Fajar menyingsing di ufuk timur, cahayanya yang keemasan menyapu lembut permukaan danau yang tenang. Pagi itu, di hari keempat, Yao Pang melangkah ringan menyusuri lembah menuju pondoknya. Angin sejuk membelai wajahnya, membawa aroma segar rerumputan dan bunga-bunga liar.
Di tengah perjalanan, matanya tertuju pada sekumpulan bunga camelia yang mekar indah. Tanpa ragu, ia memetik beberapa tangkai, berniat memberikannya kepada Xiao Lin. Bagi masyarakat di dataran Cina, camelia melambangkan wanita cantik, dan bagi Yao Pang, Xiao Lin lebih dari layak menerimanya.
Ketika jemarinya baru saja menyentuh kelopak bunga terakhir, tiba-tiba cuping telinganya bergerak-gerak. Insting petarungnya yang tajam menangkap suara bayangan berkelebat dari arah hutan, mendekat dengan kecepatan tinggi, pertanda pemilik ilmu sinkang yang bukan sembarangan.
Tangan Xiao Lin bergerak lincah melipat pakaian, meski begitu matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. Sebenarnya, gadis cantik itu menyadari kesedihan yang terpancar dari mata Yao Pang saat ia berpamitan. Kebersamaan mereka selama tiga hari telah meninggalkan jejak mendalam di hati keduanya, menciptakan kenangan indah yang sulit dilupakan. Namun Xiao Lin bukanlah gadis biasa. Ia adalah murid Hoa Mei yang kelak akan menggantikan Biarawati Yun Hui menjadi ketua. Takdir telah menempatkannya pada jalur yang berbeda dengan Yao Pang. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk mengubur dalam-dalam perasaannya dan bertekad melupakan pria itu selamanya. "Nona Xiao, bagaimana kalau kita bersulang sebelum kau kembali ke Hoa Mei?" Suara lembut Yao Pang menggugah Xiao Lin dari lamunannya. Xiao Lin tersentak, konflik batin berkecamuk dalam dirinya. Ia ingin menolak, tak ingin menambah kenangan manis bersama pria yang sangat baik kepadanya. Namun, saat ia menatap sorot mata Yao Pang yang penuh harap
Xiao Lin berniat mengakhiri hidup pria yang telah merenggut kesuciannya, membalas sakit hati yang ia rasakan. Namun, tangannya serasa lumpuh. Cinta yang terlanjur bersemi di hati pada Yao Pang membuatnya lemah.Akhirnya, pedang itu jatuh berdenting ke lantai. Xiao Lin jatuh bersimpuh, tangisnya pecah memenuhi ruangan."Guru, maafkan muridmu yang tak berbudi ini," isaknya pilu, masa depannya yang gemilang kini telah hancur berkeping-keping.Yao Pang, menyaksikan gadis yang dicintainya begitu rapuh, tak kuasa menahan diri. Ia menghampiri Xiao Lin dan memeluk bahunya dari belakang."Xiao Lin, aku bersedia bertanggung jawab!" ujarnya penuh kasih, "tinggalkanlah dunia persilatan dan hiduplah bersamaku!"Xiao Lin
Malam merangkak pelan di atas perguruan Hoa Mei, menyelimuti bangunan-bangunan kuno yang telah berdiri selama ratusan tahun. Di dalam aula doa yang sunyi, Biarawati Yun Hui berlutut dalam kekhusyukan.Tangan kanannya memukul kentongan kecil berwarna merah, sementara tangan kiri menggerakkan butir-butir tasbih hitam dengan lincah. Bibirnya bergerak tanpa suara, merapalkan doa-doa yang telah dihafalnya selama bertahun-tahun.Di balik wajahnya yang tenang, hati Biarawati Yun Hui sedang berduka. Ia tak bisa melupakan murid yang paling dibanggakan dan dikasihi, Xiao Lin. Ia tak habis pikir mengapa tiba-tiba saja gadis itu menghilang bagai ditelan bumi, di saat ia sedang berobat kepada Tabib Sakti Shen Yi.Sambil terus memukul kentongan dan menggerakkan butiran tasbih, pikiran Ketua Hoa Mei jauh melayang. Ingatannya
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik awan, menyinari rumah sederhana di tepi danau Tian Tang. Di dalamnya, Xiao Lin bersenandung lembut, tangannya bergerak lincah menyiapkan bahan-bahan masakan.Hari ini adalah hari istimewa, yaitu hari genap satu tahun pernikahannya dengan Yao Pang. Senyum manis tak lepas dari wajahnya yang cantik, membayangkan kejutan yang akan ia berikan pada suami tercinta.Namun, senyum ibu muda itu seketika pudar saat menyadari satu bahan penting yang terlupa."Jamur!" serunya, menepuk kening dengan telapak tangan. Jamur kesukaan Yao Pang yang banyak tumbuh di sekitar danau, nyaris luput dari ingatannya.Setelah mengintip putri kecilnya, Yao Chen, yang masih terlelap di pembaringan, Xiao Lin memutuskan untuk bergegas ke tepi dana
