"Apa Om punya pikiran yang sama denganku?" Malam ini aku kembali ingin membahas perihal Kinara."Tentang?""Kinara.""Soal itu ... aku tidak mau suudzon dulu," jawab Om Do sambil berbaring."Tapi kita sudah ada bukti yang cukup kuat, Om.""Memangnya kamu punya rencana?""Rencana?""Ya, siapa tahu kamu ada ide untuk mengungkap kebejatan Dimas.""Kalaupun benar Kinara hamil dan itu perbuatan Om Dimas, kita harus bergerak cepat. Aku gak mau gadis itu semakin banyak menguras harta kami dengan memperalat janin dalam kandungnya.""Aku setuju, ternyata istri manjaku ini pintar juga, ya." Untung saja aku duduk di tepi ranjang dan tidak berhadapan langsung dengan Om Do. Kalau iya, aku tentu malu dengan rona pipiku yang menghangat."Laku kapan aku akan bisa menitipkan benih di rahimmu?" Suara empuk itu terdengar lagi. Kali ini mampu membuat irama jantungku tambah tidak stabil. Beruntung aku masih dalam posisi semula, jadi sedikit kemungkinan dia melihat wajahku yang semakin memerah itu.Aku ta
"Aku perlu berterima kasih untuk satu hal lagi." Suara itu begitu dekat di telingaku, aku tahu dia berbaring tepat di belakangku, mungkin sangat dekat."Apa?" tanyaku pelan tapi aku yakin dia bisa mendengarnya."Terima kasih selama beberapa hari ini sudah mengizinkanku memanggilmu dengan sebutan sayang. Seperti itu saja sudah membuatku merasa menjadi seorang suami yang dianggap. Makasih ya, Sayang." Setelah itu aku merasakan dia kembali mengecup bagian belakang kepalaku. Kupejamkan mata dan tanpa sadar bibir ini mengembang lalu begitu saja bunga-bunga memenuhi hatiku.***Ada peribahasa, alah bisa karena biasa. Mungkin itu yang kini terjadi antara aku dan Om Do. Sejak di rumah Mama, kami bersikap layaknya suami istri yang bahagia. Om Do selalu memanggilku dengan sebutan sayang, meski awalnya aku merasa aneh mendengarnya tapi lama-kelamaan aku sudah terbiasa dan bahkan kini kerap tersipu ketika sudah tahu pria itu bukan hanya bersandiwara di depan Mama. Memanggil pria itu dengan sebut
"Mungkin saja sedang mengerjakan tugas atau gadis itu perlu bimbingan." Aku mencoba menyangkal dan ingin tahu juga bagaimana reaksi Om Dimas selanjutnya."Mana ada ngerjain tugas di restoran seperti ini sambil makan siang. Ini udah nggak bener, kamu jangan percaya begitu saja pada suamimu!" Om Dimas menggebrak meja lalu bangkit. Dalam hati aku tertawa puas melihat pria ini begitu terlihat amarahnya."Yang dikatakan Papamu itu bener, La. Memangnya selama ini kamu nggak curiga apa-apa sama suami kamu? Ini kejutan banget buat Mama, enggak nyangka loh, kok bisa-bisanya di anniversary ke 4 bulan pernikahan kalian, tapi dia malah keluar dengan cewek lain. Meskipun itu mahasiswinya, jaman sekarang banyak kasus seperti itu. Ayo, kita ikuti Papa kamu biar dia memberi pelajaran pada suamimu." Mama meraih tanganku lalu mengajakku berjalan mengikuti Om Dimas yang sudah hampir sampai di meja Om Do."Oh jadi ini rupanya yang kamu lakukan di hari anniversary ke 4 bulan pernikahan kalian. Dari tadi i
"Sudah, sudah, sudah. Sebenarnya apa yang terjadi? Mama jadi bingung, La." Mama menatap kami secara bergantian, tentu saja Mama heran melihat amarah Om Dimas yang tidak terkendali."Menantu kesayangan kamu itu masih menyangkal, padahal sudah jelas tertangkap basah." Om Dimas menghampiri Mama sambil menunjuk ke arah kami."Terus jika aku yang membeberkan sebuah fakta, apakah kamu akan menyangkal?" tanya Om Do sambil menatap tajam ke arah Om Dimas yang setelah itu ia terlihat resah."Fakta apa?! Faktanya kamu tertangkap basah membawa mahasiswimu ini makan siang.""Kalau ternyata mahasiswi cantik ini adalah pacar Om Dimas, bagaimana?" Aku angkat bicara karena geram melihat Om Dimas yang seakan tak punya salah."Omong kosong apa ini?!" Om Dimas melotot ke arah kami."Lala! Apa-apaan kamu?!" Mama ikut menajamkan tatapannya padaku."Mama dengarkan dulu. Siapkan hati jika kabar ini akan membuat Mama kaget." Aku menyambung kalimat yang tadi."Maksud kamu apa sih, La? Dari tadi Mama bingung, s
"Heh kamu, jangan coba-coba menghancurkan rumah tanggaku dengan fitnahmu! Aku tidak kenal kamu dan kita tidak pernah ada hubungan, jadi jangan mengarang cerita yang tidak-tidak!" Tanpa disangka Om Dimas menunjuk pada Kinara sambil menatap nyalang.Gadis yang dari tadi menunduk itu sekarang mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata.Ia melirik Om Dimas lalu ke arah Mama kemudian dia menggeleng cepat dan air matanya begitu saja jatuh semakin deras. Menit berikutnya Kinara menggeser kursi, gadis itu beranjak pergi sebelum aku bergerak cepat dan menahannya."Kinara, jangan takut. Kamu tidak mau 'kan bayi yang ada dalam kandunganmu itu tidak mendapat pengakuan dari ayah biologisnya?""Sorry, La, gue nggak bisa menjelaskan." Kinara tetap berusaha untuk pergi."Lo takut sama ancaman Papa tiri gue?"Kinara menggeleng."Gue mohon, bantu gue, Kin." Aku tetap menghalangi jalannya."Sorry, La, gue gak bisa." Kinara menggeleng sekali lagi, lalu setelah itu dia bergerak pergi. Aku berusaha in
Aku manggut-manggut karena tidak menyangka Om Do secerdas itu."Kenapa?" "Eum ... enggak apa-apa. Cuma, kok bisa, Om punya pikiran ke situ?""Biar tampilan kayak Om-om, gini-gini juga 'kan aku seorang pengajar. Jadi enggak bodoh-bodoh amat.""Hmmm.""Bagiamana?""Apanya?" "Pendapat kamu tentang rumah ini?""Bagus, nyaman. Tapi kenapa Om tidak membawaku langsung ke rumah ini? Padahal ini 'kan sudah siap huni." Aku mengedarkan pandangan, melihat barang-barang di rumah ini yang sudah lengkap dan nampak terawat. Karena memang selama ini sudah ada sepasang suami istri yang menempati dan mengurus rumah ini. Mereka tadi menyambut kedatangan kami dan langsung diperkenalkan padaku."Sebenarnya waktu itu aku bisa saja langsung membawamu ke rumah ini. Tapi .... " Om Do menjeda.Aku jadi ingat ucapan Bu Zaskia tentang rumah ini, bahwa Om Do tengah memantaskan diri untuk bisa melamar wanita itu."Apa karena rumah ini disiapkan untuk orang lain, bukan untukku?" "Maksud kamu?""Siapa tahu sebelum
FALDOSetelah tertunda beberapa waktu, akhirnya aku kesampaian juga mengajak Lala untuk melihat rumah kami. Ya, sebenarnya aku punya rumah yang sudah siap untuk dihuni. Bahkan dua orang sudah kupekerjakan di sana. Mang Ujang dan istrinya, Bi Anah. Sepasang suami istri yang sudah menempati rumah itu sejak enam bulan yang lalu. Sebelum menikahi Lala, aku pun kadang tinggal di sana, meski seringnya aku tinggal di ruko. Rumah sebesar itu memang tidak enak kalau dihuni sendirian, jadi aku memilih untuk tinggal di ruko saja. Rumah itu memang aku persiapkan untuk kutinggali setelah aku punya pendamping. Meski saat itu aku masih ragu untuk bisa mengambil keputusan. Sampai akhirnya Allah memberikan aku jodoh yang tak disangka-sangka. Jodoh terbaik yang Allah berikan secara dadakan. Aku memulai semuanya dari nol. Karena tak sepeserpun harta warisan Ayah bisa kunikmati. Mbak Renita bilang, aku tak punya hak apa-apa terhadap harta peninggalan Ayah, karena aku hanyalah anak pelakor. Padahal aku
"Nanti aku jelaskan di jalan. Sekarang kita harus segera ke kantor polisi." Aku bangkit diikuti olehnya. Tanpa banyak tanya lagi Lala segera menyambar tas yang terletak di atas meja lalu berpamitan pada dua orang yang mengurus rumah ini."Polisi mengabarkan bahwa yang diduga pelaku pengeroyokan tempo hari, salah satunya sudah tertangkap." Kujelaskan pada Lala ketika kami sudah di perjalanan. "Apa?! Jadi kasus itu dilaporkan ke polisi?""Ya.""Kapan? Kok, aku nggak tahu?" Aku memang belum memberitahu pada Lala perihal laporan itu. Khawatir akan menggangu konsentrasi kuliahnya. Sudah cukup banyak masalah yang dihadapi gadis berusia dua puluh tahun itu."Besoknya, setelah kejadian itu. Sewaktu kamu pergi kuliah, aku pergi ke kantor polisi dan tidak ada satu orang pun yang tahu karena saat itu Mama dan Dimas juga sudah pergi.""Dan Om tidak memberitahuku setelahnya?" Ada sedikit nada kesal kudengarkan dari pertanyaannya."Aku tidak mau konsentrasimu jadi terganggu, meskipun pada akhirny
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong