Andra pulang ke apartemennya pada malam hari. Ia yang sangat frustasi itu menghabiskan waktunya di dalam club malam. Ia tidak peduli jika ada muridnya atau teman kerjanya yang melihat. Saat ini ia hanya ingin melupakan beban perasaan yang ada di hatinya. Ia tersenyum lebar dengan langkah sempoyongannya ke arah kamar. Saat membuka pintu kamar, ia menghentikan langkahnya. Kedua mata sayupnya itu mengerjap beberapa kali. Ia melihat Eva yang tengah duduk di tepi kasur, wanita itu menatapnya dengan wajah sedih. Andra mengucek matanya dengan kedua tangan. Tapi Eva masih tetap ada di sana.
"Apa ini pengaruh alkohol?" tanya Andra pada dirinya sendiri.
Andra berjalan maju, perlahan ia mendekati Eva yang masih duduk di tempatnya. Ia meletakkan tangannya di bahu Eva, ia bisa menyentuhnya. Andra tersenyum lebar lalu memeluk tubuh mantan istrinya tersebut. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan wanita itu saat ini. Ia benar-benar tidak bisa menahan rasa rindunya. Ia benar-benar keh
Eva dan kedua sahabatnya berkeliling kota Jakarta cukup lama. Mereka mengunjungi semua tempat yang belum pernah mereka datangi. Tibalah saatnya pulang karena matahari sudah hampir terbenam. Sebelum pulang, Ina mengusulkan untuk makan terlebih dahulu. Lalu Eva merekomendasikan restoran yang menjadi tempat favoritnya, tidak lain restoran milik Robi. Kedua sahabatnya yang pernah beberapa kali ke sana pun menyetujuinya. Mereka langsung tancap gas ke tempat tersebut. Sebelum tiba di sana, Eva mengirim pesan singkat pada Robi. Ia memberitahukan pria itu bahwa ia sedang menuju ke sana. Jika dilihat dari balasannya, Robi terlihat sangat senang. Ia bahkan mengatakan akan mengosongkan satu meja untuk Eva dan kedua sahabatnya. Ia juga akan memberikan hidangan spesial untuk mereka. Robi benar-benar menanti kedatangan mereka. Tanpa terasa, mereka sudah tiba di depan restoran tersebut. Eva dan Vira langsung menghambur keluar. Sedangkan Ina memarkir mobilnya terlebih dahulu. Saat b
Malam ini Andra memutuskan untuk mendatangi rumah Eva. Ia tidak tahu apa ia bisa kembali dalam keadaan bernyawa atau tidak. Kini yang ada dipikirannya, ia ingin bicara dengan Eva. Ia ingin tetap memiliki hubungan yang baik-baik saja dengan wanita itu. Meskipun mereka sudah bercerai, setidaknya mereka bisa kembali berteman. Ya, walaupun sempat ada niat untuk menjadi lebih dari teman. Entah mengapa rasanya Andra tidak bisa melepas wanita itu begitu saja. Ia merasa sangat marah saat wanita itu dekat dengan pria lain. Padahal sekarang statusnya bukanlah orang yang bisa melarang wanita itu dekat dengan orang lain. Ia sudah menjadi orang lain bagi Eva. Tapi tidak bagi Andra, wanita itu bukanlah orang lain. Wanita itu masih tetap memiliki ruang di hatinya. Bodohnya ia yang terlalu mendahulukan ego dibanding perasaannya.Andra tiba di depan gerbang kompleks rumah Eva. Dari kejauhan, ia melihat sebuah mobil Honda Jazz berwarna hitam terparkir di depan gerbang rumah wanita itu. Perlaha
Usai pertemuannya dengan Andra di tengah hujan, kini hubungan mereka sedikit membaik. Eva sudah mau sedikit demi sedikit menjalin perbincangan dengan pria itu. Walau sesekali ia mengabaikan pesan dari Andra, tapi nampaknya itu tidak terlalu berdampak pada kedekatan mereka. Seminggu ini, Andra dan Eva sudah bertemu di luar lingkungan rumah beberapa kali. Tentu saja mereka tidak berdua, karena selalu ada Robi yang mengantarnya. Entah mengapa Robi juga semakin melekat dengannya. Ia selalu meminta Eva agar menghubunginya jika ingin pergi ke mana-mana. Ia tidak pernah membiarkan wanita itu pergi seorang diri untuk menemui Andra.Misalnya seperti sekarang. Eva berjalan dengan diapit oleh dua pria tersebut. Padahal ia sudah bilang untuk jalan beriringan saja. Tapi kedua pria itu nampaknya tidak mau menurut. Mereka malah membuat Eva berada dalam posisi terhimpit seperti ini. Berulang kali ia melihat tatapan aneh yang dilontarkan oleh orang yang mereka lintasi. Eva benar-benar merasa
Setelah tiba di rumah dengan diantar oleh Robi, Eva langsung masuk ke kamarnya. Ia sama sekali tidak berniat untuk menghubungi Andra. Ia lebih memilih mengerjakan pekerjaannya yang dibawa ke rumah. Setidaknya itu lebih berguna daripada mengurusi pria yang memiliki kepribadian ganda seperti itu. Eva mengambil laptop dari meja, lalu membawanya naik ke atas kasur. Satu-satunya keuntungan bekerja di rumah, ia bisa mengerjakannya dengan santai. Ia bisa mengerjakannya sambil tiduran, makan, dan sebagainya. Meskipun tidak berbeda jauh dengan di kantornya yang tergolong memiliki aturan santai itu, tapi tetap saja rasanya berbeda.Eva melihat satu per satu permintaan design dari kliennya. Menurutnya permintaan para kliennya itu sangat merepotkan. Mereka selalu meminta sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya membuat pakaian yang tertutup tapi terbuka. Membacanya saja sudah membuat Eva memutar keras otaknya. Ia beralih ke klien selanjutnya. Kali ini permintaannya tidak terlalu rum
"Makanya hati-hati."Eva mencebikkan bibirnya. Entah sudah berapa kali ia mendengar Robi mengatakan itu. Walau bibirnya terus saja berkomat-kamit, tapi tangannya tetap bergerak mengurut pergelangan kaki Eva. Hal itu tentu saja membuat Eva tidak terlalu mendengarkan semua ocehan pria itu. Eva menatap keluar jendela, rintik hujan mulai turun. Padahal sama sekali tidak ada ramalan akan turunnya hujan malam ini. Ia menunjuk keluar jendela, Robi pun mengikuti arah telunjuknya. Lalu pria itu mengambil sesuatu dari bawah tempat duduknya. Terlihat sebuah payung berwarna biru langit. Eva tersenyum tipis, pria itu memang selalu mempersiapkan hal-hal sederhana seperti itu."Kamu mau pulang?" tanya Robi.Eva terdiam sejenak, ia mengangkat sebelah tangannya untuk melihat arloji. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Padahal mereka baru berada di sana sebentar. Eva menganggukkan kepalanya pelan, ia sudah harus kembali ke rumah. Robi langsung membuka pintu, la
Dua bulan berlalu, sejak hari perceraian Eva dengan Andra. Begitu juga hubungan Eva dengan Robi, mereka kini sudah sangat dekat. Robi sudah menganggap mengantar dan menjemput Eva sebagai rutinitasnya. Kedua sahabat Eva juga menyambut manis hubungan mereka. Vira mengatakan kalau ia merasa sangat iri dengan Eva. Ia mengutarakan kalau ingin juga memiliki kekasih seperti pria itu. Namun ia masih belum mendapatkannya. Entah karena jodohnya masih belum tiba atau belum lahir.Vira menepuk bahu Eva cukup keras. Ia menunjuk ke depan melalui matanya. Eva mengikuti arah pandangan sahabatnya itu. Rupanya ia hendak memberitahu kalau Robi sudah menunggunya di parkiran. Eva tersenyum begitu manis, ia pamit pada kedua sahabatnya untuk pergi terlebih dahulu. Langkahnya terarah menuju Robi yang baru keluar dari mobil. Pria itu nampaknya telah menyadari kalau Eva hendak menghampirinya. Pria itu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan kanannya. Ya, seperti inilah hubungan asmara yang diinginka
Pernikahan.Untuk kedua kalinya Eva di hadapkan pada satu kata itu. Sebenarnya hatinya masih belum siap untuk menjalin hubungan seperti itu lagi. Selain karena ia masih trauma, ia juga masih belum bisa sepenuhnya melupakan perasaannya pada Andra. Walaupun ia sudah bisa mulai menyukai Robi, bukan berarti perasaannya pada Andra sudah sirna. Ia memutar otaknya dengan susah payah, memikirkan kalimat yang tepat untuk sedikit mengulur waktu. Jika harus menjawabnya sekarang, ia bisa memilih pilihan yang salah.Eva menggigit bibir bawahnya dengan panik. Berulang kali ia menatap Robi dan ibunya secara bergantian. Ia melihat sorot mata penuh harap dari pria tersebut. Sedangkan ibunya menatapnya dengan penuh cemas. Namun baru saja ia ingin membuka mulutnya, Robi langsung mendeham pelan."Saya tahu Eva pasti masih belum siap," kata Robi sambil tersenyum manis.Eva mengangkat kedua alisnya dengan terkejut, lalu mengangguk pelan. "I-iya, benar. Saya masih belum siap."
Andra menyandarkan kepalanya di sebuah sofa bekas yang ada di rooftop bangunan tempat tinggalnya ini. Sebenarnya ini tidak bisa disebut dengan kost, lebih tepat di bilang rumah susun. Tapi tempat ini lebih bersih hingga membuatnya sangat nyaman berada di sini. Penghuninya juga tidak mengganggu, ia bisa tidur dengan nyaman. Selain itu, ia juga bisa terbebas dari hidupnya yang berat.Andra menghela napasnya pelan, menengadahkan kepalanya ke langit yang biru. Ia meringis saat cahaya matahari langsung merobos masuk ke dalam matanya. Ia memejamkan matanya erat, membiarkan panas matahari membakar tubuhnya. Terdengar suara langkah kaki dari tangga. Nampaknya akan ada penghuni lain yang naik. Ia segera bangun dari sofa, lalu mengambil gelas dan teko yang ia bawa. Ia berlari kecil menuju tangga, lalu ia berpapasan dengan Udin yang tengah merengut. Andra yang semula hanya berlari kecil itu langsung mempercepat langkahnya. Suasana sekitar yang sepi, memudahkannya menjadi mangsa bagi seo
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan