"Aku tahu, pada akhirnya perasaan sayang itu memang akan ada, seiring berjalannya waktu. Makanya, begitu kita menikah dan hidup bersama aku yakin bahwa kita bisa melanjutkan pernikahan ini," ucapnya serius, aku bisa mendengar suaranya sedikit bergetar. Mungkin Om Do juga gugup mengatakan itu, membuat hatiku kembali berdesir. Aku menunduk untuk menyembunyikan pipiku yang menghangat. "Sekarang kamu mandi dan setelah itu bantu aku untuk membersihkan diri!" lanjutnya membuat aku sontak mendongak."Apa? Om 'kan bisa melakukannya sendiri? Tadi juga Om bisa berjalan, masa membersihkan diri aja nggak bisa?" Aku berubah panik, yang terlintas dalam pikiranku adalah, bahwa aki harus memandikan dia."Badanku ini pegal-pegal, La. Mukaku juga pada bonyok begini. Kamu harus bantu membersihkan di sini!" Lalu ia menunjuk wajahnya yang penuh dengan luka lebam. "Memang kamu pikir aku meminta untuk membantu mandi?" lanjutnya lagi seraya terkekeh.Mendengar itu aku menunduk lagi sambil menahan senyum. Rup
"Kandunganku .... " Aku ragu ketika akan menjawab. Lalu melirik suamiku lagi."Maaf, Ma. Salah satu maksud kedatangan kami ke sini juga ingin menyampaikan kabar ini pada Mama." Om Do memotong ucapanku. Pria ini sepertinya mengerti dengan keraguanku."Kabar?" Mama menatap aku dan Om Do secara bergantian."Eum ... jadi begini, beberapa waktu yang lalu Lala keguguran .... " jawab Om Do ragu. Tapi itu mampu membuatku lega."Apa?! Lala keguguran? Kenapa Mama tidak dikabari?" Suara Mama sedikit meninggi."Lala gak mau bikin Mama khawatir. Maafkan Lala, ya, Ma." Aku berusaha meyakinkan Mama bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Iya, tapi sekarang keadaanmu bagaimana?""Lala gak apa-apa, Lala baik-baik saja. Mama gak usah khawatir." Aku tersenyum untuk menunjukkan bahwa aku memang baik-baik saja.Mama menghela panjang sebelum kemudian dia tersenyum dan berucap."Mungkin Tuhan tidak mau membebani hidupmu dengan benih dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu." Ucapan Mama barusan me
"Kalau cuma mau diam di kampus sambil nunggu jam kelasku, ya lebih baik di rumah aja biar aku berangkat sekarang. Pokoknya, Om nanti berangkatnya pas mau masuk kelasku. Titik." Enak saja dia mau berangkat pagi-pagi, sementara ada kelas nanti siang. Beralasan mau diam di ruang dosen, aku tahu dia mau berlama-lama di sana supaya bisa melihat Bu Zaskia, secara 'kan sudah lama tidak bertemu dengan wanita itu."Assalamualaikum." Segera kuraih tangannya lalu seperti biasa, membiarkan pria ini mengecup keningku. Selalu ada getaran harus setiap kali aku melewati momen ini. Namun saat ini aku berusaha untuk mengabaikannya."Kamu kenapa, Sayang?" Tak kuhiraukan panggilannya. Aku terus berjalan keluar kamar. Pun ketika pria itu menghubungiku lewat telepon aku tidak mengangkatnya.[Pokonya Om jangan lama-lama di kampus.]Ku kirim pesan itu setelah aku berada di dalam mobil. [Kamu kenapa sih La? Kamu cemburu? Cemburu sama siapa? 'Kan sudah aku jelaskan, Kinara itu bukan tipeku.]Pesan balasan i
"Gue pikir dia cuma caper, deh." Mitha menautkan alisnya tandanya ia sedang berpikir.Setelah menoleh ke arah mereka berdua secara bergantian, aku mengalihkan pandangan lurus ke depan. Lagi-lagi dada ini terasa sesak."Tapi sepertinya dia pingsan beneran, loh. Mukanya pucet gitu.""Pak dosennya perhatian banget, ya," ledek Mita lagi."Udah ah, kalian jangan ngomporin. Gue lagi kesel nih, kenapa juga dia mau ngurusin si Kinara." Aku memasang wajah tak suka."Cie ... yang sudah cemburu .... ""Enggak. Aku enggak cemburu, kok. Cuman kesel aja." Aku menyangkal."Sama aja, kalee .... ""Kalau cemburu, akui aja, La. Malahan itu bagus, berarti lo sudah cinta sama laki lo." "Tapi memang sudah seharusnya Pak Faldo memperhatikan si Kinara. Setidaknya harus memberi keterangan karena Kinara pingsan saat kelasnya.""Ya udah, kita tungguin aja di sini. Atau lo mau gue anterin pulang?" tanya Mitha sambil menyentuh lenganku."Gue pulang bareng Om Do aja. Lagian gue juga penasaran, apa yang terjadi d
"Apa Om punya pikiran yang sama denganku?" Malam ini aku kembali ingin membahas perihal Kinara."Tentang?""Kinara.""Soal itu ... aku tidak mau suudzon dulu," jawab Om Do sambil berbaring."Tapi kita sudah ada bukti yang cukup kuat, Om.""Memangnya kamu punya rencana?""Rencana?""Ya, siapa tahu kamu ada ide untuk mengungkap kebejatan Dimas.""Kalaupun benar Kinara hamil dan itu perbuatan Om Dimas, kita harus bergerak cepat. Aku gak mau gadis itu semakin banyak menguras harta kami dengan memperalat janin dalam kandungnya.""Aku setuju, ternyata istri manjaku ini pintar juga, ya." Untung saja aku duduk di tepi ranjang dan tidak berhadapan langsung dengan Om Do. Kalau iya, aku tentu malu dengan rona pipiku yang menghangat."Laku kapan aku akan bisa menitipkan benih di rahimmu?" Suara empuk itu terdengar lagi. Kali ini mampu membuat irama jantungku tambah tidak stabil. Beruntung aku masih dalam posisi semula, jadi sedikit kemungkinan dia melihat wajahku yang semakin memerah itu.Aku ta
"Aku perlu berterima kasih untuk satu hal lagi." Suara itu begitu dekat di telingaku, aku tahu dia berbaring tepat di belakangku, mungkin sangat dekat."Apa?" tanyaku pelan tapi aku yakin dia bisa mendengarnya."Terima kasih selama beberapa hari ini sudah mengizinkanku memanggilmu dengan sebutan sayang. Seperti itu saja sudah membuatku merasa menjadi seorang suami yang dianggap. Makasih ya, Sayang." Setelah itu aku merasakan dia kembali mengecup bagian belakang kepalaku. Kupejamkan mata dan tanpa sadar bibir ini mengembang lalu begitu saja bunga-bunga memenuhi hatiku.***Ada peribahasa, alah bisa karena biasa. Mungkin itu yang kini terjadi antara aku dan Om Do. Sejak di rumah Mama, kami bersikap layaknya suami istri yang bahagia. Om Do selalu memanggilku dengan sebutan sayang, meski awalnya aku merasa aneh mendengarnya tapi lama-kelamaan aku sudah terbiasa dan bahkan kini kerap tersipu ketika sudah tahu pria itu bukan hanya bersandiwara di depan Mama. Memanggil pria itu dengan sebut
"Mungkin saja sedang mengerjakan tugas atau gadis itu perlu bimbingan." Aku mencoba menyangkal dan ingin tahu juga bagaimana reaksi Om Dimas selanjutnya."Mana ada ngerjain tugas di restoran seperti ini sambil makan siang. Ini udah nggak bener, kamu jangan percaya begitu saja pada suamimu!" Om Dimas menggebrak meja lalu bangkit. Dalam hati aku tertawa puas melihat pria ini begitu terlihat amarahnya."Yang dikatakan Papamu itu bener, La. Memangnya selama ini kamu nggak curiga apa-apa sama suami kamu? Ini kejutan banget buat Mama, enggak nyangka loh, kok bisa-bisanya di anniversary ke 4 bulan pernikahan kalian, tapi dia malah keluar dengan cewek lain. Meskipun itu mahasiswinya, jaman sekarang banyak kasus seperti itu. Ayo, kita ikuti Papa kamu biar dia memberi pelajaran pada suamimu." Mama meraih tanganku lalu mengajakku berjalan mengikuti Om Dimas yang sudah hampir sampai di meja Om Do."Oh jadi ini rupanya yang kamu lakukan di hari anniversary ke 4 bulan pernikahan kalian. Dari tadi i
"Sudah, sudah, sudah. Sebenarnya apa yang terjadi? Mama jadi bingung, La." Mama menatap kami secara bergantian, tentu saja Mama heran melihat amarah Om Dimas yang tidak terkendali."Menantu kesayangan kamu itu masih menyangkal, padahal sudah jelas tertangkap basah." Om Dimas menghampiri Mama sambil menunjuk ke arah kami."Terus jika aku yang membeberkan sebuah fakta, apakah kamu akan menyangkal?" tanya Om Do sambil menatap tajam ke arah Om Dimas yang setelah itu ia terlihat resah."Fakta apa?! Faktanya kamu tertangkap basah membawa mahasiswimu ini makan siang.""Kalau ternyata mahasiswi cantik ini adalah pacar Om Dimas, bagaimana?" Aku angkat bicara karena geram melihat Om Dimas yang seakan tak punya salah."Omong kosong apa ini?!" Om Dimas melotot ke arah kami."Lala! Apa-apaan kamu?!" Mama ikut menajamkan tatapannya padaku."Mama dengarkan dulu. Siapkan hati jika kabar ini akan membuat Mama kaget." Aku menyambung kalimat yang tadi."Maksud kamu apa sih, La? Dari tadi Mama bingung, s
Lala"Sah!!" ucap dua orang saksi secara bersamaan. Kami yang berada di ruangan tengah rumah orang tua Bu Zaskia pun serempak mengucap alhamdulillah. Setelah sempat gagal satu kali, Mas Danang akhirnya lancar mengucap ijab kabul. Detik ini juga Mas Dadang dan Bu Zaskia resmi menjadi suami istri. Kudengar Mas Faldo pun mengucap syukur dengan suara yang begitu lirih. Sesaat setelah itu aku pun menoleh ke arahnya. Ternyata suamiku itu pun sedang melakukan hal yang sama. "Terima kasih sudah membantu," ucapnya lirih. "Aku tidak melakukan apa pun, Mas.""Sekecil apa pun, sangat berarti. Sekarang aku sangat lega. Akhirnya Zaskia berada di tangan yang tepat."Aku bisa mengerti kenapa Mas Faldo merasa lega seperti itu. Dalam hatinya mungkin masih ada rasa bersalah telah membiarkan Bu Zaskia salah paham selama bertahun-tahun. Lima hari yang lalu, pagi-pagi sekali Bu Zaskia datang ke rumah kami. Beruntung saat itu kami belum berangkat ke rumah Mama karena malamnya Mas Faldo sudah merencanak
"Di mana kamu, Zaskia?! Cepat pulang! Jangan bikin malu Ayah!!"Suara Ayah bagai petir menyambar telingaku. Sampai-sampai aku menjauhkan benda pipih tersebut dari kepalaku. Tidak seperti biasanya, Ayah berkata dengan nada tinggi seperti itu. Apa telah terjadi sesuatu? Jangan-jangan Anjar mengadu pada Ayah melalui telepon, karena tidak mungkin kalau pria itu sudah sampai di rumah Ayah. "Iya, Yah. Sebentar lagi aku sampai di rumah .... ""Ayah tunggu kamu dan jelaskan semuanya!"Tak salah lagi, Anjar bergerak cepat mengadu pada Ayah. Bisa jadi ia memutar balik fakta atau mengarang cerita supaya aku salah di mata Ayah. Jika benar seperti itu, maka makin ketahuan sifat aslinya. Beruntung, aku belum menyetujui perjodohan ini. "Tunggu! Apa bapak-bapak bisa menolong saya sekali lagi?" Aku menghentikan langkah, dua orang yang ada di depanku pun spontan berhenti."Maksudnya gimana, Neng?" tanya salah satunya.Akhirnya aku menceritakan detail permasalahan ini pada dua orang di hadapanku secar
"Beneran tidak ada jalan lain, Pak?" "Beneran, Neng." Untuk beberapa saat aku hanya mematung. Bingung harus bagaimana. Mana malam semakin larut. Aku juga tidak terbiasa pergi sendirian apalagi malam-malam seperti ini. Apa baiknya aku menelepon Mas Faldo atau Danang. Ah, malu rasanya jika meminta tolong padanya.Pada saat bersamaan, tiba-tiba telingaku menangkap suara derap langkah beberapa orang. Sepertinya ada yang berlari lebih dari satu orang. Selain gelap, di sini juga banyak tanaman seperti pohon pisang dan pohon lainnya. Jadi tidak begitu terlihat orangnya, hanya suaranya. Curiga kalau itu Anjar yang mencariku, maka tanpa pikir panjang lagi aku langsung berlari ke arah pintu pagar warga yang rumahnya terletak di belakang pos ronda ini."Tolong jika ada yang mencari saya, jangan kasih tahu. Mereka orang jahat." Kuucapkan itu sebelum tubuhku hilang di balik pagar. Aku pun segera berjongkok dan memasang telinga karena pagarnya hanya sebatas dada orang dewasa. Beruntung tadi pintu
Aku terus berlari melewati koridor hotel yang sepi. Suara sepatuku yang beradu dengan lantai terdengar jelas. Tak peduli orang-orang akan heran melihat dan mendengarnya, aku terus berlari hingga mencapai pintu lift. Dengan tangan gemetar, aku menekan angka satu. Kedua tanganku saling bertaut dengan keringat dingin mengucur di sana. Sekarang sudah jelas, Anjar berniat melecehkan aku, dari sini aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan pria baik-baik. Pantas saja begitu mudahnya saling bersentuhan dengan Nabila. Semua terjawab sudah dalam beberapa menit saja. Setelah pintu lift terbuka, tergesa-gesa aku menuju satu-satunya pintu keluar yang terdapat di lobby hotel ini. Namun, langkahku tertahan lantaran di sana terlihat Nabila tengah berdiri bersama teman prianya. Apa mungkin gadis itu sengaja menungguku. Di sini aku yakin kalau Nabila dan Anjar bekerja sama. Bisa jadi, ketika aku berada di lift tadi, Anjar menghubungi Nabila supaya mencegatku di tempat itu.Tanpa pikir panjang la
"Kita naik lift saja." Anjar berbelok ke arah lift. Padahal kami hanya berada di lantai dua, tadi saja sewaktu naik kami menggunakan tangga biasa. Kenapa sekarang turun harus menggunakan lift?"Pake tangga saja." Aku menolak secara halus sebab risih jika harus berduaan di dalam lift. "Perutku sudah kenyang, rasanya enggan untuk melangkah meskipun itu menuruni anak tangga." Anjar beralasan sambil mengusap perutnya. Sementara satu tangannya sibuk mengetik di layar ponsel."Kalau begitu, Mas saja yang naik lift. Saya turun pakai tangga saja." Setelah berkata seperti itu aku pun hendak melangkah."Tunggu! Bagaimana kata orang nanti kalau kita jalan masih pisah-pisah. Please," kata Anjar seraya menahan langkahku dengan cara meraih tangan kananku meskipun detik berikutnya aku menariknya hingga terlepas.Tidak mau berdebat yang akhirnya hanya akan menjadi pusat perhatian. Akhirnya aku mengalah. Dalam hati berdoa mudah-mudahan ada orang lain yang akan menggunakan lift bersama kami.Ternyata k
Selama kami makan, satu hal yang membuat aku tidak nyaman-selain cara Anjar dan Nabila berkomunikasi-yaitu cara Anjar menatapku. Ketika pria itu melihatku, tatapannya begitu dalam seolah ingin menerkamku. Bukan itu saja, dia juga kerap tersenyum miring sehingga aku merasa seperti seorang mangsa yang sedang diincar."Kamu tidak mau bertanya tentang Nabila?" tanyanya beberapa saat setelah gadis itu pergi."Tidak. Saya bukan tipe orang yang kepo pada kehidupan orang lain," jawabku jujur. Tak disangka, mendengar jawabanku Anjar mencebik."Kamu tidak cemburu melihat Nabila memeluk dan menciumku?""Cemburu itu harus berdasar. Dan hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah menaruh perasaan. Sementara kita belum ada komitmen apapun, jadi saya tidak berhak untuk cemburu." Ia pun melirik sekilas ke samping kirinya, seperti reaksi kecewa tapi Anjar mencoba untuk tetap tenang. Apa ada yang salah dengan jawabanku."Mas Anjar jangan salah paham. Sekali lagi saya tekankan, kalau saya belum menyetuj
Obrolan kami berlanjut. Ternyata selain tampan, Anjar sangat pandai bergaul. Terbukti dari awal kami berjumpa, pria itu sama sekali tidak terlihat canggung. Ia bahkan bisa menghidupkan suasana, meskipun aku tidak begitu suka pada caranya berkomunikasi dengan tangannya yang tidak bisa dikondisikan. Begitu mudah menyentuh tanpa rasa bersalah. Padahal kami bertemu baru dalam hitungan jam. Aku pun jadi ragu padanya.Meskipun tidak suka, tapi aku masih berpikiran positif. Mungkin hal itu disebabkan oleh pergaulannya. Kami menikmati hidangan yang tersedia di atas meja. Anjar begitu lahap, lain denganku yang canggung karena ini pertama kalinya makan dengan pria asing. Perhatian Anjar beralih ke samping kirinya ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Setelah melihat layar ponselnya, ia pun lalu mengambilnya."Ya, hallo .... "" .... ""Ah ya, memangnya kamu di mana?"" .... ""Aku di resto, sedang makan bersama calon istriku." Anjar melirikku ketika dia menyebutku calon istri. Pria itu pun ters
Sore ini aku pulang cepat karena harus bertemu dengan pria yang menurut ayah adalah calon suami pilihannya. Meskipun ibu memintaku berdandan dengan sempurna, tapi aku menolak. Aku mau, jika seorang pria menyukaiku, itu karena dia melihat fisikku apa adanya. Tanpa polesan yang berlebihan.Pukul lima sore tepat, pria yang kuketahui bernama Ginanjar itu datang dengan membawa kendaraan mewahnya. Pantas jika ayah menyebut pria dengan postur tinggi tegap ini sudah mapan. Sebenarnya Ginanjar pria yang tampan, penampilannya pun stylish. Tapi kenapa di usianya yang sudah matang belum juga berumah tangga, sehingga ia perlu dicarikan jodoh. Mungkin benar kata ayah kalau Ginanjar terlalu banyak pilih-pilih. Kukira dia akan mengobrol di rumah, tapi ternyata Ginanjar mengajakku keluar. Aku sudah menolak karena selama ini tidak pernah keluar dengan pria asing apalagi berduaan. Tapi entah kenapa, ayah malah mengijinkan. Padahal sebelumnya Ayah tidak pernah bersikap seperti itu. Aku curiga, jangan-ja
Pertemuanku dengan Danang tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginanku. Pria itu terang-terangan menolak untuk menikahiku di atas sebuah perjanjian. "Silakan Mbak Zaskia mencari orang lain, jika maksud dan tujuannya seperti itu. Tapi jika orang tersebut tidak Mbak temukan, maka saya siap menikahi Mbak Zaskia dengan catatan tidak ada perjanjian apapun. Kecuali janji kita kepada Allah untuk sama-sama membangun rumah tangga dan niatkan beribadah padaNya."Kalimat itu diucapkan Danang di akhir pertemuan kami. Sekarang sudah dua hari kejadian itu berlalu. Aku belum mendapatkan solusi. Selama ini aku tidak punya banyak kenalan laki-laki karena memang cukup membatasi diri. Pagi tadi ketika sarapan, Ayah sudah membahas perihal jodohku lagi. Sementara Fitria dari beberapa hari yang lalu tetap memasang wajah yang kurang bersahabat. Di dalam lingkup pertemananku, hanya ada tiga laki-laki yang kukenal cukup dekat. Mas Faldo, mas Danang dan Ilham. Tidak mungkin kalau aku meminta tolong