"Nggak! Bukan gue yang dorong Alin!" Viana tertahan sambil menutup telinganya dengan kedua mata terpejam. Kedua bahunya bergetar ketakutan kala bayangan masa lalunya berputar bagai kaset rusak. Viana dengan trauma nasa lalunya tidak ada yang tahu selain Viana dan keluarganya. Dulu Viana yang terpuruk setelah kehilangan Alesha, ditambah mendapatkan perundungan di sekolah. Rasa iri di tengah teman-teman sekolahnya yang masih memiliki sosok Ibu. Di tambah dengan teman-temannya yang mengejek Viana kecil danmenjauhi Viana karena tidak memiliki sosok Ibu. "Seharusnya lo dikeluarin dari sekolah, anjing!"Teriakan murid itu memasuki indra pendengaran Viana. Padahal dia sudah menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangannya. "Mentang-mentang bokap lo donatur tetap! Jadi, lo bisa bertingkah kaya sebangsat itu!"Makian pedas dengan lemparan tomat dan juga telur busuk mengenai Viana. Dari ujung kepala sampai ujung kaki Viana dipenuhi oleh tomat busuk dan pecahan telur. Bau busuk membuat
"Masih nggak percaya sama ucapan gue?" Sagara menyapu pandang ke seluruh kantin. Reflek para murid yang semula menatap ke arah Sagara kini menunduk kala Sagara menatap mereka satu persatu. "Omong kosong, anjir! Lo tanya bukti sama gue? Tapi, lo juga nggak ngasih bukti atas omong kosong lo itu!"Meylani melupakan rasa takutnya pada Sagara. Dia memaksakan diri untuk melawan Sagara. Sagara mengangguk dengan tangan yang mengepal semakin kuat. "Gue bakal buktiin ke kalian, tapi nanti!"Setelah itu dia berbalik dengan amarah yang tertahan. Dia tidak bisa melampiaskan emosinya pada Meylani. Dia takut jika dirinya akan kebablasan dan menyakiti Meylani. Bukan apa-apa dia hanya tidak ingin menyakiti perempuan. Dia keluar dari kantin dengan langkah lebar. Sagara mengeluarkan ponsel dari saku celananya untuk menghubungi sahabatnya. Tadi dia menyuruh Satya untuk membeli seragam di koperasi untuk Viana. Dia juga menyuruh Danish dan Kenzo untuk mencari tahu bukti kejadian Alin terjatuh. "Sagara
"Tolong siapapun Viana pingsan!" Teriakan Rachell dari dalam kamar mandi membuat Satya yang sejak tadi menunggu di luar. Segera masuk dengan tergopoh-gopoh. Dia terkejut saat melihat Viana pingsan dengan kepala di pangkuan Rachell. "Satya, tolong bawa Viana ke UKS!" Seyra bangkit menatap penuh permohonan pada Satya. Dia bersyukur ternyata Satya masih ada di dekat toilet perempuan. Sehingga teriakan penuh kepanikan Rachell terdengar oleh Satya.Satya tersadar dari rasa terkejutnya. Dia mengangguk pada Seyra, kemudian mendekat pada Viana. Bersiap untuk mengangkat gadis itu untuk dibawa ke UKS. "Biar gue aja!"Kedatangan Sagara menghentikan pergerakan Satya. Sagara menyuruh Satya untuk menyikir, dia yang akan membawa Viana ke UKS. Tanpa mengucapkan apapun lagi, Sagara segera mengangkat tubuh Viana keluar dari toilet. Dia sedikit berlari menuju UKS dengan Viana dalam gendongannya. Wajah yang dipenuhi oleh rasa panik penuh kekhawatiran tak bisa ditutupi lagi. Semua murid yang berpapas
"Viana? Lo miskin, hah? Sampe nggak bisa makan lo!" Seyra segera melempar pertanyaan pada Viana yang baru saja membuka mata. Kanara yang kesal pada Seyra, menarik gadis itu ke belakang. Kanara yang berjalan mendekat pada Viana, dan menyerahkan teh hangat pada sahabatnya itu. "Di minum dulu, Vi!" Viana mencoba untuk duduk di bantu oleh Kanara. Tubuhnya benar-benar lemas, dia tidak memiliki tenaga untuk membuka suara. Viana menerima gelas berisi teh hangat mulai menyeruputnya dengan pelan. Dia menatap sekitar UKS mencari sosok Sagara ternyata nihil. Hanya ada Kanara dan Seyra saja di sini. "Lo cari Rachell? Dia lagi ke kantin, Vi beliin makanan buat lo!" Kanara mengira jika Viana mencari Rachell. Kenyataanya yang dicari Viana itu Sagara yang beberapa saat lalu memilih untuk keluar. Tidak ingin menunggu Viana sadar terlebih dahulu. Dan ketiga sahabat Viana tidak mencegahnya, justru mereka senang. Sejak tadi Rachell tampak tak nyaman dengan adanya Satya bersama Sagara. "Lo
"Ayo, pulang!" Sagara menarik lembut tangan Viana, lalu berjalan membelah kerumunan murid yang sejak tadi membicarakannya. Kedatangan Sagara di kelas Viana menimbulkan banyak pertanyaan di benak para murid. Bahkan di depan kelas Viana dikerumunin murid-murid kelas lain karena adanya Sagara dan ketiga sahabatnya. "Kenapa lo sampe jemput gue di depan kelas segala?" Viana menarik kembali tanganny dari Sagara. Dia menatap bingung Sagara, sambil melirik sekitar yang memperhatikan mereka sambil berbisik. Membicarakan tentang argumen mereka tentang Viana dan Sagara yang tentunya tidak benar. Ucapan pedas dari beberapa murid masih bisa Viana dengar. Di sini Viana tahu disaat dia sedang dalam masalah seperti ini. Murid-murid yang dulunya selalu memuja Viana dan membela Viana ketika Viana melakukan kesalahan. Kini menunjukan sifat asli mereka yang begitu membenci Viana, cukup mengejutkan bagi Viana. Dia baru menyadari jika tidak ada yang benar-benar tulus padanya, selain ketiga sahabatnya
"Ini mobil siapa, Gar?" Viana menatap mobil BMW X3 berwarna hitam di parkiran sekolah. Dia terkejut saat Sagara dengan mudahnya membuka kunci mobilnya."Mobil Satya! Gue pinjem dulu buat nganterin lo pulang!"Sagara masih dengan rangkulannya pada bahu Viana. Dia membawa Viana mendekati kuris penumpang. Sagara melepaskan rangkulannya pada Viana, lalu membukakan pintu untuk Viana. "Cepet masuk, Vi!" Sagara mempersilahkan Viana untuk masuk ke mobil dengan segera. Ini pertama kalinya Sagara bersikap seperti ini. Membukakan pintu mobil hanya pada Viana saja. "Hah?" Viana seperti orang linglung. Dia menatap Sagara menuntut penjelasan. Dia beneran tidak mengerti, untuk apa Sagara meminjam mobil pada Satya jika Sagara saja membawa motor pagi ini."Apanya yang 'hah'?"Sagara mernyengitkan alisnya bingung. Kenapa Viana diam saja tidak segera masuk? Dia mulai kesal dengan tatapan para murid yang kini memperhatikan Sagara dan juga Viana. Mereka benar-benar manusia dengan tingkat kekepoan pal
"Oh, Tuhan!" Viana mundur 2 langkah saat membuka loker miliknya kumpulan kertas berjatuhan seketika. Viana menutup hidungnya dengan rapat kala bau busuk memasuki indra penciumannya. Viana membungkuk memungut gumpalan kertas yang jatuh di dekat sepatunya. Dia membukanya, lalu mernyengir bingung membaca kalimat yang tertulis dengan tinta merah."Kamu mati?" Viana meremas kembali kertas tersebut seperti semula. Dia melirik sskitar yang memperhatikan Viana. "Apa sih, isi lokernya kenapa bau busuk banget?" Bisikan salah satu siswi yang berdiri di ujung dapat di dengar oleh Viana. "Nggak tau! Pergi aja, yuk!" Siswi satunya segera menarik temannya untuk pergi dari sini. Tak tahan dengan bau busuk yang berasal dari loker Viana. Kedua siswi itu saja tidak tahan, bagaimana dengan Viana?Perut gadis itu sudah bergejolak sejak tadi, rasanya mual sekali mencium bau busuk dari dalam lokernya. Sambil menahan rasa mual, Viana mengeluarkan semua gumpalan kertas dari dalam loker. "Sialan!" Via
"Buku sejarah saya ketinggalan di rumah. Makanya saya mau Mabil buku di loker, saya kaget pas pertama kali buka gumpalan kertas langsung keluar."Viana menarik napas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya lagi. "Saya nyium bau busuk dari dalem loker, pas saya keluarin semua kertas itu saya kaget pas liat ada bangkai tikus!"Viana meremas ujung rok yang dikenakannya. Dia masih dilanda rasa syok dengan apa yang dia alami pagi ini. Siapa yang tega mengirim bangkai tikus di lokernya?"Loker kamu isinya apa aja sebelumnya?" Bu Ajeng menatap muridnya yang kini masih terlihat gemetar, tapi tak separah tadi. "Saya jarang buka loker, Bu selama ini. Saya juga cuma naruh buku tulis satu aja di sana!" Viana dengan cepat menjawab pertanyaan Bu Ajeng. Semua pertanyaan berputar di kepalanya, dia memikirkan siapa pengirim bangkai tikus tersebut. Saat ini Viana memiliki banyak pembenci di sekolah, tapi dia tidak bisa asal menuduh salah satu dari mereka yang mengirimkan teror pagi ini.Bu Ajeng mern
"Pergi, brengsek! Gue nggak butuh lo!"Viana berteriak mengusir Ravin agar pergi dari hadapannya. Dia menolak saat pria itu ingin menenangkan dirinya yang tengah menangis. Kondisi perempuan itu begitu kacau, rambutnya yang berantakan, serta wajahnya yang memerah dipenuhi oleh air mata, serta seragamnya yang sudah keluar tidak rapi lagi. Penampilan Viana sangat mengenaskan saat ini. "Viana, tolong jangan keras kepala dulu! Aku tau kamu marah sama aku, tapi tolong biarin aku anterin kamu pulang!"Ravin kembali mendekat dengan jaket miliknya yang ingin dia kenakan pada Viana. Ravin rela melepaskan jaket pada tubuhnya dan menyerahkan pada Viana. Tapi, gadis yang kini bukan lagi kekasihnya itu menolak niat baiknya dengan kasar. Padahal apa yang Ravin lakukan saat ini begitu tulus. Viana mengangkat wajahnya yang kini dipenuhi oleh air mata yang terus mengalir dari pipinya. Dia mengusapnya dengan kasar air mata yang tak kunjung berhenti itu. "Nggak usah sok baik, brengsek. Sikap lo yang p
"Agatha!" Suara yang tampak familiar di telinga Agatha terdengar marah. Wanita yang tengah mengandung itu terkejut dan membalikan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak saat melihat sosok Ravin berdiri menjulang dengan jarak dekat. "Ravin?" Agatha tidak bisa menyembunyikan keterkejutanya. Wanita itu sampai menutup mulutnya saking syoknya dengan kehadiran Ravin di sini. Dua detik setelahnya keterkejutan Agatha berubah kepanikan. "Apa yang lo lakuin sama pacar gue, Agatha?!" Ravin menatap Agatha begitu tajam. Membuat wanita itu bergetar ketakutan. "Pacar? Bukannya Viana sama kamu udah putus?" Meskipun takut Agatha tetap membalas pertanyaan Ravij dengan pertanyaan lain. "Inget, ya, Vin. Bayi yang ada di dalam perut aku itu anak kamu, seharusnya kamu sekarang tanggung jawab atas perbuatan kamu ke aku. Bukan malah mikirin perempuan murahan itu!" Mendengar ucapan Agatha yang mengatakan Viana perempuan murahan. Membuat Ravin naik pitam, wajahnya seketika mengeras. "Tutup mulut lo, b
"Lo iblis, Agatha! Gue salah apa sama lo?" Viana memegangi kepalanya yang terasa pening. Pandangan dia sedikit memburam, tapi Viana berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya. "Lo yang buat Ravin nggak mau tanggung jawab sama gue!" Agatha menatap penuh dendam pada Viana. Itu alasan dirinya yang mengajak Viana untuk bertemu agar rencana yang dia susun dilakukan lebih mudah. Agatha sangat menginginkan kehancuran Viana, dia ingin Viana merasakan apa yang terjadi padanya saat ini. Masa depannya hancur karena dia hamil di luar nikah, dia harus menjadi Ibu muda di saat perempuan seumuran dengannya masih menikmati masa-masa SMA. Hal yang memperparah keadaannya saat ini, Ravin menolak bertanggung jawab setelah membuat dirinya hamil. "Lo nyalahin gue?" Viana menatap tak percaya pada Agatha. "Gue nggak ada urusan sama Ravin dan lo, Agatha! Kenapa Lo jadi nyalahin gue?" "Jelas salah lo, Viana! Kalo lo nggak pernah muncul di kehidupan Ravin, mungkin dari dulu gue udah bahagia
"Mau Ravin tanggung jawab sama lo atau nggak itu bukan urusan gue!" Viana melipatkan kedua tangannya di depan dada. Gadis itu justru tersenyum lebar seakan memuas pada Agatha yang kini mencak-mencak di depannya. Viana tahu bahwa dirinya jahat saat bahagia mendengar Ravin yang tidak ingin bertanggung jawab atas perbuatannya pada Agatha. Mengakibatkan perempuan itu hamil di usianya yang masih sangat muda. Namun, rasa sakit hati dan kebenciannya yang kini tersemat pada dadanya pada Agatha dan juga mantan kekasihnya itu membuat Viana merasa bahagia di atas penderitaan Agatha. Viana menyalahkan Agatha yang menjadi penyebab utama hubungannya dengan Ravin kandas. Pasalnya, Viana sangat yakin apabila Agatha tidak menggoda Ravin terlebih dahulu mereka tidak akan menjalin sebuah hubungan perselingkuhan di belakang Viana. Namun, bukan karena dia menyalahkan Agatha, Ravin tidak salah sama sekali, ya. Ravin juga salah, karena pria itu yang dengan mudahnya terpancing oleh godaan perempuan muraha
"Hai, Viana! Udah lama kita nggak ketemu!" Agatha muncul dari belakang tubuh Viana, suaranya begitu ceria menyambut kehadiran sahabat lamanya. Dia berdiri di depan Viana, dengan senyum manis yang menyimpan segala rencana buruk di baliknya. "Lo mau apa? Gue nggak ada waktu banyak buat ladenin jalang kaya lo!" Viana menatap angkuh pada Agatha. Dia mengabaikan basa-basi Agatha yang memuakan. Alasan dia ke sini atas permintaan Agatha, yang menelpon dirinya saat berada di lobby apartement tadi. Entah apa yang membuat dia menyetujui keinginan Agatha dengan mudah. Seharusnya Viana langsung masuk ke apartement menemui Sagara dan menanyakan kebenaran Sagara yang merupakan Kakak dari Alin. Namun, tepat pada pukul 07.24 malam kota Swinden. Viana justru berdiri berhadapan dengan Agatha di depan sebuah rumah yang sudah tak terpakai lagi. Dinding-dinding rumah yang dipenuhi oleh jamur, pintu kayu yang sudah hancur, kaca jendela yang pecah dan berserakan di lantai, dan lantai yang sudah kot
"Papa nggak mau tau kamu harus nerima kehadiran Alisha sebagai Mama kamu! Dia lagi hamil adik kamu, Viana!" Arthur menggenggam tangan Alisha dengan lembut. Dia mengusap punggung tangan Alisha dengan ibu jarinya. Tatapannya tak lepas dari Viana yang kini sudah menangis. "Nggak akan pernah, Pa! Sampai kapanpun, aku nggak bakal nerima ini!" Viana menggeleng berkali-kali dengan dadanya yang terasa sesak. Dia begitu syok atas apa yng terjadi pada Arthur dan Alisha. Mereka menikah selama ini di belakang Viana. Sungguh hal yang sangat mengejutkan untuk Viana. "Viana, jangan keras kepala!" Arthur menatap penuh ancaman pada Viana. "Aku nggak nyangka Papa semudah itu lupain Mama! Aku nggak pernah nyangka kalo Papa bakal cari wanita lain buat gantiin posisi Mama! Dan aku lebih nggak nyangka lagi kalo wanita itu adik Mama sendiri!" Viana menatap Arthur dan Alisha dengan tatapan jijik. Kedua pasangan di depannya begitu menjijikan. Keduanya pintar berakting selama 2 tahun ini di
"Papa, kok bisa dateng sama Tante Alisha?" Langkah Viana yang menuruni undakan tangga seketika memelan. Dia terkejut dengan kehadiran Arthur bersama Alisha. Bi Mira hanya mengatakan jika Arthur akan pulang, tapi tidak memberitahu Alisha akan datang juga. Alisha bergerak maju memeluk Viana yang sudah berdiri di depannya. Viana menggunakan sweater berwarna putih dengan bawahan celana pendek di atas lutut. "Hi, Viana, gimana kabar kamu?" Alisha menyala Viaan dengan suara lembut. "Aku baik, Tante sendiri gimana?" Viana bertanya balik dengan raut kebingungan. Apakah ini hanya sebuah kebetulan saja mereka datang bersamaan? Atau mereka sudah janjian untuk kembali ke kota Swinden bersama? Arthur menyela perbincangan Viana dan juga Alisha. "Viana, ada yang mau Papa bicarain sama kamu!" Arthur mulai duduk di sofa tunggal sambil mengangkat satu kaki di atas paha. Dia menyuruh Viana dan Alisha duduk di sofa panjangan beriringan. Viana menanti ucapan yang keluar dsri mulut Arthur denga
"Ini rumah Mama gue, Gar!" Viana mulai berjongkok di depan makam dengan batu nisan bertuliskan nama Alesha Kayline. Wanita berhati malaikat yang sudah melahirkan Viana ke dunia yang penuh kejutan ini."Halo, Mama, maaf, ya, Nana baru bisa dateng lagi!" Viana mengusap batu nisan Alesha dengan lembut. Dia meletakan bunga mawar putih di atasnya. Sagara ikutan berjongkok di samping Viana. "Hallo, Mama, saya Sagara suami Viana!" Viana terkejut mendengar Sagara yang memanggil Alesha dengan sebutan Mama. Bukannya tidak boleh hanya saja dia tidak menyangka saja. Sagara akan secepat itu tanpa rasa canggung. Viana berdehem pelan, dia menatap gundukan tanah di depannya lagi. "Mama, Nana kangen sama Mama. Papa masih kaya yang terakhir aku ceritain ke Mama. Papa jarang ada di rumah buat Nana. Papa nggak pernah peduli sama Nana lagi!"Tanpa sadar air mata Viana menetes membahasi pipinya. Sudah lama dia tidak mengunjungi makam Alesha. Dulu minimal 2 Minggu sekali dia datang. Terakhir dia datan
"Gue udah tau kalo dia selingkuh!"Viana menatap datar selembar foto yang disodorkan oleh Ajeng. Foto mesra Ravin dan Agatha di sebuah kamar apartement. Dia melirik mading yang dipenuhi oleh foto tidak seonoh Ravin dan Agatha lainnya. Bohong, jika Viana mengatakan dia baik-baik saja. Masih ada sedikit sisa perasaan untuk Ravin, tapi rasa kecewa dan sakit lebih besar dari itu. Rasa cinta Viana yang begitu besar dihancurkan oleh Ravin begitu saja dengan mudah. "Ayo, gue anter ke kelas!" Sagara merangkul Viana dan membawa gadis itu menjauh dari kerumunan. Dia tidak terkejut dengan foto-foto Ravin dengan Agatha di mading. Karena semua itu adalah ulahnya. Dia menyuruh Satya untuk menempelkan foto Ravin dan Agatha yang dikirimkan oleh nomor asing dua minggu yang lalu.Viana mendongak menatap Sagara dengan senyum manis. "Ayo, tapi gue mau ke kantin dulu!" Sagara mengacak pelan rambut Viana, lalu dia segera melangkah menjauhi para murid yang menatapnya tak berkedip."Serius? Dia biasa aja