Setelah kejadian semalam, Eva masih tetap bungkam. Ia sengaja bangun lebih lambat agar Andra pergi lebih dulu. Setelah mendengar suara pintu yang tertutup, Eva langsung bangun dari tempat tidurnya. Ia melihat jam yang baru menunjukkan pukul 6 pagi. Ia segera bergegas merapikan dirinya yang masih seperti singa tersebut. Ia cukup menghabiskan banyak waktu berkutat di kamar mandi. Setelah keluar, alarmnya berbunyi sangat keras. Itu menandakan waktu sudah tepat setengah tujuh. Tidak disangka ia menghabiskan waktu setengah jam di kamar mandi. Ia menghambur ke kamar tanpa mengunci pintu.
Saat tengah asik mengenakan pakaian, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka. Eva terbelalak kaget, ia bergegas menutup pintu kamar. Namun pintu itu tertahan oleh sesuatu. Ia menundukkan kepalanya, ternyata ada ujung sepatu yang menahan pintu. Lalu nampak wajah Andra yang begitu dingin dari celah pintu."Kamu menghindari saya?" tanya Andra.Eva menggeleng cepat.Nuri dan Bambang sudah tiba di depan unit Andra. Berulang kali Nuri menekan tombol untuk bisa masuk ke dalam unit tersebut. Bambang sudah memerintahkan istrinya untuk berhenti, namun istrinya itu bersikeras ingin masuk dan melihat kondisi tempat tinggal putranya."Kamu tidak punya kartu akses?" tanya Bambang.Nuri menggeleng lemah. Waktu itu ia sempat punya satu kartu akses, tapi entah sejak kapan kartu itu menghilang. Ia berharap kartu yang menjadi akses masuk ke unit Andra itu hilang di rumahnya. Jika hilang di luar rumah, bisa saja ada orang jahat yang menyelinap masuk."Apa kita hubungi Eva?" usul Bambang.Nuri menggelengkan kepalanya lagi. "Eva pasti sedang bekerja sekarang."Bambang mengangguk pelan. "Benar juga. Lalu bagaimana cara kita masuk ke dalam?"Nuri mengedikkan bahunya. "Aku coba lagi deh.""Coba tanggal pernikahannya," kata Bambang."Sudah aku coba, tapi salah," j
Robi mengamati kondisi Eva yang masih kritis. Untung saja saat kejadian, ia sedang berada di sekitar sana. Jika tidak, mungkin saja Eva sudah mati mengenaskan karena tidak ada yang menolongnya. Sebenarnya ia ingin menghubungi keluarga Eva, tapi ia tidak tahu kontak mereka. Ia juga tidak menemukan ponsel atau pun dompet milik wanita tersebut. Entah apa yang terjadi, semuanya terasa seperti janggal. Ia sempat berpikir kalau Eva dirampok. Tapi menurut saksi mata, Eva menjatuhkan dirinya dari metromini karena tidak mau membayar jatah preman.Robi memutuskan untuk pergi ke apartemen yang pernah ia datangi. Saat itu ia berhasil bertemu dengan Eva, walau tidak berjalan lancar. Ia menghampiri suster yang baru keluar dari ruang rawat Eva."Suster, tolong hubungi saya jika pasien di ruangan ini sudah sadarkan diri," kata Robi.Suster itu mengangguk. "Baik, Pak."Selepas kepergian suster itu, Robi mengambil ponselnya. Ia menatap wajahnya di layar ponsel dengan bingu
"Saya ada di mana?"Dokter dan suster yang ada di dalam ruangan sangat terkejut saat melihat Eva yang sudah sadarkan diri. Padahal berdasarkan perkiraan, Eva batu bisa sadar dalam waktu satu minggu karena cedera di kepalanya. Suster yang dititipkan pesan oleh Robi langsung menghubungi nomor yang tertera untuk memberitahukan kondisi Eva saat ini. Tapi belum juga bisa menghubungi nomor tersebut. Akhirnya ia berhenti menghubungi, lalu berpindah ke menu pesan."Saya sudah mengirimkan pesan pada walinya," kata suster tersebut."Apakah wali pasiennya belum bisa dihubungi?" tanya dokter tersebut.Suster itu menggeleng pelan. "Belum, Dok."Dokter itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu ia beralih pada Eva yang terlihat setengah sadar. Dahinya berkerut memandangi keadaan sekitarnya.Eva menatap dokter itu dengan bingung. "Saya di rumah sakit?""Iya Eva. Kamu mengalami kecelakaan," jawab dokter tersebut."Ke-kecelakaan?" tanya Ev
Malam sudah berlalu, Andra sama sekali belum tidur. Pikirannya terus tertuju pada Eva yang tak kunjung pulang. Ia sudah menghubungi orang tua Eva, tapi ternyata istrinya itu tak ada di sana. Ia tidak tahu lagi harus mencari istrinya itu di mana lagi. Ia sama sekali tidak terpikirkan tempat yang pasti dikunjungi oleh Eva. Terakhir kali istrinya itu izin pergi ke kantor. Andra bangkit dari tempat tidurnya. Pikirannya langsung tertuju pada kantor tempat Eva bekerja. Mungkin saja istrinya itu tidur di sana.Andra menghambur ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Kebetulan hari ini ia sudah meminta izin untuk libur karena masih merasa kurang sehat. Padahal hari ini akan diadakan penilaian tengah semester. Ia punya jadwal untuk mengawas beberapa kelas. Tapi karena ingin mencari Eva, ia merelakan reputasinya sebagai guru teladan itu hilang.Andra keluar dari unitnya tanpa membawa apa-apa selain dompet dan ponselnya. Kali ini ia sudah tidak lemah seperti semalam. Tenaganya
Eva melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Matanya menelusuri setiap ruangan yang dilewatinya. Ia berusaha mencari kamar yang sempat dihuninya. Namun sialnya, ia lupa letak kamarnya. Ia membuka satu per satu pintu kamar yang dilaluinya. Tatapan bingung dilontarkan oleh orang-orang yang ada di dalam ruangan."Hei, siapa kamu? Tidak sopan!" kata seorang wanita yang ruangannya dibuka oleh Eva.Eva menggeleng lemah, ia keluar dari ruangan itu. Lalu kakinya kembali melangkah menyusuri koridor. Hingga akhirnya ia tiba di ujung koridor. Hanya ada sebuah ruangan yang tertutup. Ia mendorong pintu ruangan itu. Lalu nampak seorang pria tengah duduk dengan wajah frustasi. Eva berjalan perlahan mendekati pria itu. Ia menepuk bahu pria itu pelan. Lalu pria itu menoleh, nampak wajah lesunya perlahan berubah menjadi bersemangat. Pria itu langsung memeluk Eva dengan erat."Saya kira kamu sudah pergi," kata Robi dengan suara lemahnya.Eva tersenyum tipis lalu membalas pe
Eva mengurungkan niatnya untuk mengikuti Robi. Ia memilih untuk kembali ke kamarnya. Mungkin dengan sendirian, ia akan menjadi lebih mudah untuk ingat masa lalunya. Ia melangkah gontai menyusuri koridor. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu ia melihat punggung pria yang sempat menabraknya tadi. Entah mengapa, rasanya sakit melihat pria itu dekat dengan wanita lain. Tapi ia mengedikkan bahunya tak peduli. Ia sama sekali tidak kenal dengan pria itu, mungkin ini hanya rasa iri dengan kehangatan tersebut.Eva melihat ke arah kamarnya, pintu sudah terbuka lebar. Mungkin dokter atau seseorang sudah ada di dalam sana. Rasanya, ia sangat malas untuk masuk ke dalam sana. Eva memilih duduk di kursi tunggu yang ada di depan kamarnya tersebut. Kepalanya tertunduk, ia memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang ia memiliki keluarga, mengapa tidak ada yang mencarinya. Bahkan untuk sekedar menyebarkan selebaran terkait dirinya yang menghilang saja tidak ada."Aku past
Andra berlari keluar dari apartemen. Ia mendekat ke pinggir jalan sambil terus mengamati keadaan jalan yang sudah sepi. Ia ragu bisa mendapatkan angkutan umum di jalan itu saat ini. Hanya terlihat kendaraan pribadi yang berlalu lalang di jalan tersebut. Andra mengambil ponselnya, lalu menghubungi Erfan. Mungkin saja rekan kerjanya bisa membantunya, mengingat rekannya itu punya motor sendiri. Kesalahannya sendiri yang tidak punya kendaraan pribadi, jadi ia kesulitan sendiri. Tapi sial, panggilannya sama sekali tidak di jawab. Andra mendecak sebal, ia kembali menghubungi Erfan dengan wajah kesalnya."Masa sudah tidur sih!" rutuk Andra.Andra terus menghubungi rekannya itu berulang kali. Hanya terdengar suara tut tut tut, tanpa ada jawaban. Bahkan sampai panggilan ke 15, panggilan itu malah dialihkan. Andra mengusap wajahnya kasar. Apa ia harus berjalan kaki ke rumah sakit itu? Andra mengembuskan napasnya pelan, mungkin cara itu bisa dicoba. Ia memutar tubuhnya ke arah ja
Eva menatap sekelilingnya. Tempat ini benar-benar terasa tidak asing di matanya. Ia bahkan bisa mengetahui setiap ruangan yang ada di sana. Tapi ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa mengetahuinya. Padahal ia tidak kenal dengan pria yang duduk berhadapan dengannya ini. Pria itu menunduk, mengamati ponselnya dengan saksama. Tiba-tiba kilatan cahaya dari kamera ponsel pria itu mengarah padanya. Eva langsung mendelik, ia berusaha untuk meraih ponsel pria itu. Andra berdiri sambil tersenyum lebar. Lalu ia memasukkan ponsel itu ke sakunya."Oke, sekarang nama kamu Eva," kata Andra."Apa hak kamu kasih nama saya?" tanya Eva dengan kesal.Andra tersenyum tipis lalu mengedikkan bahunya. Ia berjalan menuju sebuah ruangan yang diketahuinya sebagai kamar. Eva mengikuti pria itu, ia mengintip dari celah pintu kamar itu. Ternyata benar dugaannya, itu pasti kamar. Eva membuka pintu itu, lalu masuk tanpa meminta izin pada pemilik rumah tersebut. Pandangan Eva berputar, menatap
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat
Eva hampir saja memuntahkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi saat melihat balasan yang dikirim oleh penulis favoritnya tersebut. Walaupun ia tidak tahu penulis itu laki-laki atau perempuan, namun kalau dilihat dari ketikannya, Eva yakin seribu persen kalau penulis itu pasti laki-laki. Ia bisa merasakan sisi buaya darat lewat ketikan tersebut. Vira dan Ina yang sedari sibuk makan, langsung mengalihkan tatapannya ke Eva. Mereka nampak curiga karena sahabatnya itu. Mereka saling pandang, lalu tersenyum dengan mencurigakan.Eva yang merasa dilihat seperti itu, langsung menyembunyikan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia harus bersikap senatural mungkin agar tidak dicurigai oleh kedua sahabatnya tersebut. Ia kembali memakan makanan yang ada di hadapannya. Walau dengan pikiran yang tidak tenang, ia berusaha keras menyembunyikannya."Gimana, Va? Sudah dibalas?" tanya Ina, pandangannya masih fokus pada makanannya."Hah? Balasan ap
"Va, lo kesurupan ya?"Eva menggelengkan kepalanya. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sangat serius. Tangannya bergerak menggeser layar ponselnya secara perlahan. Ia benar-benar panik saat melihat sebuah pesan dari aplikasi bacanya tersebut. Ia takut kalau komentarnya menyakiti penulis cerita yang belakangan ini menjadi favoritnya. Ina yang baru datang, langsung terkejut saat melihat wajah Eva yang sudah ditekuk. Ia segera menghampiri temannya tersebut, lalu mengusap wajah temannya dengan telapak tangan."Sadar, Va!" kata Ina.Eva langsung menepis tangan Ina dari wajahnya. Ina terkekeh, lalu pergi menuju tempat duduknya. Eva terlihat kesal, namun sedetik kemudian ia kembali fokus pada ponselnya. Eva menggigit bibir bawahnya, haruskah ia membalas pesan tersebut? Vira yang kebingungan melihat tingkah Eva, langsung menyambar ponselnya. Seketika ia tidak bisa bergerak, tubuhnya langsung mematung. Ia benar-benar terkejut saat melihat penulis cerita yang sedan
Pekerjaan Eva hari ini selesai lebih cepat dari biasanya. Ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Wajahnya mengarah ke meja Vira. Sahabatnya itu terlihat tengah sibuk menatap layar ponselnya. Raut wajahnya seringkali berubah-ubah. Eva bisa melihat wajah sedih, senang, dan bahkan ia terlihat kesal. Eva yang mengira Vira tengah menonton film itu langsung menghampirinya. Kebiasaan Vira memang melalaikan pekerjaannya. Seakan ia tidak peduli kalau suatu saat ia bisa saja ditendang dari tempat tersebut.Eva menarik ponsel dari tangan Vira. Ia langsung melihat apa yang ada di layar ponsel tersebut. Dahinya berkerut, ia hanya melihat deretan tulisan yang sama sekali tidak menarik. Ia menyerahkan kembali ponsel itu pada Vira. Ia menghela napasnya, langkah kakinya kembali ke meja kerjanya. Vira yang melihat wajah lesuh Eva langsung menarik kursinya menuju ke meja kerja Eva. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajah Eva."Coba baca deh!" kata Vira.Eva menatap malas kumpulan