***Keesokan paginya, Ara sudah bersiap untuk menghadiri sidang perceraiannya dengan Jaka, dia ditemani oleh keluarganya. Nandini minta maaf tak bisa ikut karena ada suatu hal yang harus benar-benar diselesaikan secepatnya.Tak masalah bagi Ara, Nandini memberikan kabar saja pada Ara sudah membuat hatinya bahagia. Ara memahami Nandini, karena dia juga dijadikan penerus dalam keluarganya sendiri.Di sepanjang perjalanan, Eza berusaha menyemangati adiknya. Memberikan kata-kata motivasi dan juga candaan untuk Ara. Menurut Ara hal ini memang sudah tak pantas untuk ditangisi, dia percaya bahwa ini memang takdir dalam kehidupan rumah tangganya.Dia tak menyalahkan takdir, tapi dia menyalahkan dirinya sendiri. Karena sudah lalai, sehingga diberikan cobaan yang begitu besar. Saat ini ia belum bisa memakai hijab, entahlah masih ada keraguan dalam dirinya. Mungkin nanti dia akan mencobanya perlahan demi perlahan agar ia terbiasa dan Istiqomah terhadap pendiriannya.Tak berselang lama akh
"Mas, kamu kenapa sih? Nggak ada gairah hidupnya sama sekali," ujar Yose menggoyangkan lengan sang suami."Bisakah kamu jangan menggangguku Yose. Aku sedang sangat sibuk sekarang," jawab Jaka ketus tanpa menoleh pada Yose.Yose berdecak kesal mendengar jawaban Jaka yang tak enak di telinga."Mas, aku ingin punya rumah seperti yang dimiliki oleh Ara," ujar Yose tiba-tiba membuat Jaka menghentikan kegiatan yang baru saja dikerjakannya. Karena sekian lama ia melupakan tugasnya sebagai pimpinan di perusahaan.Semenjak perceraiannya dengan Ara kemarin, banyak hal-hal buruk menghampiri Jaka. rasa penyesalan pun ada, bahkan sekarang ia masih berniat untuk memiliki Ara. Ia ingin membuat Ara kembali menjadi miliknya."Mas, aku sedang hamil. Jangan membuatku berbuat nekat yang bisa saja mencelakai anak ini," ancam Yose melihat sang suami acuh padanya. Yose benar-benar ingin menghajar Jaka yang tak memiliki rasa peka sedikit pun padanya. Bahkan saat sedang hamil besar pun, ia masih belum bisa be
Di dalam hari terdalam Jaka, ia ingin menghubungi nomor Ara lagi, tapi apa boleh buat. Ternyata Ara sudah mengganti nomornya. Rasa kecewa bercampur sedih teraduk menjadi satu. Padahal saat ini Jaka masih berharap mereka masih bisa menjalin komunikasi dengan baik, walau sudah menjadi mantan.Jaka melirik perut Yose sekilas, dapat diperkirakan dalam waktu dua Minggu anak yang berada dalam perut Yose akan segera melihat dunia.Dalam hati kecilnya, Jaka sedikit meragukan apakah anak yang berada dalam perut Yose itu benar-benar anaknya, atau dia hanya sebagai kambing hitam yang semua salah dilimpahkan padanya.Sebenarnya ini terlalu rumit untuk Jaka pikirkan, tapi jika mengingat apa saja yang pernah dilaluinya bersama dengan Yose. Itu semua sedikit menghilangkan keraguan yang sering muncul di benaknya."Mas, woi!" teriak Yose tak sopan di depan Jaka, hingga membuat Jaka sedikit tersentak. Jaka menatap Yose dengan pandangan tajam."Kamu nggak sopan banget sama aku!" tegas Jaka kesal melihat
Setelah mengantarkan Ara ke rumah orang tua mereka. Eza lalu kembali melanjutkan perjalanan, untuk menyampaikan amanat yang sudah diberikan oleh sang Adik.Di pertengahan jalan tak sengaja matanya menatap Nandini yang sedang bersama dengan seorang lelaki. Matanya menyipit, kenapa Nandini begitu mesra dengan pria itu.Padahal kemarin Nandini bilang dia sedang di luar kota, tapi sekarang malah bertemu di depan Alfa****.Eza lalu bergegas memarkirkan mobil dan berusaha tenang saat menemui Nandini."Nandini ...," panggil Eza lembut. Nandini yang merasa namanya dipanggil menoleh ke belakang. Raut wajahnya sempat terkejut saat mendapati Eza di depannya."Hai ...," sapa Nandini. Dia merasa canggung, karena jarang berkomunikasi dengan Eza."Halo, kamu gimana kabarnya?" tanya Eza sambil melirik lelaki tampan di sebelah Nandini. Lelaki itu terlihat seperti keturunan chindo."Aku ... aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?" tanya Nandini balik. Ia memilin bajunya, rasa grogi sekarang sedang meng
"Jaka mencintai Yose, Pa, jadi jangan pernah menjelekkan Yose di depan Jaka." Jaka berdiri dengan raut wajah berang. Ia menatap sang Ayah dengan sangat tajam, dengan tatapan yang kian menusuk. Bahkan tangannya pun mengepal sekarang.Plak!Anton melayangkan tamparan pada Jaka, putra semata wayangnya. Ia begitu kehilangan harap, saat melihat Jaka benar-benar tak bisa dikendalikan lagi. Entah apa yang sudah merasuki pikiran Jaka, hingga ia sama sekali tak dapat berpikir jernih kembali."Aku benar-benar tak menyangka kau seperti ini, Jaka! Entah dosa apa yang sudah kuperbuat di masalalu. Hingga bisa memiliki anak lelaki sepertimu yang sifatnya benar-benar tidak masuk diakal!" bentak Firdaus. Ia sama sekali tak perduli dengan darah yang mengalir dari sudut bibir sang Putra. Menurutnya itu masih belum sepadan dengan rasa kecewa yang ia dan istrinya rasakan saat ini."Apa yang kau banggakan dari menantu seperti Ara, Pa! Jelas-jelas dia tak bisa memberikanmu seorang cucu. Kau hanya ditipu ole
POV JAKA!Aku terkejut mendapati Eza sudah berdiri di belakangku dengan tangan yang mengepal. Pandangan matanya begitu menusuk hingga ke sanubariku."Kenapa kau tak terima?" tanyaku seolah-olah menantang dirinya. Padahal jujur, jauh dari hati kecilku. Aku sedikit merasa takut dengan wajah sangar yang dimiliki Eza.Bukannya menjawab Eza malah tertawa sangat keras. Seperti sedang meremehkan aku."Jelas, aku memang tidak terima!" ucapnya penuh penekanan lalu berjalan mendekat ke arahku. Aku buru-buru memundurkan langkah dan berdiri tepat di sebelah Papa."Wah, rupanya kau takut padaku ya, Jaka. Aku pikir nyalimu sudah sangat besar, hingga berani membuat adikku terluka bahkan menangis berkali-kali karena sikapmu yang tidak masuk diakal!" ujarnya lalu tertawa kembali. Dengan perasaan dongkol, entah dapat keberanian darimana. Aku langsung melangkah maju lagi menghampiri dia."Siapa bilang aku takut padamu, Aku Jaka tidak akan pernah takut pada lelaki sepertimu. Apa karena kau kira badanmu l
Walaupun aku masih mencintainya, tapi tak dapat dipungkiri karenanya aku harus kehilangan kasih sayang dari ke dua orang tuaku.Aku harus kehilangan kepercayaan dari orang tuaku, bahkan mereka menganggapku seperti patung yang hidup.Keberadaanku seperti sudah tak lagi berarti untuk mereka."Oh iya, Tante, Eza ke sini ingin mengembalikan kunci rumah dan juga kunci toko butik yang sudah diberikan padanya sebagai hadiah pernikahan dulu." Ucapan Eza lebih membuatku semakin terkejut.Dikembalikan?Maksudnya bagaimana? Dia mengembalikan semua yang sudah diberikan oleh keluargaku begitukah.Wah, ternyata dia wanita yang tau diri juga rupanya. Tapi ... apakah ini semua dilakukannya hanya untuk bisa melupakanku, jika benar iya. Sungguh terlalu jauh dia melakukan ini semua. Padahal sejatinya tanpa melakukan itu pun, aku akan pelan-pelan menjauh dari kehidupannya. Sangat-sangat rajin sekali ia bersikap seperti itu, tanpa menghiraukan bagaimana reaksi Mama ketika mengetahuinya. Padahal Ara selam
Aku mengikuti mobil Eza dari belakang, amarahku mulai naik hingga ke ubun-ubun. Karena kedatangan Eza Mama sampai harus merasakan sakitnya kembali.Andai saja dia tak datang membawa berita yang tidak mengenakkan mungkin Mama akan baik-baik saja hingga sekarang. Mereka harus menanggung semua akibatnya.Aku menyetir mobil dengan keadaan yang panik bercampur khawatir. Pandangan mataku tajam, ingin segera memberikan pelajaran kepada Eza.Emosi sekarang benar-benar sudah tak stabil dan mulai memuncak ingin segera diluapkan.Akhirnya mobil sudah sampai di rumah sakit terdekat. Aku buru-buru ke luar mobil dan bergegas menyusul mereka yang sudah masuk ke dalam rumah sakit.Mama langsung dibawa ke ruang UGD. Tanpa basa-basi aku langsung melayangkan bogem mentah ke pipi Eza.Eza yang tak sadar dengan pemberianku, langsung terhuyung begitu saja!"Kau dan adikmu benar-benar pembawa sial!" ucapku penuh penekanan, lalu duduk di atas badannya dan memukulnya berkali-kali.Bugh!Rupanya Eza melakukan
***"Ini anak kita, Ara," jawab Jaka yang berbicara sendiri dengan dinding rumah sakit jiwa.Setelah hampir 8 bulan lamanya, Jaka divonis memiliki kelainan. Dia sekarang seperti orang gila yang berbicara sendiri."Aku di samping, anak kita di tengah, kamu di samping aku. Hihi," ucap Jaka yang masih tertawa dan berbicara sendiri. Kadang Jaka juga seperti orang yang sedih, menangis, lalu marah."Apa tidak ada cara yang lebih praktis agar anak saya segera sembuh?" tanya Sang Papa yang merasa hampir putus apa melihat Putra satu-satunya sekarang berada di rumah sakit jiwa. "Untuk saat ini masih diusahakan, Pa. Kami masih membantu dia untuk sedikit demi sedikit menjadi lebih baik lagi, hanya saja Pak Jaka sekarang sulit sekali diajak berkomunikasi. Kadang jika wajtunya tidur, kami ada pemeriksaan Pak Jaka masih saja bermain-main dengan bayangannya seolah-olah itu adalah ia dan kekasihnya.""Sebenarnya kami merasa berat untuk menyampaikan ini, Pak. Sepertinya Pak Jaka ini depresi berat karen
Sesampainya di rumah setelah mengucapkan salam, Reza langsung berlalu pergi tanpa menghiraukan orang tuanya yang menatap penuh dengan keheranan karena tak biasanya putra mereka bersikap seperti itu.Pandangan mereka kini beralih pada Ara yang juga masuk ke dalam rumah terlihat sangat lesu, tak seceria saat berangkat tadi."Abangmu kenapa?" tanya sang Ibu saat Ara baru saja mendudukkan diri di sofa."Patah hati, Bu. Ditinggal nikah sama Nandini," ujar Ara pelan. Mereka berdua lalu terdiam dan saling menatap dalam."Sudahlah, biarkan dulu abangmu sendiri menenangkan dirinya. Mungkin dia hanya terkejut karena wanita idamannya sebentar lagi menjadi milik orang lain." Faisal mencoba memberikan ketenangan karena melihat raut wajah khawatir dari dua wanita yang sangat berarti dalam hidupnya."Ara takut Abang melakukan hal yang nekat," ujarnya sambil memainkan jari."Seperti apa?""Hah?""Maksudmu seperti apa hal nekat itu, Nak?" tanya Faisal lagi sambil menatap dalam sang putri."Bunuh diri
Sepanjang jalan Nandini hanya bisa menangis tanpa mengeluarkan suara. Air matanya hanya dibiarkan jatuh begitu saja membasahi pipi."Apa yang kau tangisi?" tanya Gibran dingin, tak suka melihat tingkah Nandini yang menurutnya begitu berlebihan."Cengeng!" ejeknya lagi. Nandini hanya diam tak menjawab sepatah kata pun dari Gibran yang menyebalkan."Percuma saja kau menangis, tak akan bisa mengubah segalanya. Seminggu lagi pernikahan kita, persiapkan dirimu untuk itu semua." Gibran berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada Nandini."Bisa kita hentikan semuanya. Kamu dan aku tidak saling mencintai, bahkan kita memiliki pasangan masing-masing. Ayo kita sepakat untuk menolak perjodohan yang menyakitkan ini, Gibran," ucap Nandini memohon pada Gibran agar ia mengubah keputusan untuk menikah dengannya."Aku tidak mau!" tegas Gibran."Kenapa, bukankah kita tak saling mencintai. Bukankah kamu sudah bilang, semua ini dilakukan hanya untuk mengembangkan perusahan dan memberi peruntungan bagi orang
Tentang cinta kitaSaat sedang duduk bersantai di kafe, mata Nandini tak sengaja menatap seseorang yang sudah ditunggunya dari tadi. Tiba-tiba perasaan sesak mendera dirinya saat tak sengaja menatap sosok lelaki yang pernah memberikan warna dalam kehidupannya.“Kamu terlihat lebih bahagia saat tidak bersama denganku,” kata Nandini dengan senyum yang samar. Dari jauh Ara melambaikan tangannya pada sosok sahabat yang selama ini sudah ditunggu olehnya.Nandini balas melambaikan tangannya pada Ara. Lalu, tak berapa lama Ara dan Reza sekarang berada di depan Nandini. “Hey, apa kabar?” tanya Ara langsung memeluk Nandini dengan penuh rasa rindu.“Aku baik, bagaimana denganmu, Ara?” tanya Nandini balik. Ia menatap Ara dari atas hingga bawah. Begitu takjub dengan penampilan Ara yang sekarang.“Kamu semakin cantik dengan penampilanmu yang sekarang.” Nandini memegang lengan Ara.“Ma Syaa Allah, alhamdulillah aku baik, Nan. Terima kasih atas pujiannya, aku langsung meleyot dengar pujian yang kamu
Ina menangis tersedu menatap wajah Yose yang memucat. Ia memegang tangan sang anak, berharap dapat menyalurkan energi hangat padanya."Kenapa semua ini bisa menimpamu, Nak. Astaghfirullah, perbuatan apa yang sudah kamu lakukan, sampai-sampai Allah SWT memberikan hukuman yang begitu berat untukmu," ujar Ina mencium punggung tangan Yose berkali-kali.Ia benar-benar terkejut mengetahui bahwa sang anak tidak akan bisa kembali seperti semula lagi. Bahkan bisa juga karena salah satu masalah ini Yose akan mengalami frustasi hingga membuatnya gila.Ina tidak tahu bagaimana pergaulan Yose selama di kota. Bahkan, Ina pun tak tahu bahwa Yose menjadi simpanan om-om besar dan juga orang ke tiga dalam rumah tangga orang lain.Di kampung, Ina tak pernah berhenti mendoakan yang terbaik untuk putrinya. Berdoa agar Allah SWT menjaga putrinya di mana pun ia berada.Namun sayang, seribu kali sayang. Ia harus menelan saliva pahit saat mengetahui bahwa kehidupan Yose jauh berbanding terbalik dengan apa yan
"Dek, are you ok?" tanya Eza saat melihat Ara yang daritadi hanya menundukkan kepalanya."Ara baik-baik aja, kok. Ya sudah, kalo gitu Ara mau istirahat di kamar saja, capek!" ucap Ara berniat segera berlalu pergi dari ruang tengah ini."Dek, sebentar duduk dulu. Ada yang ingin Abang bicarakan padamu," ucap Eza sambil menatap manik mata milik Ara.Ara lalu memilih untuk duduk kembali ke sofa dan menatap abangnya dengan raut wajah yang tak dapat diartikan."Kenapa, Bang?" tanya Ara sedikit penasaran."Bagaimana dengan rencanamu yang ingin pergi ke London, apakah jadi?" tanya Eza pada Ara yang terlihat bingung memikirkan sesuatu."Sepertinya enggak jadi, Bang. Lagipula Ara kan udah dapat kerjaan, Nandini yang merekomendasikan tempat kerja itu pada Ara. Jadi, mungkin sekarang akan fokus pada pekerjaan itu saja," ucap Ara setelah menimbang-nimbang untuk memutuskan."Baiklah. Apapun keputusanmu, Abang setuju saja. Selagi itu dalam hal baik dan positif, oh ya satu lagi. Kamu tidak perlu terl
"Jika kau masih tak bisa diberitahu, lebih baik kita pulang saja sekarang. Aku tidak ingin jika harus terlibat dalam permasalahanmu lagi. Jika kau masih ingin di sini, setidaknya jaga emosi dan ucapanmu di tempat orang lain!" tegas Anton sambil menatap sang anak dengan tatapan tajam."Maafkan, Jaka, Pa. Ya sudah kalo begitu Jaka ingin masuk ke dalam bersama Papa," ujarnya menunduk dan merapikan jasnya.Jantungnya berdetak kencang saat menginjak rumah Ara, karena ini adalah kali kedua ia menginjak rumah ini setelah sempat pernah adu selisih dengan Ara dan juga mantan mertuanya.Sedangkan Eza di belakang menatap Jaka dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Ia takut Jaka akan melakukan hal konyol lagi yang bisa saja membahayakan nyawa mereka yang berada dalam rumah ini.**"Bagaimana kabar, Ayah?" tanya Jaka dengan perasaan gelisah. Karena sekarang ia merasa sedang diintimidasi. Bahkan tatapan-tatapan mereka yang berada di dalam sini serasa sedang mengulitinya."Baik," jawab Faisal si
"Ara."Panggilan dari sebuah suara membuat Ara berhenti bernapas beberapa detik. Helaan napasnya terdengar berat."Dia lagi," gumam Ara nyaris tak terdengar."Bagaimana kabarmu? Kulihat sekarang kau semakin berisi dan terlihat lebih bahagia," ujar Jaka tanpa memedulikan tatapan tajam yang dilontarkan Eza padanya. Sekarang ia hanya memfokuskan pandangannya pada Ara.Wanita yang hampir membuatnya gila dan penuh akan segala obsesi yang tak bisa dikendalikan."Mau apa kau ke sini?" tanya Eza dengan wajah datar. Tangannya mengepal erat, bahkan sekarang napasnya pun tak beraturan. Terlihat terengah-engah.Baru saja tadi ia merasakan suasana yang baik-baik saja, tenang, damai tanpa ada gangguan sedikit pun. Setelah kehadiran Jaka, semuanya berubah menjadi panas dan tegang."Ara," panggil Jaka lembut tanpa menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan oleh Eza.Karena memang dari awal kedatangannya bukan untuk bertemu dengan Eza, melainkan melihat wanita yang dulu dan hingga saat ini masih memen
"Kau sadar tidak Jaka, caramu seperti ini hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Aku sudah lelah mengikuti segala kemauanmu, padahal kau baru saja tahu bahwa mamamu sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Jika mamamu mendengar kabar berita ini, dia juga pasti akan sangat sedih melihatmu begitu berambisi.""Pa, aku tidak berambisi. Aku hanya ingin memperbaiki semuanya bersama Ara. Aku tau aku salah, aku bahkan tidak mengelaknya. Namun, apakah salah jika aku mencoba untuk berubah dan menata semuanya agar kembali menjadi rapi?" tanya Jaka pada sang Papa. Semangatnya ketika ingin bertemu dengan Ara tadi hilang begitu saja saat mendengar penuturan dari sang Papa."Hentikan semua ini, Jaka! Kau lupa, baru beberapa hari ini kau membuat masalah pada Ara. Kau menyalahkan segalanya atas kematian mamamu pada Ara. Padahal jelas, mamamu pergi karena semua terjadi atas kecerobohanmu. Karena keras kepalamu yang hanya menuruti ego semata, tanpa memikirkan sebab apa yang akan terjadi ke depannya.