Gelapnya malam menyelimuti, menyisakan samar-samar sinar rembulan yang menembus tirai jendela dan menerangi wajah Ameera yang terlelap tenang dalam tidur. Di antara keheningan yang ada, Alvan duduk di tepi ranjang, mengamati perempuan di pembaringan dengan tatapan lembut. Selepas menghadiri rapat dan menyelesaikan urusan pentingnya, Alvan memutuskan untuk kembali ke mansion. Bukan tanpa sebab, di tengah persitegangan yang terjadi siang tadi, diam-diam Alvan terkejut saat tanpa sengaja melihat tangan Ameera yang terluka. Namun, karena situasi saat itu cukup panas, Alvan memilih menahan egonya dan bersikap seolah-olah tidak peduli. Dan, sekarang, dia datang untuk memastikan keadaan perempuan itu.“Terluka sampai seperti ini, dan dia sama sekali tidak mengadukan-nya padaku.” Alvan menatap garis luka di tangan Ameera dengan sedikit ngilu. Rasa bersalah dan khawatir, seketika merayapi relung hatinya, membuat Alvan semakin terpukul. Bagaimana bisa, perempuan itu menanggung semua penderitaan
Alvan berjalan perlahan menghampiri Ameera. Setiap kali kakinya melangkah, ia merasa bagai menginjak ranjau menuju jurang kehancuran. Ruangan di sana mungkin penuh dengan kilau cahaya, tawa renyah dari para tamu, serta aroma bunga yang semerbak. Namun, bagi Alvan, semua itu tidak berarti dan terasa begitu hampa.Di tempatnya, Ameera berdiri membeku dengan pandangan tertuju lurus ke depan. Setiap detik yang berlalu, terasa seperti beban yang menghimpit hatinya. Rasa sakit itu terlalu nyata, terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata. Semua harapan dan impian yang dibawanya, telah hancur berkeping-keping di hadapan pemandangan yang menyakitkan ini.“Akhirnya pulang juga. Dari mana saja kamu, Ameera? Seharian keluyuran tidak jelas!” sengit Bianca memecah keheningan di antara Alvan dan Ameera. “Mama,” tegur Brian pada sang istri. Bisa dikatakan, jika acara kali ini begitu dadakan, sehingga Brian merasa cemas kalau-kalau Ameera tidak mengetahuinya dan membuatnya terkejut.Bianca mend
Alunan pelan dari musik jazz melayang di udara, membaur dengan suara gelas yang beradu, serta tawa samar dari para pengunjung bar. Di sudut ruang VIP, Alvan duduk termangu dengan tubuh tertunduk. Sebelah tangan-nya menggenggam gelas whisky yang masih penuh, sementara pandangan-nya kosong, seolah tenggelam dalam dunia lain.Zerioun yang baru saja sampai setelah sebelumnya membuat janji temu, memperhatikan Alvan dari kejauhan dengan kedua alis bertaut. Seperti yang ia ketahui, sahabat karibnya itu bukan tipe orang yang mudah goyah, bahkan terhadap hal-hal besar sekalipun. Lantas, apa yang membuatnya hingga tampak tak berdaya seperti ini?“Ada apa dengan-nya, Jay? Kenapa dia terlihat sangat buruk?” Sembari berjalan menghampiri kursi tempat di mana Jay dan Alvan berada, Zerioun bertanya.“Tuan Zerioun.” Jay segera menunduk sekilas pada Zerioun sebelum kemudian melirik sosok di sebelahnya yang sedari tadi termenung dalam diam. “Tuan Muda sedang dalam kondisi hati yang buruk. Sepertinya, in
Setelah malam yang penuh dengan ketegangan itu berlalu, kehidupan di villa kembali berjalan sebagaimana biasanya. Ameera dan Alvan, menjalani rutinitas sehari-hari tanpa membahas atau mengungkit apa yang telah terjadi. Ameera tetap melayani kebutuhan Alvan seperti sebelumnya-menyediakan sarapan, menyusun jadwal dan menjaga rumah mereka agar tetap nyaman. Sementara Alvan, meski masih terkesan dingin, tetapi tidak lagi menghindari keberadaan Ameera. Bahkan, sesekali ia memberikan senyuman tipis, sesuatu yang hampir mustahil ia lakukan sebelumnya.“Mas Alvan sudah mau berangkat?” tanya Ameera kepada suaminya yang sedang bersiap-siap.Menoleh sekilas ke arah sumber suara, sosok jangkung itu hanya membalas dengan mengangguk singkat. “Hm.” Mengulum tipis bibir bawahnya, Ameera berjalan menghampiri suaminya. “Biar aku bantu, Mas.” Tangan putih perempuan itu terulur untuk merapikan kemeja yang dikenakan Alvan, sebelum kemudian menimpanya dengan stelan jas berwarna hitam, semakin menambah kesa
Mentari sore menyusup lembut melalui celah kain cadar yang dikenakan Ameera, menyinari wajah ayu-nya yang selalu tertutup bila berada di luar. Siang tadi, Alvan mengirim pesan kepadanya, menyuruhnya untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat lingkungan di sekitar agar tidak jenuh karena terus-menerus berdiam diri di villa.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan, Ameera pun menyambut perintah tersebut dengan senang hati. Seperti saat ini, setelah sempat berjalan muter-muter di lingkungan sekitar, ia dan Santi berhenti di sebuah taman hijau dan memutuskan untuk menetap di sana guna menikmati indahnya suasana di sore hari.Ameera duduk tenang di sebuah tempat duduk yang menghadap langsung arena taman. Garis-garis halus di keningnya berkerut, menunjuk-kan keseriusan, sementara pandangan-nya menatap lurus pada lembaran putih yang berada di pangkuan-nya, memperhatikan-nya lekat-lekat, seolah sesuatu yang berharga akan keluar dari sana.Santi, berdiri di sisi Ameera, memperhatikan setiap
Untuk yang kesekian kalinya, Ameera yang sedang duduk di sofa depan televisi menghela napas panjang. Saat ini, di tangan-nya terdapat sebuah amplop cokelat berisi surat cerai yang telah ditandatanganinya. Seminggu berlalu sejak kabar mengenai rencana pernikahan Alvan dengan Katrine terdengar, suaminya itu tidak pernah kembali ke villa. Beberapa kali, Ameera mencoba mengirim pesan dan menanyakan kabarnya. Namun, Alvan hanya mengatakan jika dia sedang sibuk mengurus pekerjaan sehingga tidak bisa pulang.Mula-mula, Ameera percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Sampai pada suatu ketika Zico mengiriminya foto-foto kebersamaan Alvan dan Katrine, barulah Ameera merasa kepercayaan-nya terluka. Bukankah, di dalam pernikahan, hubungan suami dan istri haruslah saling terbuka? Selain itu, mereka juga bisa saling mempercayai satu sama lain, dengan begitu, akan terbentuk rumah tangga yang harmonis. Namun, Ameera tidak mendapatkan hal seperti itu berlaku di dalam perhikahan-nya. Di sampi
Ting!Pintu lift terbuka menampilkan Jay yang keluar dari dalam sana, dan berjalan tergesa-gesa menuju ruang pribadi Alvan. “Tuan Muda.” Pria tinggi itu menghentikan langkahnya tepat di depan meja kerja atasan-nya, sebelum kemudian menautkan kedua telapak tangan-nya ke depan dan menunduk sopan.“Ada apa, Jay? Kau terlihat panik.” Melirik sekilas, Alvan yang duduk di kursi kebesaran bertanya.Setelah mengatur napasnya yang ngos-ngosan, Jay segera menegapkan tubuhnya serta bersikap tegas. “Nyonya Muda baru saja menghubungi saya. Ingin meminta izin ke rumah sakit untuk menemui Tuan Besar,” ujarnya memberitahu.Kedua alis tebal Alvan berkerut. “Menelponmu?” ulangnya yang disambut angguk-kan kecil oleh Jay.Sesaat kemudian, pria muda itu menggeleng tatkala menyadari air muka atasan-nya yang berubah. “Err ... maksud saya, kemungkinan Nyonya Muda menghubungi saya karena Anda tidak kunjung mengangkat telpon atau pun membalas pesan darinya. Tuan Muda, tolong jangan salah paham,” pungkas Jay se
***Di bawah terik mentari yang menyengat, Ameera berdiri seorang diri di pinggir jalan. Sesekali, ia mengecek ponsel di tangan-nya, dengan sedikit perasaan cemas. Selepas menemui kakek David, ia berencana segera pulang. Kebetulan, kali ini Santi tidak bisa menemaninya lantaran harus kembali ke mansion keluarga Septihan lebih awal untuk merawat ibunya yang sedang sakit. Meski begitu, Jay sempat memberitahu Ameera, jika Alvan akan datang menjemputnya.Namun, sudah lebih dari sepuluh menit menunggu, belum ada tanda-tanda kedatangan suaminya. Sampai pada beberapa saat kemudian, Ameera mendapati ponselnya bergetar, segera ia mengeceknya. “Ternyata Mas Alvan masih ada pertemuan dan akan sedikit terlambat,” gumam perempuan itu dengan mata menatap lurus layar yang menampilkan pesan teks dari Jay.Sementara itu, di sisi lain Zico yang berada di lobi rumah sakit dan sedang berbicara dengan seseorang, nampak mengernyitkan kening melihat keberadaan Ameera di se
Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun.“Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari.”Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang.“Ini, Nyonya Muda.”Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. “Anda ada janji, Nyonya Muda?” tanyanya sedikit penasaran.“Eum.” Ameera mengangguk. “Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus d
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan
Di rumah sakit, ketegangan terasa begitu kuat. Alvan tengah berada di dalam ruang operasi. Seperti kata Gled, peluru sangat dekat dengan tulang belakang, sehingga butuh operasi segera untuk mengeluarkan-nya.Ameera terpaksa menunggu di luar ruang operasi. Tangan-nya mencengkeram erat ujung gamis yang dikenakan, dadanya naik turun karena cemas. Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya suara langkah dokter dan suara mesin-mesin medis yang sesekali berbunyi. Pikiran-nya dipenuhi ketakutan, bayangan tentang Alvan yang selalu tegas dan dingin, kini terbaring lemah membuat hatinya mencelos.“Aku ikut operasi. Doakan kami berhasil.” Begitu kata-kata Gled sebelum memasuki ruang operasi dengan mengenakan baju bedah. Saat itu, Ameera hanya bisa memandang punggungnya menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.Monitor detak jantung Alvan berbunyi dengan cepat saat operasi dimulai, menunjukkan kondisinya yang sangat kritis. Ameera hanya bisaa menahan napas. Dalam diam, ia berdo’a tanpa henti, me
Satu pekan sebelum kejadian …Di luar mansion keluarga Septihan, suasana semakin mencekam. Angin malam berembus dingin, menggugurkan dedaunan kering yang berserakan di jalan setapak. Lampu-lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang, seakan menambah ketegangan yang telah menggantung di udara.Beberapa waktu lalu, sebelum semua memuncak, Ameera mulai merasakan ada yang aneh. Langkah-langkah samar di kejauhan, tatapan yang seakan menembus punggungnya, dan perasaan seolah-olah setiap gerak-geriknya diawasi. Bayangan itu mengikuti di mana pun ia berada, mengintai dalam kegelapan, menunggunya lengah.Ia tidak ingin Alvan khawatir. Namun, firasat buruk itu terus mengusiknya, merayapi pikirannya seperti racun yang perlahan menyebar. Hingga akhirnya, ia menemui Jay, untuk mencari jawaban."Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya Muda. Anda tidak perlu terlalu memikirkan-nya," kata pria itu santai. Namun, Ameera tidak melewatkan ada sesuatu yang bersembunyi dalam sorot matanya yang menyir
"Cepat berlutut, dan serahkan semua surat kuasa yang kau miliki, juga aset keluarga ini!" ujar Eldome bergema seperti gelegar petir, menciptakan bayangan ketakutan yang menyelinap di antara deretan pilar marmer.Alvan menggeram, kepalan tangan-nya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Pandangan-nya melirik sekilas ke arah Brian, Bianca, dan David yang ditahan di sudut ruangan. Dilema menyayat hatinya. Melepaskan semua yang telah ia bangun dengan susah payah atau menyaksikan keluarganya menderita?Eldome melangkah maju, sorot matanya tajam seperti pisau yang menusuk. "Baiklah, karena kau memilih untuk menentangku, aku akan melenyapkanmu, sekarang!" Dengan satu isyarat tangan, puluhan pria berpakaian hitam muncul dari balik bayangan, mengepung setiap sudut mansion. Senjata berlaras panjang mereka terangkat, siap membidik.Kedua mata Alvan terbelalak. Napasnya memburu menyadari dirinya yang telah kalah telak. Alvan mulai menghubungi sahabatnya guna meminta bantuan. Namun, koneks
Eldome menyandarkan tubuhnya pada kursi tinggi berlapis beludru, jemarinya mengetuk-ngetuk sandaran tangan dengan ritme santai, kontras dengan ketegangan yang menggantung di udara. Senyumannya sinis, mata kelamnya menyipit penuh perhitungan. "Ayolah, Alvan," lanjut Eldome, bersenandung ringan seolah menikmati permainan. "Bukankah ini yang kau inginkan? Membalaskan dendam pada orang-orang berdosa ini?"Ia mengedik-kan dagu ke arah Brian dan Bianca yang kini terikat di kursi. "Aku harap kau masih ingat, bagaimana mereka membiarkanmu menderita, menyaksikanmu diusir dari keluarga ini tanpa membela sedikit pun. Dan lihatlah kau sekarang, datang seperti seorang pahlawan."Pria paruh baya dengan sentuhan topi fedora yang melingkar di kepala itu mendekat, setiap ucapan-nya terdengar seperti bisikan yang menggerayangi sisi gelap di hati Alvan. "Jangan lupa, Alvan ... siapa yang selama ini membentukmu, dan membuatmu menjadi kuat sampai kau bisa berada di puncak. Bukankah hanya aku? Aku yang mem
Begitu pintu kamar tertutup, Ameera membuka mata perlahan. Seketika, keheningan menyergap, menciptakan ruang bagi nyeri yang masih bersarang di tubuhnya. Detak jam di dinding terdengar lebih lambat dari biasanya, seakan waktu ikut merasakan kesakitan yang ia derita. Butuh waktu bagi dirinya untuk menahan-nya sampai suaminya pergi.Dengan gerakan hati-hati, Ameera bangkit, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkah menuju kursi di dekat jendela terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Begitu punggungnya menyentuh sandaran, rasa perih menyergap kuat."Sshh ...." Desahan lirih lolos dari bibirnya. Jemarinya bergetar saat menyingsingkan lengan bajunya. Saat melihat kulitnya sendiri, Ameera tercekat. Memar ungu kebiruan menghiasi permukaan, luka-luka kecil terbuka di antara lebam, beberapa bahkan masih tampak segar. Bekas amukan Eldome begitu nyata, seolah baru saja terjadi. Gurat luka di sikunya—hasil sayatan pisau—mengingatkannya pada teror yang ia alami saat dalam p
“Kau yakin temanmu itu dokter terbaik, Gled? Kenapa dia begitu lama di dalam?” Alvan melontarkan pertanyaan dengan nada tajam, nyaris mendidih dalam ketidak sabaran-nya.Sosok jangkung itu terus mondar-mandir di depan pintu kamar, langkahnya berat, menggema di lantai marmer yang dingin. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, menggambarkan badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sekujur tubuhnya tegang, setiap urat nadi di lengannya mencerminkan betapa keras ia menahan diri.Di benaknya, kecurigaan perlahan merayap. Dokter wanita yang dibawa Gled—benarkah dia bisa dipercaya? Sesuatu terasa janggal. Mengingat betapa tertutupnya Ameera, ia yang bersikeras agar sahabatnya mencari dokter perempuan untuk memeriksanya. Namun, tetap saja, ini terlalu lama sejak pemeriksaan dimulai.Gled menghela napas panjang, seakan memahami kegelisahan yang menguar dari tubuh Alvan. “Tentu saja. Dia punya segudang sertifikat, dan kemampuannya tak perlu diragukan. Tenanglah, kau tidak perlu khawatir,” ucapn