Seminggu telah berlalu.Aku berjuang keras melawan perasaan yang tidak –tidak yang muncul dalam benak. Ingin kulupakan segala hal tentang Inggit, dari ucapan –ucapan Pak Karim yang salah kupahami. Juga bagaimana ekspresi gadis itu serta keantusiasannya melayaniku yang baru sekali ke rumahnya. Aku terlalu gila, hanya karena hal –hal seperti itu saja terus terbayang –bayang senyumnya.Ya, sepertinya aku memang jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap gadis itu. Aku harus tahu diri. Mana pantas pria tua sepertiku menaruh hati ke pada seorang gadis? Lagi pula aku juga sudah punya keluarga. Dan walau pun poligami itu halal, sejak awal tidak berniat untuk poligami sama sekali.Terlalu berat. Memikirkan dampaknya saja aku tak sanggup. Apa lagi benar –benar menjalaninya. Salma juga sudah menegaskan kalau dia tidak akan menjalani kehidupan berpoligami.Sepulang kerja, aku menyempatkan datang ke klinik bekam Pak Wawan. Ingin membeli herbal madu yang dulu katanya dapat dari saudara.“Heih, Ma
“Masih ada waktu menyelesaikan semua rasa penasaran Umi. Karena Abi memutuskan kembali, demi Umi dan anak –anak. Mari tidak ada bahasan lagi begitu kita bertemu dengan anak –anak di rumah.” Mas Haris memahami permintaanku dan ternyata dia pikiran yang sama denganku jika menyangkut anak -anak.Usia kandunganku sekarang enam bulan, dan Mas Haris bilang dia sudah menikah secara siri dengan Inggit selama enam bulan pula. Apa artinya Mas Haris menikah berbarengan dengan kabar kehamilanku? Atau aku hamil setelahnya?“Apa ... setelah aku hamil Mas? Atau sebelum aku memberi tahu kalau aku sedang hamil?”Sekarang panggilanku berubah jadi ‘Mas.’ Siapa yang bisa mangkir dari sakit hati dan marah pada pasangannya ketika sudah dikhianati?Aku belum memaafkannya, meski niat itu ada. Sayangnya aku juga tidak yakin apa bisa memaafkannya. Lama kelamaan, memanggilnya dengan sebutan Abi, yang merupakan panggilan kesayanganku selama ini membuatku muak. Aku merasa benci bersikap seolah semua baik –baik sa
Deru mobil terdengar. Sesaat kemudian suara itu menjauh perlahan, semakin menjauh dan menghilang. Inggit yang sedari tadi menyandar di pintu dengan merapatkan kepala untuk menguping obrolan Haris dan istri pertamanya –tubuhnya luruh hingga terduduk di lantai. Tubuh yang ia kuat –kuatkan untuk menopang agar tetap bisa berdiri tegak meski hatinya sedang hancur sekarang.Pria yang telah mengayomi dan bertanggung jawab atas hidupnya telah pergi sekarang. Dalam tangisnya, Inggit mengingat detail kejadian bagaimana sejak kali pertama dengan Haris di rumahnya. Pria yang wajahnya sering ia lihat dari ponsel, setelah Paman Wawan mengirimkan ke nomor Inggit.“Bagaimana menurutmu, Nggit?” tanya Paman Wawan.“Lumayan ganteng Paman, mirip artis Turki, he he.” Inggit mengucap malu –malu.“Kalau Paman punya anak perempuan seumurmu, pasti Paman akan menawarkan padanya untuk dimadu. Jadi setelah menikah tidak perlu susah mencari harta dunia, dan fokus miki akhirat saja.“Tapi, apa dia mau sama aku? Ak
“Aku sudah tahu hari ini akan datang.” Pak Karim menggumam sendiri kala ke dua matanya menangkap nama Haris di atas layar ponsel.Dia tidak tahu, apakah mengangkat panggilan itu merupakan langkah terbaik sekarang.“Pak siapa?” tanya Ibu Inggit dengan nada berbisik.Wanita itu memiliki keyakinan kalau itu pasti Haris atau istri pertamanya. Memangnya siapa yang akan menelepon tengah malam begini? Apa lagi sudah jelas perang baru saja dimulai dengan keributan di rumah ini. Sang pemilik asli telah datang, meminta Inggit pergi meninggalkan pria yang sebenarnya dia juga berhak karena telah ikut memilikinya.Tak sabar ingin tahu siapa yang memanggil dan memastikan dugaan, wanita paruh baya itu melongok untuk melihatnya. Satu sudut bibirnya terangkat. Ibu Inggit tersenyum sinis. Dia mulai bisa membaca situasi.“Jangan diangkat, Pak!” pintanya pada Karim.Inggit yang juga ikut penasaran karena suara panggilan itu, menjauhkan tubuh dari sang Ibu. Sekarang bukan saatnya bermanja –manja dan meras
Inggit sudah terlelap tidur di atas pembaringan. Ia merasa lelah. Setelah berjam –jam menangis tapi hatinya tidak juga bisa tenang karenanya. Bagaimana tidak? Haris pergi. Dan dia tidak tahu apa pria itu akan kembali. Meski ibu dan Bapaknya mengatakan mereka tak akan tinggal diam sampai Haris kembali.Sementara itu, orang tua Inggit tidak pulang dan memilih menemani puterinya. Bolak –balik Ibu Inggit mengecek ke kamar Inggit. Takut anaknya itu nekad bunuh diri setelah apa yang menimpanya.“Ada apa to Bu?” tanya sang suami dengan nada berbisik. Karim yang baru saja ke luar dari toilet merasa bingung melihat istrinya itu buka tutup pintu kamar Inggit sedari tadi.Ibu Inggit menutup pintu pelan –pelan karena tak ingin membangunkan anaknya. Didorong tubuh suami menjauh agar bisa bicara dengan bebas tanpa khawatir Inggit mendengar.“Bapak nggak ada rencana? Telepon Wawan dulu, biar dia menemui Haris.”“Sabar to, Bu. Malam –malam gini nelpon orang. Nanti kalau istrinya yang angkat bisa hebo
Salma terus memukulkan sebuah botol kecil berisi obat –obatan dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Dia tak mengerti, sudah berusaha keras menumpahkan segala kekesalannya dengan menangis dan bahkan menyakiti diri sendiri, tapi tak juga berkurang rasa sakitnya.“Aaa ...!”Sesekali wanita itu berteriak. Walau begitu hatinya tak berhenti berdzikir dan meminta petunjuk pada Rabbnya. Apa yang harus dilakukan sekarang? Siapa yang bisa dia mintia tolong untuk memediasi masalahnya? Ke mana dia akan mengadu agar ada yang menguatkannya? Walau bagaimana dia hanya seorang manusia rapuh yang bukan hanya perlu meminta petunjuk pada Tuhannya tapi juga meminta motivasi dari sesama.Ibunya? Tidak mungkin. Wanita tua itu bahkan masih berduka karena Bapak Salma baru –baru ini meninggal? Mbak Mur? Bagaimana kalau ternyata nanti bocor ke tetangga yang lain? Hania? Dia pasti akan sangat terluka. Lagi –lagi dia tak membuat hati anak –anaknya yang seperti cermin akan pecah dan tak bisa lagi disatukan seperti
Wawan bergegas ke dapur untuk menemui sang istri. Ia perlu mencari tahu bagaimana situasi di kalangan akhwat belakangan? Mengingat Ustaz Fawwas berpesan sudah dalam sekali, bahkan sebelum Haris dan Inggit menikah. Dan belakangan, Wawan sudah tidak terlalu membahas soal poligami dengan teman –temannya.Dengan begitu, seharusnya ibu –ibu tidak terlalu marah padanya. Dan juga istri Ustaz Fawwas sudah tidak lagi menyimpan dendam. “Hais, mikir apa aku ini? Mana ada seorang hafidzoh menyimpan dendam pada orang lain? Bisa –bisa hafalannya lenyap.”Wawan menghibur diri sendiri. Sampai di dapur, sang istri tengah merebus telur dan beberapa sayur sebelum dimasak dan dibumbui. Ia menoleh begitu menyadari ada pergerakan dari arah pintu.“Ada apa?” tanya istri pertama Wawan datar.“Mi, masih satu grup dengan istri Ustaz Fawwas?” tanya Wawan mulai penyelidikan.“Tumben tanya soal istri Ustaz Fawwas?” Istri Wawan itu seolah tidak begitu tertarik bicara membahas perempuan yang selama ini banyak mengi
Salma menumpahkan air dalam gayung itu tepat di wajah Haris, berharap setan yang membelenggunya pergi dan pria itu lekas bangun untuk melakukan kewajibannya. Haris gelagapan karena kesulitan bernapas sekaligus terkejut, sehingga terbangun dari tidurnya. Saat melihat sekitar apa yang terjadi, seorang perempuan sudah berjalan menjauh masuk ke kamar mandi.Diusap wajahnya yang basah kuyup, bukan hanya itu kasur yang ditempatinya juga basah karena volume air yang tumpah kelewat banyak.“Apa ini?” dengkus Haris kesal. Tidurnya yang nyaman terganggu. Padahal belum lama, akhirnya mata itu bisa terpejam. “Apa ini ulah Salma?” gumamnya bertanya –tanya. “Hiss, siapa lagi memangnya?!” desis Haris sebelum akhirnya memutuskan bangun dan bertanya pada Salma.“Mi! Ini ulahmu?! Kenapa kamu iseng sekali? Apa kamu sudah tidak menghormatiku lagi sebagai seorang suami?!” Haris tak terima diperlakukan Salma begini. Tidak ada sopan –sopannya.“Au ... au ... au ....!” Pria itu mengaduh, karena saat berusaha
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku