Malam itu, langit kota dipenuhi gemerlap bintang yang seolah menyaksikan segala yang terjadi di dunia manusia. Keira berdiri di balkon apartemennya, menatap panorama kota dengan tatapan kosong. Angin malam berembus lembut, mengibarkan helai rambutnya yang panjang.Pikirannya masih dipenuhi kejadian siang tadi. Percakapan dengan Adrian seolah mengendap di benaknya, mengulang setiap kata, setiap ekspresi yang muncul di wajah pria itu. Ada sesuatu yang berbeda dari Adrian belakangan ini. Sesuatu yang tak bisa ia definisikan dengan mudah.Adrian, di sisi lain, duduk di ruang kerja rumahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu, pikirannya berlarian tanpa arah. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan, tetapi pikirannya justru terjebak pada satu hal: Keira.Rasa ingin melindungi gadis itu semakin kuat, terlebih setelah peristiwa terakhir yang hampir membuat Keira dalam bahaya. Ia merasa ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya, sesuatu yang membuatnya harus lebih berhati-h
Hujan sudah reda, menyisakan udara yang lebih sejuk dan aroma tanah basah yang khas. Adrian dan Keira masih duduk di kedai kopi, membiarkan kehangatan secangkir kopi menjadi saksi bisu atas perasaan yang mengalir di antara mereka. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan untuk sesaat. Hanya tatapan mata yang berbicara, lebih jujur dari segala ucapan.Keira akhirnya menghela napas, menyadari bahwa percakapan ini tidak bisa dibiarkan menggantung. "Adrian," ucapnya lirih, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin. "Apa yang akan kita lakukan setelah ini?"Adrian menatapnya lama, seolah mencari jawaban di dalam mata Keira. "Aku ingin kita menghadapi semuanya bersama," jawabnya akhirnya. "Aku tahu ini sulit, aku tahu ada banyak rintangan, tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku ingin kita mencoba."Keira tersenyum tipis, ada harapan dalam sinar matanya. "Aku juga ingin mencoba, Adrian. Tapi aku takut...""Aku juga takut," sahut Adrian cepat, membuat Keira se
Hari itu, suara burung di taman keluarga Hartono terdengar seperti biasa, tetapi di dalam rumah megah itu, suasana jauh dari tenang. Keira duduk di sofa ruang tamu dengan kaki disilangkan, memelototi ayahnya yang duduk berhadapan dengannya. Di tangannya, sebuah cangkir kopi hampir tumpah karena tangannya yang bergerak-gerak gelisah. “Kenapa sih, Ayah selalu memaksakan kehendak?” sergah Keira dengan nada tinggi. “Aku bukan anak kecil lagi!” Tuan William Hartono, pengusaha dengan reputasi keras dan disiplin, tetap tenang menghadapi protes putrinya. Dengan rambut mulai memutih dan wajah tegasnya, ia menyampaikan pendapatnya dengan nada dingin. “Keira, sudah berapa kali aku bilang, ini soal keamanan. Kau mungkin merasa bisa menjaga dirimu sendiri, tapi nyatanya kau ceroboh. Sudah dua kali kau hampir terlibat kecelakaan dalam satu bulan terakhir,” katanya “Kalau soal itu, aku bisa lebih hati-hati! Tidak perlu menyewa orang asing untuk mengikuti aku ke mana-mana.” Tuan William meny
Pagi itu, Keira terbangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, pikirannya dipenuhi oleh Adrian. Refleks pria itu saat menyelamatkannya dari truk hari sebelumnya membuat nya penasaran. Namun, rasa penasaran itu bercampur dengan amarah kecil yang masih ia simpan. Dia tidak suka merasa seperti gadis lemah yang butuh perlindungan. Dan Adrian, dengan sikap tenang dan hampir sempurnanya, membuat Keira merasa seperti itu. “Apa dia benar-benar hanya seorang sopir?” Keira bergumam pelan sambil menatap dirinya di cermin. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, dan ia memilih pakaian kasual—sesuatu yang jarang ia lakukan. Saat ia melangkah keluar rumah, mobil sudah menunggunya. Adrian berdiri di samping mobil, membungkukkan sedikit badan sebagai tanda hormat. Senyum kecil menghiasi wajahnya yang tampak tanpa beban. “Selamat pagi, Nona Keira,” sapanya lembut. Keira meliriknya sekilas, lalu masuk ke mobil tanpa berkata apa-apa. Namun, ketika Adrian menutup pintu dengan hati-hati, Keira
Hari itu, Keira merasa ada yang aneh. Sejak pagi, ia tidak bisa berhenti memikirkan Adrian. Bukan karena rasa kagum, tapi lebih kepada rasa penasaran yang mengusik. “Apa sih yang sebenarnya dia sembunyikan?” Keira bergumam sambil menyesap teh di ruang makannya. Pikirannya kembali pada momen ketika Adrian dengan mudah menenangkan situasi di butik. Itu bukan sesuatu yang biasa dilakukan seorang sopir. Dia tidak hanya tenang, tetapi juga memiliki kehadiran yang memengaruhi orang lain. Keira menghela napas berat. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia terbiasa menjadi pusat perhatian, orang yang mengendalikan situasi, tetapi Adrian? Kehadirannya justru membuat Keira merasa sebaliknya. “Nona Keira, mobil sudah siap,” suara Adrian yang tenang membuyarkan lamunannya. Keira menoleh ke arah pintu. Adrian berdiri di sana dengan sikap sempurna seperti biasa, seragamnya rapi tanpa cela. Senyum kecil itu masih ada di wajahnya, dan itu membuat da
Keira tidak bisa tidur setelah percakapannya dengan Adrian. Kata-katanya terus terngiang di benaknya, terutama bagian di mana Adrian mengatakan bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk melindunginya. Melindungi dari apa? Keira memandang ke arah jendela kamarnya, melihat bayangan kota yang sepi. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya terus berkecamuk. Ia memutuskan untuk mencari jawaban, meskipun itu berarti melanggar batas. Ia membuka laptopnya dan mencoba mencari informasi tentang Adrian lagi. Kali ini, ia mencoba mencari dengan lebih mendalam. Namun, sekali lagi, hasilnya nihil. Keira menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat begitu berpendidikan dan penuh pengalaman tidak meninggalkan jejak digital sama sekali?" gumamnya. Namun, saat ia membuka folder lamanya, matanya tertuju pada sebuah foto keluarganya. Di foto itu, ia masih kecil, berdiri di antara kedua orang tuanya. Ibunya memeluknya erat, sementara ayahnya tampak seperti biasa—dingin dan
Keira menatap Adrian dengan pandangan serius ketika pria itu memasuki ruang tamu di rumahnya. Di atas meja, peta besar kota terbuka dengan beberapa tanda merah. Adrian terkejut melihat keberanian baru dalam diri Keira. “Kau yakin tentang ini, Nona Keira?” tanya Adrian dengan nada tenang, tetapi penuh peringatan. Keira mengangguk, meskipun hatinya masih gemetar. “Jika mereka mengincarku, aku tidak akan duduk diam. Kita harus mencari tahu siapa mereka, apa rencana mereka, dan menghentikannya sebelum mereka menghancurkan keluargaku.” Adrian menatap gadis itu dalam-dalam. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak percakapan terakhir mereka. Keira bukan lagi gadis manja yang hanya peduli pada kemewahan. Kini ia terlihat seperti seorang pejuang yang menemukan keberanian baru dalam dirinya. “Baiklah,” kata Adrian akhirnya. “Tapi jika kita akan melangkah ke dunia ini, Anda harus siap. Dunia mereka tidak kenal belas kasihan.” “Kalau begitu, kau harus mengajarkanku,” jawab Keira teg
Keira duduk di kamar kerjanya, menatap dokumen yang mereka ambil dari gudang semalam. Tulisan-tulisan di atas kertas itu penuh dengan simbol aneh, nama-nama yang ia tidak kenali, dan beberapa angka yang tampaknya merupakan koordinat. "Adrian, apa ini sebenarnya?" tanyanya, suaranya bergetar sedikit saat Adrian memasuki ruangan. Pria itu berjalan mendekat, mengenakan ekspresi serius yang membuat suasana semakin tegang. "Ini peta aktivitas mereka. Tempat-tempat ini adalah lokasi yang sering mereka gunakan untuk rapat atau menyembunyikan operasi mereka." Keira meremas tangannya, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus-menerus membayangkan bahaya yang mengintai. "Jika mereka tahu kita mengambil ini, apa yang akan mereka lakukan?" Adrian menatapnya, matanya menunjukkan rasa empati sekaligus peringatan. "Mereka akan mencoba menghentikan kita. Mereka tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi tujuan mereka." Ucapan itu membuat darah Keira membeku. Namun, ia menguatkan dir
Hujan sudah reda, menyisakan udara yang lebih sejuk dan aroma tanah basah yang khas. Adrian dan Keira masih duduk di kedai kopi, membiarkan kehangatan secangkir kopi menjadi saksi bisu atas perasaan yang mengalir di antara mereka. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan untuk sesaat. Hanya tatapan mata yang berbicara, lebih jujur dari segala ucapan.Keira akhirnya menghela napas, menyadari bahwa percakapan ini tidak bisa dibiarkan menggantung. "Adrian," ucapnya lirih, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang mulai mendingin. "Apa yang akan kita lakukan setelah ini?"Adrian menatapnya lama, seolah mencari jawaban di dalam mata Keira. "Aku ingin kita menghadapi semuanya bersama," jawabnya akhirnya. "Aku tahu ini sulit, aku tahu ada banyak rintangan, tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku ingin kita mencoba."Keira tersenyum tipis, ada harapan dalam sinar matanya. "Aku juga ingin mencoba, Adrian. Tapi aku takut...""Aku juga takut," sahut Adrian cepat, membuat Keira se
Malam itu, langit kota dipenuhi gemerlap bintang yang seolah menyaksikan segala yang terjadi di dunia manusia. Keira berdiri di balkon apartemennya, menatap panorama kota dengan tatapan kosong. Angin malam berembus lembut, mengibarkan helai rambutnya yang panjang.Pikirannya masih dipenuhi kejadian siang tadi. Percakapan dengan Adrian seolah mengendap di benaknya, mengulang setiap kata, setiap ekspresi yang muncul di wajah pria itu. Ada sesuatu yang berbeda dari Adrian belakangan ini. Sesuatu yang tak bisa ia definisikan dengan mudah.Adrian, di sisi lain, duduk di ruang kerja rumahnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu, pikirannya berlarian tanpa arah. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan, tetapi pikirannya justru terjebak pada satu hal: Keira.Rasa ingin melindungi gadis itu semakin kuat, terlebih setelah peristiwa terakhir yang hampir membuat Keira dalam bahaya. Ia merasa ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya, sesuatu yang membuatnya harus lebih berhati-h
Adrian menatap layar laptopnya dengan tatapan serius. Peta digital yang terbuka di depannya menunjukkan beberapa titik merah yang menandakan pergerakan musuh. Di sampingnya, Keira duduk dengan tangan terlipat, ekspresinya tidak kalah serius."Mereka bergerak lebih cepat dari yang kita perkirakan," ujar Keira. "Sepertinya mereka sudah mencium keberadaan kita."Adrian mengangguk, tangannya mengetik dengan cepat di keyboard, mengakses sistem keamanan yang sebelumnya telah mereka retas. "Tapi kita masih punya sedikit keunggulan. Aku berhasil masuk ke dalam jaringan mereka. Kita bisa melihat setiap pergerakan mereka, meskipun tidak bertahan lama."Raka, yang sejak tadi duduk di kursi di sudut ruangan, akhirnya bersuara. "Kalau begitu, kita harus segera mengambil langkah sebelum mereka menutup celah ini. Apa rencananya?"Pak Hendro, yang berdiri di dekat jendela sambil mengawasi keadaan luar, akhirnya berbalik menghadap mereka. "Kita harus bergerak malam ini. Jika menunggu lebih lama,
Malam itu, kota masih terjaga dalam gemerlap lampu jalanan, sementara Adrian dan Keira duduk di dalam mobil yang terparkir di sudut jalanan sepi. Mereka menunggu kabar dari Gilang, yang tengah mencoba menembus jaringan rahasia untuk mendapatkan informasi penting.Keira menggigit bibirnya, matanya terus mengamati layar ponselnya yang belum menunjukkan tanda-tanda pesan baru. "Apa menurutmu dia akan berhasil?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.Adrian meliriknya sekilas sebelum kembali memperhatikan jalanan. "Gilang itu jenius. Jika ada yang bisa masuk ke sistem mereka tanpa terdeteksi, itu dia."Hening sejenak. Keira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Mereka sudah terlalu jauh masuk ke dalam misteri ini. Satu langkah salah, dan semuanya bisa berakhir begitu saja.Tak lama, ponsel Adrian bergetar. Sebuah pesan masuk dari Gilang. "Dapat. Kirim lokasi. Kita ketemu sekarang."Adrian langsung menyalakan mesin mobil. "Kita berangkat."Mereka tiba di sebu
Suasana di dalam ruangan terasa begitu sunyi. Hanya suara napas Adrian yang terdengar, berpadu dengan detak jarum jam yang berjalan lambat seolah menambah ketegangan yang menggantung di udara.Di hadapannya, layar komputer menampilkan laporan terakhir yang telah ia susun. Semua bukti, semua data, semuanya telah siap untuk langkah terakhir.Keira melangkah mendekat, menatap layar dengan ekspresi serius. "Jadi, ini akhirnya?"Adrian mengangguk pelan. "Setelah sekian lama, kita sampai di titik ini."Raka, yang sejak tadi bersandar di dinding, menyilangkan tangan di dada. "Tidak ada jalan kembali setelah ini. Begitu kita menekan tombol kirim, dunia akan tahu segalanya."Pak Hendro menarik napas panjang. "Dan mereka tidak akan tinggal diam."Keira menoleh ke arah pria tua itu. "Apa ada yang perlu kita takutkan? Bukankah ini yang kita inginkan?"Pak Hendro menatapnya dengan tatapan tajam. "Keinginan dan konsekuensi adalah dua hal yang berbeda, Keira. Setelah ini, kita bukan hanya pencar
Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Di luar safe house yang tersembunyi, bayang-bayang pohon bergoyang pelan diterpa angin. Adrian duduk di tepi jendela, menatap gelapnya langit yang kini terasa lebih lapang.Mereka menang. Omega Prime telah runtuh, dan kebenaran akhirnya terungkap ke publik. Tapi mengapa dadanya masih terasa sesak?Keira mendekat, duduk di sampingnya dengan secangkir kopi di tangan. "Kau kelihatan masih gelisah," katanya tanpa basa-basi.Adrian menghela napas, lalu menggeleng. "Aku hanya berpikir… setelah semua ini, apa yang akan terjadi selanjutnya?"Keira menyesap kopinya sebelum menjawab, "Kita beristirahat. Setidaknya untuk sekarang."Tapi Adrian tahu, istirahat bukanlah sesuatu yang mudah bagi mereka. Dunia tidak akan tiba-tiba menjadi tempat yang lebih baik hanya karena satu organisasi jahat telah tumbang. Masih banyak kekacauan di luar sana, dan dia tahu, cepat atau lambat, mereka akan kembali terlibat dalam sesuatu yang lebih besar.Tiba-tiba, s
Malam itu, langit kota tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut merasakan ketegangan yang menyelimuti Adrian dan timnya. Mereka telah sampai pada titik tanpa jalan kembali—malam ini akan menjadi penentu apakah mereka berhasil mengungkap kebenaran atau jatuh dalam perangkap yang telah disiapkan musuh.Adrian menatap layar laptopnya dengan rahang mengatup. Deretan kode dan file dokumen yang berisi bukti-bukti kejahatan Omega Prime telah dikumpulkan. Satu langkah lagi, dan semuanya akan terbuka ke publik.Raka berdiri di belakangnya, menggigit bibir. "Kita benar-benar akan melakukan ini sekarang?" tanyanya, suaranya penuh kecemasan."Ya," Adrian menutup laptopnya dan menatap timnya. "Tidak ada pilihan lain. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan mereka menemukan kita lebih dulu."Keira, yang berdiri di dekat jendela dengan tubuh siaga, menoleh dengan sorot mata tajam. "Aku sudah menyiapkan rute pelarian kalau sesuatu terjadi. Tapi kita harus memastikan rencana ini berj
Adrian menggenggam hard drive di tangannya dengan erat. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan adalah dengan memanfaatkan seseorang yang lebih berbahaya dari musuh mereka saat ini.Keira masih menatapnya dengan tatapan curiga. “Siapa orang ini?”Adrian menghela napas panjang. “Namanya Victor.”Pak Hendro mengernyit. “Victor? Maksudmu—Victor yang dulu hampir menghancurkan seluruh jaringan bawah tanah di kota ini?”Adrian mengangguk. “Ya, dia.”Keira mendengus. “Jadi kau mau menyerahkan data ini pada orang seperti dia?”“Tidak ada pilihan lain,” jawab Adrian tegas. “Victor mungkin berbahaya, tapi dia memiliki alasan sendiri untuk menjatuhkan organisasi ini. Jika kita bisa membuatnya bekerja sama, peluang kita jauh lebih besar.”Raka menatap Adrian dengan serius. “Dan kalau dia menolak? Atau lebih buruk lagi—mengkhianati kita?”Adrian menatap mereka satu per satu. “Kalau itu terjadi, kita semua dalam masalah besar.”Suasana menjadi sunyi sejenak.Keira akhirnya mengh
Adrian duduk di depan meja kayu tua di dalam rumah persembunyian mereka. Laptopnya terbuka, menampilkan barisan kode yang terus bergerak di layar. Wajahnya tegang, matanya tidak lepas dari monitor. Keira duduk di seberangnya, menyesap kopi hitam yang sudah mulai dingin.“Berapa persen lagi?” tanya Keira, suaranya pelan, tapi penuh harap.Adrian mengusap wajahnya, merasa sedikit letih. “Hampir selesai. Aku sedang menyempurnakan enkripsi supaya data ini tidak bisa dihapus dari sistem.”Di sudut ruangan, Raka duduk dengan tangan terlipat di dadanya, sementara Pak Hendro berdiri di dekat jendela, sesekali melirik ke luar. Keadaan di luar tampak tenang, tetapi mereka semua tahu, ketenangan seperti ini bisa pecah kapan saja.“Kita harus bergerak cepat,” kata Pak Hendro akhirnya. “Kita tidak tahu berapa lama waktu yang kita miliki sebelum mereka menemukan kita.”Raka bangkit, berjalan ke arah Adrian. “Apa kamu yakin data ini cukup kuat untuk menjatuhkan mereka?”Adrian menoleh sekilas. “