Aku membuka mata menjelang ashar. Segera kubangunkan istriku untuk menunaikan salat bersama. Syukurlah, istriku yang manja ini sudah kembali seperti semula setelah sebelum tidur siang tadi aku membuatnya tidak bisa berkata-kata lagi. Memang semudah itu membuat wanita tidak berdaya. Lepas ini aku akan menemui Zaskia, perempuan itu berkali-kali menghubungiku karena katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Ini di luar kebiasaannya, apalagi semenjak dia mengetahui aku sudah menikahi Lala. Zaskia memang sangat pandai menjadi jarak.Seperti biasa, aku meminta Lala turut serta. Selain khawatir dia cemburu terhadap Zaskia, aku juga memang menghindari berduaan dengan wanita yang bukan mahram.Zaskia sudah menunggu di tempat yang ia tentukan ketika aku dan Lala datang. Perempuan itu pun berdiri untuk menyambut kami."Bagaimana liburan di pesantrennya, La?" tanyanya sambil berdiri, aku tahu itu hanya basa-basi."Seru, Bu," jawab Lala sambil tersenyum tipis."Wah, jangan-jangan saya mengg
ZaskiaAku duduk gelisah setelah mas Faldo selesai menghubungi Danang. Dari kalimat terakhir mas Faldo, aku yakin kalau Danang akan segera datang ke tempat ini setelah Mas Faldo mengatakan kalau aku ingin bicara dengannya.Danang pasti akan senang, mengingat selama ini dia sudah menyimpan harapan padaku. Momen seperti ini mungkin sudah dia tunggu sejak lama. Aku sendiri terjebak dalam perasaan jadi sulit sekali kujelaskan. Meskipun semalam sudah memantapkan hati. Tapi tetap saja, aku tidak yakin sepenuhnya pada diri sendiri. Pernikahan adalah hal yang sangat sakral. Keputusan penting ini seharusnya dipertimbangkan matang-matang, tapi apa boleh buat, aku harus mengambil keputusan dalam waktu yang singkat. Menjatuhkan pilihan pada Danang yang sudah jelas-jelas punya rasa padaku, daripada menerima jodoh yang diberikan oleh ayah. Di mana kami sama-sama tidak saling mengenal. Minimal aku sudah tahu, seperti apa keseharian pria yang kupilih itu."Apakah ini sudah Dek Zaskia pikirkan baik-
Atas izin mas Faldo, aku memilih tempat duduk terpisah. Sekarang, aku dan Danang duduk melingkari meja yang terletak tak jauh dari tempat Mas Faldo dan Lala berada. Terhalang tiga meja kurasa cukup membuat privasi kami terjaga tanpa khawatir terjadi fitnah. Kutautkan jari jemariku yang dibasahi oleh keringat dingin untuk mengusir rasa gugup. Di depanku, seorang pria yang sudah lama kukenal duduk dengan aura yang berbeda. Sekarang pria yang tengah menatapku itu tidak seperti Danang yang kemarin-kemarin melayaniku di toko Mas Faldo. "Ehem .... "Deheman dari Danang membuat hatiku semakin tak karuan. Jelas karena caraku salah. Saat ini, aku bukan akan mengajaknya berkomitmen untuk hidup bersama, tapi memintanya bekerja sama untuk menyelamatkan diriku dari perjodohan ayah."Jujur saja, saya kaget mendapat telepon dari Mas Faldo. Apalagi Beliau mengatakan kalau Mbak Zaskia ingin ketemu dan menyampaikan sesuatu. Entah apa yang harus saya lakukan bahagia atau sebaliknya." Danang memulai pe
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k