Aminah serta tuan rumah tidak bisa menikmati makanan mereka. Terutama Aminah yang seolah harus menerima keputusan sepihak dari Mana Haris.Bukan hanya karena suasana berkabung, tapi juga percakapan yang menegangkan barusan terjadi. Ibu Salma itu bahkan diam saja ketika nenek Lily pamit ke belakang dan tak kembali. Dari pada bertemu lagi dan makin tak enak, lebih baik Aminah pergi tanpa pamit pada besannya. Bukan karena tak sopan dan mengenyangkan adat kesopanan lantaran marah. Hanya saja, wanita yang melahirkan Haris dan Nanda itu pasti juga tak akan merasa nyaman bertemu dengannya lagi."Ibu duluan saja ke mobil, saya akan segera menyusul." Haris memberi tahu sekaligus berpamitan akan ke dalam lebih dulu."Ya." Aminah setuju. Ia pun ke luar rumah menuju halaman di mana mobil sport milik Haris diparkir.Saat berada di teras, ia sengaja melihat ke arah jendela kamar Nanda. Lalu melihat gorden yang menutupi kaca itu tidak juga disingkap.Ibu Salma mengayun langkah sembari menghela bera
"Oh ya, benar, Om Reynand membelikan seeemuanya!" Haqi menyahut. Kentara perasaan senang di wajah polos anak tampan itu. Wajah yang menjadi duplikat Haris.Mendengar itu, seketika tangan Haris terkepal. Ia merasa dikhianati dan cemburu."Kenapa tidak menelepon Abi kalau mau makanan enak! Kenapa harus minta pada orang lain!" Suaranya langsung meninggi karena marah.Karena itu, semua anaknya dan juga Salma menghentikan gerakan mereka, dan melihat ke arah Haris lantaran terkejut.Mereka bahkan mengedip kaget. Suara Haris meletup -letup dan membuat anak-anaknya takut. Padahal, sebelum ini, sosok Haris adalah seseorang yang paling mereka cintai dan rindukan, terutama Abram. Anak itu bahkan sampai sakit karena terus merindukannya dan tak bisa bertemu.Melihat tatapan takut dari mata anak-anaknya, Haris melunak. Ia kemudian sadar kalau telah kelepasan. Namun, saat menatap ke arah Salma, ia merasa rasa bersalahnya menguap dan berganti dengan kemarahan lantaran cemburu. Pria itu menajamkan pan
"Bu, Bu! Nggak enak banget di sini. Kenapa gak balik ke kostan yang lama aja? Biar aku bayar untul dua bulan ke depan!" Inggit bangun dari tidurnya dengan bersungut-sungut, memegangi pinggang yang terasa sakit. Ibunya sangat aneh. Pergi dengan drama luar biasa, ujungnya kembali ke rumah lama yang kosong di belakang klinik Paman Wawan."Katanya ke hotel, hiss," keluh Inggit kemudian. Dia pikir, ibunya itu benar -benar akan membawanya pergi ke hotel sehari dua hari sampai mereka memutuskan akan tinggal di mana? Diraihnya ponsel di nakas. Hari ini dia harus pergi ke kantor Agency jika tidak ingin kehilangan uang puluhan juta bulan depan.Namun, yang ia temukan bukan sekadar pesan dari Amel ataupun pegawai Agency, dia menemukan sesuatu hingga kedua matanya membeliak. [ Aku akan bertanggung jawab pada anak itu jika memang dia adalah darah dagingku. Tapi, jika ternyata setelah tes DNA, anak itu tidak cocok denganku, aku minta kembalikan semua uangku! ] tulis Haris. 'Dasar laki perhitung
"Salma, kita harus bicara." Aminah mengucap begitu Salma ke luar dari kamar Agni.Setelah selesai, Aminah mengajak Salma untuk bicara berdua. Ada beberapa hal yang dibahas dan direncanakan untuk mempertahankan Agni. Dia tidak bisa mempercayakan hal sebesar ini pada pria macam Haris. Menjaga kesetiaan saja tidak bisa, bagaimana dia akan menjaga ucapannya pada Aminah dan melawan Mamanya?Aminah juga ingin, menegaskan pada Salma, bahwa dia harus segera melayangkan gugatan kembali. Untuk apa bertahan pada pria tempramen seperti Haris?"Ya, Bu. Aku letakkan ini dulu, ya, Bu." Perempuan itu mengangkat piring di tangan, yang kemudian dijawab anggukan oleh ibunya.Kebetulan memang Salma juga ingin tahu, secara jelas apa yang sebenarnya terjadi di rumah Ibu mertua. Kenapa juga tadi saat di meja makan ibunya itu bilang, agar mereka menahan Agni di sisi mereka. Mungkinkah mama Haris dan Nanda berencana untuk meminta Agni tinggal di rumah mereka.Aminah lalu pergi ke kamar Salma, yang letaknya c
Mobil yang membawa Abyaz sudah sampai di Bekasi. Tadinya ia ingin naik motor yang dibelikan Papanya, akan tetapi bahkan anak itu belum punya SIM. Sebenarnya tak akan ada yang tahu jika dia memanipulasi data dengan menuakan umurnya. Karena bahkan anak itu memiliki tubuh tinggi, tegap dan berisi sehingga mirip perawakan orang dewasa. Jika Abyaz bersanding dengan Haris, orang -orang akan mengira mereka adalah adik dan Kakak. "Sepertinya di sini titiknya!" ucap sopir. Pria itu melihat ke google Maps yang Abyaz berikan.Dahi Abyaz berkerut. Ia sempat sekali datang ke lingkungan ini untuk berkunjung ke rumah Umi Hania. Namun, ia kesulitan mengingat jalannya. Sampai kemudian ada seorang pria berpakaian satpam menghampiri mereka."Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas keamanan itu setelah mengetuk jendela dan sang sopir menurunkannya."Ah, Pak kami mencari alamat ini!" Sopir menunjukkan ponselnya."Oh, ini rumah Pak Haris bukan ya?" tebak satpam yang melihat lokasi."Pak Haris? Abinya Ha
"Kenapa kamu kaget begitu, Sayang? Ini adalah upaya kamu latihan berpisah dengan Umi, untuk jaga -jaga kalau nanti Abi dan Umi benar-benar bercerai sesuai keinginan kamu." Suara lemah Haris laksana bom yang meledak di kepala Agni. Bagaimana Abi bisa Setega itu memberikan putrinya sendiri pada orang yang jelas -jelaa menaruh sakit hati padanya?Agni tak bisa berkata-kata selain air mata yang terus jatuh, sebagai reaksi atas keputusan Haris yang tiba tiba."Kamu keterlaluan, Ris! Bagaimana bisa kamu bicarakan itu pada Agni?!" protes Aminah yang melihat betapa sedih raut wajah cucunya sekarang. Dan Haris tampaknya tidak merasa bersalah sedikitpun telah melakukan hal itu.Wanita tua itu memilih meninggalkan pekerjaan yang belum beres sepenuhnya, dan menghambur ke arah Agni. Tak tega rasanya melihat anak yang berada dalam trauma itu ditekan oleh pria gila tak bertanggung jawab itu."Ayo Agni, sebaiknya kamu kembali ke kamar!" bujuk Aminah. Agni pasrah dan mengikuti sang Nenek saat tangan
"Kamu tenang saja, Nggit! Aku sudah mencari tahu, hal-hal baik yang bisa kamu dapatkan untuk ini."Amel menuang teh yang sudah ia siapkan untuk Inggit."Apa maksudmu?" "Jika ternyata janin dalam kandungan kamu tidak bisa digugurkan, kita bisa lewat jalan gelap.""Hiks kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti!" protes Inggit, ia merasa Amel sedang menguji ucapannya sekarang apakah dia benar-benar sudah menggugurkan kandungan itu atau belum."Orang sudah tak gugurin kok," sambungnya lagi sambil menyeruput minuman itu."Yah, sebenarnya hamil itu bukan ancaman, Nggit. Walau ada kemungkinan, kamu harus cuti dan gak gajian berbulan-bulan begitu melahirkan.*"Maksudnya? Gak perlu bayar denda?""Nggak kalo kamu bisa lobi dan minta tolong ke Om sugar Daddy.""Hah?""Yah, karena ternyata ... para pria itu ada yang mencari gadis -gadis muda hamil dengan pesanan khusus dan fee kalian lipat.""Apa?""Huum, katanya rahimnya lebih hangat!" Amel menyahut."Jadi ... Harusnya tidak perlu menggugurkan ka
Sampai di rumah, Rus membeku di depan pintu sesaat. Dahinya mengernyit ketika melihat pintu itu masih terkunci rapat. Sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lega."Sebentar, pintunya masih tertutup. Apa dia ada di dalam dan yang tadi bukan Inggit?" ucapnya yang kemudian menoleh ke arah pria yang ada di belakang. Wawan adiknya.Wawan menautkan dua alisnya yang sudah mulai memutih. "Ada apa, Mbak?" "Pintu masih terkunci. Apa benar tadi Inggit?" Rus memperlihatkan bahwa dia merasa kesal pada adiknya yang suka asal bicara."Hess. Cepat buka!" Pria itu tahu apa yang dipikirkan kakaknya. Dia tampaknya tidak percaya dengan ucapan Wawan. Namun, Paman Inggit itu tak peduli dan membentak Rus karena kesal.Rus melebarkan mata. Ia merasa kesal Wawan sekarang susah berani sangat kurang ajar pada kakak yang dulu merawatnya saat kecil. Namun, ia menahannya karena bisa jadi apa yang dikatakan Wawan memang benar. Siapa yang tahu kalau di dalam memang tidak ada orang."Nggit! Kamu di dalam?!"Akhirny
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku