"Ibuuuuk!" teriak Inggit, kala membaca pesan apa yang sudah dikirimkan Ibunya pada pria yang menikahinya secara siri.Rus yang mendengar suara itu, hampir saja memuntahkan teh yang diminum, dan sempat menenangkan saraf tegangnya. "Ya ampun anak itu! Mengagetkan saja," ceplosnya sebelum menghabiskan teh dalam gelas. Fatimah tersenyum melihat kelakuan wanita di depannya. Bagaimana bisa dia tetap begitu tenang, setelah mendengar suara anaknya berteriak. Padahal, kalau sudah begitu pasti terjadi sesuatu."Sayang kalau nggak dihabiskan, mubadzir!" ucap Rus lagi, di sela menenggak menghabiskan minuman yang sudah mulai dingin itu.Dia seolah tahu apa yang dipikirkan adik iparnya dari membaca bagaimana ekspresi wajahnya."Ya, ya. Habiskan saja dulu, Mbak." Fatimah menyahut.Begitu teh itu habis, Rus kemudian bangkit dari duduknya dan akan datang untuk melihat Inggit. Namun, baru saja bangkit dan belum berjalan ke arah kamar, Inggit muncul dengan bersungut-sungut. "Loh?" Rus seketika diam.
"Apa? Benar yang dia bilang Mbak?" tanya Wawan mengarahkan tatapan ke arah sang kakak.Rus menjawab dengan helaan berat."Kalau begitu, Haris harus tanggung jawab, aku akan menemuinya besok di rumahnya!" ucap Wawan berapi-api. "Bukan hanya dia, tapi istri pertamanya juga harus tahu, agar dia tidak bisa berkelit dan lari dari tanggung jawab," sambungnya sembari tersenyum miring.Ini seperti keberuntungan ganda buat Wawan. Dengan cara seperti ini, beban dan masalah besar sudah menunggu Haris. Sebentar lagi, suara -suara di masyarakat mengenai perselingkuhannya akan pecah. Selain rasa sakit hatinya Allah balas, tanpa upayanya sendiri, Inggit akan dapat nafkah hingga ia tidak perlu memikirkan. Dan tentu saja, Fatimah tidak akan ngujek-ngujek soal keberadaan Inggit dan Ibunya di rumah Wawan. Rumah tangganya tidak lagi dalam ancaman akan hancur, sebab ia terus merasa keberatan berada satu rumah dengan mereka.Walaupun mungkin saja, dia akan diseret-seret dalam masalah ini juga. Sebab diala
Dengan terpaksa Inggit berkemas sesuai kemauan Ibunya. Harga diri wanita tua itu sangat tinggi, mana bisa ditenangkan sekarang. Ibunya pasti memilih mati ketimbang ngalah dari bibi dan pamannya.Sebagian besar barang mereka masih berada di rumah kost lama. Jadi tidak terlalu sulit untuk mengemas bawaan. Karena sepulang dari rumah sakit, membawa Karim belum sempat balik ke rumah itu.Mereka sengaja tidak mengambilnya, dan berniat sebentar tinggal di rumah Wawan Namun, Wawan dan istrinya benar -benar tidak sabar dan menyinggung perasaan Rus, hingga mereka memilih pergi untuk menjaga harga diri."Mereka pikir kita ini benalu atau apa?! Sama keluarga saja pelitnya naudzubillah!" Rus masih mengomel."Kamu sudah siap?" tanyanya kemudian pada Inggit yang tampak diam menunggu."Ya, Bu." Inggit menyahut.Setelah siap keduanya berjalan ke arah pintu ke luar di mana Wawan dan Fatimah hanya melihat dari ruang tengah. Fatimah susah mewanti -wanti agar pria itu teguh, dan tidak menahan mereka lagi.
"Abam pergi dulu, Mi." Anak kecil itu berinisiatif meraih tangan Uminya dan meninggalkan Hania yang dipenuhi tanya."Dek!" panggil Hania.Namun, Abram mengabaikannya dan pergi begitu saja. Ia ingin mengejar, tapi kemudian suara azan menggema menghentikan niatnya."Hania, sudah. Apa yang kamu ingin tahu? Umi hanya minta Abam untuk tidak membahas ini pada siapapun, pada kamu juga, supaya Agni bisa lupa dan tidak terus dalam trauma."Salma berusaha meyakinkan putri sulungnya itu.Hania terdiam. Dia mendengar. Tapi belum bisa menerima sepenuhnya penjelasan wanita yang terus menampakkan kebijakan dalam ucapannya tersebut.'Aku sangat yakin, kalau tadi ... mendengar kata rahasia, bukan hanya hati-hati dalam berbicara.' Hania membatin."Hania," panggil Salma ketika anak sulungnya itu terlihat melamun dan memikirkan sesuatu. Dia yakin kalau Hania sedang memikirkan secara dalam ucapan Salma pada Abram yang tak sengaja didengarnya tadi. Itu kenapa, Salma juga berusaha mengalihkan perhatiannya.
Aminah serta tuan rumah tidak bisa menikmati makanan mereka. Terutama Aminah yang seolah harus menerima keputusan sepihak dari Mana Haris.Bukan hanya karena suasana berkabung, tapi juga percakapan yang menegangkan barusan terjadi. Ibu Salma itu bahkan diam saja ketika nenek Lily pamit ke belakang dan tak kembali. Dari pada bertemu lagi dan makin tak enak, lebih baik Aminah pergi tanpa pamit pada besannya. Bukan karena tak sopan dan mengenyangkan adat kesopanan lantaran marah. Hanya saja, wanita yang melahirkan Haris dan Nanda itu pasti juga tak akan merasa nyaman bertemu dengannya lagi."Ibu duluan saja ke mobil, saya akan segera menyusul." Haris memberi tahu sekaligus berpamitan akan ke dalam lebih dulu."Ya." Aminah setuju. Ia pun ke luar rumah menuju halaman di mana mobil sport milik Haris diparkir.Saat berada di teras, ia sengaja melihat ke arah jendela kamar Nanda. Lalu melihat gorden yang menutupi kaca itu tidak juga disingkap.Ibu Salma mengayun langkah sembari menghela bera
"Oh ya, benar, Om Reynand membelikan seeemuanya!" Haqi menyahut. Kentara perasaan senang di wajah polos anak tampan itu. Wajah yang menjadi duplikat Haris.Mendengar itu, seketika tangan Haris terkepal. Ia merasa dikhianati dan cemburu."Kenapa tidak menelepon Abi kalau mau makanan enak! Kenapa harus minta pada orang lain!" Suaranya langsung meninggi karena marah.Karena itu, semua anaknya dan juga Salma menghentikan gerakan mereka, dan melihat ke arah Haris lantaran terkejut.Mereka bahkan mengedip kaget. Suara Haris meletup -letup dan membuat anak-anaknya takut. Padahal, sebelum ini, sosok Haris adalah seseorang yang paling mereka cintai dan rindukan, terutama Abram. Anak itu bahkan sampai sakit karena terus merindukannya dan tak bisa bertemu.Melihat tatapan takut dari mata anak-anaknya, Haris melunak. Ia kemudian sadar kalau telah kelepasan. Namun, saat menatap ke arah Salma, ia merasa rasa bersalahnya menguap dan berganti dengan kemarahan lantaran cemburu. Pria itu menajamkan pan
"Bu, Bu! Nggak enak banget di sini. Kenapa gak balik ke kostan yang lama aja? Biar aku bayar untul dua bulan ke depan!" Inggit bangun dari tidurnya dengan bersungut-sungut, memegangi pinggang yang terasa sakit. Ibunya sangat aneh. Pergi dengan drama luar biasa, ujungnya kembali ke rumah lama yang kosong di belakang klinik Paman Wawan."Katanya ke hotel, hiss," keluh Inggit kemudian. Dia pikir, ibunya itu benar -benar akan membawanya pergi ke hotel sehari dua hari sampai mereka memutuskan akan tinggal di mana? Diraihnya ponsel di nakas. Hari ini dia harus pergi ke kantor Agency jika tidak ingin kehilangan uang puluhan juta bulan depan.Namun, yang ia temukan bukan sekadar pesan dari Amel ataupun pegawai Agency, dia menemukan sesuatu hingga kedua matanya membeliak. [ Aku akan bertanggung jawab pada anak itu jika memang dia adalah darah dagingku. Tapi, jika ternyata setelah tes DNA, anak itu tidak cocok denganku, aku minta kembalikan semua uangku! ] tulis Haris. 'Dasar laki perhitung
"Salma, kita harus bicara." Aminah mengucap begitu Salma ke luar dari kamar Agni.Setelah selesai, Aminah mengajak Salma untuk bicara berdua. Ada beberapa hal yang dibahas dan direncanakan untuk mempertahankan Agni. Dia tidak bisa mempercayakan hal sebesar ini pada pria macam Haris. Menjaga kesetiaan saja tidak bisa, bagaimana dia akan menjaga ucapannya pada Aminah dan melawan Mamanya?Aminah juga ingin, menegaskan pada Salma, bahwa dia harus segera melayangkan gugatan kembali. Untuk apa bertahan pada pria tempramen seperti Haris?"Ya, Bu. Aku letakkan ini dulu, ya, Bu." Perempuan itu mengangkat piring di tangan, yang kemudian dijawab anggukan oleh ibunya.Kebetulan memang Salma juga ingin tahu, secara jelas apa yang sebenarnya terjadi di rumah Ibu mertua. Kenapa juga tadi saat di meja makan ibunya itu bilang, agar mereka menahan Agni di sisi mereka. Mungkinkah mama Haris dan Nanda berencana untuk meminta Agni tinggal di rumah mereka.Aminah lalu pergi ke kamar Salma, yang letaknya c
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku