Pertanyaan yang tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran kami semua yang ada disini. Sehingga baik Ibu maupun aku enggan berkedip disaat Ayah melontarkan kata-kata itu. "Dari kecil aku selalu saja mengalah demi kedua adikku, tapi selalu saja masih ada kesalahan yang tidak pernah aku tahu. Bahkan, yang katanya adalah warisan, aku pun mendapat bagian yang tidak sewajarnya. Mereka seolah-olah menjadi anak yang baik bagi Bapak dan Ibu, tapi merawat mereka saja terkadang harus dengan omelan dulu." Hening, Ayah sepertinya mengeluarkan uneg-uneg dalam hati. Raut wajahnya berubah sendu, ada luka baru yang mulai terbuka lebar hingga ada setetes butiran bening yang meluncur cepat dari ujung mata hitam itu. Ayah sesenggukan, ini kali kedua aku melihat lelakiku tercinta menangis."Aku selalu bekerja siang malam demi mencukupi kebutuhan mereka kala itu, dimana Bapak dan Ibu tengah berduka karena anak bungsunya telah tiada. Aku yang berusaha mati-matian demi mengisi perut kosong supaya selalu
Kami semua membisu, tak ada suara sedikitpun yang keluar. Hanya deru napas memburu yang seakan menjadi irama dalam keheningan ini. Sisa isakan Ibu yang seperti tersimpan rapi itu pun seakan musnah seiring dengan suara yang memekakkan telinga. Mbah Lanang aku menyebutnya itu terlihat bukan seperti dirinya sendiri. Ada sebuah kemarahan yang besar dan ingin dikeluarkan olehnya tanpa mau di tutupi. Jelas aku takut bukan kepalang, karena ini kali pertama melihat wajah yang jauh lebih galak dari biasanya."Aku suka jika kamu mulai bersuara, ayolah ungkapkan semua apa yang akan kamu katakan! Jangan bersembunyi di balik sesuatu!" Mbah Darma mencoba memancing kemarahan lagi.Mata Mbah Lanang semakin terlihat sangat bengis. Bagaikan musuh bebuyutan yang lama tidak bertemu, Mbah Lanang berkacak pinggang dengan mulut terkatup. Bukan, bukan terkatup, tapi seperti seseorang yang hendak menyemburkan cairan bisa ke lawannya. Sungguh pemandangan yang mengerikan, dada yang baik-baik saja pun seketika
Brakk. Mbah Lanang menggebrak pintu, sontak aku kaget karena suara yang terdengar sakit di telinga. Mata itu merah dengan napas memburu serta tangan mengepal. Dalam hitungan detik, Mbah Lanang sudah berada di depan Mbah Darma yang duduk di sofa. Tangan yang keriput itu diangkat ke atas dengan jari telunjuk ke arah lelaki tua yang tak lain adalah Kakak dari Mbah Lanang."Jangan pernah menggurui diriku Darma! Kamu yang seharusnya menjaga batasan untuk tidak ikut campur urusan ini," murka Mbah Lanang."Berkacalah! Lihat dirimu di cermin maka kamu akan melihat kelakuan putri tercinta berkelakuan yang tidak beda jauh dengan Bapaknya, persis!" Mbah Darma menjawab dengan santai dan tenang. Disulutnya tembakau yang sudah digulung tipis itu dan menyalakan korek api berwarna hitam bergambar burung rajawali. Asap yang melambung tinggi seakan mengajak amarah untuk selalu membara dan membakar jiwa raga. Bagaikan sebuah pertarungan sengit yang terjadi, mereka berdua saling mengadu kekuatan diru
"Bayangkan saja seandainya Mbah Lanang mempunyai anak yang seperti Mas Agus almarhum, tidak sehat dan tidak bisa seperti anak-anak pada umumnya dihina dengan kata-kata buruk sambil berjoget dan menepuk pan tat, apa yang akan Mbah lakukan? Diam? Aku rasa itu tidak mungkin." Mata tua itu menatap tajam ke arahku yang masih enggan menundukkan pandangan. Justru aku semakin berani melihat wajah yang semakin bengis tersebut. "Tidak ada orang tua yang menginginkannya anaknya sakit selamanya, Mbah. Dari kecil aku sudah melihat ketidakadilan di keluarga ini, hingga aku dewasa pun sikap itu tidak pernah berubah. Tidak sedikitpun." "Bi Salimah membuat berita karena aku yang belum menikah dengan sebutan perawan tua. Semua orang yang melihatku memandang sinis dan mengejek, sakit nggak, Mbah?" Kini aku tak bisa lagi membendung air mata ini, berjatuhan tanpa permisi membasahi pipi. Deras, bagaikan air terjun yang mengalir ke sungai. Kedua bahu ini pun terguncang dahsyat, segala gundah gulana, ses
Seminggu berlalu, suasana masih saja sama seperti sebelumnya. Keluarga kami saling berbahagia, apalagi kedatangan Mbah Lastri yang setiap sore seakan membuat kehidupan ini semakin bertambah berwarna.Dalam usia senjanya wanita sepuh itu terlihat cerah wajahnya kala duduk bersama aku dan Ibu di teras depan rumah menikmati hari yang begitu indah. Semilirnya angin juga saat berpulangnya para hewan ke tempatnya masing-masing. Burung-burung yang kembali ke sarangnya kala semburat khas pergantian hari sore menjelang senja terasa begitu sempurna.Lalu lalang para remaja yang baru pulang dari lapangan bola pun membuat jalan di depan rumah semakin terlihat padat. Diiringi siulan dari mereka seakan menambah kesan hari ini begitu istimewa. "Suami kamu belum pulang juga? Ini sudah terlalu larut untuk seorang suami yang istrinya hamil," tanya Mbah Lastri kala aku sedang menyantap singkong goreng buatan Ibu. "Belum, Mbah. Mungkin sedang ramai, maklum lagi panen." Kembali aku menikmati lezatnya ma
Senyum manis terukir kala aku pun ikut mendengarkan dengan seksama. Tangan yang mulai keriput itu memegang dagu ini sembari tersenyum."Sudah, jangan dibahas lagi. Yang paling penting kalian bahagia dan sehat, karena itu harta yang paling berharga. Bukan begitu, Suci?"Aku memeluk Mbah Lastri lagi, terasa hangat meskipun kami tidak ada hubungan darah keluarga. Rasa sayang ini begitu besar bukan hanya karena akan mendapatkan warisan darinya. Namun, cinta kasihnya yang sangat aku rindukan nanti kelak jika mereka telah meninggalkan dunia fana ini.Mbah Lastri berpamitan kala jam dinding mulai berdentang ke angka lima, tubuhnya yang masih kuat itu mengendarai sepeda tua yang sudah berkarat dan menimbulkan bunyi khasnya. Rumah kami beda RW, untuk jaraknya tidak terlalu jauh. Meskipun aku sudah merayu untuk menjemput atau mengantarkan pulang. Namun, dengan kukuh beliau menolaknya."Sekalian olahraga biar tubuh ini semakin sehat." Begitu jawabannya saat aku membujuk supaya tidak terlalu bany
Pagi-pagi sekali aku menyapu halaman rumah, dari selokan yang banyak sekali daun berguguran hingga plastik yang banyak berterbangan sampai di bawah pohon besar yang berdiri kokoh di depan rumah.Mata ini membulat kala melihat ada beras kuning berceceran di bagian luar pagar rumah dengan koin pecahan lima ratusan. Telapak tangan terasa dingin dengan jantung berdisko ria saat aku mendapati uang logam itu dan segera kusimpan. Masih dengan banyaknya pertanyaan yang mengantri di otak ini.Apa maksud dari semua yang aku lihat? Ah, entahlah, jiwa burukku seakan mendominasi bahwasanya ini adalah hal di luar nalar yang dilakukan seseorang untuk keluargaku. Lalu siapa yang berbuat seperti ini?Spontan aku menatap rumah di seberang sana yang masih tertutup pintunya padahal hari ramai karena banyaknya lalu lalang para pejalan kaki yang menikmati hari libur di pagi yang kicauan burung begitu sangat merdu.Mereka bernyanyi riang gembira dan hinggap dari satu dahan pohon ke pohon lainnya. Sungguh su
"Aku percaya kalau itu adalah kiriman, Mas," ucapku kala duduk santai di belakang rumah. Melihat pemandangan ayam yang saling berebutan saat aku memberikannya makan. Nasi yang sudah kering menjadi makanan utama bagi hewan peliharaan kami tersebut. "Nggak usah terlalu dipikirkan, nggak penting!" balas Mas Yanuar santai. "Aku takut, meskipun rasa itu sudah aku tepiskan, tapi …." Kami sejenak terdiam kala suara ponsel Mas Yanuar berdering. Seseorang telah menghubunginya. "Lek Santoso sudah di panggil, sebentar lagi akan ada surat pemberitahuan buat kita," ujar Mas Yanuar saat tahu aku ingin tahu apa yang telah dibicarakan oleh dia dan sang penelepon.Ku pijat kepala yang terasa sakit sebelah ini, nyerinya sangat menyiksa ragaku. Masalah yang dulu belum juga usai, aku berharap akan segera berlalu dan hidup dalam ketenangan. Namun, apakah aku bisa? Sedangkan lawan kami adalah saudara sendiri dan rumahnya di depan kediaman kami. "Apa Lek Santoso yang menaburkan beras kuning juga koin
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan