Beberapa waktu sebelumnya, Novela berhenti di depan salah satu apotik di pinggir jalan raya. Sejenak dia ragu tentang obat yang harus dibelinya. "Kenapa kamu diam? Kamu nggak jadi turun? Apa nggak jadi balas dendam pada Larasati?" tanya Ridho setelah sekian lama menepikan mobil dan Novela hanya terdiam di sampingnya. Novela menatap ke arah kekasih nya. "Bentar. Aku lupa nama obat nya. Aku telepon Aksara dulu," sahut Novela. Gadis itu lalu meraih ponsel dan menelepon kembarannya. Secara singkat menceriterakan semua yang terjadi pada Aksara. Kembaran nya itu tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Nov, jadi Larasati akan menjadi ibu mertua kamu? Kalau begitu aku juga menitipkan salam balaskan dendam ku dan mama pada nya. Kalau soal obat untuk mengatasi sembelit dan konstipasi, datang saja ke rumah sakit tempat ku bekerja. Akan kuresepkan puyer atau campuran obat yang pasti ampuh untuk mengatasi susah buang air besar. Bahkan bisa membuat diare di tempat." Suara Aksara terdengar bersemanga
Tapi sebelum dia pingsan, dia sempat melihat beberapa pasang mata yang merekam kejadian lamaran itu beserta tatapan jijik dari Herman dan beberapa tamu undangan lain. Tanpa pikir panjang, Larasati segera memejamkan mata, meraba perut dan kepala lalu menjatuhkan diri di lantai restoran. Brugghhh!!"Laras!" Herman berseru sambil menatap ke arah tubuh Laras yang berdebum di lantai restoran. Sekilas Herman segera berlutut, bersiap untuk untuk mengangkat tubuh Larasati. Tapi Herman segera menjauh sambil menutup hidung nya. Begitu pula beberapa karyawan dan tamu yang hendak menolong Larasati menjadi urung membantu menggotong tubuh sintal nya akibat aroma yang muncul dari ampas perut nya yang melumuri baju. Sia-sia harapan Larasati untuk segera diangkat dan dipindahkan ke tempat yang jauh dari kerumunan orang, karena orang-orang sudah jijik dengan keadaan nya. "Panggil ambulance sekarang!" Instruksi Herman tidak jelas seraya menatap ke sembarang arah. Mencari Bram, pemilik Restoran yan
Perasaan Mutia langsung bercabang dua, antara meninggalkan Damar begitu saja di jalan atau menolong nya dan memanggil ambulance.'Tinggalin saja laki-laki mokondo dan pengkhianat seperti Damar. Dia kan sudah membuatmu terluka, Mut!' Terdengar salah satu suara hatinya. 'Jangan ditinggalin! Kasihan! Paling tidak panggilkan ambulance dan polisi lebih dulu sebelum meninggalkan nya.' Suara hatinya yang lain tak mau kalah. Mutia terdiam sesaat. Sibuk menimbang-nimbang berbagai kemungkinan. "Duh, sebenarnya aku tidak ingin menolong nya karena pengkhianatan yang telah dilakukannya. Tapi di lain pihak, aku merasa kasihan dengan mas Damar yang sedang terkapar tak sadarkan diri. Gimana nih?" gumam Mutia. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan nya kencang. Ditatapnya Damar yang sedang terkapar. "Mas, okelah. Mungkin sekarang kamu bisa bernafas lega, karena aku akan menolong mu dengan memanggil ambulance dan polisi. Namun aku menjadi semakin yakin, jika karma akan datang pada orang-
Damar baru saja pulang dari rumah sakit, setelah dua hari rawat inap di sana. "Kamu sudah lapor polisi tentang pengeroyokan kemarin?" tanya Ibunya saat Damar baru saja duduk di sofa ruang tamunya. "Sudah Bu. Tenang saja.""Ibu tidak terima. Pelakunya harus dihukum berat karena telah membuat kamu babak belur seperti ini," ujar ibunya kesal. Damar hanya terdiam. Dia sedang memikirkan pekerjaan barunya. Kemarin dia telah meminta ijin pada pengawas di perusahaannya untuk ijin tidak masuk kerja tiga hari karena kondisi nya yang masih opname dengan memberikan foto luka-luka lebam dan surat ijin dari dokter, meskipun dia diijinkan untuk tidak masuk, tapi Damar tahu jika pengawasnya sebenarnya kesal karena pengawasnya juga mengomel padanya. "Kamu itu, karyawan baru kok berani-beraninya ijin tidak masuk. Untung saja kamu masuk ke perusahaan karena orang dalam. Kalau tidak, mungkin sudah dipecat. Tidak jadi diterima kerja!" gerutu pengawas di tempat kerjanya membuat nyali Damar menciut. Ap
Suasana mediasi berlangsung tegang. Damar yang melihat Mutia sekarang menjadi cantik dan terawat, menjadi berubah pikiran. Dia bertekad untuk kembali pada Mutia bagaimanapun caranya. Sedangkan Mutiapun telah bertekad ingin lepas dari Damar. "Mut, aku menyesal telah menduakanmu. Aku khilaf. Aku akui, aku memang salah. Tapi berilah aku satu kesempatan lagi. Tuhan saja maha pemaaf. Masa kamu tega tidak memaafkan suami kamu, Mut. Aku masih sangat mencintai mu!" ujar Damar meyakinkan. Pihak mediator menatap ke arah Mutia. "Bagaimana menurut mbak Mutia? Pak Damar sudah mengaku bersalah. Apa tidak sebaiknya mbak Mutia menerima nya kembali dan memberi nya kesempatan satu kali lagi?" tanya seorang laki-laki sebagai pihak mediator dari pengadilan agama. Mutia menggelengkan kepalanya. "Maaf Pak. Saya tidak bisa untuk memperbaiki pernikahan saya. Bagi saya, selingkuh itu bukan kekhilafan, tapi disengaja dengan niat. Kalau pun diberikan kesempatan, pasti akan diulangi lagi. Mungkin saja mas Da
Andi menatap wajah Herman dengan lesu. "Jadi mana uang yang akan kamu kembalikan pada perusahaan, Pak Andi? Saya sudah memberi perpanjangan waktu untuk bapak melunasi hutang korupsi," ujar Herman sambil menatap balik ke arah Andi. Andi menghela nafas panjang. "Sekarang saya tanyakan pada pak Herman. Apa pak Herman jadi membeli rumah saya untuk Larasati atau tidak? Kalau tidak jadi, saya butuh waktu lebih lama untuk menjual rumah saya melalui bank," sahut Andi akhir nya. Herman berpikir sejenak. "Tidak. Aku sudah tidak ingin membeli rumah itu. Daripada Larasati teringat terus pada rumah tangganya yang gagal bersamamu. Lebih baik, kamu jual saja rumah kamu melalui pihak bank," sahut Herman. Andi tersenyum kecut. "Kalau begitu, berikan waktu yang lebih lama untuk saya sampai rumah itu terjual.""Mana sertifikat rumah kamu. Akan kulelang rumah mu dan semua uangnya akan masuk kas perusahaan."Andi terkejut. Tampak keberatan. "Tapi pak, nilai jual rumah itu lebih dari nilai hutang saya
Heh! Jauhi anak saya!"Ridho menoleh dan melihat Andi sedang menatap dia dan Novela dengan penuh amarah. Novela mendelik melihat Andi mencengkeram pundak Ridho. "Papa? Ada hak apa papa menyuruh mas Ridho menjauhi aku?" tanya Novela kesal menatap ke arah Andi. Andi memandang Novela dengan galak. "Apa kamu tahu, siapa Ridho ini?"Novela mengernyitkan keningnya. "Memang apa urusannya hubungan saya kami dengan siapa mas Ridho?""Tentu saja ada hubungannya! Ridho itu adalah orang yang membuat papa turun jabatan! Dan papa tidak ikhlas kalau kamu mempunyai hubungan dengan laki-laki yang membuat karier papa hancur!" seru Andi dengan mengepalkan tangannya. Ridho hampir saja angkat bicara saat Novela menyahut terlebih dahulu. "Maaf, Pa. Nova sudah pernah mendengar hal itu dari mas Ridho. Soal papa turun jabatan, itu bukan salah mas Ridho, tapi salah papa sendiri. Salah papa sendiri yang telah melakukan tindakan korupsi di kantor papa. Wajar lah kalau orang yang bersalah diberi sanksi," sa
Ridho baru saja keluar dari ruangan nya saat dia terkejut melihat Andi yang berdiri di depan pintu nya. Ridho refleks bersiaga. Berjaga-jaga jika Andi akan melakukan sesuatu. "Ridho, saya minta maaf atas apa yang terjadi Minggu lalu," ucap Andi dengan sungguh-sungguh menatap Ridho. Pemuda itu mengerutkan keningnya tapi sejurus kemudian dia tersenyum. "Saya juga minta maaf kalau sempat membuat pak Andi kesal atau bersikap tidak sopan," sahut Ridho agak canggung, sementara itu dalam hatinya sibuk menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh calon mertuanya itu. "Saya akan merestui pernikahan kamu dan Novela bahkan ikhlas menjadi wali pernikahan kalian, jika kamu bersedia mengabulkan permintaanku."Mata Ridho berbinar tapi tak urung juga dia semakin bertanya-tanya apa yang akan diminta oleh Andi."Apa permintaan pak Andi pada saya?" Andi pun membisikkan sesuatu ke telinga Ridho, membuat pemuda itu mendelik. ***Ridho menekan bel pintu di depan rumah Novela, saat tak lama kemudian ga
Aksara tampak tampan mengenakan kemeja lengan panjang keemasan dan celana hitam dari bahan drill. Di samping nya tampak Mutia yang berdandan natural dengan gaun selutut warna gold dari bahan perpaduan sifon dan kain tile.Di tempat duduk depan, tampak Riska sedang duduk manis mengenakan gaun dari satin setumit dengan ditemani oleh seorang laki-laki berkebangsaan Australia. Lelaki berambut pirang dan berwajah bule itu terlihat sangat mencintai Riska. Bule itu menggenggam erat tangan Riska lalu menciumnya dengan lembut. "Acara selanjutnya adalah acara yang pasti dinanti-nantikan oleh para undangan, yaitu melempar kan buket bunga kepada para undangan. Diharap semua tamu yang ingin mendapatkan lemparan bunga segera berkumpul di depan pelaminan."Suara pembawa acara membahana dan membuat aula hotel menjadi riuh. Beberapa tamu perempuan dengan bersemangat berkumpul di depan pelaminan dengan wajah harap-harap cemas. Aksara menyenggol Mutia dan memberikan kode pada kekasih nya untuk ikut b
Novela berjalan perlahan memasuki kafe Gardenia. Hatinya berdebar kencang saat melihat laki-laki yang sangat dirindukannya. Sudah beberapa kali Novela mencoba membuka hati dan berkenalan dengan laki-laki lain di selama lebih dari enam bulan ini. Tapi entah kenapa tidak ada yang spesial seperti Ridho. Dan walaupun sudah lama sekali tidak bertemu dengan lelaki itu, Novela tetap masih hafal potongan rambut dan bentuk kepalanya sekalipun dari arah belakang. Novela menghentikan langkahnya sejenak lalu menghela nafas sebelum akhirnya dia maju lagi mendekat ke arah Ridho. "Mas Ridho."Ridho menoleh dan melihat ke arah Novela. Dua pasang mata saling menatap dengan penuh rindu. Dalam diam, tanpa kata, hanya hening di sekitarnya sudah cukup membuat sepasang anak manusia itu tahu bahwa mereka saling mencintai dan saling merindukan. "Kamu sudah datang dari tadi, Mas?" tanya Novela pelan. "Barusan kok. Oh ya, duduk Nov. Aku sudah memesan kan makanan favorit mu. Kwetiau kuah dengan jus jeruk d
Lalu kedua anggota Intel itu melompat dan membekap mulut dan memukul leher belakang anak buah Damar. "Hmmmph! Hhmphhh!"Kedua anak buah Damar yang sedang berjaga di luar pintu depan lainnya berpandangan. Mereka langsung memahami jika telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Kedua anak buah Damar langsung mencabut pistol dari pinggang mereka dan langsung menuju ke arah semak-semak tempat kedua teman mereka menghilang. Namun baru berjalan beberapa langkah, dua anggota polisi melompat dari arah belakang. Dorrr! Dorrr! Namun sayang sekali kedua anggota polisi yang terakhir hendak melakukan penyergapan, tertembak karena rupanya anak buah Damar lebih dulu menarik pelatuk nya. Kedua anggota polisi itu langsung roboh di atas rerumputan. Kedua anak buah Damar mendelik lalu menodongkan pistol ke arah kepala anggota polisi. "Jangan bergerak! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" seru salah seorang anak buah Damar.Salah seorang anak buah Damar lalu menunduk mendekat ke arah salah seorang
Beberapa saat yang lalu,"Aksa, lokasi mobil pak Damar sudah ditemukan. Dua mobil ada di kota ini. Dan satu mobil di luar kota. Saat ini sedang dikejar oleh Ragil dan anak buahnya."Aksara yang sedang duduk di mobil di samping Ridho yang sedang mengemudikan mobilnya, sontak menoleh ke arah Ridho. "Mas, minta para polisi itu untuk share loct posisi nya sekarang! Ayo kita ikuti mobil polisi itu dan menuju ke tempat Mutia!""Tapi bahaya, Aksa! Biar polisi saja yang mengurus dan menyelamatkan Mutia!""Nggak bisa, Mas! Aku tidak akan bisa makan dan minum dengan tenang kalau belum memastikan Mutia baik-baik saja."Ridho tampak berpikir sejenak. "Tapi mereka bersenjata, apa kamu tidak takut terjadi sesuatu pada diri kamu?" "Aku juga punya senjata, Mas."Aksara menengok jok tengah mobilnya dan berdiri lalu menjulurkan badannya ke belakang untuk mengambil tas olahraga dari dalam nya.Mata Ridho membeliak saat melihat isi tas milik Aksara. Sepasang senjata api lars pendek, pelurunya, stunt g
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Mas! Kamu sudah melakukan banyak hal yang membuat orang lain menderita. Kamu bukan lagi mas Damar yang aku kenal dulu!" seru Mutia tegas. Damar tertawa. "Hahaha, kamu benar sekali, Mutia. Aku memang bukan Damar yang miskin dulu. Damar yang dulu kan nggak punya apa-apa. Tapi lihatlah aku sekarang! Aku punya semuanya! Kamu bisa bahagia kalau menikah dengan ku!"Mutia terdiam sejenak. "Kalau kamu memang kaya, kenapa kamu malah ingin kembali padaku? Kamu kan bisa memilih perempuan lain yang masih gadis, ataupun janda lain yang lebih cantik dan seksi dariku kan banyak? Kenapa harus kembali padaku?! Atau kamu kan bisa kembali pada Larasati?" tanya Mutia. Damar tertawa menyeringai. "Karena aku mencintaimu, Mut!""Jangan bohong, Mas. Kalau kamua mencintaiku, kamu nggak akan selingkuh dengan Larasati! Jadi katakan saja apa alasan dan rencana kamu menculikku sampai melukai teman kosku?""Hm, nggak ada alasan khusus sih. Aku cuma merasa kalau ka
Aksara dan Ridho sampai di polres dan langsung bertemu dengan Ragil, intel polisi yang juga merupakan teman Ridho. Ragil mendengarkan penuturan Aksara dan Ridho secara sungguh-sungguh. "Baiklah ini harus diselidiki lebih lanjut. Karena masalahnya begitu kompleks, aku tidak bisa menyelesaikan hal ini sendirian. Perlu bantuan dari teman-teman ku yang lain, Dho," seru Ragil. Aksara menangkup kedua tangan Ridho. "Saya mohon tolong temukan Mutia secepatnya. Saya bersedia membayar berapapun agar Mutia ditemukan," sahut Aksara dengan sungguh-sungguh. Ragil menatap ke arah Aksara. "Saya akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan Bu Mutia. Bapak tenang dulu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan," sahut Ragil. Lalu tak kemudian Ragil meraih ponsel dan menghubungi seseorang, lalu menjauh dari Aksara dan Ridho. "Halo, Elang darat satu. Cari semua Informasi tentang lelaki bernama Damar Wiryawan dan semua aset dan alamatnya. Saya membutuhkan jawaban secepatnya."
Damar tersenyum menyeringai. Lalu segera meraih pistol yang memang telah disiapkan nya di pinggang nya lalu mengarahkan nya ke arah para penghuni kos. "Awas, kalian! Berani berteriak atau memanggil polisi, kalian akan kutembak!"Mutia dan warga kos lainnya terhenyak dan terkejut melihat perbuatan Damar. Damar segera melihat ke arah gelas berisi teh dan obat tidur di dekatnya. Lelaki itu dengan cepat mencengkeram bahu Mutia dan menodongkan pistol ke kepala Mutia. "Minum teh itu sampai habis sekarang! Atau kuledakkan kepala kamu!"Mutia terdiam. Sampai matipun dia tidak akan pernah mau minum teh dengan obat tidur itu. Mutia juga berusaha untuk mengulur waktu agar Aksara bisa membujuk Ridho untuk lapor polisi dan membuka kembali kasus adik dan ayahnya. "Heh, kenapa kamu diam, Hah! Kamu tuli, Mut? Minum tehnya atau aku tembak teman kamu ini!"Mutia terkesiap. Dalam hati bertanya-tanya apakah Damar tega menembak beneran. Tapi dia yang menduga Damar melakukan pembunu han terhadap Herman,
Beberapa saat sebelumnya, firasat Mutia yang mengatakan bahwa ada yang aneh dalam diri Damar, membuatnya mempunyai sebuah ide. Mulai dari pertemuan mereka hingga cerita Damar tentang orang yang memberikan kepercayaan pada Damar untuk mengelola tiga bentuk usahanya membuat Mutia sangat meragukan keterangan mantan suaminya itu. Maka dari itu dia meminta Damar untuk mampir ke apotik terdekat dengan alasan membeli obat merah dan plester untuk Damar padahal Mutia juga membeli obat tidur. Untung saja Damar tidak ikut masuk ke dalam apotik, dan bersedia menunggu di mobil. Sesampainya di kos miliknya Mutia segera turun dari mobil Damar dan menuju ke kamarnya. Mutia yang beralasan mengisi ulang ponselnya ternyata menelepon Aksara. "Halo, apa kamu sibuk, Mas?" tanya Mutia terdengar panik. "Baru saja jalan ke klinik. Mau praktek di klinik. Kenapa, Mut?""Aku bertemu dengan mas Damar.""Astaga, Damar mantan suami kamu itu?""Iya. Dan kejadian nya sangat aneh, Mas. Apa kamu ada waktu untuk me
Mutia tercengang mendengar kata-kata Damar. Setahu Mutia, saat dia terakhir bertemu dengan Damar, Damar dan ibunya sedang mengemis di jalan. Mendadak sebuah ide melintas di kepala Mutia. Diam-diam dia ingin menyelidiki apakah ada hubungan motor nya yang terkena paku dengan kedatangan Damar, ataukah hanya murni sebuah kebetulan saja. Sekaligus Mutia ingin tahu bagaimana mungkin Damar bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. "Ya sudah. Ayo, Mas."Mutia berjalan mengikuti langkah Damar memasuki mobilnya dengan waspada. Begitu masuk ke dalam mobil, langsung tercium aroma wangi yang menyergap hidung Mutia. Damar menyalakan mesin dan AC mobil nya. Keheningan menyergap sesaat. "Apa kabarmu, Mutia? Aku tidak sengaja lewat daerah sini saat bermaksud menengok kost-an ku di timur jalanan ini," ujar Damar tanpa diminta. "Alhamdulillah, baik. Sekali lagi aku mengucap kan terimakasih padamu karena telah menolong ku, Mas," sahut Mutia tersenyum. "Yah, sudah kewajiban ku kan menolong kamu, Mut.""O