Larasati tercengang mendengar kata-kata Ambar. Dengan tergesa, dia menggoyang-goyangkan bahu Andi. "Mas, Mas. Bangun dulu deh. Kenapa mami kamu nyuruh-nyuruh aku bikin sarapan?" tanya Larasati. Mukanya ditekuk dan terlihat kecut. Andi mengucek-ngucek matanya. Lalu melihat ke arah jam bulat yang menempel di dinding kamar. Sementara itu suara ketukan di pintu kamar berubah menjadi gedoran. "Laras! Bangun kamu! Kamu jangan enak-enakan molor! Kok bisa nggak sungkan sama orang tua?" Andi menatap wajah Larasati. "Kamu tururin apa kata mami dong. Kasihan mami gedor-gedor pintu. Beliau sudah tua. Kamu harus banyak ngalah sama beliau."Bibir Larasati mengerucut. "Ck, Mas. Gimana sih konsepnya? Aku kan istrimu bukan pembantu lho. Kalau bi Inah pulang ke kampungnya, harusnya cari asisten rumah tangga lain dong! Masa aku yang membereskan pekerjaan rumah tangga?" tanya Larasati merajuk. "Nyari ART itu nggak mudah, nanti lah aku cari lagi. Sekarang kamu turutin dulu apa kata mami. Mas nggak i
Andi berjalan di koridor kantor nya dengan dada berdebar. "Duh, kenapa nih si Bos manggil aku?" gumam Andi bingung. Andi berdiri di depan ruangan bosnya dan menata hati beberapa saat. Di kepalanya berkecamuk pertanyaan apa kesalahannya sehingga bos memanggil nya. Tangan Andi terangkat dan mengetuk pintu ruang direktur. "Masuk."Andi lalu masuk ke dalam ruangan Herman, direkrut perusahaan nya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Andi. Herman menatapnya dengan serius. "Duduk, Pak Andi!" Andi menghela nafas lalu duduk di hadapan direktur utama perusahaan mobil itu. Herman menegakkan tubuhnya di kursi lalu menatap Andi dengan serius. "Kami mendapat laporan bahwa kamu dan tim kamu memanipulasi penjualan bulan lalu. Dan perusahaan merugi sampai 500 juta. Dan kamu sebagai ketua hanya ada dua pilihan, kembalikan uangnya atau kamu mau saya laporkan pada polisi."Andi mendelik. Dia baru ingat kalau diam-diam mengambil uang penjualan dari perusahaan nya sebagai tambahan untuk membeli
Beberapa saat sebelumnya, "Lho, kok kamu udah leha-leha sih? Kan cucian belum kamu bereskan? Rumah belum kamu bersihkan?" tanya Ambar mendelik saat melihat Larasati sedang mengecat kuku tangannya. Larasati langsung memandang mertuanya dengan menghela nafas panjang. "Haduh, Tante. Aku kan capek. Masa nggak boleh sih santai bentar. Lagian tuh Te, nggak jaman kalau sekarang itu istri masak. Istri itu yang penting bisa memuaskan suami agar suami nggak melirik ke perempuan lain," sahut Larasati cuek. "Kamu itu capek habis ngapain? Orang cuma masak mie dan telur gosong aja ngeluh. Kamu beda banget sama Mawar!"Mendengar nama Mawar disebut, Larasati yang semula berniat cuek dan acuh tak acuh pada mertuanya menjadi berani. "Duh, saya harus saingan sama lansia? Jelas bedalah saya dengan Mawar. Saya itu masih muda, cantik, seksi, lincah di ranjang, beda sama Mawar, Te. Jangan menyamakan kami dong!"Larasati memajukan bibirnya saat mendengar ocehan Ambar. "Kamu itu apa yang kamu tawarkan p
"Apa? Tidak mungkin Larasati melakukan nya? Dia tidak punya rumah untuk tinggal."Andi terdiam sejenak. "Tunggu dulu. Apa dia kerumah orang tuanya di kampung?""Mami nggak peduli Larasati dimana. Sekarang kamu cari dan suruh dia mengembalikan mobil mami!""Mami tenang dulu. Mami kan masih punya banyak aset. Bisalah beli lagi.""Apa kamu bilang? Enak aja! Itu mobil kesayangan mami. Almarhum papi kamu yang membelikan nya saat kami merayakan anniversary 25 tahun. Pokoknya kamu cari Larasati sampai dapat. Kamu itu juga aneh, kenapa maling dinikahi!""Oke. Siap. Mami tenang dulu.""Kamu ada dimana sih sekarang? Kok gak pulang-pulang?" "Cerita nya panjang. Nanti saja Andi cerita. Yang penting sekarang, Andi masih ada urusan. Nanti Andi telepon lagi, Mi."Andi segera mengakhiri panggilan teleponnya dengan sang mami. Lalu dia mencoba telepon Larasati. "Ah, diblokir! Sialan Larasati. Nanti aku yang urusan sama polisi. Untung pelapornya mau damai. Aku harus mencari sertifikat rumah Larasati u
Mutia menghela nafas panjang saat sudah masuk di dalam mobil milik Aksara sepulang dari kantor polisi. "Apa apa mbak Mut? Kok kayak berat gitu nafasnya?" tanya Aksara. Mutia tersenyum kecut. "Iya, pak. Saya sedang memikirkan alur hidup saya. Bisa-bisa nya jadi calon janda di usia 21 tahun. Nasib.""Yah, namanya juga nasib, Mbak. Kita nggak akan bisa meminta untuk berganti nasib dengan orang lain. Tapi kita bisa meminta agar Tuhan selalu menguatkan bahu kita agar kita selalu kuat menghadapi ujianNya. Ya kan Mbak?"Mutia mengangguk lalu mengacungkan kedua jempolnya ke arah Aksara. "Yap, pak Aksa benar sekali."Aksara lalu melaju kan mobilnya. "Lalu apa yang akan mbak Mutia lakukan sekarang?""Saya ingin ke bank untuk mengirimkan uang pada ibu dan adik saya, lalu ingin membuat mbanking, Pak. Sepertinya setelah saya pikir-pikir mbanking itu perlu sekali jika saya akan bekerja di sebuah instansi atau saat saya akan memulai perkuliahan," sahut Mutia. "Wah mbak Mutia benar-benar mengagum
Di dalam mobil, Aksara memutar lagu Mahalini dan menoleh ke arah Mutia. "Mbak Mut, apa pernah mendengar lagu ini?" tanya Aksara. "Pernah. Larasati pernah memutar lagu itu di hpnya.""Bisa meniru kan lagu ini nggak?" tanya Aksara seraya melajukan mobilnya keluar dari salon. Mata Mutia membeliak. "Apa menirukan lagu ini?" "Iya. Ayo dicoba dulu. Karena kalau Mbak Mutia beneran bisa nyanyi, mbak Mut akan bekerja jadi penyanyi di restoran milik teman saya," ucap Aksara membuat Mutia terkesiap. "Nyanyi di restoran, Pak?""Iya. Makanya anggap saja ini cek sound. Gih, nyanyi dulu, mbak."Mutia menghela nafas panjang dan mulai fokus mendengar kan musik lalu menirukan lagunya.Suara Mutia yang merdu membuat Aksara tersenyum dan terhanyut dalam lirik lagu Mutia. Lelaki itu mendengar kan lagu yang dibawakan oleh Mutia sampai selesai. Aksara bertepuk tangan sekilas saat Mutia menyudahi lagunya. Lalu mengacungkan dua jempol nya di hadapan Mutia. "Sepertinya kamu bakalan diterima kerja, Mbak,
Ridho melongo mendengar ucapan Novela karena setiap mendengar nama Andi, dia langsung teringat pada korupsi dan peristiwa pemukulan Andi pada nya kemarin. "Mas, mas Ridho! Kok melamun sih?" tanya Novela sambil mengibaskan tangannya di hadapan wajah Ridho. Membuat lelaki itu tergagap. "Nggak, aku cuma baru ingat kalau aku kenal dengan papamu, Yang.""Kan benar, kalau kamu pasti kenal papaku karena dia memang sudah lama bekerja di perusahaan itu. Ya sudah lupakan saja. Kita bahas yang lain karena sejak papa ku menikah lagi, aku tidak ingin lagi mengetahui kabar, maupun bertemu dengan nya lagi, Mas."Ridho manggut-manggut. "Yang, aku tahu ini mungkin bukan saat yang tepat untuk mengatakannya karena kamu juga pasti tidak ingin ikut campur dengan urusan papa kamu. Tapi aku merasa perlu mengatakan kabar terbaru tentang ayah kamu di perusahaan papaku. Karena kabarnya kurang bagus."Novela tercengang. Awalnya dia memang tidak ingin mengetahui kabar sedikit pun tentang ayahnya, tapi entah k
Seketika ruang makan menjadi hening. "Hm, kalau soal itu, mama tenang saja. Papa berpikiran terbuka. Tidak pernah melarang saya atau adik saya dalam mencari calon pendamping. Singkat nya, kami tidak punya standar khusus untuk mencari pendamping yang penting baik dan sayang sama keluarga, Ma.Lagipula papa juga duda sih. Enam bulan lalu, mama meninggal karena kecelakaan."Mawar menutup mulutnya. "Oh, maaf Ridho, mama tidak tahu."Ridho tersenyum. "Tidak apa-apa, Ma. Mama nggak salah kok."Ridho menjeda kalimatnya. "Oh, ya. Ridho ingin mengucapkan terimakasih pada Mama.""Hm, terimakasih untuk apa, Dho?""Yang pertama untuk makan malam ini. Yang kedua, terima kasih karena mama telah melahirkan seorang gadis yang cantik dan multitalenta seperti Nova."Wajah Nova memerah. "Cie, Nova. Kayak nya sebentar lagi ada yang mau dilamar nih! Wah, boleh juga gombalan kamu, Mas!" seru Aksara mengacungkan kedua jempol nya. **Andi duduk di mobilnya di depan rumah yang tampak sederhana itu. Rumah ti
Aksara tampak tampan mengenakan kemeja lengan panjang keemasan dan celana hitam dari bahan drill. Di samping nya tampak Mutia yang berdandan natural dengan gaun selutut warna gold dari bahan perpaduan sifon dan kain tile.Di tempat duduk depan, tampak Riska sedang duduk manis mengenakan gaun dari satin setumit dengan ditemani oleh seorang laki-laki berkebangsaan Australia. Lelaki berambut pirang dan berwajah bule itu terlihat sangat mencintai Riska. Bule itu menggenggam erat tangan Riska lalu menciumnya dengan lembut. "Acara selanjutnya adalah acara yang pasti dinanti-nantikan oleh para undangan, yaitu melempar kan buket bunga kepada para undangan. Diharap semua tamu yang ingin mendapatkan lemparan bunga segera berkumpul di depan pelaminan."Suara pembawa acara membahana dan membuat aula hotel menjadi riuh. Beberapa tamu perempuan dengan bersemangat berkumpul di depan pelaminan dengan wajah harap-harap cemas. Aksara menyenggol Mutia dan memberikan kode pada kekasih nya untuk ikut b
Novela berjalan perlahan memasuki kafe Gardenia. Hatinya berdebar kencang saat melihat laki-laki yang sangat dirindukannya. Sudah beberapa kali Novela mencoba membuka hati dan berkenalan dengan laki-laki lain di selama lebih dari enam bulan ini. Tapi entah kenapa tidak ada yang spesial seperti Ridho. Dan walaupun sudah lama sekali tidak bertemu dengan lelaki itu, Novela tetap masih hafal potongan rambut dan bentuk kepalanya sekalipun dari arah belakang. Novela menghentikan langkahnya sejenak lalu menghela nafas sebelum akhirnya dia maju lagi mendekat ke arah Ridho. "Mas Ridho."Ridho menoleh dan melihat ke arah Novela. Dua pasang mata saling menatap dengan penuh rindu. Dalam diam, tanpa kata, hanya hening di sekitarnya sudah cukup membuat sepasang anak manusia itu tahu bahwa mereka saling mencintai dan saling merindukan. "Kamu sudah datang dari tadi, Mas?" tanya Novela pelan. "Barusan kok. Oh ya, duduk Nov. Aku sudah memesan kan makanan favorit mu. Kwetiau kuah dengan jus jeruk d
Lalu kedua anggota Intel itu melompat dan membekap mulut dan memukul leher belakang anak buah Damar. "Hmmmph! Hhmphhh!"Kedua anak buah Damar yang sedang berjaga di luar pintu depan lainnya berpandangan. Mereka langsung memahami jika telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Kedua anak buah Damar langsung mencabut pistol dari pinggang mereka dan langsung menuju ke arah semak-semak tempat kedua teman mereka menghilang. Namun baru berjalan beberapa langkah, dua anggota polisi melompat dari arah belakang. Dorrr! Dorrr! Namun sayang sekali kedua anggota polisi yang terakhir hendak melakukan penyergapan, tertembak karena rupanya anak buah Damar lebih dulu menarik pelatuk nya. Kedua anggota polisi itu langsung roboh di atas rerumputan. Kedua anak buah Damar mendelik lalu menodongkan pistol ke arah kepala anggota polisi. "Jangan bergerak! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" seru salah seorang anak buah Damar.Salah seorang anak buah Damar lalu menunduk mendekat ke arah salah seorang
Beberapa saat yang lalu,"Aksa, lokasi mobil pak Damar sudah ditemukan. Dua mobil ada di kota ini. Dan satu mobil di luar kota. Saat ini sedang dikejar oleh Ragil dan anak buahnya."Aksara yang sedang duduk di mobil di samping Ridho yang sedang mengemudikan mobilnya, sontak menoleh ke arah Ridho. "Mas, minta para polisi itu untuk share loct posisi nya sekarang! Ayo kita ikuti mobil polisi itu dan menuju ke tempat Mutia!""Tapi bahaya, Aksa! Biar polisi saja yang mengurus dan menyelamatkan Mutia!""Nggak bisa, Mas! Aku tidak akan bisa makan dan minum dengan tenang kalau belum memastikan Mutia baik-baik saja."Ridho tampak berpikir sejenak. "Tapi mereka bersenjata, apa kamu tidak takut terjadi sesuatu pada diri kamu?" "Aku juga punya senjata, Mas."Aksara menengok jok tengah mobilnya dan berdiri lalu menjulurkan badannya ke belakang untuk mengambil tas olahraga dari dalam nya.Mata Ridho membeliak saat melihat isi tas milik Aksara. Sepasang senjata api lars pendek, pelurunya, stunt g
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Mas! Kamu sudah melakukan banyak hal yang membuat orang lain menderita. Kamu bukan lagi mas Damar yang aku kenal dulu!" seru Mutia tegas. Damar tertawa. "Hahaha, kamu benar sekali, Mutia. Aku memang bukan Damar yang miskin dulu. Damar yang dulu kan nggak punya apa-apa. Tapi lihatlah aku sekarang! Aku punya semuanya! Kamu bisa bahagia kalau menikah dengan ku!"Mutia terdiam sejenak. "Kalau kamu memang kaya, kenapa kamu malah ingin kembali padaku? Kamu kan bisa memilih perempuan lain yang masih gadis, ataupun janda lain yang lebih cantik dan seksi dariku kan banyak? Kenapa harus kembali padaku?! Atau kamu kan bisa kembali pada Larasati?" tanya Mutia. Damar tertawa menyeringai. "Karena aku mencintaimu, Mut!""Jangan bohong, Mas. Kalau kamua mencintaiku, kamu nggak akan selingkuh dengan Larasati! Jadi katakan saja apa alasan dan rencana kamu menculikku sampai melukai teman kosku?""Hm, nggak ada alasan khusus sih. Aku cuma merasa kalau ka
Aksara dan Ridho sampai di polres dan langsung bertemu dengan Ragil, intel polisi yang juga merupakan teman Ridho. Ragil mendengarkan penuturan Aksara dan Ridho secara sungguh-sungguh. "Baiklah ini harus diselidiki lebih lanjut. Karena masalahnya begitu kompleks, aku tidak bisa menyelesaikan hal ini sendirian. Perlu bantuan dari teman-teman ku yang lain, Dho," seru Ragil. Aksara menangkup kedua tangan Ridho. "Saya mohon tolong temukan Mutia secepatnya. Saya bersedia membayar berapapun agar Mutia ditemukan," sahut Aksara dengan sungguh-sungguh. Ragil menatap ke arah Aksara. "Saya akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan Bu Mutia. Bapak tenang dulu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan," sahut Ragil. Lalu tak kemudian Ragil meraih ponsel dan menghubungi seseorang, lalu menjauh dari Aksara dan Ridho. "Halo, Elang darat satu. Cari semua Informasi tentang lelaki bernama Damar Wiryawan dan semua aset dan alamatnya. Saya membutuhkan jawaban secepatnya."
Damar tersenyum menyeringai. Lalu segera meraih pistol yang memang telah disiapkan nya di pinggang nya lalu mengarahkan nya ke arah para penghuni kos. "Awas, kalian! Berani berteriak atau memanggil polisi, kalian akan kutembak!"Mutia dan warga kos lainnya terhenyak dan terkejut melihat perbuatan Damar. Damar segera melihat ke arah gelas berisi teh dan obat tidur di dekatnya. Lelaki itu dengan cepat mencengkeram bahu Mutia dan menodongkan pistol ke kepala Mutia. "Minum teh itu sampai habis sekarang! Atau kuledakkan kepala kamu!"Mutia terdiam. Sampai matipun dia tidak akan pernah mau minum teh dengan obat tidur itu. Mutia juga berusaha untuk mengulur waktu agar Aksara bisa membujuk Ridho untuk lapor polisi dan membuka kembali kasus adik dan ayahnya. "Heh, kenapa kamu diam, Hah! Kamu tuli, Mut? Minum tehnya atau aku tembak teman kamu ini!"Mutia terkesiap. Dalam hati bertanya-tanya apakah Damar tega menembak beneran. Tapi dia yang menduga Damar melakukan pembunu han terhadap Herman,
Beberapa saat sebelumnya, firasat Mutia yang mengatakan bahwa ada yang aneh dalam diri Damar, membuatnya mempunyai sebuah ide. Mulai dari pertemuan mereka hingga cerita Damar tentang orang yang memberikan kepercayaan pada Damar untuk mengelola tiga bentuk usahanya membuat Mutia sangat meragukan keterangan mantan suaminya itu. Maka dari itu dia meminta Damar untuk mampir ke apotik terdekat dengan alasan membeli obat merah dan plester untuk Damar padahal Mutia juga membeli obat tidur. Untung saja Damar tidak ikut masuk ke dalam apotik, dan bersedia menunggu di mobil. Sesampainya di kos miliknya Mutia segera turun dari mobil Damar dan menuju ke kamarnya. Mutia yang beralasan mengisi ulang ponselnya ternyata menelepon Aksara. "Halo, apa kamu sibuk, Mas?" tanya Mutia terdengar panik. "Baru saja jalan ke klinik. Mau praktek di klinik. Kenapa, Mut?""Aku bertemu dengan mas Damar.""Astaga, Damar mantan suami kamu itu?""Iya. Dan kejadian nya sangat aneh, Mas. Apa kamu ada waktu untuk me
Mutia tercengang mendengar kata-kata Damar. Setahu Mutia, saat dia terakhir bertemu dengan Damar, Damar dan ibunya sedang mengemis di jalan. Mendadak sebuah ide melintas di kepala Mutia. Diam-diam dia ingin menyelidiki apakah ada hubungan motor nya yang terkena paku dengan kedatangan Damar, ataukah hanya murni sebuah kebetulan saja. Sekaligus Mutia ingin tahu bagaimana mungkin Damar bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. "Ya sudah. Ayo, Mas."Mutia berjalan mengikuti langkah Damar memasuki mobilnya dengan waspada. Begitu masuk ke dalam mobil, langsung tercium aroma wangi yang menyergap hidung Mutia. Damar menyalakan mesin dan AC mobil nya. Keheningan menyergap sesaat. "Apa kabarmu, Mutia? Aku tidak sengaja lewat daerah sini saat bermaksud menengok kost-an ku di timur jalanan ini," ujar Damar tanpa diminta. "Alhamdulillah, baik. Sekali lagi aku mengucap kan terimakasih padamu karena telah menolong ku, Mas," sahut Mutia tersenyum. "Yah, sudah kewajiban ku kan menolong kamu, Mut.""O