Aku akhirnya menceritakan kepada Hanum, mengenai Hidayat. Laki-laki yang belakangan ini berusaha mendekatiku. Namun entah kenapa aku tidak tertarik kepadanya. Salah satu yang menjadi alasan adalah karena wajahnya mirip dengan mantan adik iparku.Gunawan, laki-laki parasit yang sudah menghancurkan mental adik yang aku sayangi. Oleh sebab itu, aku selalu menolak pemberiannya. Aku tahu itu adalah usaha untuk mencari perhatian. Namun aku tidak ingin dia berharap lebih jika menerima pemberiannya.Kini aku sudah kembali ke Surabaya setelah sebelumnya pulang ke kampung halaman untuk bertemu ayah, adik dan ketiga keponakan yang lucu dan menggemaskan. Aku tidak lagi melihat Hidayat datang untuk mengantarkan makan siang. Baguslah, aku tidak perlu menyakiti hatinya karena selalu menolak pemberiannya.“Mbak Lala, hari ini mau makan siang apa?” tanya Bagus salah satu karyawan ayah sekaligus anak buah di bengkel yang aku handle.“Makan apa ya, Mas Bagus? Terserah Mas deh, aku ngikut aja,” jawabku
"Ayah kenapa, Mas Hadi?” tanyaku tidak sabar sekaligus cemas.“Pak Hartawan pergi bersama Mbak Lala. Salah seorang karyawan ada yang melihatnya. Namun setelah itu, Pak Hartawan tidak pernah terdengar kabar lagi. Teman saya sudah menghubungi bengkel lainnya di Surabaya untuk menanyakan keberadaan Pak Hartawan, tetapi tidak ada yang tahu. Terakhir Pak Hartawan berkunjung ke bengkel mereka satu bulan sebelumnya.”Mas Hadi menatap wajahku dengan serius. Tidak dapat dipungkiri, raut wajahnya pun menyimpan kecemasan dan ketegangan. Namun sepertinya dia sungkan untuk mengatakannya kepadaku. Bagaimanapun, Hadi adalah karyawan kepercayaan ayah. Dia pasti juga mengkhawatirkan ayah.“Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan? Sementara Mbak Lala nomor ponselnya sudah tidak aktif," tanyaku meminta saran kepada Hadi.“Maaf sebelumnya Mba Hanum, kalau saya lancang . Akan tetapi saya harus menyampaikan ini semua. Percaya atau tidak, dalam penerawangan saya saat ini Pak Hartawan berada dalam bahaya. Jik
Suara itu tidak asing di telinga. Suara itu adalah suara ayah dan suara … kak Lala. "Apa mungkin kak Lala yang menyekap ayah?” tanyaku dalam hati.Hadi membagi tugas untuk kami bertiga. Bagus mendapat tugas mengawasi situasi di luar, sementara aku dan Mas Hadi mencari jalan masuk ke rumah tua itu. Beruntung pada bagian belakang rumah, ada sebuah pintu yang sudah rusak sehingga tidak dapat dikunci dan menjadi akses kami masuk.Kami kembali melangkah dengan mengendap-endap dan berusaha tidak mengeluarkan suara. Kami memasuki hampir semua ruangan yang terdapat di rumah tua itu untuk mencari keberadaan ayah dan kak Lala.Benar saja, saat kami membuka pintu sebuah ruangan yang terletak di paling ujung terdapat kak Lala dan ayah yang dengan terkejut menatap ke arah kami berdua.“Hanum, kamu datang untuk menyelamatkan Ayah, Nak?” pekik ayah dengan wajah gembira.Sementara kak Lala menatap bengis ke arah kami berdua. Aku bergegas menghampiri ayah, berniat ingin melepaskan ikatan yang terliha
Aku tersentak hingga membelalakkan kedua mata saat melihat dua sosok laki-laki turun dari mobil secara bersamaan..Mereka juga terlihat kompak tersenyum sinis kepada kami.Memoriku berputar dengan cepat tentang mimpi sebelumnya. Ternyata laki-laki asing yang berada di mimpiku itu adalah Mas Rahmat. Dia adalah kakak kandung Mas Gunawan yang memiliki wajah yang sangat mirip satu sama lainnya.Aku memang belum pernah bertemu langsung dengan Mas Rahmat, karena pada saat pernikahan dulu dia berhalangan hadir. Namun Mas Gunawan pernah memperlihatkan photonya beserta nama lengkap kakaknya itu, Rahmat Hidayat.Kesimpulannya, dalang semua masalah ini adalah Mas Gunawan. Rupanya ancamannya beberapa waktu yang lalu kini telah menjadi kenyataan. “Hallo mantan istriku yang cantik, apa kabar?” sapa Mas Gunawan dengan senyum menyeringai.Aku berusaha memberanikan diri berhadapan dengan Mas Gunawan. Berpaling darinya akan membuat besar kepala dan merasa jika aku masih memiliki perasaan kepadanya. Aku
Beruntung kami masih bisa menghindarinya. Namun Mas Gunawan tidak putus asa, dia kembali menyerang kami seperti orang yang sedang kerasukan. Hadi tiba-tiba mendorong tubuhku menjauh darinya.“Mbak Hanum cepat lari dan cari bantuan!” teriak Hadi dengan napas terengah-engah karena menghindari serangan Mas Gunawan yang tidak ada ampun.“Tidak Mas, aku tidak mungkin meninggalkanmu. Kita akan selamat dan keluar dari hutan ini secara bersama-sama," bantahku.Tidak mungkin aku meninggalkan orang yang sudah banyak membantu selama ini. Serangan Mas Gunawan semakin mengganas. Aku hanya bisa menyaksikan pertarungan sengit antara Mas Gunawan dan Hadi. Mereka bergulingan di tanahdemi mempertahankan nyawa masing-masing. Aku tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa semoga Hadi yang menjadi pemenangnya. Beberapa kali terdengar Hadi berteriak memintaku untuk pergi. Namun aku berada diambang kebimbangan. Apakah memilih pergi meninggalkan Hadi atau tetap bersamanya disini. Hatiku kecilku merasa tidak
"Apa? Mas Gunawan berhasil melarikan diri? Kamu jangan bercanda, Mas. Bagaimana bisa, sementara penjagaan di kantor polisi begitu ketat?" tanyaku tidak percaya dengan kabar yang disampaikan oleh Mas Hadi."Mas juga awalnya tidak percaya, Dek. Namun Mas mendapatkan informasi dari petugas kepolisian yang menangani kasus kita tempo hari," jawab Mas Hadi berusaha meyakinkanku."Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Mas? Aku takut Mas Gunawan akan membalaskan dendamnya kepada keluarga kita!" ucapku mengungkapkan ketakutan di hati.Aku masih mengingat dengan jelas tatapan Mas Gunawan penuh amarah serta ancaman ketika ia berhasil di lumpuhkan oleh timah panas salah satu petugas kepolisian beberapa bulan sebelumnya."Kamu jangan panik, Dek. Mas akan pastikan keluarga kita akan baik-baik saja. Itu sebabnya Mas hari ini pulang lebih awal."Aku sedikit bisa bernapas dengan lega, karena Mas Gunawan berhasil meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Selain itu, aku punya Allah yang ak
Aku balik bertanya kepada Badru yang melarangku menerima tamu wanita yang baru datang itu."Sepertinya wanita itu mempunyai niat yang tidak baik, Bu. Jika Ibu mau nanti saya bantu untuk mencari pengganti Bik Inah." Badru menyampaikan alasannya melarangku menerima wanita itu."Darimana kamu tahu kalau wanita itu tidak baik? Jangan pernah bersuudzon kepada orang lain, terlebih pada orang yang baru kita kenal," protesku. Aku tidak setuju dengan larangan Badru. Pantang bersuudzon kepada orang lain, apalagi wanita itu membawa nama bik Inah, orang yang sangat aku kenal.Aku melangkah menuju pintu gerbang rumah dan mendapati seorang wanita seusia Badru sedang berdiri dengan wajah cemas."Maaf, mau cari siapa ya?" tanyaku sopan.Wanita itu menengok ke arahku. Wajahnya cukup cantik dengan hidung bangir menghias wajahnya. Ditunjang kulit putih yang dimiliki menambah kecantikannya."Saya mau mencari Ibu Hanum. Apakah Anda orangnya?" tanyanya ragu."Iya betul, saya Hanum. Anda siapa? Apa benar A
Aku mencoba menepis pikiran buruk tentang Mas Hadi, sebelum ada bukti yang menguatkannya. Aku perlahan mendekat ke arah Mas Hadi dan menepuk bahunya..Mas Hadi nampak terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya seperti orang yang linglung. Aku sempat mengira bahwa ia sedang mengalami 'tidur berjalan, namun kenyataannya Mas Hadi dalam kondisi terjaga."Apa yang kamu lakukan disini, Mas?" tanyaku dengan tatapan tajam kepadanya."Mas tidak tahu, Dek. Kenapa Mas bisa ada disini, ya?" Mas Hadi malah balik bertanya dengan wajah bingung.Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Mungkinkah yang dikatakannnya benar, atau hanya alibinya saja agar tidak membuatku curiga? "Ya sudah Mas, ayo kita ke kamar lagi." Ajakku seraya menggandeng tangannya melangkah menuju kamar kami. Mas Hadi diam saja dan mengikuti langkahku. Setibanya di kamar, Mas Hadi kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Aku menatap sedih Mas Hadi. Suami yang selama ini selalu bersikap hangat, namun kini sekarang ia berubah menjadi
Aku menerima panggilan Rani meskipun dengan hati ragu. Semoga saja panggilan Rani ada hubungannya dengan pesan aneh yang dikirim Mas Hadi."Hallo, ada apa Rani?" tanyaku memulai pembicaraan."Ibu sudah menerima pesan dari Bapak?" tanya Rani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, sudah. Kenapa kamu bisa tahu kalau Bapak mengirimkan pesan kepada saya?" tanyaku penasaran."Tentu saja saya tahu, karena Bapak dan anak-anak akan pergi bersama saya!" jawab Rani enteng."Kamu jangan main-main, Rani. Katakan kalau apa yang kamu ucapkan itu tidak benar!" hardikku merasa kesal dengan jawaban Rani."Saya tidak main-main. Kami akan pergi bersama dan hidup berbahagia untuk selamanya, ha ... ha ... ha ..." Rani mengakhiri panggilan dengan tawa yang mengerikan.Aku semakin bingung. Mencoba kembali menghubungi Rani untuk meminta penjelasan, namun tiba-tiba kontaknya tidak dapat dihubungi. Aku sedikit panik, namun berulang kali mencoba menghubunginya kembali. "Kenapa, Hanum?" tanya kak Lala penasaran.
Aku melihat tubuh ayah terkapar dengan mulut bersimbah darah. Posisi beliau yang terlentang dan tidak sadarkan diri. Aku panik melihat kondisi ayah yang mengenaskan. Dengan segera aku mendekat ke arah ayah dan meletakkan kepala beliau dalam pangkuanku. Hati di sampingku hanya terdiam dengan wajah bingung.“Ayah, bangun. Apa yang terjadi sebenarnya?” tanyaku seraya menangis. Hening, tidak ada jawaban dari beliau. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamaku ini hanya terdiam dengan wajah yang tampak memucat. Perlahan aku mencoba memeriksa denyut nadi dari pergelangan tangannya dan masih terasa denyutannya meskipun lemah. Berarti masih ada harapan ayah untuk selamat. Keberanianku tiba-tiba muncul demi menyelamatkan beliau. Aku menghubungi rumah sakit untuk dibawakan ambulance segera.Aku bingung harus melakukan apa sembari menunggu mobil ambulance datang. Tiba-tiba terlintas nama kak Lala. Iya, aku harus menghubunginya. Mungkin saja kak Lala tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
PoV: GunawanSi*al … Gara-gara Hanum, hidupku jadi sengsara seperti ini. Menghabiskan waktu di dalam jeruji besi yang membuatku hampir gila. Bagaimana tidak? Aku hidup dalam sel yang dihuni puluhan orang. Tidur berdesakan dengan hanya beralaskan kasur yang sangat tipis, setipis imanku. Selain itu, menu makanan disini juga sangat tidak menggugah selera. Baru beberapa minggu saja tinggal disini, aku merasa bobot tubuh merosot drastis.“Hei Gunawan, kenapa kamu melamun? Jangan bermimpi bisa kabur dari sini, karena aku sudah mencobanya berpuluh kali namun selalu gagal,” ledek Agus, teman sesama napi yang mendapatkan vonis seumur hidup. “Lihat saja nanti, aku akan keluar dari sel terkutuk ini,” jawabku jumawa.Agus terkekeh. Saking gelinya, ia tertawa hingga mengeluarkan air mata. Mungkin baginya ucapanku seperti sebuah lelucon yang sangat lucu. Bagaimana bisa aku seorang narapidana yang tergolong baru bisa keluar dari sel ini dengan selamat. Sedangkan dirinya yang sudah tinggal puluhan t
Aku terjaga di sepertiga malam, menengadahkan kedua tangan memohon ampunan dan petunjuk-Nya. Bukan berputus asa, namun aku lelah menghadapi masalah yang tidak jelas akar permasalahannya ini sendirian. Suamiku yang hangat dan penyanyang tiba-tiba berubah menjadi dingin dan acuh. Begitu pun dengan kedua putriku Hana dan Hani. Mereka yang penurut juga tiba-tiba berubah menjadi anak pembangkang dan lebih menuruti ucapan Rani, asisten rumah tanggaku.Ya, Rani. Ia penyebab semua permasalahan di keluargaku. Semenjak kedatangannya di rumah ini, hidupku yang bahagia berubah menjadi sebuah malapetaka. Aku terus bermuhasabah dan introspeksi diri, khawatir ada sikap atau kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sengaja sehingga Allah memberikan teguran dengan mendatangkan permasalahan ini. Akan tetapi aku yakin, Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.Aku pikir dengan memecat Rani, semua permasalahan akan selesai. Namun ternyata perkiraanku salah, karena justru menambah m
"Aduh ... sakit. Jangan sakiti saya, Bu." Aku sengaja berakting seolah sedang disakiti oleh Bu Hanum, tujuannya untuk mencari perhatian Bapak Hadi, suaminya.Sontak aktingku menarik perhatiannya. Begitupun dengan kedua anak-anaknya, mereka berlari menghampiriku."Kamu kenapa, Rani?" tanya Bapak Hadi dengan wajah cemas. Ini memang tujuanku, menarik perhatiannya."Ibu Hanum mengusir saya dari rumah, Pak. Saya menolaknya karena merasa tidak mempunyai kesalahan, namun Ibu Hanum mendorong saya sampai jatuh," jawabku dengan wajah dibuat sesedih mungkin.Jawabanku sontak membuat Bapak Hadi terkejut. Matanya menatap ke arah Ibu Hanum yang tengah berdiri di belakangku dengan gugup. "Hanum, apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?" hardik Bapak Hadi kepada istrinya."M-as Hadi. Ini semua tidak benar. Rani kembali memfitnahku. Oleh karena itu aku memintanya untuk berhenti bekerja disini, agar keluarga kita kembali harmonis seperti dulu lagi," jawab Ibu Hanum dengan mata yang berembun.Puas r
"Kamu jangan fitnah, Rani. Aku dan Bu Hanum hanya mengobrol biasa!" hardik Badru pada Rani yang sedang menatap kami berdua dengan tajam.Rupanya teriakan Rani memancing kedatangan Mas Hadi. Laki-laki yang bergelar suami itu menunjukkan wajah penuh amarah."Siapa yang selingkuh Rani?" tanya Mas Hadi dengan wajah tegang.Aku membulatkan kedua bola mata. Jangan sampai Mas Hadi terkena hasutan Rani yang menuduh berselingkuh dengan Badru. "Badru, Pak." Jawab Rani mantap."Iya, maksudnya Badru selingkuh sama siapa?" tanya Mas Hadi lagi."Sama ...." Rani menggantung kalimatnya.Kedua kalinya aku membulatkan kedua bola mata menatap ke arah Rani. Jangan sampai ia mengadu yang tidak-tidak kepada Mas Hadi."Sama siapa?" tanya Mas Hadi tidak sabar."Sama Bu Hanum," jawab Rani seraya menundukkan wajahnya. Ia tampak seperti seolah merasa bersalah, namun aku tahu itu hanya aktingnya semata.Mas Hadi membelalakkan matanya, menatap ke arahku dan Badru secara bergantian. Jantungku rasanya seperti berh
Sontak aku berlari menuju kamar tamu yang ditempati oleh kak Lala. Aku terkejut saat melihat kak Lala seperti orang yang ketakutan berdiri di ambang pintu. Matanya menatap ke arah kolong tempat tidur."Kak Lala kenapa?" tanyaku heran bercampur curiga. "H-hanum, ada u-ular ....." jawab kak Lala dengan terbata. "Ular? Dimana, Kak?" tanyaku seolah tidak percaya dengan jawaban kak Lala."Di kolong tempat tidur. Ularnya besar sekali, Kakak takut!" jawab kak Lala dengan wajah sedikit mulai pias.Aku menghampiri dan berusaha menenangkannya. Mataku menatap tajam kolong tempat tidur yang ditunjuk oleh kak Lala. Rasanya tidak mungkin jika ada ular di kamar tamu ini. Seumur hidup tinggal di rumah ini, aku tidak pernah berjumpa dengan binatang berbisa itu. Jangankan binatang berbisa, seekor kecoa dan nyamuk pun tidak pernah aku lihat di rumah ini. Aku sangat menjaga kebersihan rumah ini."Kakak yang tenang, ya. Tidak mungkin di rumah ini ada ular. Apa Kakak barusan tengah tertidur dan bermimpi?
Kak Lala menelponku. Apakah ini jawaban dari doaku? Sosok kakak yang selalu melindungi adiknya itu hadir setelah beberapa bulan tidak memberi kabar. Setelah peristiwa berdarah di Surabaya tempo hari, kak Lala menemukan jodohnya dan diboyong oleh suaminya ke daerah yang sama. Dengan perasaan suka cita, aku segera menerima panggilan darinya.“Assalamualaikum Kak Lala, apa kabar?” sapaku mengawali pembicaraan dengan antusias.“Waalaikumslaam, Adikku Sayang. Alhamdulillah, kabar Kakak baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?”“Kabarku kurang baik, Kak. Seandainya Kakak ada disini, aku ingin bercerita banyak,” jawabku lirih.“Kakak siap mendengarkannya. Tunggu Kakak sebentar lagi akan sampai di rumahmu. Jika tidak ada halangan, Insya Allah Kakak ingin menginap di rumahmu, Num.”Aku terkejut mendengar jawaban Kak Lala. Mungkin Allah telah mengirimkan Kak Lala sebagai jawaban atas doa-doa sebelumnya mengenai solusi kemelut dalam rumah tanggaku.Setelah berpamitan, Kak Lala mengakhiri teleponnya.
Aku mencoba menepis pikiran buruk tentang Mas Hadi, sebelum ada bukti yang menguatkannya. Aku perlahan mendekat ke arah Mas Hadi dan menepuk bahunya..Mas Hadi nampak terkejut melihat kedatanganku. Wajahnya seperti orang yang linglung. Aku sempat mengira bahwa ia sedang mengalami 'tidur berjalan, namun kenyataannya Mas Hadi dalam kondisi terjaga."Apa yang kamu lakukan disini, Mas?" tanyaku dengan tatapan tajam kepadanya."Mas tidak tahu, Dek. Kenapa Mas bisa ada disini, ya?" Mas Hadi malah balik bertanya dengan wajah bingung.Aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Mungkinkah yang dikatakannnya benar, atau hanya alibinya saja agar tidak membuatku curiga? "Ya sudah Mas, ayo kita ke kamar lagi." Ajakku seraya menggandeng tangannya melangkah menuju kamar kami. Mas Hadi diam saja dan mengikuti langkahku. Setibanya di kamar, Mas Hadi kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Aku menatap sedih Mas Hadi. Suami yang selama ini selalu bersikap hangat, namun kini sekarang ia berubah menjadi