksikan ini,” ucap Bu Susi sambil menyeka air matanya.“Iya, Bu. Kita akan mengabari Bapak dan Nindya nanti,” sahut Nuri lembut.“Terima kasih, Bu. Andri yakin ini semua juga tak lepas dari doa – doa ibu selama ini. Terima kasih untuk selalu meminta kebahagiaan anakmu ini dalam setiap doamu Ibu,” ucap Andri d
Andri terpaku mendengar ucapan Nuri, ucapan Nuri membuatnya merasa terbang ke awan – awan. Hatinya yang tadinya sesak dengan kepedihan kini berganti sesak dengan kebahagiaan.Begitu mudahnya Allah membolak – balikkan keadaan dan hati seseorang, maka sesungguhnya kita hanya perlu berpasrah pada ketentuan-Nya. Kun Fayakun, tidak ada satu hal pun yang mustahil bagi Allah jika Dia menghendakinya.Setelah semuanya setuju, Andri duduk dengan gagahnya menggantikan posisi yang tadinya diisi Adit. Kemeja kuning pucat hadiah dari Nuri yang dikenakannya tampak serasi dengan kebaya putih kombinasi kuning gading yang digunakan Nuri.Jika dilihat sekilas, tidak akan ada yang menyangka jika posisi Andri ada di sana untuk menggantikan Adit. Semua tampak serasi, seperti telah direncanakan dengan sempurna. Ya, semua rencana Allah. Itulah yang membuat semua terlihat sempurna.“Andri Firmansyah, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid d
Ayah Andin, yang merupakan pemuka agama khusus datang dari Kalimantan memenuhi undangan anak dan menantunya untuk memberi khutbah dan wejangan pada calon pengantin. Jantung Adit berdegup kencang ketika tiba saatnya Rizal menatap tajam padanya dan menggenggam erat tangannya, sedangkan Nuri hanya duduk tertunduk di sampingnya sambil sesekali menghela napas pelan.“Danis Raditya, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Nuri Wulandari binti Muhammad Rasyid dengan maskawinnya berupa uang sebesar Lima Ratus Ribu Rupiah dan seperangkat alat sholat dibayar TUNAI!”Hening. Tidak ada jawaban dari Adit. Ujung mata pria itu melirik pada sesosok pria di sudut ruangan yang tertunduk dengan bahu terguncang naik turun sambil memangku gadis kecil yang terlihat heran melihat pria itu menangis. Bola mata Adit menatap tajam pada Rizal kemudian kembali melirik ke sudut ruangan lalu melirik Nuri yang hanya menunduk dan menunggunya mengucapkan ijab kabul.Rizal menyipitkan m
Andri membuka lemari pakaiannya dan memilih kemeja berwarna kuning pucat yang merupakan kemeja favoritnya. Kemeja itu menjadi hadiah ulang tahun terakhir yang dihadiahkan Nuri padanya sebelum akhirnya takdir memisahkan mereka. Bu Aisyah, Aldy dan beberapa kerabat Nuri menyambut kehadiran Bu Susi dan Andri ketika mereka ibu dan anak itu tiba di sana. Bu Aisyah tampak ramah seperti biasanya mengajak Bu Susi mengobrol membicarakan beberapa hal. Sementara perhatian beberapa orang yang ada disana terpusat pada Andri ketika pria itu datang. Nuri hanya mengundang beberapa keluarga dekatnya, dan mereka semua yang ada disana mengetahui siapa Andri. Aldy yang menyambut kedatangan papanya mengajak Andri masuk kedalam rumah dan memilih menemani papanya itu duduk di pojok ruangan. Beberapa orang terlihat hilir mudik mempersiapkan keperluan acara. Rizal menghampiri Andri ketika melihat lelaki itu duduk di pojok ruangan ditemani Aldy. Rizal dan Andri terlibat perbincangan ringan beberapa saat sebe