Tiga hari berlalu setelah pertemuanku dengan Sarah. Tak ada yang berubah dari Mas Bagas. Hanya janji dan janji saja yang terus ia berikan. Aku pun sudah tak lagi merayu bahkan memancingnya. Kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mas Bagas dengan pekerjaannya, sementara aku mengurus butik yang beberapa minggu terakhir jarang kukunjungi. "Mas, aku mau ke butik. Aku ikut bareng kamu, ya," ucapku sembari membenarkan letak jilbab di depan sebuah cermin berukuran lebar di dalam kamar. "Lho, Mas pakai motor, Dik.""Nggak pa-pa. Lagian jalannya juga searah. Aku sedang malas nyetir." Aku membuat alasan. "Nanti kamu pulangnya gimana? Mas mana bisa antar pulang." Mas Bagas masih menolak. "Aku tunggu Mas pulang sore nanti.""Wah, hari ini Mas agak telat pulangnya. Ada ketemu klien."Aku melirik Mas Bagas. Dia sedang memasukkan laptop ke dalam tas kerja. Mas Bagas memang jarang mengendarai mobilnya ke kantor. Dia lebih senang memakai motor dengan alasan kalau terjebak macet, enak menyelip
Aku tak kalah kaget melihat kondisi lelaki yang sedang berdiri tepat di depanku itu. Selain hanya mengenakan selembar handak dan bertelanjang dada, Mas Bagas juga memegang selembar handuk kecil berwarna putih sembari mengeringkan rambutnya yang tampak basah. "Lho, kamu kenapa di sini?" Raut wajah Mas Bagas terlihat tidak biasa. "Mas yang ngapain di sini?" tanyaku dengan suara memburu. "Mas ... Mas mau ketemu klien." Mas Bagas tampak gugup. "Siapa kliennya? Terus itu Mas baru siap mandi? Keramas?""Eh! Ini, hmmm ... Mas gerah."Aku menangkap kilatan lain dari matanya. Ada yng tak beres. Mas Bagas sedang berbohong. Aku melongokkan kepala ke dalam. Mas Bagas belum menyuruhku masuk sejak tadi. "Siapa di dalam?" tanyaku sambil menerobos masuk. "Tunggu, Dek. Nggak ada siapa-siapa. Mas sendirian. Tunggu!"Sama sekali tak kudengar perintah Mas Bagas. Aku masuk ke kamar secara paksa. Dadaku bergemuruh. Emosiku meledak-ledak di dalam dada. Apa yang Mas Bagas lakukan di penginapan ini? A
Hampir saja!Kenapa Hanum bisa tahu aku sedang di penginapan? Padahal jarak antara penginapan Melati dengan butik miliknya lumayan jauh. Apakah dia jujur jika sedang mengintaiku? Ck! Aku memang salah. Sama sekali belum bisa membahagiakan istriku, akan tetapi aku memang tidak bisa. Hanum sama sekali tidak menarik di mataku. Lalu, apakah aku mencintainya? Jawabannya adalah iya. Aku mencintainya, karena dia adalah seorang istri yang baik. Aku tidak akan membiarkan Hanum pergi dari hidupku. Egois memang. Namun, kurasa wajar saja. Toh, Hanum juga mencintaiku. Perkara dia masih tersegel hingga satu tahun usia pernikahan kami, itu bukanlah masalah. Selama dia masih mau mendengar setiap alasan yang kubuat. Alasan yang kubuat-buat tepatnya. Namun, sekarang tampaknya dia sudah pintar. Istriku itu sudah beberapa kali memberontak. Dia menagih nafkah batin dariku. Berbagai macam cara ia lakukan untuk menggodaku, akan tetapi aku sama sekali tidak menggubrisnya. Kenapa aku bisa tahan? Ya, karena
"Kamu kenapa, Sayang? Belakangan ini Mas perhatikan sering uring-uringan. Selalu cari-cari kesalahan Mas. Hal kecil pun menjadi besar dan dipermasalahkan."Mas Bagas berdiri tepat di depanku. Aku menggubrisnya. Jemariku sibuk kuketukkan di atas meja makan. "Hanum, Mas lagi ngomong. Kamu jangan begini terus, dong!" Lelaki beralis lebat itu kembali mengajukan protes. Aku hanya melirik sekilas, lalu meraih ponsel dan menyibukkan diri dengan benda pipih tersebut. "Astaghfirullah, Sayang. Tolong, dong jangan uji kesabaran Mas. Kamu yang Mas kenal nggak begini. Kamu kesambet?" Mas Bagas masih saja cerewet. "Aku mau sendiri dulu, Mas. Jangan ganggu," ujarku agak katus. "Lho, Mas dari tadi cuma berdiri di sini, kok. Ngga mengganggu sama sekali.""Ya, tapi Mas jangan berdiri di situ. Entah ke mana gitu!"Kutangkap raut keheranan di wajah Mas Bagas. Barangkali dia heran melihat tingkahku. Selama ini aku selalu menurut padanya. Mendengarkan segala ucapnya. Dan sebenarnya aku bukanlah tipe wa
Aku merasa bersalah pada Hanum. Sangat bersalah. Terlebih setelah kejadian tadi malam. Aku tahu dia terluka. Aku telah menyakiti orang yang kucintai berulang kali. Luka lama belum kering, kembali kutorehkan luka baru di tempat semula. Bukan hanya sekadar luka, bahkan aku tega menabur garam serta jeruk nipis di atasnya. Pagi tadi, saat aku merabai Hanum di sisiku, hanya tempat tidur kosong yang kudapatkan. Kukira dia sedang di dapur menyiapkan sarapan, atau di halamaan belakang sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya, akan tetapi tidak kutemukan Hanum di sudut mana pun di dalam rumah. Aku kalut dan panik tentunya. Aku memang bangun agak kesiangan pagi tadi, berhubung hari libur. Padahal ada agenda yang harus segera kutuntaskan, tetapi aku membatalkannya tadi malam. Aku telah menyusun rencana, hari ini akan kuhabiskan bersama Hanum. Alih-alih sebagai caraku meminta maaf padanya setelah apa yang kulakukan tadi malam. Meninggalkannya di saat kami hendak mereguk surga dunia. Aku kembal
"Cari siapa, Mba?" Wanita itu berbalik badan dan terlihat kaget. Sepertinya dia sama sekali tidak mengetahui kehadiranku di belakangnya. "Pak Bagas? Saya Anita, sekretaris yang diutus Pak Sofyan untuk mengambil surat pemberkasan dari bapak." Wanita bernama Anita itu tersenyum ramah."Oh, iya sebentar. Silakan masuk."Ternyata benar. Anita adalah orang kiriman Pak Sofyan. Dia adalah salah seorang klienku. Pak Sofyan memang menghubungi beberapa saat yang lalu. Awalnya aku membatalkan rencana pertemuan kami hari ini. Ada beberapa poin yang membuat pilihan kerja sama dengan perusahaan milik Pak Sofyan melemah. Namun, lelaki paruh baya itu tak tinggal diam. Dia merayuku dengan segala janji yang ia utarakan. Anita mengangguk. Aku meninggalkannya menuju kamar. Berkas yang diminta ada di meja kerjaku. Agak sedikit tak enak hati sebenarnya saat menyuruh wanita itu masuk, pakaian yang ia kenakan tergolong seksi dan agak terbuka. Apakah seorang sekretaris harus berpakaian seperti itu? Atas per
Aku masih memilih bertahan di rumah orang tuaku. Bukan menjadi lebih tenang, akan tetapi pikiran ini tak henti tertuju pada Mas Bagas. Untung saja Ibu dan Bapak percaya dengan karangan ceritaku jika Mas Bagas sedang sibuk berkerja belakangan ini. Apakah dia juga sedang memikirkanku? Atau barangkali sedang merayakan kesendiriannya? Setelah sarapan, aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel dan berselancar di dunia maya. Memantau Mas Bagas dari setiap postingannya di sosial media. Tidak ada yang aneh. Postingan-postingannya masih wajar seperti biasa. Postingannya terakhir kali di Facebook beberapa hari yang lalu. Hanya foto kami berdua disertai caption emoticon hati. Bertaburan komentar positif di postingan tersebut. Wajar, karena kami memang terlihat bahagia. Kebanyakan orang juga mengira jika aku dan Mas Bagas adalah pasangan muda yang tidak memiliki masalah rumah tangga apa-apa. Awalnya begitu, akan tetapi mataku telah terbuka sekarang. Mas Bagas sudah tak bisa lagi dipercaya. Ponsel
SETAHUN TAK DISENTUH SUAMIBAB 13***"Mas, tehnya!" seruku saat Mas Bagas memasukkan ponselnya ke dalam saku celana yang ia kenakan. "Oh iya. Bapak sama Ibu mana?" "Ke belakang. Siapa yang nelpon?""Hmm, itu, klien. Bahas masalah kerjaan.""Kan lagi cuti?""Iya, tetap aja gangguin." Mas Bagas meneguk tehnya. Aku mencoba mencari jejak dusta di wajahnya. Aku menangkap ada sekelumit tanda resah bertengger di balik senyum yang selalu ia sunggingkan. "Oke! Jam berapa kita jalan pulang? Aku mau beresin pakaian dulu.""Iya, agak siangan aja. Ngga enak sama Bapak dan Ibu kalau langsung pergi."Aku mengangguk dan berusaha bersikap sewajarnya. Mas Bagas sedikit pun tak boleh curiga. Kali ini aku harus bisa menarik ke atas rahasia yang sedang ia simpan. Di rumah orang tuaku, Mas Bagas memang terlihat sangat antusias. Dia tak duduk bersama dengan keduanya. Saling bertukar cerita dan sesekali diiringi dengan derai tawa. Bapak pun tak mau kalah, matanya berbinar menyiratkan kebahagiaan saat d
Aku lelah! Sungguh. Cobaan apa lagi yang Tuhan berikan untukku? Bertubi-tubi tanpa henti. Rasanya belum sempat aku menarik napas akibat kecurigaanku pada Mas Bagas tempo hari. Hari ini, aku duduk di sini dalam keadaan yang menyedihkan. Kondisiku sekarang tentu akan menyusahkan banyak orang, terutama keluargaku sendiri. Aku memerlukan mereka. Mereka adalah pengganti penglihatanku. Terutama Ibu, wanita kuat yang menjadi tongkatku saat aku terpuruk. Ibu tak lelah membantu saat aku tertatih menghadapi kenyataan pahit yang kuterima. Ibu selalu ada dalam suka dan duka. Menghapus setiap tetes air mata yang tak henti mengalir. Hari bergulir begitu cepat. Aku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun terkadang masih sering menangisi diri sendiri, akan tetapi aku sudah bisa lebih mandiri. Ibu mengutarakan jika ia ingin pulang. "Kasihan Bapak. Nggak ada temennya." Begitu alasan Ibu saat aku melarangnya. Aku meminta Ibu untuk bertahan beberapa minggu lagi, akan tetapi ia menolak dengan l
Dua minggu kemudian. Di dalam kamar, aku sedang menenangkan Hanum. Sejak satu jam lalu dia tak henti menangis. Hanum belum bisa menerima kondisinya saat ini. Meski dokter telah menjelaskan jika kebutaan yang dialami hanya sementara, akan tetapi Hanum tetap histeris. Sejak sadarkan diri satu minggu lalu, aku kewalahan menenangkan istriku. Untung saja Ibu mau diajak tinggal untuk sementara waktu bersama kami. Menemani Hanum selama aku bekerja. Sementara Bapak harus pulang, dan akan kembali jika urusan peternakannya sudah selesai. Ya, Bapak mempunyai beberapa perternakan sapi di daerahnya."Sudah, Sayang, jangan nangis terus. Nanti kepalamu sakit." Aku mencoba menenangkan kembali. Hanum masih terisak di sampingku. Matanya terbuka dan sesekali berkedip. Namun, penglihatannya sama sekali tak bisa berfungsi. Penyebab kebutaan Hanum adalah karena benturan yang terjadi saat kecelakaan. Terdapat peradangan dan pembengkakan di dalam mata sehingga menekan saraf-saraf penglihatan. Ada dua opsi
Tuhan ... Apa yang kulakukan? Aku telah mencelakai Hanum. Dia terluka. Kenapa aku bisa sampai lengah dan menuruti amarah? Berulang kali Hanum melarang, akan tetapi sama sekali tak kuindahkan. Sayang, maafkan aku. Mas salah. Semua terjadi karena kelalaianku. Kupandangi istriku yang terbaring di ruang ICU. Dia belum sadarkan diri sejak kemarin. Kondisinya buruk dan sedang ditangani dengan serius oleh dokter. Rasa bersalahku terus membuncah, apalagi saat melihat air mata ibu mertua yang tumpah ruah. Di sisi kanan kamar ICU ada Sarah serta suaminya. Mereka baru saja tiba. Sarah tak henti menenangkan ibu mertuaku. Wanita paruh baya itu tampak lemah dan terpukul. "Bagas, sebaiknya kamu istirahat dulu. Biar kami yang jaga di sini." Irfan suami Sarah menegurku. Entah kapan dia mendekatiku, padahal baru saja aku melihatnya duduk di dekat Sarah. "Iya. Tapi aku ngga bisa istirahat. Pikiranku tak tenang, Fan," ucapku seraya menekan kesedihan yang terus menggedor rongga jiwa. "Kamu juga terl
Aku setuju untuk bertemu dengan Anita. Seperti kata Sarah, setiap permasalahan harus diselesaikan, bukan dibiarkan berlarut-larut tanpa kepastian. Aku sudah menguatkan hati, apa pun yang aku dengar nantinya, setidaknya aku sudah menyiapkan diri untuk kuat. Kami menunggu Anita di sebuah kafe tak jauh dari apartemen yang kutempati sementara. Mas Bagas duduk di sampingku. Dia tampak sibuk dengan smartphone-nya. Aku juga tak banyak bicara, sesekali kusedot minuman, kemudian mengaduk-aduk kembali menggunakan sedotan. "Ngobrol, dong. Jangan diem aja." Mas Bagas membuka percakapan. Aku melirik sekilas, lalu kembali asik dengan gelas berisi jus jeruk dingin kesukaanku. "Mau ngobrol apa? Mas aja asik sendiri dengan HP." Aku berkata jutek. Mas Bagas meletakkan ponselnya di atas meja. Sesekali layar ponsel menyala kemudian padam dengan sendirinya. "Itu dia," ujar Mas Bagas. Aku melihat ke arah pintu masuk. Seorang wanita yang memiliki postur tinggi semampai datang menghampiri kami. Dia ada
"Ngapain ke sini?" tanya Hanum sinis. Aku memberikan isyarat gerakan pada Mira agar ia seger pergi meninggalkan aku dan Hanum. "Mas mau ngobrol. Kita ngga bisa berlama-lama begini," ujarku pelan. "Aku belum mau membahas apa pun, Mas. Aku masih mau sendiri. Kami pulang aja!" Hanum bersikeras. "Mana bisa begitu? Mas ngga bisa pulang kalau kamu nggak ikut sekalian. Besok Ibu dan Bapak mau berkunjung. Mas harus jawab apa kalau kamu nggak ada di rumah?" "Bilang aja sedang ada kerja di luar kota. Simpel kan?" Hanum mengelak. "Nggak bisa, Sayang. Mas ngga bisa bohongin Ibu sama Bapak."Hanum berbalik badan. Mata kami saling beradu. Dia menatapku tajam sambil menyunggingkan senyum sinis. Hanum yang manis terlihat amat berbeda. "Kenapa kamu ngga bisa bohongi orang tuaku? Sementara aku aja bisa kamu bohongi, konon lagi mereka."Aku menelan ludah. Sorotan matanya menusuk tajam menghujam jantungku. ***Sebelum bertemu Hanum. Hanum tidak di rumah orang tuanya? Ke mana dia? Aku tahu dia pun
SETAHUN TAK DISENTUH SUAMIBAB 15***Puluhan panggilan dari Mas Bagas tertera di layar ponsel. Aku mengabaikannya. Setiba di rumah, segera kuraih koper dan memasukkan baju-baju yang bergantungan di lemari. Emosi dan rasa sakit hati yang masih memeluk jiwa membuatku susah untuk mengendalikan diri. Aku mengacak-acak isi lemari dan mengempaskan semua ke lantai. Tangisanku pecah kembali. Mengingat perlakuan Mas Bagas selama ini. Sungguh lelaki yang tak layak untuk dipertahankan. "Hanum. Astaghfirullah. Tenang. Kendalikan dirimu!"Seseorang memelukku dari belakang. Itu Mas Bagas. Aku tahu sekali. Dia memelukku erat. Menahan tubuhku melakukan hal yang semakin brutal. "Sayang. Istighfar. Dengarkan Mas. Mas di sini, Sayang."Aku menyikut perutnya menggunakan siku. Mas Bagas mengaduh. Tak sudi rasanya tubuhku disentuh oleh lelaki itu lagi. Untuk apa dia melarangku? Memangnya dia peduli? "Minggir. Jangan sentuh aku!" Teriakanku semakin menjadi. "Hanum, tenang dulu! Kita bicarakan baik-baik
SETAHUN TAK DISENTUH SUAMIBAB 14***Paginya, Mas Bagas telah berangkat kerja. Aku juga bergegas masuk ke mobil. Bukan hendak ke butik, melainkan mengikuti Mas Bagas. Hari ini dia pergi menggunakan mobil. Alasannya ada temu klien seperti biasa. Urusan butik kuserahkan pada Mira, asisten kepercayaanku selama ini. Mobil Mas Bagas terlihat memasuki kawasan tempat ia bekerja. Aku mengikuti mobil lelaki itu. Pusat parkiran ada di lantai dasar gedung. Aku sudah terbiasa dan sudah hapal setiap lokasi di kantor Mas Bagas. Karena biasanya hampir setiap siang aku menyusul Mas Bagas ke tempat ia bekerja. Menjemput lelaki itu untuk makan siang bersama. Kulihat Mas Bagas keluar dari mobilnya. Dia berjalan ke arah pintu keluar menuju gedung. Aku mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Menunggu hingga lelaki itu keluar lagi. Karena menurut Mas Bagas, dia akan menemui klien sekitar pukul sepuluh nanti. Aku harus menunggu sekitar dua jam lagi di dalam gedung. Tak apa menunggu agak lama, asal
SETAHUN TAK DISENTUH SUAMIBAB 13***"Mas, tehnya!" seruku saat Mas Bagas memasukkan ponselnya ke dalam saku celana yang ia kenakan. "Oh iya. Bapak sama Ibu mana?" "Ke belakang. Siapa yang nelpon?""Hmm, itu, klien. Bahas masalah kerjaan.""Kan lagi cuti?""Iya, tetap aja gangguin." Mas Bagas meneguk tehnya. Aku mencoba mencari jejak dusta di wajahnya. Aku menangkap ada sekelumit tanda resah bertengger di balik senyum yang selalu ia sunggingkan. "Oke! Jam berapa kita jalan pulang? Aku mau beresin pakaian dulu.""Iya, agak siangan aja. Ngga enak sama Bapak dan Ibu kalau langsung pergi."Aku mengangguk dan berusaha bersikap sewajarnya. Mas Bagas sedikit pun tak boleh curiga. Kali ini aku harus bisa menarik ke atas rahasia yang sedang ia simpan. Di rumah orang tuaku, Mas Bagas memang terlihat sangat antusias. Dia tak duduk bersama dengan keduanya. Saling bertukar cerita dan sesekali diiringi dengan derai tawa. Bapak pun tak mau kalah, matanya berbinar menyiratkan kebahagiaan saat d
Aku masih memilih bertahan di rumah orang tuaku. Bukan menjadi lebih tenang, akan tetapi pikiran ini tak henti tertuju pada Mas Bagas. Untung saja Ibu dan Bapak percaya dengan karangan ceritaku jika Mas Bagas sedang sibuk berkerja belakangan ini. Apakah dia juga sedang memikirkanku? Atau barangkali sedang merayakan kesendiriannya? Setelah sarapan, aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel dan berselancar di dunia maya. Memantau Mas Bagas dari setiap postingannya di sosial media. Tidak ada yang aneh. Postingan-postingannya masih wajar seperti biasa. Postingannya terakhir kali di Facebook beberapa hari yang lalu. Hanya foto kami berdua disertai caption emoticon hati. Bertaburan komentar positif di postingan tersebut. Wajar, karena kami memang terlihat bahagia. Kebanyakan orang juga mengira jika aku dan Mas Bagas adalah pasangan muda yang tidak memiliki masalah rumah tangga apa-apa. Awalnya begitu, akan tetapi mataku telah terbuka sekarang. Mas Bagas sudah tak bisa lagi dipercaya. Ponsel