Caroline mendongak, dia yang sudah berjongkok di sela paha sang kekasih, merasa sangat aneh, namun dengan senyum menawan dan tangan lembutnya, dia megusap lembut sesuatu di balik celana kain berwarna hitam.Alexander mendongak, dia merasakan sentuhan halus tangan Caroline yang semakin membuatnya frustasi, melihat itu Caroline tersenyum miring, tidak ada satupun pria yang akan menolak sentuhannya.Yang tidak disadari oleh Alexander adalah penghalang di bawah sudah merolot, entah kapan wanita dengan wajah putih pucat itu menurunkannya. Alexander semakin frustasi saat Caroline memanjakan senjata nya.Tidak tahan lagi dengan sensainya, Alexander membawa Caroline ke atas kasur, melemparnya dengan pelan dan mengungkungnya, keduanya sudah tidak menggunakan sehelai benangpun saat ini.“Sayang … aku tahu kau tidak akan menolak sentuhanku.” Caroline meraba dada bidang itu dengan sesekali mengecupnya.“Kau benar, kau memang sangat luar biasa.” Alexander sudah gelap mata, siang itu mereka berdua
“Kau membuat sekertaris mu cemburu padaku.” Rianne melepas ciuman mereka.Alexander kembali menarik tubuh itu agar tidak membuat jarak. Pria tampan itu kembali memeluk wanitanya, “Apa ini caramu membalasku?” tanya Alexander tetapi masih mengelus punggung Rianne lembut.“Benar dan juga bisa salah. Jangan banyak berpikir, nikmati saja masa-masa indah bersama, sebelum salah satu diantara kita mati.” Alexander melerai pelukannya, dia menatap lekat Rianne, dia membenci satu kata paling akhir.“Kenapa suka sekali mengatakan kematian? Sejauh ini apa kau memang tidak mengerti? Aku mencarimu, tetapi kau kembali menghilang, setelah susah payah menemukanmu sekarang kau bicara kematian padaku?”Alexander berjalan ke sisi lain, dia memandang ke bawah dari dinding kaca besar di kantornya, pria itu membenci kata mati, itu sama saja mengingatkannya pada Arche pria yang tidak sengaja anak buahnya bunuh. Tetapi apakah Rianne tidak juga mengerti, keempat pria yang membunuh kakaknya sudah mati juga oleh
“Sungguh aku sangat suka dengan percaya dirimu.” Kata Caroline menatap tajam Rianne yang menatapnya biasa saja.Rianne hanya tersenyum miring terlalu banyak derita dan pengkhianatan membuatnya tidak bisa lagi menjadi wanita lemah seperti biasanya, mungkin Tuhan memang sudah menakdirkannya menjadi wanita tanpa perasaan.“Nona, jika kau memang tidak menyukaiku, katakan langsung pada pria yang kau anggap kekasih, bukan padaku.”Setelah mengatakan itu, Rianne berlalu begitu saja, di abaikan teriakan Caroline, yang semakin menjadi dengan sumpah serapahnya, jangan salahkan Rianne, dia juga ingin hidup tenang tetapi memang Alexander yang terus menahannya.Jika seperti itu, Rianne harus bagaimana? Tentu saja mengikuti keinginan pria yang dulu dipujanya tetapi berbalik menjadi pria menyeramkan baginya.“Bagaimana harimu? Menyenangkan?” kini keduanya berada di balkon kamar milik Alexander yang sudah menjadi kamar Rianne juga, keduanya makan malam di kamar, karena Rianne menolak makan malam bers
Alexander hanya tersenyum getir, apakah dia bisa menjadi jahat setelah berhasil menemukan belahan jiwanya?“Apakah itu memang niatmu? Mendekatiku, membuatku jatuh cinta dan menyakitiku dengan kembali pergi?” tanya nya. Rianne tidak menjawab, dia hanya semakin masuk dalam kedakapan Xander. “Coba jelaskan padaku, bagaimana caranya aku memaafkanmu setelah kau membunuh kak Arche?” lirihnya.“An –,”“Aku tahu bukan kau yang membunuh secara langsung, tetapi mereka anak buahmu kan? Bagaimana aku bisa menerima ini dengan mudah? Dia kakakku, dia sudah berjanji akan bersamaku, tapi –,”Alexander menghela napas panjang, dia bangun dari pembaringannya, membuat Rianne heran, pria itu masuk kesebuah bilik di dinding kamarnya, bahkan Rianne baru tahu bahwa dengan sekali dorong saja dinding itu terbuka dan menampakkan sebuah ruangan rahasia.Rianne duduk dia masih menunggu Alexader keluar karena dinding tadi sudah tertutup kembali. Beberapa menit menunggu Alexander keluar dengan tubuh yang masih ber
Rianne yang menyusupkan tangannya disela-sela rambut tebal Alexander memberhentikan tangannya, kini Alexander juga sudah menghadapkan wajahnya kedepan menatap Rianne dari bawah. Tangan kekarnya mengulur ke atas dan mencubit pipi Rianne sampai si empu meringis.“Mau kemana?” Rianne memindahkan tangan Alexander dan siap mendengarkan ucapan selanjutnya.“Aku tidak bisa mengatakannya, tetapi aku pasti akan kembali.”Keduanya saling diam. Rianne kali ini merasa aneh, seperti tidak ingin membiarkan, tetapi dia tidak ada hak untuk itu. Alexander yang melihat diam nya Rianne kembali melanjutkan, “Kau bisa tinggal disini menungguku, juga bisa kembali ke rumahmu kalau memang sangat ingin.”Ucapan Alexander kembali membuatnya bingung, kenapa pria yang mati-matian membuatnya terikat seolah membuka semua ikatan nya, ada apa sebenarnya, apakah memang seperti ini?Alexander kembali melanjutkan, “Hanya saja kedai kopimu, aku tidak bisa mengambilnya kembali karena yang membelinya memang sangat membutu
Baru saja Lyora akan melangkah pergi, suara pintu terbuka membuat langkahnya terhenti, Lyora berbalik dan melihat siapa pemilik sebenarnya. Viola terkejut karena tidak menyangka wanita yang pernah di tolongnya akan berdiri di depan pintu dengan senyum yang tidak ingin dilihat.“Selamat siang, Nona, Viola.” Lyora memang mendapatkan serta nama dari resepsionis tadi, dia teliti wanita yang sangat sulit sekali informasinya dengan seksama, wajah bulat, kulit putih, bibir tipis dan kecil serta bulu mata panjang, mirip boneka.Viola yang awalnya terkejut berusaha menormalkan dirinya, dia bersikap tenang kembali dan tersenyum, melihat dari tatapan Lyora sepertinya gadis itu tidak mengenal wajahnya.“Selamat siang juga, silahkan masuk!” tidak ada kesempatan Viola bertanya, karena pasti Lyora sudah mengetahui siapa dirinya, maksudnya mungkin mengetahui kalau dia adalah penolong bukan penyebab. Lyora masuk memperhatikan semua yang ada didalam, indah itu yang bisa Lyora lihat. “Nona, terima kasi
Pemuda itu memajukan wajahnya lebih dekat dengan wajah Alena, wanita yang menolongnya saat itu. Alena yang seperti sudah tahu apa yang akan terjadi memejamkan mata, jemarinya saling remas, jantungnya berdegup kencang.Satu kecupan mendarat di hidung mandung wanita dengan kulit sawo matang tersebut, Alena mengerjapkan mata berulang kali, “Tu-tuan, anda--,”“Terima kasih karena kau dan ayahmu menolongku.”Alena memundurkan wajahnya, “Tuan, sudah berapa kali anda mengatakannya? Saya dan ayah saya senang karena anda baik-baik saja, percayalah!” Orion mengangguk.Benar, pria yang bersama Alena adalah Orion, entah bagaimana caranya sampai dia bisa bebas dari maut saat itu. Dia mendapatkan beberaa luka, dan itu akan terus mengingatkannya tentang bagaimana pria itu melukainya.Alexander, Orion akan tetap meyakinkan dirinya bahwa semua kejadian tiba-tiba yang dia dapatkan adalah karena Alexander, pria yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan nya bersama Rianne.Orian tersenyum saat menyebut nama w
Setelah makan malam bersama. Orion, mendudukkan diri di sofa ruang tamu dan di susul oleh Viola sang istri. “Kau tinggal dimana selama ini?” tanya Viola dia sudah menempelkan diri di sisi pria yang membuatnya melakukan semua ini.“Seorang pria tua dan anak perempuan nya, mereka yang menemukanku, aku tidak ingat jelas bagaimana kejadiannya.” Orion menghebuskan napas kasar, kemudian kembali melanjutkan, “Setelah sadar aku tahu bahwa aku berada ditempat mereka.”Viola bersyukur, siapapun orang yang menyelamatkan Orion dia akan membalas jasanya nanti. Pria yang masih menginginkan Rianne itu melirik pada wanita di sebelahnya, “Apa yang kau lakukan selama kepergianku?” selidiknya, karena Orion tahu wanita seperti apa Viola sebenarnya.“Apa lagi, aku menyelamatkanmu dari wanita jahat itu.” Katanya santai.“Rianne? Apa yang kau lakukan padanya? Bukannya baru saja dia datan--,”Orion menghentikan ucapannya saat melihat Viola sudah berdiri, sepertinya dia salah bicara.“Rianne? Kenapa dipikiran
"Tuan, Rafh ... tolong maafkan kami." Frea menangis. Baru saja ayahnya menjelaskan semuanya. Ketidak sengajaannya menembak keluarga Rafh serta bagaimana Rafh kecil yang dibawa kabur oleh orang suruhan ayahnya. Rencana hanya untuk mengancam, tetapi takdir berkata lain. Tuan Frasino menembak habis keluarga Alexander.Karena rasa bersalahnya, tuan Frasino akan merawat kedua anak rivalnya. Alexander dan anak yang diculiknya--Rafhael. Namun, nyatanya seseorang sudah membawa anak itu lebih dulu.Mengetahui bahwa Frea menyukai Alexander dan berakhir dengan penolakan, kemarahan tuan Frasino kembali meledak. Dia mengusir Alexander dan mencibirnya sebagai anak tidak tahu terima kasih."Nona Frea, ayahmu melenyapkan orang tuaku coba jelaskan padaku, bagaimana cara memaafkanmu?" Suara Rafh terdengar semakin dingin."Kau tidak dengar? Ayahku tidak sengaja melepas pelurunya," "Seperti ini?" Satu tembakan tepat di jantung tuan Frasino yang Rafh lepaskan. Frea menjerit karena melihat ayahnya semaki
Rianne tidak akan melepas suaminya, perasaannya mendadak tidak enak sama sekali. Bukankah perasaan orang hamil itu sensitif?Alexander memegang wajah istri, mencium seluruh bagian di wajahnya."Hanya beberapa hari saja, hmm." "Memangnya kau mau kemana? Jangan berbohong dengan mengatakan kau akan bekerja. Alexander, aku tahu dirimu."Menghela napas panjang, Alexander memasang senyum secerah mungkin, tidak bisa dia katakan kepergiannya karena kondisi Rianne yang mengandung. "Rafh. Dia harus melihat tempat kerjanya sayang. Perusahaan itu adalah milik orang tuaku yang terbengkalai dan aku berencana menyerahkan pada Rafh. Dia akan membesarkannya," kilahnya tidak sepenuhnya salahAlis Rianne menyatu, masih tidak mengerti, "Rafh adalah keluargaku yang masih tersisa, dia harus bertanggung jawab untuk masa depannya."Mata Rianne membola, lagi-lagi dia dikejutkan dengan berita besar.Alexander mengangguk saat Rianne kembali mengulang kata keluarga. "Aku juga belum mengatakan ini padanya. Dan
Tidak tahan lagi, Alexander langsung menyerang sang istri dengan cepat tetapi masih dengan hati-hati.Siang itu, tidak hanya cuaca diluar saja yang panas, tetapi di dalam kamar dengan pendingin juga sudah terasa panasSuami istri yang sudah terpisah beberapa bulan itu, sama-sama melepas rindu di dalam kamar dengan segala macam gaya. Erangan desahan mengalun indah bersama dengan gerakan pasti si pria. "Sayang ... aku ...." Rianne tersengal, napasnya memburu, ada sesuatu yang ingin meledak di bawah sana rasanya."Bersama sayang. Tolong tunggu aku." Alexander menggerakkan pinggangnya semakin cepat, keduanya menegang karena sebentar lagi akan ada ledakan yang dahsyat."Aaaahhhh." Keduanya mendesah panjang bersama, Alexander mendongak begitupun juga dengan Rianne yang berada dibawahnya yang bergetar karena mendapatkan pelepasan bersama.Napas keduanya memburu, senyum cerah keduanya terlihat sebagai tanda bahwa mereka benar-benar menikmati semuanya."Aku mencintaimu." Alexander menjatuhkan
Orlando berdecak, dia tidak memikirkan Rianne, dia hanya menyakinkan dirinya kalau Frea memang tidak ada lagi di hatinya."Anna tahu kalau kau yang menabrak keluarganya?" Tanya Richard."Hanya aku yang boleh memanggilnya dengan nama itu." Alexander melanjutkan, "Anna tahu, tetapi tidak tahu kalau dalang dari semua ini adalah keluarga Frea."Sejak tadi Rafh hanya diam saja. Berita besar ini baru saja di dengarnya dan dia tidak menyangka akan serumit ini ceritanya, terlalu berkelok dan berliku."Rafh. Antar Orlando bertemu dengan Frea. Kita akan mengikutinya dari belakang. Selama ini pria tua itu terlalu pandai untuk bersembunyi, aku tidak bisa menemukan keberadaannya."Rafh mengangguk. Sementara itu, Richard yang tidak tahu harus melakukan apa, berencana ikut dengan mereka tetapi Alexander mencegah dengan Alasan para wanita tidak ada yang menjaga.Saat itu juga Alexander menempatkan mereka di tempat yang memang seharusnya mereka tinggali.Rafh akan tetap menjalankan bisnis sang tuan.
Richard mendengus kesal, artinya selama ini hanya dia saja yang merasa menjadi sahabat kedua pria bengis ini. Jadi tidak heran kalau Alexander menerjangnya sampai babak belur saat itu, dan Orlando? Jangan tanyakan pria di sebelahnya ini. Di otaknya hanya ada nama Rianne. Sialnya lagi, mereka bertiga menyukai wanita yang sama. Dan selalu Alexander yang mendapatkan hasilnya."Rafh menelepon dan menceritakan semuanya padaku. Sebagai teman Anna, jelas saja aku ikut prihatin karena seseorang tidak menghargai perasaannya dan aku mengurus semuanya." Sindir Richard."Kalian berdua," tunjuk Orlando pada kedua penjaga yang melaksanakan perintah Rafh tanpa sepengetahuannya."Besok datang ke ruanganku, aku akan memberikan imbalan pada kalian karena sudah menjaga istriku malam itu." Kedua penjaga itu saling pandang, semebtara Rafh membola."Terima kasih Tuan." Jawab mereka bersamaan dengan wajah cerah. Apa yang Alexander katakan selanjutnya mampu membuat mereka menghela napas pelan dan mengangguk
Saat kembali ke rumah, Orlando dikejutkan oleh banyaknya mobil mewah berwarna hitam terparkir tepat di depan rumahnya.Bukan hanya itu, beberapa orang berbadan besar sudah menodongkan senjata api di kepalanya dan Lyora. Gadis itu tentu saja pucat, memegang kuat lengan kakaknya dengan badan bergetar."Jangan takut." Bisik Orlando.Lyora mengangguk dan tetap berpegangan teguh di lengan kakaknya, kakinya sudah lemas melihat senjata-senjata itu mengarah tepat di pelipisnya.Orlando berjalan pelan, begitupun dengan mereka yang tetap tidak melepasnya."Turunkan senjata kalian. Kalian tidak melihat adikku ketakutan." Jengah Orlando. Tahu siapa yang bertamu di rumahnya tato kecil berlambang kelabang di leher mereka sudah menunjukkan dari mana asalnya."Ikut saja. Kami tidak akan melakukan apapun selama Tuan tidak melawan." Orlando mendengus, sejak tadi dia diam, tidak melawan tetapi orang-orang ini yang keterlaluan. Sampai di dalam rumahnya. Orlando sudah disambut oleh pria dengan mata tajam
"Untuk apa kalian datang? Dan kau Richard, kita sudah berjanji, kau akan rahasiakan ini dari siapapun. Aku kecewa." Richard menghela napas pelan, "Anna, kau tidak merindukannya? Tuan terlihat sangat khawatir."Richard kembali menambahkan, "Dia harus tahu kabar kehamilanmu."Rianne menggeleng, "Jangan beritahu dia, biarkan dia hidup sesukanya, sampai kapanpun Alexander akan tetap seperti itu."Caroline mendekati Rianne, duduk di sebelahnya, tangan halusnya langsung menyentuh perut Rianne, "Bagaimana rasanya hamil?" Tanya nya menatap Rianne, dia melanjutkan, "Sejak awal hubungan kita tidak baik. Tapi, aku akan meluruskan sedikit masalahmu."Sambil mengelus perut Rianne dia melanjutkan, "Beri dia kesempatan sekali lagi. Aku mendukungmu meninggalkannya dan menikah dengan pria lain kalau dia sampai mengkhianatimu lagi."Caroline melanjutkan, "Alexander sudah meninggalkan usaha di rumah pelacuran. Sudah menyerahkan tempat perjudian pada Roi juga. Dan ku dengar markasnya meledak." Caroline
"Bagaimana? Rafh mengakuinya?" Bukan Alexander yang bertanya tetapi Richard. Caroline masuk ke kamarnya dengan wajah lesu. Di dalam kamar sudah ada Richard, mantan Dokter Alexander ini belum bertemu langsung dengan mantan majikannya.Alasannya karena Alexander yang terus menghilang."Tidak. Dia juga tidak tahu katanya." "Kau yakin? Bisa saja Rafh berbohong."Caroline melepas pakaiannya begitu saja di hadapan Richard, juga mengganti dengan pakaian baru tanpa merasa malu. Richard hanya menggeleng karena kekasihnya ini sangat--berbeda."Tidak. Aku tahu kapan Rafh berbohong dan tidak."Richard berdiri dan memeluk Caroline dari belakang, "Aku cemburu. Sepertinya kau memang ada rasa padanya."Caroline berbalik dan mencubit kedua pipi liat Richard, "Jangan memancing. Kau juga mencintai Rianne kan? Jadi aku harus bagaimana?""Masa lalu. Sekarang masa depanku ada di hadapanku." Richard menaik turunkan alisnya dan Caroline tahu apa maksud kode itu."Tidak sekarang, aku harus menemui Alexander.
Sementara itu, Maya sudah melepas rangkulannya dari Rafh saat Caroline datang mendekatinya. Senyum wanita itu masih tetap sama seperti dulu manis dan juga--menawan.Maya berdehem, berniat akan meninggalkan keduanya tetapi Rafh menahan tangannya. Maya jelas merasa tidak enak, mereka bukan tokoh utama dalam cerita ini tetapi Rafh seolah mengambil peran lebih banyak. Itu yang Maya pikirkan."Bagaimana kabarmu?" Caroline menyapa lebih dulu, memperhatikan Rafh seperti biasanya, bahkan tatapannya juga masih sama seperti dulu."Baik, Nona." Caroline menyapa Maya juga, wanita yang bisa Richard bahas saat mereka senggang, "Anda Dokter Maya, bukan?" Maya mengangguk."Panggil Maya saja. Nona."Caroline terkekeh, "Baiklah, senang bertemu denganmu, Richard selalu membahas dirimu." Maya hanya tersenyum kecil.Caroline menoleh ke kiri dan ke kanan, ada yang belum terlihat olehnya, "Dimana Rianne? Aku tidak melihatnya?" Tanyanya pada Rafh."Nyonya, tidak ikut."Alis Caroline naik setengah, "Kenapa?