Agni langsung menyerahkan ponsel ke tangan neneknya, setelah dia mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan dari Reynand, Om –nya. Kini posisi mereka sudah berada di atas mobil yang dikemudikan Maya, menuju Rumah Sakit di Bekasi di mana Salma dirawat. “Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.” “Halo, Rey, bagaimana kondisi Salma, Nak?” Wanita tua itu langsung menanyakan putrinya begitu mendapat panggilan dari Reynand.Aminah memiliki firasat buruk sejak tadi, itu kenapa dia akhirnya mengabulkan keinginan Agni untuk ikut datang ke RS bersama ke dua adiknya. “Kami masih menunggu di depan ruang operasi, Bi. Tolong berdoa saja, doa Ibu pasti Allah kabulkan untuk Salma.” Reynand mengucap sedih, menatap ke arah Haris yang duduk di seberang sana dengan raut wajah tak kalah sedihnya. Haris bahkan mendengar obrolan Reynand dan Ibu mertuanya, tapi bahkan dia tidak peduli apa yang mereka bicarakan. Dia juga tidak lagi peduli apakah orang tua itu mau bicara padanya atau tidak. "Salma te
Albi langsung menuju ruang UGD, berdasarkan feelingnya sendiri, bahwa semua pasien darurat akan dibawa ke sana. Ya, seharusnya Karim sudah ke luar, kalau tiba –tiba ada hal yang menimpa, pasti petugas mengarahkannya ke sana.Dan benar saja. Saat datang ke UGD, pria melihat Inggit dan ibunya sedang duduk lesu di kursi tunggu pasien. Sementara mayat sang Bapak berada tak jauh dari ruang UGD. Mereka sedang menunggu armada yang bisa membawanya ke rumah sebelum jenazahnya diurus.“Apa kamu tidak menghubungi Haris, walau bagaimana dia masih suami kamu?” tanya Ibu Inggit sembari menyimpan ponsel ke dalam tas. Dia masih berharap Haris datang dan memberi uang sebagai tanggung jawabnya melakukan semua ini pada Karim.Wanita tua itu sudah menghubungi Wawan dan menceritakan kematian Karim, dengan begitu, adiknya tersebut langsung bergerak menyiapkan segala sesuatunya di rumah duka.“Sudahlah Bu.” Inggit menyahut lemah. Dia terlalu sedih dan tak ingin membahas Haris lagi.Tak lama, suara Albi terd
Hania menangis di depan Pengasuh yang bertanggung jawab atas santri wati. Wanita berusia tiga puluhan tahun itu pun mengusap punggung gadis berusia 12 tahun tersebut.“Yang sabar, ya. Insya Allah, Umi nggak papa. Anti boleh pulang, tapi jangan berhenti berdoa, dan murojaah di waktu –waktu luang menjaga Umi. Ustazah akan tetap menanyakan hafalan anti saat kembali nanti.” Ustazah Murti menjawab permintaan Hania. Wanita itu tidak mau jika Hania terlalu larut dalam kesedihannya, setidaknya dengan murojaah dan menghafal, akan membuat Hania berdizkir mengingat Allah, sehingga menguatkan gadis itu akan semua ketetapanNya.“Jazzakillah Ustazah.”Wanita itu lalu memeluk tubuh Hania. Gadis itu pasrah dan menangis dalam pelukan.‘Ustazah, masalah Umi kritis saja sudah membuat Ustazah ikut menangis, bagaimana saat Ustazah tahu apa yang terjadi pada keluarga kami sekarang, kami sudah kehilangan Abi.’Usai pulang dari rumah pengasuh, Hania menyempatkan diri mampir ke rumah Kiai dan Bu Nyai. Dia ing
“Jadi yang meninggal Pak Karim?” tanya Ustaz Fawwas.Wawan mengangguk lemah. “Njih Ustaz.”“Allahummagfrilahu warhamhu waafihi wafuanhu,” gumam sang ustaz muda mendoakan mayit.Wawan merogoh ponsel dalam saku, begitu mendengar suara notif pesan masuk. Saat membukanya, pesan itu datang dari Haris, menantu Karim. Dahinya berkerut saat membaca pesan balasan dari Haris tersebut.“Ckck. Dia ini benar –benar. Orang sudah mati masih juga di-dendami.” Wawan mengucap begitu saja. Kentara sekali bahwa ucapan itu terlontar dengan nada kesal dan kecewa yang hadirnya bersamaan.“Mas Haris? Apa beliau sibuk dan tidak bisa datang?” Mata Ustaz Fawwas melebar. Dia langsung terkoneksi dan berpikir bahwa Haris tidak takziah ke kematian Bapak mertua.“Yah, begitulah Ustaz, mana mikir dia kalau ini adalah Bapak mertua salah satu dari orang tua yang harusnya kita berbakti ke pada mereka.”“Hem, mungkin ada alasan kenapa Mas Haris melakukan itu.” Ustaz Fawwas mencoba berhusnudzon.“Heh. Dia? Tentu saja kare
“Huek! Huek!”Semakin Inggit tahan rasa mual itu terasa semakin kuat. Perempuan yang berumur belasan tahun itu sampai harus pergi ke toilet agar bisa memuntahkan isi dalam perut. Namun sayang, semakin ia paksa untuk muntah, semakin keras perutnya dan tidak ke luar apa pun selain liur yang dikeluarkan paksa dari mulutnya.“Duh, bagaimana ini? Bagaimana kalau dia hamil?” Rus mengucap gelisah. Pasti akan membingungkan siapa Bapak dari anak itu, Haris atau Albi.Lalu bagaimana dengan pekerjaan baru Inggit? Apakah tidak apa –apa jika dia hamil? Jangan –jangan kehamilannya menjadi penghalang dalam bekerja. Ini gawat, siapa yang akan mencari uang untuk makan dan melunasi hutang –hutang keluarga mereka?“Ah, tidak. Mana mungkin dia hamil? Dia sudah kubelikan pil KB dari Bidan.” Rus menggumam. Menenangkan pikirannya sendiri yang mulai kalut membayangkan betapa mengerikan masa depan yang akan dia dan Inggit jalani. Dengan banyaknya semua kesulitan yang muncul dari sosok hidup dalam perut anakny
“Apa? Operasi?” tanya Ibu Inggit. “Dia mati? Kenapa kalian terlihat terkejut tadi.”“Hem, Mbak pasti sangat senang mendengar wanita itu dapat musibah!” Wawan tersenyum miris. Dia tidak tahu kenapa harus ada di pihak orang yang memiliki kebencian kepada orang lain dan mengharapkan kematian untuk mereka.Ibu Inggit tersenyum. Bagaimana dia tidak bahagia, mendengar kabar buruk mengenai Salma? Ini sepadan dengan rasa sakit yang dia dapatkan karena meninggalnya sang suami.“Jangan terlalu senang melihat penderitaan orang lain, kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan, dan Allah siapkan untuk menegur kita.” Wawan mengingatkan. Dia tidak suka melihat senyum jahat di wajah sang kakak karena musibah orang lain.“Apa maksudmu? Aku juga sedang kena musibah! Kalau Salma bangun dan hidup, dia pasti juga akan senang melihat kematian Bapak Inggit.” Rus membantah kata –kata Wawan.“Sayang sekali, Salma belum mati, Mbak. Jangan katakan dia hidup.”“Apa? Jadi belum mati?” Mata Ibu Inggit melotot
"Apa Abi sudah coba menelpon pakai nomor lain?" tanya Hania, dia curiga Agni sengaja tidak mau mengangkat karena panggilan itu datang dari pria yang dibenci."Sudah, pakai punya Om Reynand dan sama saja, enggak aktif, Han.""Apa?!" Hania terkejut dengan pernyataan itu. 'Kalau begitu bukan karena Abi yang menghubungi. Jangan -jangan terjadi sesuatu. Apalagi jarak rumah dan rumah sakit tidak terlalu jauh.'"Ada apa?" tanya Reynand yang masih bertahan di rumah sakit. Pria itu datang bersama Ibu Salma setelah melihat kondisi Salma juga bayi dalam inkubator. Sementara Mama Haris, Lily dan ibunya akhirnya pulang, karena rengekan Lily yang tidak berhenti.“Siapa maksud kalian?” tanya Nenek yang ikut bingung melihat situasi di depannya. Semua orang tampak cemas. Terutama Haris dan Hania.Melihat bahwa Abram terlihat baik –baik saja, berarti bukan dia yang dimaksud. Lalu siapa? Kalau Salma dan anaknya tentu saja dia yang paling tahu, sebab baru dari sana. Dia tahu, bahwa kondisi mereka stabil
Keesokan harinya .....Inggit bersiap akan pergi. Dia harus menemui seseorang dan juga diam –diam membeli tes pack. Kepalanya terus berasa berdenyut sejak bangun dari tidur pagi ini. Lalu mual yang terus muncul secara instens dalam sejam, walau tidak sekuat yang ia rasakan di malam sebelumnya.Mungkin tanah kuburan Karim masih sangat basah, karena belum lama dikubur. Namun, bukan berarti Inggit dan Ibunya harus meratapi kepergian pria itu. Selain itu, kesedihan mereka telah berkurang karena melihat kondisi Salma yang sudah lemah sekarang, mereka yakin Salma –sang penyebab kematian Karim- juga tak lama lagi akan menyusul pria itu.“Kamu sudah mau berangkat?” tanya Ibu Inggit. Diletakkan obat maagh yang tadi dibelinya di warung pagi –pagi sekali.Dia tidak menyarankan Inggit untuk periksa ke dokter. Karena selain sakitnya tampak seperti sakit biasa, mereka juga perlu berhemat. Ada banyak sekali hutang yang harus dibayar dan kebutuhan hidup yang mestinya dipenuhi. “Ya, Bu.” Inggit menya
Rus masih fokus melihat petugas. Ia kemudian terhentak begitu mendengar suara notif pesan masuk ke ponselnya. Wanita tua itu kemudian merogoh ponsel dalam tasnya lagi. Lalu menggeser layar ponselnya untuk melihat pesan apa yang dikirim padanya.“Dari Wawan,” gumamnya sembari mengklik isi pesan itu.Matanya nyaris saja terlepas dari tempatnya begitu membaca isi pesan itu.[ Innalillahi waa inna ilahi rojiun, bayi Inggit sudah tidak tertolong Mbak. Sebaiknya Mbak cepat ke mari, kita harus mengurusnya. ]“Ini tidak mungkin! Wawan pasti salah lihat. Dia pasti tidak mendengar dari Dokter secara langsung!” sangkalnya selagi bangkit dari duduk dan merapikan tas untuk kemudian dibawa dengan tergesa, menuju tempat di mana bayi Inggit selama ini dirawat, dan Wawan sudah menunggu di sana.Langkahnya bergerak begitu cepat, karena ia tak ingin kehilangan waktu sedikit pun. Seolah ia bisa datang tak terlambat dan mencegah kematian cucunya itu.“Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana kami bisa mendapatk
“Jadi benar, kalian tidak bisa rujuk lagi?” Suara di seberang terdengar sedih.Sementara Haris, tak ada yang bisa ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa menyimpan kesedihan dan penyesalannya untuk diri sendiri. Sejak awal ia sudah tahu, bahwa segalanya tidak akan bisa diperbaiki seperti dulu lagi.“Ris!” panggil sang ibu karena tak ada jawaban dari putra sulungnya di ujung telepon.“Ah, ya, Ma.” Haris terhenyak dari lamunan. “Bagaimana?”“Hem, kamu pasti sedang memikirkan hal berat sekarang.”“Hem.” Haris tersenyum miris. Jelas saja pikirannya berat. Tapi justru perceraian yang terjadi, membuatnya sebagian beban di kepalanya terangkat. Entah kenapa? Mungkin karena dia harus terus melihat bagaimana keluhan Salma saat bersamanya. Dia mana bisa terus melihat wanita yang dicintainya tidak bahagia.Ternyata begini rasanya, mencintai tanpa bisa memiliki, sesuatu yang dulu tak pernah ia pikirkan karena kehidupannya dengan Salma benar –benar bahagia.“Jadi sudah tidak bisa rujuk lagi kan?” sang Ma
“Kenapa aku harus terus mengurus sesuatu yang bukan jadi tanggung jawabku? Apa mereka tidak lelah memeras dan memanfaatkanku sejak dulu?” gumam Haris yang belakangan semakin menyadari bahwa segala hal yang dilakukan di masa lalu adalah kesalahan.Pria itu sedang berada di sebuah pondok pesantren. Dan terpaksa mengatakan bisnis agar tidak dipaksa datang oleh Wawan dan Ibu Inggit. Ia merasa sudah cukup dengan mengirimkan uang kepada mereka. Di padepokan ini, Haris sudah menjalani ruqyah rutin atas rekomendasi ustaz Fawwas. Ada hal –hal yang tadinya tak terpikirkan tiba –tiba saja terlintas dalam pikiran mengenai keluarga Inggit.Baru saja menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk bersuci, tiba –tiba sebuah panggilan terdengar. Ia pun mengurungkan sejenak niatnya ke luar kamar dan mengambil ponsel itu untuk melihat siapa yang menelepon.“Mama?” gumamnya sembari mengklik icon berwarna hijau untuk menerima panggilan.“Assalamualaikum. Ya Ma?”“Waalaikum salam. Ris, gimana kabar kamu?”“Alh
“Mas, apa Mas tidak ingin melihat anak Mas Haris?” tanya Wawan di sambungan seluler yang terhubung ke pada Haris. “Inggit masih koma.”Ia merasa sangat miris. Sampai sekarang Inggit masih belum sadar, sejak ia melahirkan prematur minggu lalu. Sepertinya sudah tidak ada harapan untuknya hidup. Sementara ibu Inggit terus saja menangis tanpa tahu apa yang harus diperbuat selain menunggu dengan sabar anaknya akan sadar.Hati Wawan teriris melihat kondisi kakak perempuan dan keponakannya, hingga ia berinisiatif untuk menghubungi Haris. Barang kali pria itu terketuk untuk datang dan membantunya memberi support.“Apa uang yang saya kirim kurang, Pak?” tanya Haris yang mulai kesal terus dihubungi. Padahal, dia sudah mengirim uang. Pekerjaannya terus tertunda karena mengurus Inggit dan anak mereka. “Saya sedang berada di luar kota mengurus pekerjaan. Tidak mudah kalau memutuskan pulang dalam waktu dekat. Saya pikir uang yang saya kirimkan sudah lebih dari cukup. Sebelum pergi saya juga sudah m
[ Jadi kali Unie duluan yang menggugat cerai ke Pengadilan Agama? ] tanya Ameena yang mendengar kabar perceraian Salma dan Haris.[ benar, Umm. Kali ini pengacara memasukkan berkas dan sudah diproses. ][ sudah masa iddah ya? ] tanya Ameena lagi. Seolah ia tak memahami jarak waktu yang terjadi. [ cepat sekali waktu berlalu. ][ benar. Saya memutuskan menerima pinangan kakak sepupu saya. ][ hem, tak masalah, Un. Berarti khuluk. Jadi memang tidak perlu lagi menunggu dirujuk. ] tulis Ameena lagi.Mata Salma melebar karena itu. Bagaimana bisa dia tidak memahami hal sepenting ini? Padahal dia lebih dulu berhijrah.“Apa Mas Haris mengetahui ini, tapi dia diam saja karena ingin memanfaatkan situasi?” gumam perempuan beranak enam itu.“Ada apa?” Ibu Salma datang membawakan makanan dan minuman di atas nampan untuk putrinya. Lalu meletakkan di nakas samping ranjang, agar Salma lebih mudah menjangkaunya.Melihat kedatangan sang Ibu, Salma buru –buru menyimpan ponsel. Ia tak mau membuat wanita t
"Di mana kalian menyembunyikan Inggit?" tanya Salma. Ia mungkin membenci perilaku wanita perebut suami orang itu. Namun, tidak untuk menyakiti fisiknya. Apalagi sekarang Inggit sedang hamil.Abyaz merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Umi Hania, hingga ia menoleh ke arah Hania yang ternyata juga menatap Abyaz takut –takut. Ya, pemuda itu tahu dengan jelas bahwa gadis itu tidak sedang baik –baik saja. Ia kemudian mendongakkan kepala sekali, memberi isyarat pada Hania, dan bertanya apa yang harus dilakukannya di situasi seperti ini? Ia tak mau jawabannya nanti akan menyudutkan gadis itu.Hania tak menjawab dan hanya menunjuk tas yang dibawanya dengan tatapan mata. Saat itulah mata Abyaz membeliak. Sadar bahwa itu adalah tas Inggit yang tertinggal. Pasti karena keberadaan tas tersebut yang membuat mereka ketahuan.Pemuda itu menghela napas lelah. Kenapa dia bisa lupa mengamankannya? Dan Hania yang sedari tadi berada di rumahnya, apa tidak menyimpannya di tempat yang aman? Di gudang misa
"Itu punya tamu Abi." Hania mengucap lemah. Melihat bagaimana cara Salma menatapnya, gadis itu kesulitan untuk berbohong."Tamu? Siapa?" Dahi Salma mengerut. Siapa tamu Haris dengan pakaian seperti itu. "Ehm, dia .... sedang pergi.""Umi tanya siapa dia? Bukan sedang di mana dia?"Hania menatap pada Agni, bingung. Begitu juga dengan Agni. "Han, katakan. Jangan mencoba mengalihkan topik! Apalagi cari pembelaan."“Kamu seharusnya tidak melakukan itu, Kak.” Agni mengkritik sikap sang kakak yang sudah sangat keterlalulan. Sebenci apa pun bukankah merka dilarang berbuat dzolim dan menyakiti orang lain.“Apa yang aku lakukan?” Hania melirik tajam ke arah sang adik.“Ya?” Agni menatap sang kakak tak percaya. Padahal, niatnya baik. Dia ingin menegaskan bahwa itu salah.“Bagaimana dengan kamu? Aku tidak membunuhnya Agni!” tandas Hania ang tidak mau disalahkan. Dia masih berbaik hati mau merawat Inggit, bahkan dalam kondisinya yang sememprihatinkan sekarang.“Ap –apa?” Mata Agni berkaca –kaca
Hania terlalu tenang untuk ukuran seorang anak yang kabur dari rumah. Dia tahu, bahwa Uminya tidak akan semarah ibu-ibu lain ketika menghadapi anaknya yang nakal. Meski kabur, dia berusaha keras untuk tidak pergi ke tempat-tempat yang membawanya pada keburukan. Dia tidak melakukan maksiat, dan hanya berniat menemui ayah kandungnya sendiri. Bukan yang lain. Jika pun ada setitik kebencian di hari gadis remaja itu pada Harus, tetap saja yang namanya seorang ayah, tetaplah seorang ayah. Ia tak bisa bebas membencinya. Suara deru mesin mobil terdengar di depan. Hania sengaja tidak langsung membuka pintu rumah, melainkan membuka gorden lebih dulu untuk melihat siapa yang datang. Gadis ayu itu menghela napas berat begitu melihat sosok umi pertama kali, lalu Agnia yang turun dari dalam mobil. Menyusul kemudian Papa Abyaz.Uminya dan Om itu terlihat seperti pasangan suami istri saja. Apa mereka pasangan yang sudah menikah? Atau mereka akan menikah? Mengingat ke duanya sekarang adalah pria da
“Yaz, kamu sudah melakukannya?” tanya Hania.Abyaz mengangguk. Walau anggukan itu tidak terlihat oleh Hania yang berada di ujung telepon. “He’em.”“Apa dia menolak?” tanya Hania kemudian.“Hem, ya. Tentu saja. Justru aneh kalau dia pasrah begitu saja.” Abyaz menyahut. Tersenyum miring. Membayangkan bagaimana tadi istri muda Om Haris terus memakinya, dan berusaha berontak untuk pergi. Untungnya, tenaga Abyaz jauh lebih kuat.“Ehm, sekarang aku sedang berada di Masjid.”“Ya?” Hania tidak mengerti maksud Abyaz. Apa pria itu sedang berbicara tentang dirinya sendiri sekarang? Sesuatu yang tidak akan Abyaz jelaskan kalau mereka tidak terlibat dalam sebuah misi seperti sekarang.“A ... maksudku, aku sekarang masih berada di Masjid. Jadi ... aku meninggalkannya bersama orang lain.”“Oh.” Hania manggut-manggut memahaminya. “Kamu perlu bantuan? Apa aku harus ke sana?” tanya khawatir, kalau –kalau Inggit nekad kabur, dan orang yang menjaganya kualahan menghadapi perempuan bar –bar itu.“Ah, aku