Di dalam kamar ... Salma menggenggam ponsel di tangannya dengan gelisah. Dia harus memikirkan cara bagaimana Agni bisa terbebas dari masalah hukum tanpa melakukan manipulasi. “Bukankah sebaiknya aku menghubungi Rania, dia pasti tahu apa yang harus kulakukan sebagai keluarga pelaku.”Akan tetapi, sebelum menghubungi Rania, Salma lebih dulu menghubungi nomor Haris. Dia terpaksa melakukannya karena tidak mungkin menghubungi Ibu Lily yang sekarang sedang menyimpan murka. Dan pasti kemurkaan itu ... bukan hanya Nanda tunjukkan pada Agni sebagai pelaku, tapi juga dirinya sebagai orang tua.“Ngubungin Ibu juga nggak bisa, karena ponselnya tertinggal,” keluhnya.Namun, dua sampai tiga kali panggilan itu tidak juga tersambung karena Haris berada dalam panggilan lain. Padahal dia perlu memperjelas, bagaimana kronologi kejadiannya, agar bisa menjelaskan pada Rania nanti.Salma kemudian menyerah. Dia memilih untuk langsung diskusi dengan Rania saja, dengan bahasan ringan tanpa mengupas lebih dulu
‘Bagaimana ini? Aku takut hati Agni yang labil akan putus asa. Dan berpikir untuk menyakiti dirinya sendiri?’ batin Salma, kala Agni enggan meresponnya yang mengusap lembut rambut gadis itu.Salma tak menyerah, dan berusaha memperlihatkan kelembutannya sebagai seorang Ibu, juga teman yang menenangkan hati. Seperti yang Neneknya katakan sebelum ini.“Ehm, Umi akan coba bicara sama Tante Rania, ya. Kalau memang mendiskusikan secara kekeluargaan akan cukup untuk menyelesaikan ini, Umi janji nggak akan ungkit –ungkit soal hukuman.”Agni masih juga menangis. Dia terlanjur merasa hancur dan lebih hancur lagi kala sang Ibu membentak tadi. Seolah dia juga harus mati bersama Lily.“Agni,” panggil Salma dengan suara serak. “Kamu nggak sayang sama Umi?”Barulah Agni menoleh, masih sambil sesenggukan karena terlalu lama menangis. Matanya yang tidak bisa melihat dengan jelas menatap ke arah Salma –sendu.Agni lalu menjatuhkan tubuh rampingnya ke pelukan Umi. Dia bahkan sampai tidak lagi mengingat
Ustaz Fawwas meninggalkan penggali kubur yang sudah menyelesaikan pekerjaan dan menunggu jenazah datang, begitu terlihat iring –iringan mobil ambulans yang membawa jenazah Lily. Langkahnya semakin cepat, meraih keranda dari mobil dan membantu ke luar dari sana sebelum akhirnya diangkat ke arah lubang yang tersedia.‘Beginilah akhirnya, setiap kita akan pulang dan kembali ke rumah kita sebenarnya. Tak peduli apakah dia orang sehat atau masih belia sekali pun.’ Fawwas membatin dalam hati.Setiap kali melihat kematian, dijadikan momen itu untuk menguatkan aqidah dan memantapkan hati untuk berada di jalan Islam. Karena bahkan dukun hebat sekalipun, tidak tahu dia akan mati.Itulah sebab seorang muslim itu harus istiqomah dalam keimanan. Tetap taat dan menjauhi maksiat, agar ketika sewaktu –waktu ajal itu datang, mereka mati dalam keadaan muslim dan beriman.“Assalamualaikum.” Suara seseorang yang tidak asing menyapa Ustaz muda itu.“Waalaikumsalam.” Fawwas menjawab sembari menoleh ke asa
Nanda mengunci diri di kamarnya. Tidak peduli berapa kali orang suruhan Ibunya mengetuk dan memintanya untuk makan dan memperhatikan kesehatan.Sebanyak orang datang silih berganti, sebanyak itu juga dia mengabaikan. Dia bahkan belum memberi tahu suaminya kalau anak mereka semata wayang telah meninggal, dan berharap ketika tadi meminta pada keluarganya agar tidak membuat status tentang Lily mereka mau mendengarkan dan tidak menjadi sebab sang suami yang tengah bekerja tahu berita menyedihkan ini.Benar kata Mama dan adiknya, bahwa Nanda punya andil besar atas kematian putrinya. Dialah yang membawa Agni datang. Padahal tahu anak pasangan Haris dan Salma itu dalam kondisi mental yang sedang tidak baik –baik saja.Kalau pun ia curhat pada sang suami, dan mengadukan segala penderitaan yang dialaminya sekarang sebagai seorang kehilangan anaknya, pria itu pasti juga akan menyalahkan.Maka yang bisa Nanda lakukan, hanya menangis dan menangis. Menyalahkan diri sendiri dan tidak diberi hak men
“Aku akan ke sana besok,” celetuk Rania. Percuma bicara di telepon begini. Siapa tahu ekspresi seriusnya kala bertatap muka, bisa mengubah pikiran sahabatnya. Tak apa jika dia harus mengulang kejadian di rumah sakit saat membaca pesan Salma yang ingin membatalkan gugatan.“Tidak perlu, Ran. Aku sudah memikirkannya.” Salma langsung mementahkan niat Rania. “Aku sudah memikirkan masak –masak. Hatiku memang sakit setiap kali ingat perselingkuhan Mas Haris, namun ... semua itu tidak sebanding rasa sakit melihat anakku yang menangis karena orang tuanya berpisah.”Wanita mengucap lemah walau keputusannya sudah kuat sekarang. Tidak mengapa jika dia harus bertahan dan menyembuhkan lukanya sendiri, walau Salma sadar betul sampai kapan pun luka itu tidak akan pernah sembuh, sebab dia pasti akan terus mengingat. Seperti halnya wanita lain yang bisa memaafkan tapi tidak pernah melupakan.Namun, setidaknya waktu terus berjalan membuatnya terbiasa dan kebal dengan rasa sakitnya. Dibanding harus mera
"Jadi Nenek dan Abi tidak pulang karena itu?" tanya Hania melebarkan mata. Meski bukan itu yang membuatnya terkejut, melainkan kematian Lily sendiri."Benar."Salma mengangguk. Wanita beranak enam itu lalu memiliki sebuah kesimpulan dari cerita anaknya. Bahwa Agni sengaja disembunyikan, dan membuat panik semua orang. Namun, ia memilih bungkam dan tidak mengatakan pada Hania. Takut jika ini akan memperuncing masalah.Sekarang Nanda pasti bukan hanya sangat berduka, tapi juga membenci Agni. Atau justru akan merasa bersalah karena telah menyembunyikan Agni. Entah, apa tujuan adik iparnya itu?"Agni, kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi pada Umi dan Abi," tebak Salma."Benar." Hania menyahut lemah. Ia merasa kecewa dan hatinya serasa sesak jika mengingat apa yang Agni katakan padanya. Tidak menyangka saja, jika selama ini ia hidup harmonis dengan keluarganya, tapi apa akhirnya dia jadi korban broken home."Umi memang sempat ingin berpisah dengan Abi, tapi setelah mempertimbangkan semuan
"Saya sudah menjatuhkan talak dua Ustaz.""Ya, itu tidak mengubah apapun." Fawwas tidak terdengar terkejut atas jawaban Haris.Mungkin, dia pikir setelah bercerai dan jatuh talak, secara otomatis dia terlepas dari istri dan anak hasil pernikahan mereka.Haris menghela napas panjang. "Dia sudah berzina dengan pria lain Ustaz," kilahnya lagi. "Apakah tetap ada kewajiban bagi saya menafkahinya?""Apa?!" Ustaz Fawwas terkejut. Rasanya tidak mungkin jika keluarga Pak Wawan melakukan hal sekeji itu. Apalagi bisa menerima menjadi R2, Fawwas pikir bahwa mereka benar-benar mengerti hakikat syariah poligami itu sendiri."Itu kenapa saya bertengkar dengan Pak Wawan juga, sudah lebih 3 hari saya memilih tidak menegur meski bertemu secara langsung. Saya terlalu kesal, karena pria itu mengenalkan saya pada keluarga yang tidak baik, dan akhirnya rumah tangga saya hancur dengan Salma."Kini terjawab sudah apa yang menyebabkan sikapnya sangat dingin pada Wawan tadi, dan juga Wawan yang tidak segan ber
"Ibuuuuk!" teriak Inggit, kala membaca pesan apa yang sudah dikirimkan Ibunya pada pria yang menikahinya secara siri.Rus yang mendengar suara itu, hampir saja memuntahkan teh yang diminum, dan sempat menenangkan saraf tegangnya. "Ya ampun anak itu! Mengagetkan saja," ceplosnya sebelum menghabiskan teh dalam gelas. Fatimah tersenyum melihat kelakuan wanita di depannya. Bagaimana bisa dia tetap begitu tenang, setelah mendengar suara anaknya berteriak. Padahal, kalau sudah begitu pasti terjadi sesuatu."Sayang kalau nggak dihabiskan, mubadzir!" ucap Rus lagi, di sela menenggak menghabiskan minuman yang sudah mulai dingin itu.Dia seolah tahu apa yang dipikirkan adik iparnya dari membaca bagaimana ekspresi wajahnya."Ya, ya. Habiskan saja dulu, Mbak." Fatimah menyahut.Begitu teh itu habis, Rus kemudian bangkit dari duduknya dan akan datang untuk melihat Inggit. Namun, baru saja bangkit dan belum berjalan ke arah kamar, Inggit muncul dengan bersungut-sungut. "Loh?" Rus seketika diam.
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku