Eva menatap sekelilingnya. Tempat ini benar-benar terasa tidak asing di matanya. Ia bahkan bisa mengetahui setiap ruangan yang ada di sana. Tapi ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa mengetahuinya. Padahal ia tidak kenal dengan pria yang duduk berhadapan dengannya ini. Pria itu menunduk, mengamati ponselnya dengan saksama. Tiba-tiba kilatan cahaya dari kamera ponsel pria itu mengarah padanya. Eva langsung mendelik, ia berusaha untuk meraih ponsel pria itu. Andra berdiri sambil tersenyum lebar. Lalu ia memasukkan ponsel itu ke sakunya.
"Oke, sekarang nama kamu Eva," kata Andra.
"Apa hak kamu kasih nama saya?" tanya Eva dengan kesal.
Andra tersenyum tipis lalu mengedikkan bahunya. Ia berjalan menuju sebuah ruangan yang diketahuinya sebagai kamar. Eva mengikuti pria itu, ia mengintip dari celah pintu kamar itu. Ternyata benar dugaannya, itu pasti kamar. Eva membuka pintu itu, lalu masuk tanpa meminta izin pada pemilik rumah tersebut. Pandangan Eva berputar, menatap
Eva menggeliat pelan, ia mengerjapkan kedua matanya. Ia sempat terkejut saat berada di tempat ini. Seingatnya, ia masih berada di rumah sakit. Tapi sedetik kemudian ia ingat bahwa memiliki tempat tinggal baru. Walaupun harus memainkan sebuah drama rumah tangga dengan pemilik rumah tersebut. Eva bangun dari sofa yang menjadi tempat tidurnya. Saat hendak menurunkan kakinya, ia hampir saja menginjak pecahan gelas yang ada di lantai. Untung refleknya bagus hingga tidak mengalami cedera. Eva bergegas mencari sapu dan mengambil tempat sampah untuk membersihkan pecahan gelas tersebut. Secara perlahan ia menyapu pecahan gelas itu masuk ke dalam tempat sampah."Hampir saja kaki gue luka! Tuh orang ga ada bantunya sama sekali!" rutuk Eva.Setelah bersih, Eva bergegas ke arah kamar mandi. Sudah beberapa hari ia tidak mandi. Tubuhnya mungkin sudah sangat merindukan air. Saat berada di kamar mandi, ia mengernyit bingung melihat peralatan mandi yang terpisah. Ia berpikir hubungan ru
Eva melirik jam dinding yang berhadapan dengannya. Ia mendengus pelan, sudah 3 jam sejak kepergian Andra, pria itu masih belum kembali juga. Padahal tadi dia bilang akan kembali lagi. Ya, walaupun dia sama sekali tidak bilang kapan akan kembali. Eva berjalan menuju jendela, di luar sana langit masih cerah. Jika mencari jalan ke apartemen itu, mungkin ia bisa pulang. Tapi bagaimana jika Andra datang ke sini mencarinya? Ah, beginilah kalau tidak ada ponsel. Ia bahkan lupa menanyakan nomor ponsel Andra. Setidaknya jika ia punya, ia bisa menghubunginya lewat telepon umum. Eva yang melihat seorang dokter melintasi pintu kamarnya pun langsung menghambur. Lalu ia menarik sebelah lengan dokter tersebut."Dok, apa laki-laki yang mengantar saya ke sini meninggalkan nomor telepon?" tanya Eva.Dokter itu terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya dokter tersebut.Eva mengangguk cepat. "Bisa tolong hubungi laki-laki itu? Saya mau pulang."
Selepas makan, Eva langsung merebahkan tubuhnya di kasur rumah sakit. Ia memiringkan tubuhnya, menatap Andra yang sedang membereskan bekas kekacauannya. Eva tersenyum tipis, lalu ia memejamkan kedua matanya. Andra yang melihat Eva sudah tertidur memutuskan untuk pulang. Ia harus benar-benar beristirahat jika tidak ingin sakit esok hari. Andra memaksakan senyumnya walau sangat lelah. Ia membuka pintu ruangan itu dengan perlahan agar tidak membangunkan Eva. Setelah keluar dari sana, barulah ia bisa bergerak bebas.Andra berjalan menuju apartemennya yang berjarak 70 meter dari klinik. Di tengah jalan yang sepi, Andra melihat seorang wanita tengah berdiri. Dari kejauhan, ia bisa menebak kalau wanita itu tengah menatap ke arahnya. Andra memicingkan kedua matanya agar bisa melihat wajah wanita itu. Ia mendekati wanita itu dengan perlahan. Saat mereka berjarak 10 meter, wanita itu mulai berjalan mendekat. Andra terdiam di tempatnya sambil terus menatap wanita itu."Andra!"
Melihat Eva yang sudah terlihat sehat, Andra memutuskan untuk membawanya pulang. Jika terlalu lama berada di klinik, bisa-bisa uangnya akan terkuras habis. Mengingat biaya perawatan perharinya cukup menguras kantong. Eva juga terlihat senang saat diberitahu akan segera pulang. Ia bilang sudah merasa bosan berada di tempat tersebut. Andra langsung menuju ke tempat pembayaran untuk melunasi semua biaya perawatan Eva. Sedangkan Eva sibuk merapikan kamar yang bekas menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari itu. Ia juga membereskan sampah bekas makanan yang ada di setiap sudut kasur. Andra kembali ke ruangan yang masih di tempati Eva, lalu ia membawa tas milik wanita tersebut."Ayo pulang, Va," kata Andra.Eva mengangguk lalu menghampiri Andra yang berdiri di bibir pintu. Tapi walau mereka terlihat sangat dekat, seperti masih ada jarak yang tak terlihat. Eva masih terus menjaga jaraknya dengan Andra, karena dia sendiri tidak tahu pria itu orang yang seperti apa. Ia jug
Akhirnya Andra pergi bekerja berkat Eva yang berulang kali memaksanya. Walau ia masih merasa belum tenang, tapi ia tetap melakukan apa yang disuruh oleh wanita itu. Selama di perjalanan, matanya tak kunjung berhenti menoleh ke sekitar. Ia terus berjaga-jaga jika ada seseorang yang mencurigakan. Setelah dirasa tidak ada sesuatu yang mencurigakan, Andra baru bisa berangkat kerja dengan perasaan tenang. Andra menaiki angkutan kota seperti biasa. Saat angkutan kota itu sudah melaju, tiba-tiba Andra melihat sosok berpakaian hitam yang muncul dari balik rumah makan. Kedua mata Andra langsung melebar. Ia hendak turun, tapi posisi duduknya saat ini sangat sulit karena berada paling pojok. Ia mengambil ponsel dari sakunya untuk menghubungi Eva. Tapi ia lupa kalau wanita itu belum punya ponsel. Ia mengusap wajahnya dengan kasar."Pak, bisa turun sebentar?" tanya Andra pada sopir angkutan kota tersebut."Yah, ga bisa," jawab sopir itu.Andra mendesis pelan, ia melihat soso
"Tolong dengarkan ucapan saya, sekali saja!"Andra tidak henti-hentinya memarahi Eva. Sejak kepulangannya yang dadakan hingga dua jam setelahnya, ia terus saja mengungkapkan isi hatinya. Ia mengungkapkan bagaimana cemasnya ia dengan Eva saat ini. Ia menyodorkan sebuah kotak pada Eva. Setelah itu ia kembali pergi ke tempat kerjanya. Ia tidak boleh terlalu menuruti perasaannya dan mengabaikan pekerjaan. Beberapa menit setelah kepergian Andra, Eva langsung membuka kotak tersebut. Awalnya ia mengira itu hanya kotak berisi semprotan merica untuk jaga diri. Ternyata isinya adalah sebuah ponsel. Eva tersenyum tipis lalu menghidupkan ponsel tersebut. Rupanya ponsel itu sudah di aktifkan oleh Andra. Ia mengecek kontak, ternyata ada satu nomor yang diberi nama Andra.Eva langsung menghubungi nomor tersebut. Tapi sayangnya tidak diangkat. Mungkin saja Andra sedang berada di perjalanan saat ini. Makanya dia tidak mengangkat teleponnya. Eva beralih pada sosial media. Ia membuat sat
Eva hanya terdiam saat dirinya dibawa oleh pria berpakaian hitam itu. Ia menatap punggung pria itu tanpa melakukan sedikit pun perlawanan. Ia mengikuti ke mana langkah kaki pria itu pergi. Hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah mobil avanza berwarna hitam. Pria itu menyuruh Eva untuk masuk terlebih dahulu. Sedangkan pria itu nampak tengah menghubungi seseorang. Dari dalam mobil, Eva mendengar suara sirine polisi. Sebenarnya ia ingin keluar dari sana. Tapi jika ia kabur lagi, ia akan terus diganggu oleh pria berbaju hitam ini. Akhirnya ia tetap memilih diam di dalam mobil. Pria itu sesekali menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam. Eva mengerti tatapan yang mengartikan agar tetap diam di dalam sana.Eva melihat ponselnya yang ada di dashboard mobil itu berbunyi. Ia bisa menebak bahwa panggilan itu datang dari Andra. Mengingat hanya pria itu yang mengetahui nomor teleponnya. Tidak ada lagi yang tahu, kecuali Andra yang menyebarkan nomornya. Ponselnya kembali meredup, panggi
Hal pertama yang dilakukan Eva saat berhasil mendapatkan ingatannya kembali adalah bekerja. Ia memutuskan untuk pergi bekerja pagi ini. Semalaman penuh ia menjaga Andra di rumah sakit, ia berhasi menemukan kepingan ingatannya. Eva menatap gedung yang entah sudah berapa lama tidak didatanginya. Ia tersenyum tipis lalu berjalan menuju pintu masuk. Nampak kedua satpam yang biasa menjaga gedung itu menatapnya dengan wajah terkejut. Eva sendiri sudah tahu apa yang membuat mereka terkejut. Tentu saja mereka sudah berpikir kalau Eva mengundurkan diri."Loh, mba Eva? Kok bisa ada di sini?" tanya salah satu satpam yang ada di sana.Eva tersenyum tipis ke arah satpam tersebut. "Saya baru selesai cuti, Pak."Kedua satpam itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mempersilakan Eva untuk masuk ke dalam bangunan besar tersebut. Pemandangan yang sekian lama tidak ia lihat. Ia benar-benar merasa terlahir kembali. Saat tengah sibuk memperhatikan sekitar, ia dikejutkan den