Xiao Lin menggigil, bukan karena dinginnya udara pagi, tapi karena ketakutan yang mencengkeram hatinya. "Guru, mana mungkin Murid meninggalkan suami dan putriku yang masih bayi? Murid tidak sanggup!" ucap wanita muda itu seraya menyeka pipinya yang basah oleh air mata."Kau tidak tahu siapa laki-laki yang kau nikahi," Biarawati Yun Hui mendengus, "pernahkah kau menanyakan apa profesinya?""Suami Murid seorang pedagang," jawab Xiao Lin ragu-ragu, suaranya nyaris tak terdengar. Dalam hati ia menyesal tak pernah bertanya dengan jelas pekerjaan Yao Pang, karena terlalu percaya pada pria yang telah memberinya satu putri itu.Biarawati Yun Hui tersenyum sinis, ekspresi yang tak pernah Xiao Lin lihat sebelumnya di wajah gurunya. "Pedagang? Dia adalah pembohong besar!" sergah sang Biarawati tajam. "bagaimana mungkin kau menikah dengan laki-laki seperti itu? Dan aku juga sudah tahu bagaimana ia membuatmu setuju menikah dengannya!"Kata-kata terakhir Biarawati Yun Hui menghunjam tepat di jant
"Katakan pada Xiao Lin, suami dan putrinya datang untuk menjemput dia pulang!" Yao Pang berseru dengan keras, harapan dan kerinduan bercampur dengan kemarahan dalam suaranya yang bergema di seluruh halaman.Semua murid Hoa Mei, termasuk Ming Mei, terkejut mendengar seruan Yao Pang. Dalam benak gadis culas itu, ia melihat hal ini sebagai kesempatan emas untuk menyingkirkan Xiao Lin sekali dan untuk selamanya."Jangan bicara sembarangan!" bentak Ming Mei, matanya berkilat licik. "Apa buktinya kau suami Kak Xiao Lin?"Yao Pang, yang sudah mengenal sifat Ming Mei, memilih untuk tidak menanggapi pancingannya. Ia terus berteriak, memanggil nama Xiao Lin, memaksa istrinya keluar dan menemuinya.Tiba-tiba, sebuah suara dingin dan tajam terdengar dari belakang punggung Ming Mei, "Siapa yang bersikap kampungan, berteriak-teriak di halaman kediaman orang lain?" Semua mata serentak menoleh ke arah sumber suara. Di teras utama, berdiri dengan tegas, Biarawati Yun Hui. Wajahnya dingin dan pucat, ma
"Bersiaplah untuk mati!" Yun Hui mengayunkan pedang sekuat tenaga ke arah Yao Pang. Ketua Iblis Bayangan itu hanya bisa mengungkung putrinya dalam pelukan erat, memilih menjadi tameng hidup demi menyelamatkan nyawa anak semata wayang. Akan tetapi, takdir rupanya belum ingin mengakhiri kisah mereka ketika sebuah bayangan melesat dengan kecepatan yang nyaris tak terlihat oleh mata telanjang. Lian Xi, anggota veteran Iblis Bayangan tiba-tiba muncul di antara Yun Hui dan Yao Pang. Tangannya yang kokoh menggenggam sebilah pedang unik berbentuk seperti ular hijau. Suara dentingan keras terdengar memekakkan telinga, bunga-bunga api bertebaran di udara saat dua bilah pedang beradu dengan dahsyat. Kekuatan chi yang luar biasa terpancar dari kedua petarung, menciptakan gelombang energi yang mampu menggetarkan dinding pembatas perguruan. Lian Xi memutar pergelangan tangannya, pedangnya bergerak menciptakan tirai baja yang tak tertembus. Setiap serangan Yun Hui ditangkis dengan sama cepatnya,
Di sana berdiri sosok yang sangat ia kasihi, Xiao Lin, tetapi dengan penampilan berbeda. Rambutnya yang dulu panjang terurai kini telah dipotong pendek dan ditutup dengan topi khusus biksuni. Gaun sutranya telah digantikan oleh jubah biksu berwarna biru muda. Kedua tangannya menangkup di depan dada dalam sikap doa sambil memegang tasbih."Amitabha!" Suara lembut Xiao Lin bagaikan pisau yang menusuk jantung Yao Pang.Yao Pang terpaku, matanya melebar tak percaya. Mulut ketua Iblis Bayangan itu terbuka, namun tak ada satu pun kata yang mampu keluar. Di hadapannya bukan lagi Xiao Lin sang istri tercinta, melainkan seorang biksuni yang telah melepaskan ikatan duniawi."Xiao Lin, mengapa kau melakukan ini padaku?" tanya Yao Pang pilu. Matanya menatap nanar sosok wanita yang kini berdiri di hadapannya, begitu dekat namun terasa begitu jauh."Maaf Tuan, namaku bukan Xiao Lin, melainkan Biarawati Chong Sheng," jawab wanita itu sambil membungkuk penuh hormat. Meski suaranya halus, kata-katanya
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu