Ting!Pintu lift terbuka menampilkan Jay yang keluar dari dalam sana, dan berjalan tergesa-gesa menuju ruang pribadi Alvan. “Tuan Muda.” Pria tinggi itu menghentikan langkahnya tepat di depan meja kerja atasan-nya, sebelum kemudian menautkan kedua telapak tangan-nya ke depan dan menunduk sopan.“Ada apa, Jay? Kau terlihat panik.” Melirik sekilas, Alvan yang duduk di kursi kebesaran bertanya.Setelah mengatur napasnya yang ngos-ngosan, Jay segera menegapkan tubuhnya serta bersikap tegas. “Nyonya Muda baru saja menghubungi saya. Ingin meminta izin ke rumah sakit untuk menemui Tuan Besar,” ujarnya memberitahu.Kedua alis tebal Alvan berkerut. “Menelponmu?” ulangnya yang disambut angguk-kan kecil oleh Jay.Sesaat kemudian, pria muda itu menggeleng tatkala menyadari air muka atasan-nya yang berubah. “Err ... maksud saya, kemungkinan Nyonya Muda menghubungi saya karena Anda tidak kunjung mengangkat telpon atau pun membalas pesan darinya. Tuan Muda, tolong jangan salah paham,” pungkas Jay se
***Di bawah terik mentari yang menyengat, Ameera berdiri seorang diri di pinggir jalan. Sesekali, ia mengecek ponsel di tangan-nya, dengan sedikit perasaan cemas. Selepas menemui kakek David, ia berencana segera pulang. Kebetulan, kali ini Santi tidak bisa menemaninya lantaran harus kembali ke mansion keluarga Septihan lebih awal untuk merawat ibunya yang sedang sakit. Meski begitu, Jay sempat memberitahu Ameera, jika Alvan akan datang menjemputnya.Namun, sudah lebih dari sepuluh menit menunggu, belum ada tanda-tanda kedatangan suaminya. Sampai pada beberapa saat kemudian, Ameera mendapati ponselnya bergetar, segera ia mengeceknya. “Ternyata Mas Alvan masih ada pertemuan dan akan sedikit terlambat,” gumam perempuan itu dengan mata menatap lurus layar yang menampilkan pesan teks dari Jay.Sementara itu, di sisi lain Zico yang berada di lobi rumah sakit dan sedang berbicara dengan seseorang, nampak mengernyitkan kening melihat keberadaan Ameera di se
Rapat penting dengan para petinggi perusahaan tengah berlangsung di ruang konferensi utama yang megah namun terasa menyesakkan. Alvan duduk di ujung meja panjang dengan sikap tenang, punggung tegap, dan tangan terkepal di atas meja. Tatapannya tajam, nyaris seperti pisau yang mampu menembus kepercayaan diri siapa saja yang berani menentang pandangannya. Lampu-lampu gantung kristal memancarkan cahaya dingin, memantulkan kilau yang membuat atmosfer semakin menegangkan. Heningnya ruangan hanya dipecahkan oleh bunyi pelan keyboard dan gesekan kursi sesekali, menambah kesan formal yang mencekam.Slide demi slide presentasi berganti di layar besar di hadapan mereka. Setiap pembicara berusaha menahan gugup di bawah tatapan dingin Alvan yang tampaknya tidak pernah berubah. Mereka berbicara, menjelaskan strategi dan ide, tetapi tidak ada reaksi apa pun dari pria itu. Baik anggukan, senyuman, bahkan tidak satu pun kata. Wajahnya seperti topeng batu yang mustahil dibaca, membuat siapa pun yang b
Langit senja merangkak menuju kelam, sementara ketegangan yang sedari siang merayap masuk, masih mencengkram hati Alvan dengan kuku-kuku tajamnya. Sosok jangkung itu berdiri membatu di depan jendela besar ruang kerjanya, menatap kosong ke arah cakrawala yang berpedar jingga kehitaman, seperti bara api yang meredup di telan malam. Wajah Ameera membayang di benaknya, mengisi setiap sudut pikiran-nya yang sudah pengap oleh kegelisahan. Apakah wanita itu baik-baik saja? Ataukah nasib buruk telah menjadikan-nya tawanan takdir? Pertanyaan-pertanyaan itu bergulir tanpa henti, bagai ombak yang menghantam karang di lautan.Jam dinding berdetak pelan. Ritme yang monoton, tetapi di telinga Alvan, suara itu seakan berbisik bahwa waktu bersekongkol melawan-nya. Orang-orang suruhan-nya belum juga memberi kabar, telpon di atas meja kerja itu membisu, menjadi saksi frustrasi yang kian membuncah.Jay memasuki ruangan dengan langkah sepelan bayangan. Wajahnya yang lelah mencoba menyembunyikan beban, me
Angin malam merayapi kulit seperti desisan rahasia yang menyelinap di antara kegelapan. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang, menggigilkan nyali yang rapuh. Perlahan, Ameera membuka matanya. Kepalanya berdenyut berat, pandangan-nya buram seperti kaca yang terselubung embun. Udara di sekitar beraroma besi dingin, bercampir dengan rasa asing yang menyesak-kan dada.Kesadaran-nya pulih sedikit demi sedikit. Jantungnya seakan melompat ke tenggorokan saat menyadari sesuatu. Saat ini ia tidak berada di tempat yang aman.Jari-jarinya menggeliat. Namun, gerakan-nya terbatas begitu merasakan tali kasar mecengkeram pergelangan tangan-nya di belakang sandaran kursi, meresap ke dalam kulit hingga menimbulkan nyeri perih. Ameera mencoba meronta, menggerakan tubuhnya. Akan tetapi, semakin ia berusaha semakin kuat belenggu itu menjeratnya. Napasnya memburu. Matanya liar, menelisik sekeliling.Langit terbentang luas di atas kepala, dihiasi lampu-lampu kota yang berpedar dari kejauhan. Gedung-gedung t
Mobil-mobil hitam melesat menembus kelam, beriringan seperti kawanan bayangan yang berkejaran di bawah langit pekat. Lampu-lampu jalan menorehkan cahaya samar di atas aspal basah, menciptakan ilusi perjalanan tanpa akhir. Malam terasa lebih panjang dari biasanya, seolah waktu sendiri menahan napas di antara detik-detik yang melaju.Di dalam salah satu mobil, Alvan duduk dengan rahang mengeras. Jemarinya mengepal di atas paha kokoh, matanya lurus menatap ke depan, tetapi pikirannya melayang jauh, tertuju pada satu nama—Ameera. Ia harus menemukan-nya dan membawanya pulang, bagaimanapun caranya. Bayangan wajah Ameera berkelebat dalam benaknya, senyum serta tatapan teduhnya, dan kini, entah di mana ia berada dalam kegelapan yang mungkin lebih pekat dari malam itu sendiri.Ponselnya bergetar berkali-kali, menciptakan nada yang mengganggu kesunyian di dalam mobil. Nama mamanya berkedip di layar, panggilan demi panggilan tanpa henti. Alvan tahu apa yang akan dikatakan wanita itu—menyuruhnya
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang yang dipenuhi bayang-bayang kecemasan. Akhirnya, Alvan tiba di Tower Galaxy Group. Gedung pencakar langit itu menjulang angkuh, seperti benteng yang menyembunyikan rahasia kelam di balik cahaya yang gemerlap. Dikelilingi pengawal bersenjata lengkap, sosok jangkung itu melangkah cepat, setiap gerakan-nya dipandu oleh satu tujuan—rooftop, tempat di mana Ameera diduga disekap.Derap langkah mereka menggema di sepanjang koridor, menciptakan simfoni ketegangan yang bergema di antara dinding-dinding beton yang dingin. Angin malam menderu liar, membawa serta bisikan badai yang menggantung di langit. Petir sesekali menyambar, menyibak kegelapan seakan malam itu sendiri menjadi saksi bisu pertempuran yang akan pecah.Pintu besi di ujung lorong berderit pelan sebelum akhirnya terbanting terbuka dengan keras, meneriak-kan perlawanan terhadap kedatangan Alvan. Ia menerobos masuk ke rooftop, pistol kokoh menggenggam erat di tangan-nya, siap menyalak kapan
"Cepat tanda tangani surat kuasa itu!" Suara Eldome menggema, mengguncang udara malam yang dingin. Angin berembus liar, membawa serta aroma hujan yang tertahan di langit mendung. Kilatan petir di kejauhan sesekali menerangi wajah pria paruh baya yang penuh kelicikan itu.Alvan menoleh ke samping, matanya menangkap benerapa map hitam yang telah disiapkan di atas meja besi, lengkap dengan bolpoin perak yang mengilap di bawah sorot bulan. Dinginnya logam terasa menusuk saat ia menyentuhnya."Entah kau percaya atau tidak, tetapi waktumu hanya tersisa sepuluh menit dari sekarang," lanjut Eldome, setajam belati yang menusuk gendang telinga.Jantung Alvan mencelos ketika matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih—bom waktu terpasang erat di tubuh Ameera. Kedipan lampu merah di perangkat itu seolah menertawakan ketidakberdayaan-nya. Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam irama liar yang dipenuhi amarah."Kau benar-benar bermain kotor!" desis sosok jangkung itu diiringi g
Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun.“Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari.”Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang.“Ini, Nyonya Muda.”Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. “Anda ada janji, Nyonya Muda?” tanyanya sedikit penasaran.“Eum.” Ameera mengangguk. “Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus d
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan
Di rumah sakit, ketegangan terasa begitu kuat. Alvan tengah berada di dalam ruang operasi. Seperti kata Gled, peluru sangat dekat dengan tulang belakang, sehingga butuh operasi segera untuk mengeluarkan-nya.Ameera terpaksa menunggu di luar ruang operasi. Tangan-nya mencengkeram erat ujung gamis yang dikenakan, dadanya naik turun karena cemas. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah dokter dan suara mesin-mesin medis yang sesekali berbunyi. Pikiran-nya dipenuhi ketakutan, bayangan tentang Alvan yang selalu tegas dan dingin, kini terbaring lemah membuat hatinya mencelos.“Aku ikut operasi. Doakan kami berhasil.” Begitu kata-kata Gled sebelum memasuki ruang operasi dengan mengenakan baju bedah. Saat itu, Ameera hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.Monitor detak jantung Alvan berbunyi dengan cepat saat operasi dimulai, menunjukkan kondisinya yang sangat kritis. Ameera hanya bisaa menahan napas. Dalam diam, ia berdo’a tanpa henti, me
Satu pekan sebelum kejadian …Di luar mansion keluarga Septihan, suasana semakin mencekam. Angin malam berembus dingin, menggugurkan dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Lampu-lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang, seakan menambah ketegangan yang telah menggantung di udara.Beberapa waktu lalu, sebelum semua memuncak, Ameera mulai merasakan ada yang aneh. Langkah-langkah samar di kejauhan, tatapan yang seakan menembus punggungnya, dan perasaan seolah-olah setiap gerak-geriknya diawasi. Bayangan itu mengikuti di mana pun ia berada, mengintai dalam kegelapan, menunggunya lengah.Ia tidak ingin Alvan khawatir. Namun, firasat buruk itu terus mengusiknya, merayapi pikirannya seperti racun yang perlahan menyebar. Hingga akhirnya, ia menemui Jay, untuk mencari jawaban."Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya Muda. Anda tidak perlu terlalu memikirkan-nya," kata pria itu santai. Namun, Ameera tidak melewatkan ada sesuatu yang bersembunyi dalam sorot matanya yang menyir
"Cepat berlutut, dan serahkan semua surat kuasa yang kau miliki, juga aset keluarga ini!" ujar Eldome bergema seperti gelegar petir, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelinap di antara deretan pilar marmer.Alvan menggeram, kepalan tangan-nya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangan-nya melirik sekilas ke arah Brian, Bianca, dan David yang ditahan di sudut ruangan. Dilema menyayat hatinya. Melepaskan semua yang telah ia bangun dengan susah payah atau menyaksikan keluarganya menderita?Eldome melangkah maju, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk. "Baiklah, karena kau memilih untuk menentangku, aku akan melenyapkanmu, sekarang!" Dengan satu isyarat tangan, puluhan pria berpakaian hitam muncul dari balik bayangan, mengepung setiap sudut mansion. Senjata berlaras panjang mereka terangkat, siap membidik.Kedua mata Alvan terbelalak. Napasnya memburu menyadari dirinya yang telah kalah telak. Alvan mulai menghubungi sahabatnya guna meminta bantuan. Namun, koneks
Eldome menyandarkan tubuhnya pada kursi tinggi berlapis beludru, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme santai, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Senyumannya sinis, mata kelamnya menyipit penuh perhitungan. "Ayolah, Alvan," lanjut Eldome, bersenandung ringan seolah menikmati permainan. "Bukankah ini yang kau inginkan? Membalaskan dendam pada orang-orang berdosa ini?"Ia mengedik-kan dagu ke arah Brian dan Bianca yang kini terikat di kursi. "Aku harap kau masih ingat, bagaimana mereka membiarkanmu menderita, menyaksikanmu diusir dari keluarga ini tanpa membela sedikit pun. Dan lihatlah kau sekarang, datang seperti seorang pahlawan."Pria paruh baya dengan sentuhan topi fedora yang melingkar di kepala itu mendekat, setiap ucapan-nya terdengar seperti bisikan yang menggerayangi sisi gelap di hati Alvan. "Jangan lupa, Alvan ... siapa yang selama ini membentukmu, dan membuatmu menjadi kuat sampai kau bisa berada di puncak. Bukankah hanya aku? Aku yang mem
Begitu pintu kamar tertutup, Ameera membuka mata perlahan. Seketika, keheningan menyergap, menciptakan ruang bagi nyeri yang masih bersarang di tubuhnya. Detak jam di dinding terdengar lebih lambat dari biasanya, seakan waktu ikut merasakan kesakitan yang ia derita. Butuh waktu bagi dirinya untuk menahan-nya sampai suaminya pergi.Dengan gerakan hati-hati, Ameera bangkit, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah menuju kursi di dekat jendela terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Begitu punggungnya menyentuh sandaran, rasa perih menyergap kuat."Sshh ...." Desahan lirih lolos dari bibirnya. Jemarinya bergetar saat menyingsingkan lengan bajunya. Saat melihat kulitnya sendiri, Ameera tercekat. Memar ungu kebiruan menghiasi permukaan, luka-luka kecil terbuka di antara lebam, beberapa bahkan masih tampak segar. Bekas amukan Eldome begitu nyata, seolah baru saja terjadi. Gurat luka di sikunya—hasil sayatan pisau—mengingatkannya pada teror yang ia alami saat dalam p
“Kau yakin temanmu itu dokter terbaik, Gled? Kenapa dia begitu lama di dalam?” Alvan melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, nyaris mendidih dalam ketidak sabaran-nya.Sosok jangkung itu terus mondar-mandir di depan pintu kamar, langkahnya berat, menggema di lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, menggambarkan badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sekujur tubuhnya tegang, setiap urat nadi di lengannya mencerminkan betapa keras ia menahan diri.Di benaknya, kecurigaan perlahan merayap. Dokter wanita yang dibawa Gled—benarkah dia bisa dipercaya? Sesuatu terasa janggal. Mengingat betapa tertutupnya Ameera, ia yang bersikeras agar sahabatnya mencari dokter perempuan untuk memeriksanya. Namun, tetap saja, ini terlalu lama sejak pemeriksaan dimulai.Gled menghela napas panjang, seakan memahami kegelisahan yang menguar dari tubuh Alvan. “Tentu saja. Dia punya segudang sertifikat, dan kemampuannya tak perlu diragukan. Tenanglah, kau tidak perlu khawatir,” ucapn